Blogroll

Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa mengajarkan suatu ilmu, maka dia mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya, tidak mengurangi dari pahala orang yang mengamalkannya sedikitpun".
"Barangsiapa dikehendaki baginya kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberikan PEMAHAMAN AGAMA kepadanya.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)

Pages

Senin, 30 Mei 2011

AMH zine

belum tersedia

Minggu, 29 Mei 2011

Jangan Mengambil Ilmu dari Ahli Bid'ah


Orang yang berniat mencari ilmu yang haq harus memperhatikan dari siapa dia mengambil ilmu. Jangan sampai mengambil ilmu agama dari ahli bid’ah, karena mereka akan menyesatkan, baik disadari atau tanpa disadari. Sehingga hal ini akan mengantarkannya kepada jurang kehancuran.

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah menyatakan, bahwa untuk meraih ilmu ada dua jalan.

Pertama : Ilmu diambil dari kitab-kitab terpercaya, yang ditulis oleh para ulama yang telah dikenal tingkat keilmuan mereka, amanah, dan aqidah mereka bersih dari berbagai macam bid’ah dan khurafat (dongeng; kebodohan). Mengambil ilmu dari isi kitab-kitab, pasti seseorang akan sampai kepada derajat tertentu, tetapi pada jalan ini ada dua halangan. Halangan pertama, membutuhkan waktu yang lama dan penderitaan yang berat. Halangan kedua, ilmunya lemah, karena tidak dibangun di atas kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip.

Kedua : Ilmu diambil dari seorang guru yang terpercaya di dalam ilmunya dan agamanya. Jalan ini lebih cepat dan lebih kokoh untuk meraih ilmu.[1]

Akan tetapi pantas disayangkan, pada zaman ini kita melihat fenomena pengambilan ilmu dari para ahli bid’ah marak di mana-mana, padahal perbuatan tersebut sangat ditentang oleh para ulama Salaf. Maka benarlah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang telah memberitakan bahwa hal itu merupakan salah satu di antara tanda-tanda dekatnya kiamat. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ مِنْ أَشْرِاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُلْتَمَسَ الْعِلْمُ عِنْدَ الْأَصَاغِرِ

"Sesungguhnya di antara tanda hari Kiamat adalah, ilmu diambil dari orang-orang kecil (yaitu ahli bid’ah)" [2].

Imam Ibnul Mubarak rahimahullah ditanya : “Siapakah orang-orang kecil itu?”

Beliau menjawab : “Orang-orang yang berbicara dengan fikiran mereka. Adapun shaghir (anak kecil) yang meriwayatkan dari kabir (orang tua, Ahlus Sunnah), maka dia bukan shaghir (ahli bid’ah).[3]

Di dalam riwayat lain, Imam Ibnul Mubarak juga mengatakan: “Orang-orang kecil dari kalangan ahli bid’ah”. (Riwayat al Lalikai, 1/85).

Syaikh Bakar Abu Zaid –seorang ulama Saudi, anggota Komisi Fatwa Saudi Arabia- berkata : “Waspadalah terhadap Abu Jahal (bapak kebodohan), yaitu ahli bid’ah, yang tertimpa penyimpangan aqidah, diselimuti oleh awan khurafat; dia menjadikan hawa nafsu sebagai hakim (penentu keputusan) dengan menyebutnya dengan kata “akal”; dia menyimpang dari nash (wahyu), padahal bukankah akal itu hanya ada dalam nash? Dia memegangi yang dha’if (lemah) dan menjauhi yang shahih. Mereka juga dinamakan ahlusy syubuhat (orang-orang yang memiliki dan menebar kerancauan pemikiran) dan ahlul ahwa’ (orang-orang yang mengikuti kemauan hawa nafsu). Oleh karena itulah Ibnul Mubarak menamakan ahli bid’ah dengan ash shaghir (anak-anak kecil).[4]

Dan tanda hari Kiamat, yaitu “mengambil ilmu dari orang-orang kecil (yaitu ahli bid’ah)” pada zaman ini benar-benar sudah terjadi dan terus berjalan. Sungguh telah terbukti sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas. Bahkan sesuatu yang lebih besar dari itu, yaitu mengambil ilmu agama Islam dari orang-orang kafir, yakni para dosen yang mengajarkan pengetahuan tentang Islam di berbagai perguruan tinggi di negara Barat.

Maka apakah kira-kira komentar para ulama Salaf, jika mereka mengalami zaman kita ini? Sedangkan mereka adalah orang-orang yang sangat tulus dalam memberikan nasihat, dan tegas menghadapi berbagai penyimpangan?

Marilah kita renungkan perkataan Imam adz Dzahabi rahimahullah tentang ahli bid’ah pada zaman beliau.

Beliau mengatakan: “Jika engkau melihat seorang mutakallim (seorang yang zhahirnya muslim tetapi menggeluti ilmu kalam, mantiq, filsafat, Pen), ahli bid’ah, berkata,’Tinggalkan kami dari al Kitab (al Qur`an) dan hadits-hadits, dan datangkanlah akal,’ maka ketahuilah bahwa dia Abu Jahal. Dan jika engkau melihat seorang salik tauhidi (seorang shufi, Pen) berkata,’Tinggalkan kami dari naql (wahyu) dan akal, dan datangkanlah perasaan dan rasa,’ maka ketahuilah bahwa dia adalah iblis yang telah muncul dengan bentuk manusia, atau iblis telah merasuk padanya. Jika kamu merasa takut padanya, maka larilah. Jika tidak takut, maka bantinglah dia, dan tindihlah dadanya, dan bacakan ayat kursi kepadanya, dan cekiklah dia”.[5]

PERINGATAN PARA ULAMA
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyebutkan sifat ulama yang akan selalu ada sepanjang zaman, sampai waktu yang dikehendaki oleh Allah, yaitu di dalam sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ : يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ وَ إِنْتِحِالَ الْمُبْطِلِيْنَ

"Ilmu agama ini akan dibawa oleh orang-orang yang lurus pada setiap generasi; mereka akan menolak tahrif (perubahan) yang dilakukan oleh orang-orang yang melewati batas; ta’wil (penyimpangan arti) yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh; dan kedustaan yang dilakukan oleh orang-orang yang berbuat kepalsuan" [6]

Hadits ini jelas dan tegas menunjukkan sifat-sifat pengemban ilmu agama, yaitu ‘adalah (lurus, istiqamah), maka sepantasnya ilmu itu hanyalah diambil dari mereka. Oleh karena itu, banyak peringatan ulama tentang memilih guru agama yang tepat di dalam mengambil ilmu. Berikut ini di antara perkataan ulama berkaitan dengan hal tersebut.

1). Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu berkata :

اُنْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ هَذَا الْعِلْمَ فَإِنَّمَا هُوَ دِينٌ

"Perhatikanlah dari siapa kamu mengambil ilmu ini, karena sesungguhnya ia adalah agama" [7]

Perkataan ini juga diriwayatkan dari sejumlah Salafush Shalih, seperti Muhammad bin Siirin, adh Dhahhak bin Muzahim, dan lain-lain (Lihat muqaddimah Shahih Muslim).

2). Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berkata :

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ مِنْ أَكَابِرِهِمْ , فَإِذَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ قِبَلِ أَصَاغِرِهِمْ , وَ تَفَرَّقَتْ أَهْوَاءُهُمْ , هَلَكُوْا

"Manusia akan selalu berada di atas kebaikan, selama ilmu mereka datang dari para sahabat Nabi Muhammad n dan dari orang-orang besar (tua) mereka. Jika ilmu datang dari arah orang-orang kecil (ahli bid’ah) mereka, dan hawa-nafsu mereka bercerai-berai, mereka pasti binasa" [8].

Dalam riwayat lain disebutkan :

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا أَخَذُوْا الْعِلْمَ عَنْ أَكَابِرِهِمْ , فَإِذَا أَخَذُوْهُ مِنْ أَصَاغِرِهِمْ وَ شِرَارِهِمْ هَلَكُوْا

"Manusia selalu berada pada kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari orang-orang besar (tua) mereka. Jika mereka mengambil ilmu dari orang-orang kecil (ahli bid’ah) dan orang-orang buruk (orang fasik) di antara mereka, maka mereka pasti binasa" [9]

3). Imam Malik rahimahullah berkata :

لاَ يُؤْخَذُ الْعِِلْمُ عَنْ أَرْبَعَةٍ: سَفِيْهٍ مُعلِنِ السَّفَهِ , وَ صَاحِبِ هَوَى يَدْعُو إِلَيْهِ , وَ رَجُلٍ مَعْرُوْفٍ بِالْكَذِبِ فِيْ أَحاَدِيْثِ النَّاسِ وَإِنْ كَانَ لاَ يَكْذِبُ عَلَى الرَّسُوْل صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , وَ رَجُلٍ لَهُ فَضْلٌ وَ صَلاَحٌ لاَ يَعْرِفُ مَا يُحَدِّثُ بِهِ

"Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang : (1) Orang bodoh yang nyata kebodohannya, (2) Shahibu hawa` (pengikut hawa nafsu) yang mengajak agar mengikuti hawa nafsunya, (3) Orang yang dikenal dustanya dalam pembicaraan-pembicaraannya dengan manusia, walaupun dia tidak pernah berdusta atas (nama) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , (4) Seorang yang mulia dan shalih yang tidak mengetahui hadits yang dia sampaikan.[10]

4). Imam Nawawi rahimahullah berkata menjelaskan ghibah yang dibolehkan :
“Di antaranya, jika seseorang melihat pencari ilmu sering mengambil ilmu dari ahli bid’ah atau orang fasik, dan dia khawatir hal itu akan membahayakan pencari ilmu tersebut, maka dia wajib menasihatinya, dengan menjelaskan keadaan (guru)nya, dengan syarat dia berniat menasihati”. [Riyadhush Shalihin, al Adzkar, Syarah Muslim].

