Blogroll

Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa mengajarkan suatu ilmu, maka dia mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya, tidak mengurangi dari pahala orang yang mengamalkannya sedikitpun".
"Barangsiapa dikehendaki baginya kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberikan PEMAHAMAN AGAMA kepadanya.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)

Pages

Jumat, 22 Juli 2011

Kapankah Ketaatan Sesama Makhluk Menjadi Syirik Besar?

Soal :


Kapankah Ketaatan Terhadap Sesama Makhluk Menjadi Syirik Besar?
Jawab :


Al-Hamdulillah. Ketaatan terhadap sesama makhluk menjadi perbuatan syirik besar, dalam beberapa kondisi. Di antaranya ketika seseorang menaati sesama makhluk dalam menganggap halal perbuatan haram, atau menganggap haram perbuatan halal, atau orang yang ditaati membuat satu peraturan dan membentuk satu undang-undang, lalu orang yang menaatinya berkeyakinan bahwa undang-undang itu lebih sempurna dari atau lebih memenuhi kemaslahatan daripada syariat Allah, atau setara dengan syariat Allah, atau menurut keyakinannya syariat Allah tetap lebih baik, hanya saja menggunakan undang-undang buatan manusia itu juga boleh. Dalilnya adalah firman Allah:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah..” (Q.S At-Taubah : 32).
Adi bin Hatim berkata: “Wahai Rasulullah! Dahulu kami tidak pernah menyembah mereka.” Rasulullah bertanya: “Bukankah mereka menghalalkan yang diharamkan Allah, lalu kalian ikut menghalalkannya, dan mengharamkan yang dihalalkan Allah, dan kalianpun turut mengharamkannya?” Adi menjawab: “Benar wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Itulah bentuk ibadah kepada mereka.”
Jadi orang-orang Nashrani yang menaati para rahib mereka dalam berbuat maksiat dengan keyakinan membolak-balik yang halal dan yang haram dengan mengikuti pendapat para rahib tersebut, dianggap ibadah kepada selain Allah. Itu termasuk perbuatan syirik besar yang bertentangan dengan tauhid. Adapun berkenaan dengan pertanyaan, bila orang yang menaati orang tuanya misalnya dalam berbuat maksiat itu meyakini bahwa perbuatannya itu maksiat, dianggap ia memperturutkan hawa nafsu, bukan ketaatannya yang dimaksud di atas. Atau bila ia melakukannya karena takut dihukum oleh kedua orang tuanya bila tidak sampai tingkat “dalam paksaan”, maka ia berdosa, berbuat maksiat dan melanggar sabda Nabi:
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah Azza wa Jalla.” Diriwayatkan oleh Ahmad (1041), dan hadits itu shahih.
Namun dengan perbuatan itu, si anak tidaklah menjadi musyrik. Akan tetapi apabila si anak berkeyakinan bahwa ucapan orang tuanya itu dapat menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, maka ia telah melakukan perbuatan syirik besar.

Seyogyanya seorang muslim itu memerangi dirinya sendiri agar hawa nafsunya mengikuti ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mendahulukan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya daripada ketaatan kepada siapapun, hendaknya cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya juga lebih daripada cinta kepada selain keduanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seorang di antaramu hanya dianggap telah beriman bila aku (Rasulullah) lebih dia cintai daripada anaknya, orang tuanya dan seluruh manusia.”

(HR. Al-Bukhari 63)
Semoga Allah memberikan petunjuk menuju jalan yang lurus.

0 komentar:

Posting Komentar

Jazakallah