Blogroll

Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa mengajarkan suatu ilmu, maka dia mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya, tidak mengurangi dari pahala orang yang mengamalkannya sedikitpun".
"Barangsiapa dikehendaki baginya kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberikan PEMAHAMAN AGAMA kepadanya.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)

Pages

Kamis, 21 Juli 2011

jihad, ibadah dan menuntut ilmu


Mukadimah
Beberapa saat yang lalu ada segelintir orang yang menyatakan bahwa berjihad dengan mengangkat senjata dalam rangka menentang penjajahan yang dipelopori kaum kafir seperti yang terjadi di Irak, Palestina, Checnya dan negara-negara lainnya adalah Khawarij, teroris, matinya konyol, ruwaibidhah, dungu, anak ingusan dan berbagai label negatif lainnya.
Ironisnya, kata-kata itu justru keluar dari kalangan yang menisbatkan dirinya kepada ‘Ahli Sunnah’. Salah seorang dari kalangan tersebut dengan terang-terangan menyatakan bahwa Ibnu Ladin lebih berbahaya dari pada Binyamin Netanyaho seorang tokoh Yahudi. Hal ini diucapkan ketika Netanyaho menjadi PM Israil.
Untuk mendudukan masalah tersebut alangkah bijaknya jika kita merenungkan pernyataan sahabat Rasulullah saw yang bernama Umar bin Khattab.
Sebelum lebih jauh membahas pernyataannya radhiallahu  ’anhu, tidak ada salahnya kita sejenak membahas sebagian permasalahan yang terkait dengan sahabat.
Di antara pondasi Ahli Sunah Wal Jama’ah adalah komitmen dengan apa yang telah ditempuh para sahabat dan menjadikan mereka panutan setelah Rasulullah saw. Mereka adalah manusia terbaik setelah nabinya. Sehingga wajar jika Rasul saw bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah masa-ku, kemudian generasi yang datang sesudahnya, kemudian generasi yang datang sesudahnya… (HR. Bukhari).
Juga wajar jika Allah telah ridha kepada mereka, sebagaimana dalam firman-Nya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (At Taubah: 100).
Belum lagi jika kita mengkaji pernyataan para ulama baik dari kalangan sahabat maupun generasi-generasi berikutnya. Maka kita akan mendapatkan betapa agungnya ungkapan mereka dalam memuji sahabat. Ibnu Mas’ud berkata: “Barang siapa yang ingin mengambil contoh maka ambillah  dari orang yang sudah meninggal. Karena orang yang masih hidup belum tentu aman dari fitnah. Mereka (yang harus dicontoh) adalah para sahabat Rasulullah saw…”.(atsar ini dinukil dari Minhajus Sunnah, 2/77).
Imran bin Hussein berkata: “Ambilah agama kalian dari kami (para sahabat). Demi Allah, jika kalian tidak melakukannya pasti akan tersesat.”
Dengan demikian, kalangan Ahli Sunnah sangat memuliakan sahabat. Hal ini berbeda dengan kalangan Ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu. Mereka jauh dari sahabat, mencela dan bahkan menghujat sahabat. Sikap mereka hanya semakin menjauhkan diri mereka dari kebenaran dan mengakibatkan mereka semakin tersesat. Sungguh benar apa yang dinyatakan Imran bin Hussein!.
Imam Syafi’i berkata: “Mereka (para sahabat) berada di atas kita baik dari segi ilmu, fikih, agama maupun hidayah. Pendapat mereka untuk kita jauh lebih baik dari pada pendapat kita untuk diri kita sendiri.” (I’lamul Muwaqqi’in, 1/80).
Dalam mengomentari pernyataan Imam Syafi’i, Ibnul Qayyim berkata: “Salah seorang dari mereka mengemukakan pendapat kemudian turun Al Qur’an dalam rangka menyetujui pendapatnya. …Bagaimana tidak, pendapat mereka bersumber dari hati yang penuh dengan cahaya, iman, hikmah, ilmu, wawasan, dan pemahaman tentang Allah, Rasul serta nasihat bagi umat. Hati mereka selalu dekat dengan hati Nabi, di antara keduanya tidak ada perantara. Mereka mengambil ilmu dan iman dari lentera kenabian…”. (untuk lebih lengkapnya silahkan lihat I’lamul Muwaqqi’in, 1/81,82).