5). Disebutkan di dalam kitab Fatawa Aimmatil Muslimin, hlm. 131, susunan Mahmud Muhammad Khithab as Subki yang berisikan fatwa-fatwa sebagian ulama Mesir, Syam dan Maghrib mutaqaddimin : “Seluruh imam mujtahidin telah sepakat, bahwa tidak boleh mengambil ilmu dari ahli bid’ah”.

TUJUAN PERINGATAN ULAMA
Syaikh Dr. Ibrahim bin Amir Ruhaili –hafizhahullah- berkata,”Sesungguhnya para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para tabi’in sesudah mereka telah memberikan bimbingan untuk mengambil ilmu dari orang yang ‘adil dan istiqamah. Mereka telah melarang mengambil ilmu dari orang yang zhalim dan menyimpang. Dan di antara orang yang menyimpang, yaitu para ahli bid’ah. Sesungguhnya mereka telah menyimpang dan menyeleweng dari agama dengan sebab bid’ah-bid’ah itu, maka tidah boleh mengambil ilmu dari mereka. Karena ilmu merupakan agama, dipelajari untuk diamalkan. Maka jika ilmu diambil dari ahli bid’ah, sedangkan ahli bid’ah tidak mendasarkan dan menetapkan masalah-masalah kecuali dengan bid’ah-bid’ah yang dia jadikan agama, sehingga ahli bid’ah itu akan mempengaruhi murid-muridnya secara ilmu dan amalan. Sehingga murid-murid itu akan tumbuh di atas bid’ah dan susah meninggalkan kebid’ahan setelah itu. Apalagi jika belajar dari ahli bid’ah itu pada masa kecil, maka pengaruhnya akan tetap dan tidak akan hilang selama hidupnya.”[11]

Syaikh juga menjelaskan, maksud peringatan para ulama ini ada dua. Pertama. Menjaga orang-orang yang belajar dari kerusakan aqidah, karena terpengaruh oleh perkataan dan perbuatan ahli bid’ah. Kedua. Memboikot (mengisolir) ahli bid’ah yang menyerukan bid’ahnya, dengan niat mencegah dan menghentikan mereka dari bid’ah.[12]

Larangan ini berlaku saat situasi memungkinkan. Adapun dalam keadaan terpaksa, boleh belajar kepada ahli bid’ah, dengan tetap waspada dari kesesatan mereka.[13]

Syaikh Bakar Abu Zaid berkata,”Wahai, penuntut ilmu. Jika engkau berada dalam kelonggaran dan memiliki pilihan, janganlah engkau mengambil (ilmu) dari ahli bid’ah, (yaitu) : seorang Rafidhah (Syi’ah), seorang Khawarij, seorang Murji’ah, seorang qadari (orang yang mengingkari takdir), seorang quburi (orang yang berlebihan mengagungkan kuburan), dan seterusnya, karena engkau tidak akan mencapai derajat orang yang benar aqidah agamanya, kokoh hubungannya dengan Allah, benar pandangannya, mengikuti atsar (jejak Salaf), kecuali dengan meninggalkan ahli bid’ah dan bid’ah mereka”.[14]

PERINGATAN BELAJAR AGAMA KEPADA ORANG KAFIR!
Setelah kita mengetahui keterangan di atas, maka selayaknya umat Islam agar senantiasa jeli dan berhati-hati dalam mengambil ilmu. Sehingga pantas untuk diperingatkan, yaitu adanya fenomena pada zaman ini dan sebelumnya, berupa pengambilan ilmu dari orang-orang yang menyimpang, yaitu para ahli bid’ah, bahkan dari orang-orang kafir! Tidakkah orang-orang yang mengambil ilmu dari orang-orang kafir itu pernah membaca atau mendengar firman Allah k tentang usaha orang-orang musyrik untuk memurtadkan umat Islam? Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرُُ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ {217}

"Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kalian dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya" [al Baqarah : 217].

Tidakkah mereka juga pernah mendengar firman Allah Azza wa Jalla tentang keinginan orang-orang Ahli Kitab yang selalu berkeinginan memurtadkan umat Islam?

وَدَّكَثِيرُُ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُم مِّن بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِّنْ عِندِ أَنفُسِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ {109}

"Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran" [al Baqarah : 109]

Apakah mereka mengira, bahwa keinginan dan usaha orang-orang kafir untuk memurtadkan umat Islam itu hanyalah pada zaman turunnya ayat-ayat al Qur`an itu?

Anggapan seperti itu adalah perkiraan yang salah, karena ayat-ayat itu berasal dari Allah Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Seluruh berita dariNya adalah haq, baik saat turunnya ayat maupun setelahnya. Maka, hendaklah mereka memperhatikan sejarah umat Islam, memperhatikan kejadian-kejadian umat Islam, dahulu dan sekarang. Dengan demikian, mereka akan mengetahui kebenaran firman Allah tersebut.

Inilah sedikit keterangan seputar jalan mengambil ilmu. Semoga Allah selalu membimbing kita kepada ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa dan Bijaksana. Al hamdulillahi Rabbil ‘alamin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Diringkas dari Kitabul Ilmi, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah, hlm. 68-69.
[2]. Riwayat Ibnul Mubarak, al Lalikai, dan al Khaththib al Baghdadi. Dishahihkan oleh Syaikh al Albani di dalam Shahih al Jami’ ash Shaghir, no. 2203, dan Syaikh Salim al Hilali dalam kitab Hilyatul ‘Alim, hlm. 81.
[3]. Lihat Jami’ Bayanil ‘ilmi, hlm. 246.
[4]. Hilyah Thalibil ‘Ilmi, hlm. 39, karya Syaikh Bakar Abu Zaid.
[5]. Siyar A’lamin Nubala, 4/472, dinukil dari Hilyah Thalibil ‘Ilmi, hlm. 39.
[6]. HR Ibnu ‘Adi di dalam al Kamil, al Baihaqi di dalam Sunan Kubra, Ibnu ‘Asakir di dalam Tarikh Dimsyaq, Ibnu Hibban di dalam ats Tsiqat, Abu Nu’aim di dalam Ma’rifatush Shahabat, Ibnu Abdil Barr di dalam at Tamhid, al Khath-thib di dalam Syaraf Ash-habul Hadits, dan lain-lain. Hadits ini diriwayatkan lebih dari 10 sanad, sehingga saling menguatkan. Dishahihkan oleh Imam Ahmad, dihasankan oleh Syaikh Salim al Hilali di dalam Hilyatul ‘Alim al Mu’allim, hlm. 77, juga oleh Syaikh Ali bin Hasan di dalam Tashfiyah wat Tarbiyyah.
[7]. Riwayat al Khaththib al Baghdadi di dalam al Kifayah, hlm. 121. Dinukil dari Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 686, karya Dr. Ibrahim bin Amir Ruhaili.
[8]. Riwayat Imam Ibnul Mubarak di dalam az Zuhud, hlm. 281, hadits 815. Dinukil dari kitab Asy-rathus Sa’ah, hlm. 184, karya Syaikh Yusuf bin Abdullah bin Yusuf al Wabil.
[9]. Jami’ Bayanil ‘Ilmi, hlm. 248. Dinukil dari Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 687.
[10]. Jami’ Bayanil ‘Ilmi, hlm. 348. Dinukil dari Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 688.
[11]. Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 686, karya Syaikh Ibrahim ar Ruhaili.
[12]. Lihat Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 693.
[13]. Lihat Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 685-695.
[14]. Hilyah Thalibil ‘Ilmi, hlm. 40.

Sabtu, 28 Mei 2011

Permasalahan Ikhtilaf/Khilafiyah, Ijtihad Seorang Ulama Mungkin Benar Dan Mungkin Salah


Perlu diketahui bahwa yang saya maksud dengan ikhtilaf di sini adalah ikhtilaf tadladl, yaitu perbedaan pendapat yang saling menafikan (bertentangan). Di dalam ihtilaf seperti ini yang benar hanya satu.

Ada juga macam ikhtilaf yang lain, yaitu ikhtilaf tanawwu’. Di dalam ikhtilaf tanawwu’ semua pendapat benar, seperti :

[1]. Dua perkara atau perbuatan yang disyariatkan, seperti macam-macam do’a iftitah, bacaan sujud dan lainnya. Untuk bentuk seperti ini kadang-kadang salah satunya ada yang lebih utama.

[2]. Dua lafazh yang berbeda tetapi mempunyai makna yang sama atau mendekati contoh surat Al-Fatihah disebut juga dengan Ummul Kitab, aqiqah sama dengan nasikah. Kata “qadla” dalam firman Allah : wa qadla rabbuka illaa ta’buduu illaa iyyaahu” [Al-Isra : 23]

Ibnu Abbas berkata “ qadla” berarti “memerintahkan”. Mujahid mengatakan “mewasiatkan”. Rabi’ bin Anas mengatakan “mewajibkan”. Kata-kata “memerintahkan”, “mewasiatkan” dan ‘mewajibkan” mempunyai makna yang hampir sama.

[3]. Dua lafazh dengan makna berbeda, tetapi tidak saling menafikan bahkan saling melengkapi atau mencakup semua di dalamnya. Contoh kata “ an-na’iim” dalam firman Allah.

“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)” [At-Takatsur : 8]

Sebagian ahli tafsir mengatakan “an-na’iim” bermakna keamanan, kesehatan, kecukupan dalam makanan dan minuman. Sebagian mengatakan ringannya syari’at dan sebagian lagi mengatakan nikmat pendengaran dan penglihatan.

Dari sini jelas bahwa ikhtilaf tanawwu’ semuanya benar.

Untuk ikhtilaf tanawwu, tidak boleh seseorang menyalahkan salah satunya. Syaihul Islam mengatakan, “Hanya kejahilan dan kezhaliman yang menjadikan seseorang mencela salah satunya atau lebih mengutamakan salah satunya tanpa maksud yang baik, atau tanpa ilmu atau tanpa keduanya” [1].

Allah berfirman.

“Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan bodoh” [Al-Ahzab : 72]

Allah melarang kita berselisih dan mencela perselisihan dalam ayat-ayat-Nya di antaranya.

“Dan taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian bebantah-bantah yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” [Al-Anfal : 46]

Begitu pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam amat membenci perselisihan. Apabila beliau mendengar ada di antara sahabatnya yang berselisih, maka beliau marah dan segera menyelesaikannya sehingga mereka kembali sadar akan kekeliruannya, lalu berdamai dan bersatu dalam kebenaran.

Meskipun Allah menghendaki agar kita tidak berselisih (iradah syar’iyah) tetapi Allah juga menghendaki (iradah kauniyah) sesuai dengan hikmah-Nya bahwa perselisihan itu akan selalu ada dan tidak bisa dihilangkan.

Allah berfirman.

“Jikalau Rabb-mu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu. Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yan diberi rahmat oleh Rabb-mu. Untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat (keputusan) Rabb-mu telah ditetapkan, “Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahanam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya” [Hud : 118-119]

Memang di antara perselisihan antara ulama ada hal-hal yang susah dipastikan mana yang benar dan mana yang salah. Tetapi banyak sekali di antara perselisihan tersebut terjadi dalam perkara-perkara ijtihadiyah yang dapat diupayakan kesepakatannya. Sudahkah kita berusaha semaksimal mungkin untuk mencari kata sepakat? Sudahkah kita berusaha menghilangkan kebodohan dari masyarakat kita berupa ta’ashub atau fanatik, baik fanatik hizbi (kelompok) ataupun madzhabi, juga kultus individu? Ataukah kita pura-pura bodoh akan kebenaran yang ada di depan mata kita lalu menolaknya karena mengikuti hawa nafsu atau berdalih dengan ucapan “Kebanaran itu banyak!”.

IJTIHAD SEORANG ULAMA MUNGKIN BENAR DAN MUNGKIN SALAH
Siapa saja yang mengakui bahwa semua pendapat para ulama mujtahid dalam suatu masalah adalah benar dan setiap mujtahid itu benar, maka berarti dia telah mengucapkan kaidah yang tidak memiliki dalil, baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah atau ijma para sahabat serta tidak dapat diterima oleh akal sehat.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Apabila seorang hakim memberi keputusan, lalu ia berijtihad, kemudian ia benar maka baginya dua pahala, dan jika ia memberi keputusan, lalu ia berijtihad kemudian salah, maka baginya satu pahala” [HR Bukhari dan Muslim]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa tidaklah setiap orang yang berijtihad dapat mencapai kebenaran. Tetapi selama ia berdalil dan bertaqwa kepada Allah sesuai dengan kesanggupannya, maka itulah yang Allah bebankan kepadanya. Allah tidak akan menghukumnya apabila ia salah. Ancaman dan hukuman itu baru berlaku bagi orang yang meninggalkan perintah dan melanggar larangan setelah tegak hujjah kepadanya. [3]. Ijtihad yang salah ini tidak boleh diikuti apabila kita mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. [4]. Karena kita dituntut untuk mengikuti dalil, bukan mengikuti manusia.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Tidak boleh bagi seseorang untuk berhujjah dengan ucapan seseorang dalam masalah perselisihan, karena sesungguhnya hujjah adalah nash dan ijma’, serta dalil yang diambil istimbathnya dari hal tersebut. Pengutamaannya ditentukan dengan dalil-dalil syari’at, bukan dengan ucapan sebagian ulama. Karena sesungguhnya ucapan para ulama itu baru menjadi hujjah disebabkan adanya dalil-dalil syariat. Ucapan para ulama tersebut tidak dapat mengalahkan dalil-dalil syari’at…[5].

Perlu diingat bahwa kita wajib menghormati dan mencintai para ulama [6] meskipun ijitihad mereka ada yang salah, atau ada di antara ijtihad mereka ada yang kita yakini sebagai perbuatan bid’ah (setelah diadakan penelitian berdasarkan kaidah-kaidah ilmiyyah dan kriteria-kriteria secara ilmu ushul). Tetapi tidak boleh kita menuduhnya sebagai ahli bid’ah kecuali setelah jelas bagi kita bahwa hujjah telah ditegakkan atas mereka dan mereka tetap mengikuti hawa nafsunya.

Syaikh Ali-Hasan berkata : “Sedangkan orang yang melakukan bid’ah, bisa jadi dia seorang mujtahid –sebagaimana telah dibicarakan-, maka orang yang berijtihad seperti ini, meskipun salah, tidak bisa dikatakan sebagai ahli bid’ah. Sebaliknya, bisa jadi ia jahil (bodoh). Maka ia tidak bisa dikatakan sebagai ahli bid’ah karena kejahilannya. Meskipun demikian ia tetap berdosa dikarenakan kesalahan dia meninggalkan kewajiban menuntut ilmu, kecuali apabila Allah menghendaki. Dan bisa jadi juga ada sebab-sebab lain yang menghalangi seseorang yang melakukan bid’ah untuk dikatakan sebagai ahli bid’ah. Berbeda dengan orang yang terus menerus melakukan bid’ahnya setelah nampak kebenaran olehnya, karena mengikuti nenek moyang, dan adat istiadatnya. Maka orang seperti ini pantas dan tepat untuk mendapatkan predikat sebagai ahli bid’ah, dikarenakan penolakannya dan pengingkarannya. [7]

Allah berfirman.

“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti selain jalan orang-orang mu’min. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya dan Kami masukkan ia kedalam neraka jahannam dan jahannam seburuk-buruk tempat kembali” [An-Nisa : 115]

[Disalin dari buku Hanya Ada Satu Kebenaran (Mencari Kebenaran Dalam Masalah Khilafiyah Yang Kontradiktif), Penulis Fariq Gasim Anuz, Penerbit Darul Qalam – Jakarta, Cetakan 1-Th.14124H/2003M]
__________
Foote Note.
[1]. Iqtida As-Shirat Al-Mustaqim, Ibnu Taimiyah rahimahullah juz I hal. 132-137, terdapat penjelasan mengenai Ikhtilaf tadladl dan ikhtilaf tanawwu.
[2]. Shahih Bukhari, kitab Al-I’tisham, bab Ajrul Hakim Idzaj Tahada fa AShaba au Akhtha’a, hadits no. 7352, juz 8 hal. 198, lihat Fathul Bari hal.257 Muslim, kitab Al-Aqdliyah, bab Bayan Ajril Hakim, no. 1716
[3]. Liaht Majmu Fatawa juz 19, hal. 213, 216, 217,227
[4]. Iqtidla As-Sirathil mustaqim, hal. 268
[5]. Majmu Fatawa, juz 26 hal. 202
[6]. Raf’ul Malam An-Aimmatil A’lam, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
[7]. Ilmu Ushulil Bida, hal. 209-210

Jumat, 27 Mei 2011

Nasikh Dan Mansukh


Naskh secara bahasa artinya: menghilangkan; menghapuskan; memindahkan; menulis. Adapun secara istilah, maka ada dua macam:

Pertama. Naskh menurut istilah para ulama ushul fiqih Muta-akhirin. Mereka memiliki ta’rif yang berbeda-beda.

Al-Baidhowi rahimahullah (wafat th 685 H) mendefinisikan dengan : “Naskh adalah penjelasan berhentinya hukum syari’at dengan jalan syar’i yang datang setelahnya”. [1]

Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menyebutkan definisi naskh dengan menyatakan: “Menghilangkan hukum yang ada dengan perkataan (dalil) yang dahulu, dengan perkataan yang datang setelahnya”. [2]

Di antara ta’rif yang ringkas dan mencakup adalah yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, yaitu: “menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah”. [3]

Kedua : Naskh menurut istilah Salafush Sholih Mutaqoddimin. Istilah naskh yang ada pada mereka lebih luas daripada definisi para ulama ushul Mutaakhirin.

Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu berkata: “Yang memberi fatwa kepada manusia hanyalah tiga orang: Orang yang mengetahui yang mansukh dari Al-Qur’an; atau amir (pemimpin) yang harus (berfatwa); atau orang dungu yang memaksakan diri”. [4]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata mengomentari perkataan di atas: “Yang dimaksudkan oleh beliau (Hudzaifah) dan yang dimaksudkan oleh kebanyakan Salaf dengan (istilah) naasikh dan mansukh terkadang adalah: menghapuskan hukum sekaligus, dan ini merupakan istilah muta-akhirin, dan terkadang adalah: menghapus penunjukkan dalil ‘am, [5] mutlaq, [6] zhahir, [7] dan lainnya, kemungkinan dengan takhshish (pengkhususan), taqyiid (penentuan), atau membawa yang muthlaq kepada muqayyad (yang ditentukan), dan tafsir (penjelasan) serta tanbiih (mengingatkan). Sehingga mereka (Salaf) menamakan istitsna’ (pengecualian), syarath, dan sifat dengan naskh, karena hal itu menghapus penunjukkan zhahir dan menjelaskan yang dimaksudkan. Maka naskh, menurut mereka (Salaf) dan bahasa mereka adalah: menjelaskan yang dimaksudkan dengan bukan lafazh itu, tetapi dengan perkara yang di luarnya. Barangsiapa memperhatikan perkataan mereka, akan melihat padanya dari hal itu apa-apa yang tidak dapat dihitung, dan dengan sebab itu akan hilang darinya kesulitan-kesulitan yang diakibatkan karena membawa perkataan mereka pada istilah baru yang akhir”. [8]

Nasikh artinya : yang menghapuskan, yaitu dalil Al-Kitab atau As-Sunnah yang menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya. Pada hakekatnya naasikh (yang menghapuskan) adalah Allah Azza wa Jalla.

Mansukh artinya : yang dihapuskan, yaitu hukum dalil syar’i atau lafazhnya yang dihapuskan.