Para sahabat telah meninggalkan ‘kekayaan’ yang sangat berharga bagi generasi sesudahnya baik berupa perkataan maupun sikap dalam masalah akidah, fikih, akhlaq dan dakwah.
Umar bin Khattab
Beliau berkata: “Jika bukan karena tiga hal, aku ingin segera bertemu dengan Allah: Jika bukan karena berjalan di jalan Allah (jihad), atau bukan karena aku meletakan jidatku di atas tanah sambil bersujud (shalat), atau duduk bersama sekelompok orang yang sedang memetik perkataan yang baik sebagaimana dipetiknya buah yang baik (menuntut ilmu).” (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf , 13/272).
Dalam mengomentari pernyataan Umar radhiallahu ‘anhu, Ibnu Taimiyah berkata: “Pernyataan Umar merupakan pernyataan yang sangat sempurna dan integral. Beliau merupakan sosok yang mendapat ilham. Setiap kalimat dari pernyataannya mengumpulkan banyak ilmu seperti tiga hal yang disebutkan tadi. Beliau menyebut jihad, shalat dan ilmu. Sudah merupakan kesepakatan ulama bahwa ketiga hal tersebut merupakan amalan yang paling utama.  Ahmad bin Hambal berkata: “Sebaik-baik amalan yang dipersembahkan seorang hamba adalah jihad”. Imam Syafi’i berkata: “Sebaik-baik amalan yang dipersembahkan seorang hamba adalah shalat”. Sementara Abu Hanifah dan Malik berpendapat: “ilmu”.
Setelah diteliti bahwa setiap dari ketiga hal tersebut saling berkaitan dengan yang lainnya. Dalam satu kondisi bisa jadi yang ini lebih utama dan dalam kondisi lain yang ini justru lebih utama. Sebagaimana Nabi saw dan para khalifahnya melakukan yang ini (jihad), kadang mereka melakukan ini (shalat) dan kadang yang ini (ilmu). Keutamaan amalan itu tergantung pada tempat, kondisi dan maslahatnya. Sementara Umar telah mengumpulkan itu semuannya.” (Minhajus Sunnah, 6/75).
Dengan demikian, di tempat tertentu dan dalam kondisi tertentu jihad bisa menjadi lebih utama. Kalangan yang negrinya terjajah oleh kaum kuffar, mereka tidak mempunyai kesempatan untuk menuntut ilmu karena kondisinya serba terancam. Maka bagi mereka jihad defensif adalah lebih utama dari yang lainnya. Hal ini seperti yang terjadi di Iraq, Palestina, Checnya dan negara lainnya yang terjajah.
Kemudian apakah mereka yang berjihad di sana mengharuskan meminta fatwa kepada ulama yang ada di luar negaranya? Permasalahan ini pernah di jawab oleh Prof. DR. Muhamad bin Abdullah bin Ali Al Wuhaibi (Mantan Ketua Jurusan Tsaqofah Islam Universitas Malik Su’ud). Beliau mengatakan, “Bukan suatu keharusan meminta fatwa kepada ulama luar. Karena yang lebih paham dengan kondisi yang ada di negaranya adalah mereka, penduduk negeri tersebut.” Dan masih banyak ulama lain yang mendukung perjuangan mujahidin baik ulama yang ada di Saudi, Sudan, Palestina, Mesir, Yordan, Indonesia dan ulama berbagai negri lainnya.
Maka wajar jika dalam suatu kesempatan, ketika Rasulullah ditanya amalan apakah yang paling utama? Maka beliau pun menjawab: “Jihad”. Dalam kesempatan lain beliau menjawab: “Shalat tepat waktu.” Begitu pula dengan sikap Ibnu ‘Uyainah yang lebih memilih mengajarkan Al Qur’an dari pada berjihad mengangkat pedang. [*]
Ketika seseorang bertanya kepada rasulullah saw, “Tunjukanlah kepadaku amal yang setara dengan jihad? Beliau menjawab: “Aku tidak menemukan”. Kemudian beliau bersabda: “Apakah kamu sanggup, jika seorang mujahid pergi (ke medan perang), bahwa kamu masuk ke masjidmu lalu kamu mengerjakan shalat malam tanpa henti dan berpuasa tanpa berbuka? Orang tersebut menjawab, “Siapakah yang sanggup melakukan hal itu? (HR. Nasa’i dan semakna dengan hadits ini adalah yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim).