PENUNJUKKAN ADANYA NASKH DALAM SYARI’AT
Perlu diketahui bahwa adanya naskh dalam syari’at atau adanya ayat Al-Qur’an yang mansukh (dihapus hukumnya/lafazhnya) oleh ayat lain ditunjukkan oleh dalil naql (ayat/hadits), dalil akal, dan ijma’.

Dalil Naql
Firman Allah Azza wa Jalla.

مَا نَنسَخْ مِنْ ءَايَةٍ

Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)... [Al Baqarah:106]

Makna kata “ayat” di dalam firman Allah ini adalah ayat Al-Qur’an, sebagaimana penafsiran Salafush Sholih yang kami ketahui. Seperti riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid, sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud, Abul ‘Aliyah, Muhammad bin Ka’b Al-Qurodhi, Adh-Dhahhak, ‘Atho’, As-Suddi, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Katsir [Lihat Taffsir Ibnu Katsir, surat Al-Baqarah: 106]

Adapun manafsirkan kata “ayat” pada firman Allah di atas dengan “mu’jizat”, sebagaimana dalam Tafsir Qur’an Al-Furqan, karya A.Hassan rahimahullah, maka kami khawatir itu merupakan tafsir bid’ah. Walaupun secara bahasa dibenarkan, namun bertentangan dengan ijma’ ahli tafsir sebagaimana di atas. Wallohu a’lam.

Firman Allah Azza wa Jalla.

وَإِذَا بَدَّلْنَآ ءَايَةً مَّكَانَ ءَايَةٍ

Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain. [An Nahl:101]

Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang nasikh dan mansukh, bukan hanya nasikh saja! Ayat yang Alloh jadikan pengganti adalah naasikh, ayat yangdigantikan adalah ayat mansukh. Dan ini sangat jelas, sebagaimana kita lihat. Adapun sebagian dari contoh-contoh ayat mansukh akan kami sampaikan di bawah insya Alloh. Lebih luas dapat dilihat dalam kitab-kitab ushul fiqih.

Dalil Akal.
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Naskh boleh terjadi menurut akal dan nyata terjadi menurut syari’at. Adapun bolehnya terjadi menurut akal, karena segala perkara di tangan Allah, segala hukum (keputusan) miliknya, karena Dia adalah Ar-Rabb (Sang Penguasa) Al-Maalik (Sang Pemilik). Maka Dia berhak mensyari’atkan bagi hamba-hambanya apa yang dituntut oleh hikmahNya dan rahmatNya. Apakah akal menolak jika Sang Pemilik memerintahkan kepada apa yang Dia miliki dengan apa yang Dia kehendaki? Kemudian bahwa kandungan hikmah Allah dan rahmatNya terhadap hamba-hambaNya adalah Dia mensyari’atkan untuk mereka apa-apa yang Allah mengetahui bahwa padanya terdapat mashlahat-mashlahat agama dan dunia mereka. Sedangkan mashlahat-mashlahat berbeda-beda sesuai dengan keadaan dan zaman. Terkadang suatu hukum lebih mashlahat bagi para hamba pada satu waktu atau satu keadaan. Dan terkadang hukum lainnya pada waktu dan keadaan yang lain lebih mashlahat. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. [Ushul Fiqih, hal: 45, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin]

Dalil Ijma’.
Banyak ulama telah menyatakan adanya ijma’ tentang adanya naskh dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Al-Baji rahimahullah berkata: “Seluruh umat Islam berpendapat bolehnya/ mungkinnya naskh syari’at menurut akal dan syara’”. [9]

Al-Kamal Ibnul Humam rahimahullah berkata: “Pengikut syari’at-syari’at telah sepakat atas bolehnya (naskh, secara akal) dan terjadinya (secara syari’at)”. [10]

Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “Ketahuilah bahwa tiga bentuk ini (yaitu naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an; naskh Sunnah Mutawatir dengan Sunnah Mutawatir; dan naskh Sunnah Ahad dengan Ahad) tidak ada perselisihan padanya di antara ulama yang dipercaya, sebagaimana banyak ulama telah menukilkan adanya ijma’ padanya. Maka penyelisihan orang yang menyelisihi dalam hal ini tidak dihitung dan tidak ada dalil untuknya”. [hal: 148]

Dr. Ali berkata: “Mereka (para ulama) mengatakan: Sesungguhnya para sahabat Radhiyallahu 'anhum dan seluruh Salaf telah ijma’ (sepakat) bahwa syari’at Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menghapus seluruh syari’at yang telah lalu. Sebagaimana mereka juga telah ijma’ bahwa naskh telah terjadi pada banyak hukum-hukum syari’at Islam. Dan terjadinya hal itu cukup sebagai dalil untuk menetapkan bolehnya/mungkinnya (naskh menurut akal-red)”. [Araul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 425, Syeikh Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi]

Syaikh Tsanaulloh Az-Zahidi berkata: “Ahli fiqih dan ushul telah sepakat atas kebolehan/kemungkinan adanya naskh menurut akal, dan atas terjadinya menurut syara’. Kecuali apa yang dinukilkan dari Abu Muslim Muhammad bin Bahr Al-Ashfahani seorang Mu’tazilah yang mati tahun 322 H”. [11]

MACAM-MACAM NASKH
Pertama : Macam-macam naskh, dilihat dari nash yang mansukh (dihapus) ada tiga bagian: [12]

1. Nash Yang Mansukh Hukumnya, Namun Lafazhnya Tetap.
Inilah jenis nash mansukh yang paling banyak. Yaitu hukum syar’i dihapuskan, tidak diamalkan, namun lafazhnya tetap.

Hikmah naskh jenis ini adalah: tetapnya pahala membaca ayat tersebut dan mengingatkan umat tentang hikmah naskh, terlebih dalam hukum yang diringankan dan dimudahkan.

Contohnya firman Allah Azza wa Jalla.

يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِن يَكُن مِّنكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَّكُن مِّنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِّنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَ يَفْقَهُونَ

Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu'min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. [Al Anfal :65]

Ayat ini menunjukkan kewajiban bersabarnya 20 umat Islam berperang menghadapi 200 orang-orang kafir. Dan bersabarnya 100 umat Islam berperang menghadapi 1000 orang-orang kafir.

Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya.

الْئَانَ خَفَّفَ اللهُ عَنكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِن يَكُن مِّنكُم مِّائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَكُنْ مِّنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللهِ وَاللهُ مَعَ الصَّابِرِينَ

Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. [Al Anfal :66]

Abdullah bin Abbas berkata:

لَمَّا نَزَلَتْ ( إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ) شَقَّ ذَلِكَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ حِينَ فُرِضَ عَلَيْهِمْ أَنْ لَا يَفِرَّ وَاحِدٌ مِنْ عَشَرَةٍ فَجَاءَ التَّخْفِيفُ فَقَالَ ( الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضُعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ) قَالَ فَلَمَّا خَفَّفَ اللَّهُ عَنْهُمْ مِنَ الْعِدَّةِ نَقَصَ مِنَ الصَّبْرِ بِقَدْرِ مَا خُفِّفَ عَنْهُمْ

Ketika turun (firman Allah): “Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh” (Al-Anfal: 65), hal itu berat atas umat Islam, yaitu ketika diwajibkan atas mereka, bahwa satu orang tidak boleh lari menghadapi 10 (musuh). Kemudian datanglah keringanan, Allah berfirman: “Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang.” (Al-Anfal: 66) Ketika Allah telah meringankan dari mereka jumlah (musuh yang wajib dihadapi-red), kesabaranpun berkurang seukuran apa yang Allah telah meringankan dari mereka”. [HR. Bukhari, no: 4653]

Inilah contoh hukum yang mansukh di dalam Al-Qur’an. Penjelasan mansukhnya hukum dalam ayat 65 surat Al-Anfal di atas, selain dari Ibnu Abbas, juga diriwayatkan dari Mujahid, Atho’, ‘Ikrimah, Al-Hasan Al-Bashri, Zaid bin Aslam, ‘Atho Al-Khurosani, Adh-Dhohhak, dan lainnya. [13] Orang yang menolak adanya mansukh dalam Al-Qur’an telah menyelisihi penafsiran mereka.

2. Nash Yang Mansukh Lafazhnya, Namun Hukumnya Tetap.
Al-Aamidi rahimahullah menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas terjadinya naskh (penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya, berbeda dengan anggapan kelompok yang menyendiri dari kalangan Mu’tazilah. [14]

Hikmah naskh jenis ini adalah: agar kadar ketaatan umat kepada Allah menjadi nampak, yaitu di dalam bersegera melakukan ketaatan dari sumber yang zhanni rojih (persangkaan kuat), yaitu sebagian dari As-Sunnah, bukan dari sumber yang seluruhnya yaqin, yaitu Al-Qur’an. Sebagaimana Nabi Ibrahim Alaihissallam bersegera akan melaksanakan penyembelihan terhadap anaknya, Nabi Isma’il, dengan sumber mimpi, sedangkan mimpi adalah tingkatan terendah jalan wahyu kepada para nabi. Wallahu a’lam. [15]

Selain itu, di antara hikmahnya adalah apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata: “Hikmah naskh lafazh tanpa (naskh) hukumnya adalah untuk menguji umat terhadap amalan yang tidak mereka dapati di dalam Al-Qur’an, dan mewujudkan keimanan mereka dengan apa yang Alloh turunkan. Berbeda dengan orang-orang Yahudi yang berusaha menutupi nash rojm di dalam Taurat”. [16]

Contoh jenis naskh ini adalah ayat rajm [17] Umar bin Al-Khoththob berkata:

لَقَدْ خَشِيتُ أَنْ يَطُولَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ حَتَّى يَقُولَ قَائِلٌ لَا نَجِدُ الرَّجْمَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ أَنْزَلَهَا اللَّهُ أَلَا وَإِنَّ الرَّجْمَ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى وَقَدْ أَحْصَنَ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَلُ أَوِ الِاعْتِرَافُ قَالَ سُفْيَانُ كَذَا حَفِظْتُ أَلَا وَقَدْ رَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ

Sesungguhnya aku khawatir, zaman akan panjang terhadap manusia sehingga seseorang akan berkata: “Kita tidak mendapati rojm di dalam kitab Allah”, sehingga mereka menjadi sesat dengan sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Ingatlah, sesungguhnya rajm adalah haq atas orang yang berzina dan dia telah menikah, jika bukti telah tegak, atau ada kehamilan, atau ada pengakuan”. Sufyan berkata: “Demikianalh yang aku ingat”. “Ingatlah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melakukan rajm, dan kita telah melakukan rajm setelah beliau”. [HR. Bukhari, no: 6829; Muslim, no: 1691; dan lainnya]

Adapun lafazh ayat rajm, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi:

الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ نَكَالاً مِنَ اللهِ وَ اللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

Laki-laki yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) dan wanita yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) jika berzina, maka rajamlah keduanya sungguh-sungguh, sebagai hukuman yang mengandung pelajaran dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. [Lihat Fathul Bari, 12/169, Darul Hadits, Kairo, cet: 1, th: 1419 H / 1998 M, syarh hadits no: 6829]

3. Nash Yang Mansukh Hukumnya Dan Lafazhnya.
Contoh : ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah berkata:

كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ

Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh kali penyusuan yang diketahui, mengharamkan”, kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan: “Lima kali penyusuan yang diketahui”. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an. [HR. Muslim, no: 1452]

Makna perkataan ‘Aisyah “dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an” adalah:
• Yaitu : Dibaca hukumnya, namun lafazhnya tidak.
• Atau : Orang yang belum kesampaian naskh bacaannya, masih tetap membacanya. [18]

Kedua : Macam-macam naskh dilihat dari nash yang naasikh (menghapus) –secara ringkas- ada empat bagian:

1. Al-Qur’an Dimansukh Dengan Al-Qur’an.
Jenis naskh ini disepakati adanya oleh para ulama’, adapun orang yang beranggapan tidak ada ayat mansukh di dalam Al-Qur’an, maka perkataannya tidak dianggap. [19]

Contohnya adalah ayat 65, yang mansukh oleh ayat 66 dari surat Al-Anfal, sebagaimana telah kami sampaikan di atas. Contoh lain: firman Allah Azza wa Jalla.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرُُ لَّكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِن لَّمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al Mujadilah :12]

Ayat ini menunjukkan kewajiban shadaqah bagi yang mampu sebelum berbisik-bisik dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian ayat ini dimansukh ayat berikutnya yang menghapuskan kewajiban tersebut. Lihat hal ini dalam Tafsir Ibnu Katsir. Allah Azza wa Jalla firmanNya:

ءَأَشْفَقْتُمْ أَن تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ وَاللهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al Mujadilah:13]

2. Al-Qur’an Dimansukh Dengan As-Sunnah.
Pada jenis ini ada dua bagian:

a). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Mutawatir.
Pada bagian ini ulama berselisih. Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah bahwa beliau menyatakan: “Al-Qur’an tidak dinaskh (dihapus) kecuali oleh Al-Qur’an yang datang setelahnya…”. Namun Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “(Berdasarkan) penelitian, boleh dan terjadi naskh Al-Qur’an dengan Sunnah Mutawatir, contohnya: dihapusnya ayat 5 kali penyusuan dengan Sunnah Mutawatir, dihapusnya surat Al-Khulu’ dan Al-Hafd dengan Sunnah Mutawatir. Dan banyak contoh lainnya”. [20]

b). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Ahad.
Pada bagian ini ulama juga berselisih. Yang rajih –wallohu a’lam- hal ini ada dan terjadi. Contohnya:

Firman Allah Azza wa Jalla.

قُل لآ أَجِدُ فِي مَآ أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَّكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ

Katakanlah:"Aku tidak mendapati dalam wahyu yang telah diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang disembelih atas nama selain Allah. [Al An’am :145]

Ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan -di saat ayat ini diturunkan- hanyalah empat jenis di atas. Ini berarti, di saat itu, daging keledai jinak boleh dimakan, berdasarkan ayat ini. Kemudian kebolehan ini dihapuskan hukumnya oleh hadits-hadits shahih yang datang kemudian yang mengharamkan daging keledai jinak. Karena ayat di atas termasuk surat Al-An’am, yang merupakan surat Makiyyah, yang turun sebelum hijroh, dengan kesepakatan ulama. Adapun pengharaman daging keledai jinak dengan Sunnah terjadi setelah itu di Khoibar.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُكِلَتِ الْحُمُرُ ثُمَّ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُكِلَتِ الْحُمُرُ ثُمَّ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُفْنِيَتِ الْحُمُرُ فَأَمَرَ مُنَادِيًا فَنَادَى فِي النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ فَإِنَّهَا رِجْسٌ فَأُكْفِئَتِ الْقُدُورُ وَإِنَّهَا لَتَفُورُ بِاللَّحْمِ

Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam didatangi oleh seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian datang lagi kepada beliau seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian datang lagi kepada beliau seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian beliau memerintahkan seorang penyeru, lalu dia menyeru di kalangan orang banyak: “Sesungguhnya Alloh dan RasulNya melarang kamu dari daging keledai jinak, sesungguhnya ia kotor/najis”. Maka periuk-periuk dibalikkan, sedangkan periuk-periuk itu mendidih (berisi) daging (keledai jinak). [21]

Antara ayat di atas dengan hadits yang mengharamkan daging keledai jinak tidak bertentangan, karena waktu keduanya berbeda. Di saat ayat di atas turun, daging keledai jinak halal, karena yang diharamkan hanyalah empat jenis makanan. Kemudian setelah itu datang pengharaman daging keledai jinak. [Mudzakiroh, hal: 153-155]

3. As-Sunnah Dimansukh Dengan Al-Qur’an.
Contoh jenis ini adalah: syari’at shalat menghadap Baitul Maqdis, yang ini berdasarkan Sunnah, dihapuskannya dengan firman Allah Azza wa Jalla.

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. [Al Baqarah :144]

4. As-Sunnah Dimansukh Dengan As-Sunnah.
Contoh: Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا

Dahulu aku melarang kamu dari berziarah kubur, maka sekarang hendaklah kamu berziarah (kubur). [HR. Muslim, no: 977]

Dengan penjelasan di atas jelaslah bahwa di dalam Al-Qur’an ada nasikh (ayat yang menghapus hukum yang sudah ada sebelumnya) dan mansukh (ayat yang dihapus) hukumnya atau lafazhnya.

Demikian, semoga bermanfaat

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VIII/1425H/2004. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat: Al-Minhaj Bi Syarhil Ibhaaj 2/247; dinukil dari Araul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 412-413, Syeikh Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi
[2]. Idem, hal: 413
[3]. Ushulul Fiqh, hal: 45, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
[4]. [I’lamul Muwaqqi’in 1/36, Darul Hadits, Kairo, th: 1422 H / 2002 M
[5]. ‘Am adalah: lafazh yang meliputi seluruh apa yang pantas baginya sekaligus dan sesuai dengan bentuknya dengan tanpa pembatasan”. Lihat: Taisirul Ushul, hal: 95, Syaikh Hafizh Tsanaullah Az-Zahidi, cet: 1, th: 1410 H
[6]. Muthlaq adalah: lafazh yang mengenai satu yang tidak tertentu dalam kedudukan hakekat yang mencakup terhadap jenisnya. Lihat: Taisirul Ushul, hal: 90
[7]. Zhahir adalah: lafazh yang mengandung dua makna atau lebih, namun lebih nampak pada salah satunya, mungkin dari sisi syara’ atau bahasa atau ‘urf (kebiasaan). Lihat: Taisirul Ushul, hal: 32
[8]. Idem
[9]. Ihkamul Fushul, hal: 391, dinukil dari 421
[10]. At-Tahrir bi Syarhit Taisir 3/181, dinukil dari Aroul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 421, karya Syaikh Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi
[11]. Taisirul Ushul, hal: 216
[12]. Lihat: Mudzakirah Ushulul Fiqh ‘Ala Raudhatun Nazhir, hal: 127, karya Syeikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi, tahqiq: Abu Hafsh Sami Al-‘Arabi, Darul Yaqin,; Ushulul Fiqh, hal: 47-48, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin; Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal: 170-173, karya Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan; Taisirul Ushul, hal: 214-216, Syeikh Hafizh Tsanaullah Az-Zahidi, cet: 1, th: 1410 H
[13]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat Al-Anfal 65-66
[14]. Al-Ihkaam 3/154, karya Al-Amidi ; dinukil dari Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal: 170, karya Syeikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan
[15]. Lihat: Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal: 171, karya Syeikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan
[16]. Ushul Fiqh, hal: 48, karya Syeikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin
[17]. Yaitu had (hukuman) bagi pezina yang sudah menikah dengan dilempari batu sampai mati
[18]. Lihat: Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal: 170, karya Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan
[19]. Lihat: Mudzakirah ‘Ala Ushul Fiqh, hal: 148, karya Syeikh Muhammad Al-Amin Syinqithi
[20]. Mudzakiroh Ushul Fiqih, hal: 150
[21]. HR. Bukhari, no: 5528; Muslim, no: 1940 (35)