Namun dalam kondisi tertentu dan di tempat tertentu menuntut ilmu dan mengajarkannya adalah lebih utama, sebagaimana pernyataan Ibnu ‘Uyainah. Hal ini pun pernah diutarakan oleh DR. Muhamad Al Wuhabi, “Bisa jadi di negara tertentu justru menuntut ilmu dan mengajarkannya adalah lebih utama. Maka tidak semua orang alim harus pergi berjihad sementara di negaranya banyak kebodohan, kesesatan, kemusrikan dan ia pun sangat dibutuhkan di negaranya”.
Bagi kalangan yang belum diberi kesempatan untuk berjihad, maka tidak ada salahnya jika merenungkan pernyataan Sekjen Asosiasi Fuqaha Amerika Prof. DR. Salah Shawi. Beliau menjelaskan beberapa tahapan yang harus dilakukan, di antaranya:
Pertama: Mempersiapkan keyakinan dan keimanan secara benar (salah satunya dengan menuntut ilmu). Ini artinya pentingnya mendidik mereka menjadi sosok yang paham Islam. Menghidupkan ilmu syar’i secara benar dan memperbaharui syi’ar dan syariat Islam. Karena pada saat ini umat mewarisi pemahaman yang keliru seputar ajaran Islam. Kebodohan seperti inilah yang mengakibatkan kita mengenyam kesengsaraan dan penderitaan.
Kedua: Persiapan dalam menyatukan suara dan barisan (dengan berdakwah).  Sebagaimana firman Allah:” Janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu”. QS. Al Anfal: 8              
Bukan rahasia lagi apa yang diderita umat saat ini, yang mana kalangan pergerakan Islam masa kini berselisih, berpecah dan gontok-gontokan. Cukuplah kita mengambil pengalaman dan pelajaran yang pahit dan pedih dalam peperangan Afganistan.
Ketiga: Persiapan kekuatan (I’dad Quwwah).
Dalam permasalahan ini, anda bisa memahami bagaimana jerih payah para dai, murobbi dan muslih. Ini sebenarnya merupakan salah satu mata rantai dalam rangka menghidupkan umat dan bagian dari pada persiapan dalam rangka menegakan jihad. Jika ada yang belum mengetahui makna ini maka bisa jadi dikarenakan kelalaiannya atau salahnya pemahaman.” (Kumpulan Fatwa Shalah Shawi).
Benarlah komentar Ibnu Taimiyah, “Keutamaan amalan itu tergantung pada tempat, kondisi dan maslahatnya. Sementara Umar telah mengumpulkan semuannya.” (Minhajus Sunnah, 6/75).
Dengan demikian, sudah selayaknya masing-masing kelompok untuk menahan diri dan mengenal tugasnya masing-masing. Yang diberi peluang untuk berjihad tidak melabel para penuntut ilmu dan ulamanya dengan qooiduun (orang yang duduk-duduk saja). Begitu pula sebaliknya para penuntut ilmu tidak memberikan label kepada para mujahid dengan khawarij, teroris, mati konyol dan berbagai label negatif lainnya.
Ketika Ibnu Mubarak mendengarkan seseorang melakukan ghibah terhadap saudaranya, beliau bertanya: “Pernahkah kamu memerangi orang-orang Romawi? Dia menjawab:”Tidak.” Pernahkah kamu memerangi orang-orang Persia? Dia menjawab: “Tidak”. Beliau berkata: “Telah selamat dari ucapanmu orang-orang Romawi dan Persia. Sementara saudaramu tidak selamat dari lisanmu.”
Adakah mujahid Ahli Sunnah saat ini?
Permasalahan ini pernah diajukan kepada Prof. DR. Muhamad Al Wuhaibi. Setelah menyebutkan Izuddin Al Qassam, Umar Mukhtar dan yang lainnya (penulis lupa namanya) ke dalam deretan mujahid Ahli Sunnah. Beliau menjelaskan, “Kita melihat Mayoritas Mujahid Ahli Sunnah saat ini ada di Iraq, Palestina, Checnya dan negara lainnya.”
Wallahu a’lam
Abu Mazin, Lc.
[*] Untuk lebih rinci dalam permasalahan macam-macam jihad bisa dilihat dalam Kitab Zaadul Ma’ad karya Ibnul Qayyim ketika membahas ayat: “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (QS. Al  Hajj: 78). Dan masalah ini juga disinggung dalam kitab Miftah Daaris Sa’adah, Ibnul Qayyim.
Source: Elhakimi[.]wordpress[.]com

0 komentar:

Posting Komentar

Jazakallah