Rabu, 25 Mei 2011

Perbedaan Air Mani, Madzi, dan Wadi

Ada tiga cairan yang keluar ketika syahwat seseorang memuncak:
1. Madzi: Cairan bening, tidak terlalu kental, tidak berbau, keluarnya tidak memancar, setelah keluar tidak lemas, biasanya keluar sebelum mani keluar. Cairan ini termasuk najis ringan (najis mukhaffafah), namun jika keluar, tidak menyebabkan wajib mandi dan tidak membatalkan puasa.
2. Mani: Cairan yang keluar ketika syahwat mencapai puncak, memiliki bau khas, disertai pancaran, setelah keluar menimbulkan lemas. Hukum cairan ini tidak najis, menurut pendapat yang kuat, namun jika keluar bisa menyebabkan hadats besar, sehingga bisa membatalkan puasa dan wajib mandi.
3. Wadi: Cairan bening, agak kental, keluar ketika kencing. Dari ketiga cairan di atas, yang paling mudah dibedakan adalah wadi, karena cairan ini hanya keluar ketika kencing, baik bersamaan dengan keluarnya air kencing atau setelahnya. (Lihat Al-Wajiz fi Fiqh Sunnah, hlm. 24–25)
Sementara itu, yang agak sulit dibedakan adalah madzi dan mani. Untuk memudahkan pembahasan terkait dua cairan ini, masalah ini bisa dirinci pada dua keadaan: ketika sadar dan ketika tidur.
Pertama, ketika sadar.
Cairan yang keluar dalam kondisi sadar, bisa digolongkan termasuk jika memenuhi tiga syarat:
1. Keluarnya memancar, disertai syahwat memuncak, sebagaimana yang Allah sebutkan di surat Ath-Thariq, ayat 5–6.
2. Ada bau khas air mani
3. Terjadi futur (badan lamas) setelah cairan tersebut keluar. (Asy-Syarhul Mumti’, 1:167)
Jika cairan keluar ketika kondisi sadar dan tidak disertai tiga sifat di atas maka cairan itu adalah madzi, sehingga tidak wajib mandi. Misalnya, cairan tersebut keluar ketika sakit, ketika kelelahan, atau cuaca yang sangat dingin.
Kedua, ketika tidur.
Orang yang bangun tidur, kemudian ada bagian yang basah di pakaiannya, tidak lepas dari tiga keadaan:
1. Dia yakin bahwa itu adalah mani, baik dia ingat mimpi ataukah tidak. Dalam kondisi ini, dia diwajibkan untuk mandi, berdasarkan kesepakatan ulama. (Lihat Al-Mughni, 1:269)
2. Dia yakin bahwa itu bukan mani, karena yang menempel hanya tetesan cairan atau cairan berbau pesing, misalnya. Dalam kondisi ini, dia tidak wajib mandi. Namun, dia wajib mencuci bagian yang basah karena cairan ini dihukumi sebagaimana air kencing.
3. Dia ragu, apakah itu mani ataukah madzi. Dalam kondisi semacam ini, dia mengacu pada keadaan sebelum tidur atau ketika tidur. Jika dia ingat bahwa ketika tidur dia bermimpi, maka cairan itu dihukumi sebagai mani. Namun, jika dia tidak mengingatnya, dan sebelum tidur dia sempat membayangkan jima’ maka cairan itu dihukumi sebagai madzi karena cairan ini keluar ketika dia membayangkan jima’, sementara dia tidak merasakan keluarnya suatu cairan. (Asy-Syarhul Mumti’, 1:168)
Adapun jika dia tidak ingat mimpi dan tidak memikirkan sesuatu sebelum tidur, ulama berselisih pendapat tentang hukumnya. Ada yang berpendapat wajib mandi, sebagai bentuk kehati-hatian, dan ada yang berpendapat tidak wajib mandi. Insya Allah, pendapat yang lebih kuat adalah wajib mandi, berdasarkan hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang laki-laki yang tidak ingat mimpi, namun tempat tidurnya basah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia wajib mandi.” (H.R. Abu Daud; dinilai hasan oleh Al-Albani)

Sabtu, 21 Mei 2011

Berhubungan Badan setelah Haid Berhenti, tetapi Belum Mandi Wajib

Melakukan hubungan dengan istri yang sedang haid di tempat keluarnya darah haid adalah perbuatan yang haram. Berdasarkan firman Allah,
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu kotoran. Karena itu, jauhilah wanita di tempat keluarnya darah haid (kemaluan). Janganlah kalian mendekatinya (jima’) sampai dia suci. Apabila dia (istrimu) telah mandi maka datangilah dia dari tempat sesuai dengan yang Allah perintahkan ….’” (Q.S. Al-Baqarah:222)
Barang siapa yang melakukannya maka dia wajib bertobat dan membayar kafarah berupa sedekah dengan satu atau setengah dinar. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah, yang dinilai sahih oleh Al-Albani; dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa orang yang mendatangi istrinya ketika haid bersedekah satu dinar atau setengahnya.
Tentang jumlah dinar yang pasti untuk dikeluarkan, apakah satu ataukah setengah, ini dilihat dari masa haid ketika orang ini melakukan hubungan. Ketika seseorang melakukan hubungan pada saat darah masih deras maka dia bersedekah satu dinar. Akan tetapi, jika hubungan itu terjadi ketika darah yang keluar tidak terlalu banyak maka dia bersedekah setengah dinar.
Adapun orang yang melakukan hubungan dengan istri setelah putus darah haid, namun belum mandi, pendapat yang kuat: hukumnya terlarang dan pelakunya berdosa. Pendapat ini berdasarkan firman Allah di atas, yang artinya, “Janganlah kalian mendekatinya (jima’) sampai dia suci. Apabila dia (istrimu) telah mandi maka datangilah dia ….
Allah belum mengizinkan seseorang untuk melakukan hubungan dengan istri yang haid, sampai dia mandi. Karena itu, pelakunya harus bertobat dan membayar kafarah dengan sedekah setengah dinar.

Pandangan Mata ketika Tasyahud

tatacara-tasyahud
Pandangan mata ketika shalat diarahkan ke tempat sujud, kecuali ketika tasyahud, yaitu dianjurkan untuk mengarahkan pandangan mata ke telunjuk. Hal ini berdasarkan hadis,
كان صلى الله عليه وسلم يبسط كفه اليسرى على ركبته اليسرى ويقبض أصابع كفه اليمنى كلها ويشير بإصبعه التي تلي الإبهام إلى القبلة ويرمي ببصره إليها
“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk tasyahud, beliau meletakkan tangan kirinya di atas lutut kiri, beliau genggam jari-jari tangan kanan, dan beliau berisyarat dengan telunjuknya ke arah kiblat, dan beliau arahkan pandangannya ke telunjuknya.” (H.R. Muslim dan Abu ‘Awanah)
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Jumat, 20 Mei 2011

Berinfak kepada Orang Tua

infaq-kepada-orang-tua

Diperbolehkan memberikan uang atau harta yang lainnya kepada orang lain yang menjadi tanggungan kita, selama itu bukan zakat, baik kepada orang tua maupun kerabat dekat. Bahkan, Allah memerintahkan bahwa ketika orang berinfak hendaknya mendahulukan orang tua. Allah berfirman,
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Mereka bertanya kepadamu tentang harta yang mereka infakkan. Katakanlah, ‘Harta yang kalian infakkan hendaknya diberikan kepada orang tua, para kerabat, anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil. Semua perbuatan baik yang kalian lakukan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.‘” (Q.S. Al-Baqarah:215)
Maksud lafal “Allah Maha Mengetahuinya” adalah ‘Allah akan membalasnya, dengan balasan terbaik’.
Allahu a’lam.

Kamis, 19 Mei 2011

Apakah Mengikuti Imam Syafi’i Termasuk Taklid?

 ini adalah taklid juz’i (parsial), bukan taklid tam (total). Ia adalah taklid juz’i dalam sebagian masalah yang (untuk masalah tersebut, ed.) seorang mufti (pemberi fatwa) mencurahkan seluruh usahanya (untuk membahasnya) namun tidak mampu mendapatkan hukum tentangnya.Seorang alim (orang yang berilmu, ed.), jika dia telah mencurahkan usahanya untuk mendapatkan suatu hukum dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun masalah tersebut tetap tidak jelas baginya, lalu dia mendapatkan fatwa dari orang yang dipercaya keilmuan dan ketakwaannya, maka tidak mengapa jika dia mengambil fatwa tersebut. Yang seperti ini telah diriwayatkan dari Imam Syafi’i dan telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam I’lam Al-Muwaqqi’in. Sekali lagi, ini adalah taklid juz’i saat darurat.
Sumber:.  www.KonsultasiSyariah.com.Disertai penyutingan bahasa oleh On The Sunnah

Rabu, 18 Mei 2011

ILHAM RUANG RAKSASA DALAM ATOM



Udara, air, gunung, binatang, tumbuhan, tubuh anda, kursi yang anda duduki, singkatnya segala yang anda saksikan, sentuh dan rasakan, dari yang paling berat hingga yang paling ringan tersusun atas atom-atom. Setiap halaman yang anda baca tersusun atas miyaran atom. Atom adalah partikel yang sangat kecil sehingga tidak dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop yang paling hebat sekalipun. Diameter atom hanyalah berkisar seper satu juta milimeter.
 
Tidaklah mungkin bagi seseorang untuk melihat benda sekecil ini. Di bawah ini dipaparkan sebuah contoh untuk memahami dimensi atom:
 
Anggaplah bahwa anda memegang sebuah kunci di tangan. Sudah pasti, mustahil bagi anda untuk melihat atom-atom pada kunci tersebut. Jika anda bersikeras untuk melihat atom penyusun kunci tersebut, maka anda harus memperbesar kunci menjadi seukuran bumi. Jika anda telah berhasil melakukan pembesaran ini, maka atom-atom yang menyusun kunci tersebut akan terlihat berukuran sebesar buah cherry.
 
Di bawah ini satu lagi contoh agar kita dapat lebih memahami betapa kecilnya atom, dan bagaimana atom memenuhi segala tempat dan ruang yang ada.
 
Anggaplah kita ingin menghitung semua atom yang ada dalam sebutir garam dan anggaplah kita mampu menghitung satu milyar atom per detik. Kendatipun kita sangat terampil dalam berhitung, kita akan memerlukan lebih dari lima ratus tahun untuk menghitung jumlah keseluruhan atom yang menyusun sebutir garam yang sangat kecil ini. Subhanallaah…ini baru sebutir garam, bagaimana dengan jumlah atom yang menyusun alam semesta dan seisinya?
 
Kendatipun ukurannya yang teramat mungil, terdapat sebuah susunan yang sempurna, tanpa cacat, unik dan kompleks dalam atom tersebut yang kecanggihannya dapat disejajarkan dengan sistem yang kita lihat ada pada jagat raya.
 
Setiap atom tersusun atas sebuah inti dan sejumlah elektron yang bergerak mengikuti kulit orbital pada jarak yang sangat jauh dari inti. Di dalam inti terdapat partikel lain yang disebut proton dan netron.
 
Kekuatan Tersembunyi pada Inti
 
Inti atom terletak di bagian paling tengah dari atom dan terdiri dari proton dan netron dengan jumlah sesuai dengan sifat-sifat atom tersebut. Jari-jari inti atom berukuran sekitar seper sepuluh ribu jari-jari atom. Untuk menuliskannya dalam angka, jari-jari atom adalah 10-8 (0,00000001) cm, jari-jari inti adalah 10-12 (0,000000000001) cm. Jadi, volume inti atom adalah setara dengan seper sepuluh milyar volume atom.
 
Dikarenakan kita tidak dapat membayangkan benda sekecil ini, marilah kita ambil permisalan buah cherry di atas. Atom-atom akan terlihat sebesar buah cherry ketika kunci yang anda pegang diperbesar hingga mencapai ukuran bumi. Akan tetapi perbesaran ini masih sama sekali belum memungkinkan kita untuk melihat inti atom yang terlalu kecil untuk dilihat. Jika kita benar-benar ingin melihatnya maka kita harus meningkatkan perbesaran sekali lagi. Buah cherry yang mewakili ukuran atom harus diperbesar hingga menjadi sebuah bola raksasa dengan diameter dua ratus meter. Bahkan dengan perbesaran ini, inti atom tersebut berukuran tidak lebih dari sebutir debu yang teramat kecil.
 
Ketika kita bandingkan diameter inti atom yang berukuran 10-13 cm dan diameter atom itu sendiri, yakni 10-8 cm, maka yang kita dapatkan adalah sebagaimana berikut: jika kita asumsikan atom tersebut berbentuk bola, maka untuk mengisi bola tersebut hingga penuh, kita akan membutuhkan 1015 (1,000,000,000,000,000) inti atom!
 
Ada lagi yang lebih mengherankan: kendatipun ukuran inti hanya seper sepuluh milyar ukuran atomnya, inti tersebut memiliki berat 99,95% dari keseluruhan berat atom. Dengan kata lain, hampir seluruh berat atom terpusatkan pada inti. Misalkan anda memiliki rumah dengan luas 10 milyar m2 dan anda harus meletakkan semua perabotan rumah tangga dalam kamar seluas 1 m2 di dalam rumah tersebut. Mampukah anda melakukan hal ini? Sudah pasti anda tidak mampu melakukannya. Akan tetapi inilah yang terjadi pada inti atom akibat sebuah gaya yang sangat kuat yang tidak ada duanya di alam ini. Gaya ini disebut “strong nuclear force (gaya inti kuat)”, satu di antara empat gaya fundamental yang ada di alam semesta yakni: 1. strong nuclear force (gaya inti kuat), 2. weak nuclear force (gaya inti lemah), 3. gravitational force (gaya grafitasi), dan 4. electromagnetic force (gaya elektromagnetik).
 
Gaya inti kuat, yang merupakan gaya paling kuat yang ada di alam, mengikat inti atom sehingga stabil dan mencegahnya dari pecah berkeping-keping. Semua proton-proton pembentuk inti bermuatan positif dan, oleh karenanya, mereka saling tolak-menolak akibat gaya electromagnetik mereka yang sejenis. Akan tetapi, gaya inti kuat yang memiliki kekuatan 100 kali lebih besar dari gaya tolak-menolak proton ini menjadikan gaya electromagnetik tidak efektif. Hal inilah yang mampu menjadikan proton-proton pada inti terikat dan bergabung pada inti atom.
 
Singkat kata, terdapat dua gaya yang saling berinteraksi dalam sebuah atom yang amat kecil. Inti atom tersebut dapat terus-menerus berada dalam keadaan terikat dan stabil disebabkan karena gaya-gaya yang memiliki nilai yang akurat ini.
 
Ketika kita memperhatikan ukuran atom yang sangat kecil dan kemudian jumlah keseluruhan atom di jagat raya, sungguh tidak sepatutnya kita tidak mampu memahami adanya keseimbangan dan rancangan yang luar biasa pada alam ciptaan Allah ini. Sungguh jelas bahwa gaya-gaya fundamental di alam telah diciptakan Allah secara khusus dengan ilmu, hikmah dan kekuasaan yang maha besar.
 
Pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu. Maka apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran. (QS. Al-An’aam, 6:80)
 
Ruang Kosong pada Atom
 
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bagian terbesar dari sebuah atom terdiri dari ruang kosong. Mungkin kita bertanya-tanya dalam hati: “Mengapa mesti ada ruang kosong ini?” Marilah kita merenung sejenak. Secara sederhana, atom terdiri atas sebuah inti yang dikelilingi oleh elektron-elektron. Antara inti dan orbit elektron ini tidak dijumpai partikel atau benda kecil apapun. Jarak mikroskopis (yang padanya tidak dijumpai partikel apapun) ini ternyata sangat besar jika dilihat dari skala atom. Kita dapat memisalkan skala ini sebagaimana berikut: jika sebutir kelereng berdiameter 1 cm mewakili elektron yang terdekat dengan inti atom, maka inti atom tersebut berada pada jarak 1 km dari kelereng ini. Di bawah ini sebuah kutipan yang memberikan gambaran yang lebih jelas kepada kita tentang dimensi ruang kosong pada atom:
Terdapat ruang kosong besar [yang mengisi ruang] antara partikel-partikel dasar [penyusun atom]. Jika saya umpamakan proton dari inti atom oksigen sebagai kepala jarum yang tergeletak di atas meja di depan saya, maka elektron yang berputar mengelilinginya akan membuat orbit lingkaran yang melalui negeri Belanda, Jerman dan Spanyol (penulis kutipan ini hidup di Perancis). Oleh karenanya, jika semua atom yang menyusun tubuh saya saling mendekatkan diri satu sama lain, hingga semua atom ini saling bersentuhan, maka anda tidak akan mampu melihat saya lagi. Anda benar-benar tidak akan pernah dapat melihat saya dengan mata telanjang. [Tubuh] saya akan [menjadi] sekecil partikel debu berukuran seper sekian ribu milimeter. (Jean Guitton, Dieu et La Science: Vers Le Métaréalisme, Paris: Grasset, 1991, hal. 62)
Sampai di sini, kita telah memahami bahwa terdapat kemiripan antara ruang kosong pada sistem paling kecil seperti atom dengan ruang kosong pada sistem paling besar seperti alam semesta. Ketika kita arahkan penglihatan kita pada bintang-bintang, akan kita lihat ruang hampa sebagaimana ada pada atom. Terdapat ruang hampa berjarak milyaran kilometer di antara berbagai bintang dan di antara galaksi-galaksi. Namun, di kedua macam ruang hampa ini, terdapat sebuah keteraturan yang luar biasa yang sulit dipahami akal manusia.
 
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah. (QS. Al-Mulk, 67:3-4)
 

Selasa, 17 Mei 2011

Bolehkah Fanatik terhadap Mazhab Tertentu?




Orang yang memiliki kemampuan untuk berijtihad mutlak tidak boleh bertaklid. Adapun orang yang tidak memiliki kemampuan itu, (maka) boleh baginya bertaklid kepada orang yang lebih ‘alim (mengetahui) daripadanya. Terkait permasalahan bermazhab dengan salah satu dari mazhab empat yang terkenal dan tersebar di tengah-tengah kaum muslimin, dan menisbatkan diri kepada mazhab tersebut, (maka) tidak ada larangan untuk itu. Misalnya, dikatakan “Fulan Hanbali”, “Fulan Hanafi”, “Fulan Maliki”. Gelar seperti ini senantiasa ada semenjak dulu di kalangan ulama, bahkan hingga ulama-ulama besar. Misalnya, dikatakan “Ibnu Taimiyyah Al-Hanbali”, “Ibnul Qayyim Al-Hanbali”, dan seperti itu. Tidak ada larangan dalam hal ini.
Semata-mata ber-intima’ (menisbatkan diri) kepada mazhab tersebut tidaklah terlarang, namun dengan syarat, dia tidak boleh mengikat dirinya dengan mazhab tersebut, sehingga dia mengambil seluruh pendapat yang ada di dalamnya, baik yang benar maupun yang salah. Yang seharusnya ialah dia hanya mengambil yang benar saja. Adapun yang diketahuinya salah maka tidak boleh dia amalkan.
Jika tampak baginya pendapat yang lebih rajih, maka wajib baginya mengambil pendapat yang rajih itu, baik jika pendapat itu berada dalam mazhabnya maupun di mazhab yang lain. Karena yang telah jelas baginya adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia tidak boleh meninggalkannya hanya karena perkataan seseorang.
Teladan kita adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan demikian, kita mengambil pendapat yang ada dalam sebuah mazhab selama pendapat itu tidak bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika ternyata pendapat itu bertentangan dengan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam maka wajib bagi kita untuk meninggalkan pendapat tersebut dan lebih memilih sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita mengambil pendapat yang rajih dan sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari mazhab mujtahidin mana pun datangnya.
Adapun orang yang mengambil pendapat imam secara mutlak, baik benar maupun salah, maka dia dianggap melakukan taklid buta. Kemudian, jika dia berpendapat bahwa wajib taklid kepada orang tertentu selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ini murtad (keluar dari Islam).
Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Barang siapa yang berkata, ‘Wajib taklid kepada orang tertentu selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,’ maka dia harus diminta untuk bertobat. Jika dia tidak mau maka dia dihukum mati, karena tidak ada seorang pun yang wajib diikuti kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun selain beliau, (yaitu) dari kalangan imam mujtahidin, maka kita ambil pendapat mereka yang sesuai dengan sunnah Rasulullah. Adapun jika seseorang mujtahid keliru dalam ijtihadnya maka haram bagi kita mengambil pendapatnya yang keliru itu.”
  www.KonsultasiSyariah.com.

Senin, 16 Mei 2011

Jaminan Masuk Surga yang Mengikuti Paham Ahlus Sunnah wal Jamaa


Seseorang, yang mengikuti paham salafush shalih dengan benar dan sempurna, dijanjikan oleh Allah untuk masuk surga, berdasarkan firman Allah ta’ala,
وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam), di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya, selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (Q.S. At-Taubah:100)
Dalam ayat yang mulia ini, Allah menjanjikan surga bagi para sahabat dan orang yang mengikuti mereka dengan benar dan baik. Tentunya, hal ini menunjukkan bahwa mereka selamat dari neraka. Allah tidak pernah menyelisihi janji-Nya.
Perlu ditegaskan kembali tentang pengertian pemahaman salafush shalih. Maksudnya adalah pemahaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Kata “salaf” dalam istilah para ulama dipakai untuk ‘para sahabat dan dua generasi setelahnya yang mengikuti pemahaman sahabat dengan benar dan baik’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِ يْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنهُمْ ثُمَّ يَجِيْءُ أَقْوَامٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِيْنَهُ وَيَمِيْنُهُ شَهَادَتَهُ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya lagi. Kemudian, sebuah kaum datang; syahadat salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului syahadatnya.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)
Mengikuti pemahaman mereka ini menjadi kunci keselamatan dan terhindar dari neraka, sebagaimana dinyatakan langsung oleh Rasulullah dalam sabdanya,
وَإِنَّ بَنِي أسْرَائِيلَ تَفَرَّقَ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةَّ وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ الله قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
Sesungguhnya, Bani Israil berpecah-belah menjadi 72 golongan, dan umatku akan pecah menjadi 73 golongan, seluruhnya masuk neraka kecuali satu.” Mereka bertanya, “Siapa ia, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “(Orang yang mengikuti) jalan yang ditempuh olehku dan sahabatku (ajaranku dan sahabatku).”
Hal ini pun ditegaskan dalam hadis Irbadh bin Sariyah; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوْصيْكُمْ بتقْوَى اللهِ والسَمْع والطَاعَةِ وَإنْ عَبْدًا حَبَشيًا فَإنهَّ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِشُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَة
Aku wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, patuh dan taat walaupun yang memimpin adalah budak Habsyi, karena barang siapa di antara kalian yang masih hidup maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, berpegang teguhlah kepada Sunnahku dan Sunnah para Khalifah Ar-Rasyidin yang memberi petunjuk. Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Waspadalah pula terhadap perkara-perkara yang baru (yang diada-adakan), karena hal-hal yang baru itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”
 Sumber:   www.KonsultasiSyariah.com.

Sabtu, 14 Mei 2011

Cara Menghafal Asmaul Husna



1. Hafalkan beserta artinya. Semoga bisa membantu.
2. Banyak berdoa kepada Allah agar dimudahkan dalam menghafal hal-hal yang baik.
3. Bisa juga dibantu dengan membeli buku Misteri Asmaul Husna, penulis: Syekh Said bin Wahf Al-Qahthani.
4. Hindari buku-buku yang membahas tentang keutamaan dan manfaat asmaul husna, karena biasanya berisi tentang ajaran perdukunan dan ilmu hitam. Hindari pula buku-buku yang mengupas fadhilah asmaul husna, karena umumnya berdasarkan hadis palsu.
Kami menasihatkan agar Anda juga memprioritaskan hafalan Alquran dan hadis. Untuk menghafal Alquran, Anda bisa mulai dari Juz ‘Amma. Sementara, untuk hadis, Anda bisa mulai dari buku Arba’in An-Nawawi (42 Hadis Penting).
Allahu a’lam.

Jumat, 13 Mei 2011

Apakah Indonesia Masih Fase Mekkah Sehingga Amalan Tertolak?

fase-mekkah-fase-madinah
Tidak ada dalil yang menyatakan bahwa salah satu syarat diterima amal adalah hidup di negara yang berdasarkan Alquran.
Adapun firman Allah yang Saudara tanyakan,
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلآئِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُواْ فِيمَ كُنتُمْ قَالُواْ كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأَرْضِ قَالْوَاْ أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُواْ فِيهَا فَأُوْلَـئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءتْ مَصِيرًا
Sesungguhnya, orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Mekkah).’ Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’ Orang-orang itu bertempat di neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Q.S. An-Nisa:97)
Ayat ini menunjukkan kewajiban berhijrah dari darul kufr (negara kekufuran). Berhijrah dari darul kufr menuju darul Islam (negara Islam). Barang siapa tinggal di negara kafir, dan dia tidak mampu menampakkan keislamannya, sedangkan dia mampu berhijrah, maka dia telah melakukan dosa besar; diancam dengan siksa neraka.
Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata, di dalam tafsir beliau tentang ayat ini, “Di dalam ayat ini terdapat dalil bahwa hijrah termasuk kewajiban-kewajiban yang terbesar. Meninggalkannya termasuk perkara-perkara yang diharamkan. Bahkan, termasuk dosa-dosa besar.”
Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa dia menjadi orang kafir atau amal salehnya tidak diterima. Bahkan, jika amalannya memenuhi tiga syarat yang telah kami sebutkan di atas, insya Allah akan diterima oleh Allah ta’ala.
Ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam masih di Mekkah, sebelum berhijrah, kota Mekkah bukan negara yang berdasarkan Alquran. Ketika para sahabat berhijrah dari Mekkah menuju Habasyah, Habasyah waktu itu adalah negara Kristen, tidak berdasarkan Alquran. Ketika Nabi Musa ‘alaihis salam berdakwah dan tinggal di Mesir, waktu itu Mesir dikuasai oleh Fir’aun, dan negaranya tidak berdasarkan syariat Allah. Aisyah binti Muzahim, istri Fir’aun, adalah seorang wanita beriman dan wanita mulia, tetapi dia hidup di istana Fir’aun, tagut pada zaman itu.
Pendapat yang menyatakan bahwa salah satu syarat diterima amal adalah seseorang itu tinggal di negara yang berdasarkan Alquran merupakan pendapat yang sangat jauh dari Alquran dan jauh dari pemahaman yang benar.
Sumber:  www.KonsultasiSyariah.com.

Memelihara Kesehatan Mata





Pemeriksaan kesehatan mata rutin minimal dua tahun sekali dapat membantu mencegah hilangnya penglihatan dan mendeteksi penyakit sistemik seperti diabetes. Sayang, banyak yang mengabaikannya.
Mata adalah jendela hati. Rasa sedih atau bahagia bisa berawal dari pandangan mata. Kita mengenal konsep indah, serasi, warna dan bentuk juga tak lepas dari peran indra penglihatan.
Sayangnya, kebanyakan orang tidak mengindahkan anjuran memeriksakan kesehatan mata secara rutin minimal enam bulan sekali.

Jangankan melakukan pemeriksaan mata sebagai langkah pencegahan, mereka yang sudah memiliki gangguan penglihatan pun acapkali malas untuk berkunjung ke dokter.
Hal ini juga terjadi di Amerika, seperti yang dilaporkan dalam sebuah survei terbaru di negara adidaya tersebut. Berdasarkan survei yang dilakukan American Optometric Association, orang yang memakai kacamata ataupun lensa kontak terbilang cukup banyak, yakni 81 persen dari keseluruhan populasi. Ironisnya, 1 dari 5 orang mengaku sudah lebih dari dua tahun tidak berkunjung ke dokter mata. Kondisi ini dapat memburuk, terutama pada mereka yang tidak menggunakan lensa pengoreksi (corrective lens), semisal pada masalah mata minus atau plus.
Pada kelompok ini, 3 dari 5 orang mengaku belum melakukan uji penglihatan selama lebih dari dua tahun. Para dokter meyakini hal tersebut disebabkan mayoritas gangguan penglihatan tampak tidak jelas dan karena orang umumnya tidak menjadwalkan kunjungan ke dokter mata sebagai sesuatu yang rutin. "Ya, mungkin kita sibuk. Sebagian besar dari kita mungkin memiliki penglihatan yang bagus sehingga kita merasa baik-baik saja, tidak ada masalah apa pun. Kenyamanan inilah yang kerap membuat kita terlalu berpuas diri," ungkap ahli mata dari the University of California di San Francisco, Amerika, Dr Andrew Iwach, yang juga bertindak selaku juru bicara American Academy of Ophthalmology.
Survei yang dilakukan American Academy of Ophthalmology kian menguatkan asumsi tersebut. Hanya 28 persen orang yang disurvei yang merasa bahwa dirinya memiliki risiko terkena penyakit mata tertentu, dan hanya 23 persen yang menaruh perhatian akan kekhawatiran kehilangan penglihatan. Ahli optometri dari Brainerd Minn, Dr Kerry Beebe, mengungkapkan, deteksi dini gangguan mata amatlah penting.
Pasalnya, manakala seseorang menyadari dirinya telah kehilangan penglihatannya, biasanya sudah terlambat untuk mengejar kesempatan mendapatkan pengobatan. Selama ini kebanyakan orang beralasan bahwa penglihatannya tidak bermasalah, mata tidak sakit dan terlihat baik-baik saja. "Mereka tidak menyadari bahwa banyak sekali penyakit mata yang tidak memunculkan gejala pada stadium awalnya," tandas Beebe yang juga seorang juru bicara di American Optometric Association. Sebagai contoh adalah kasus hilangnya penglihatan pada penderita glaukoma, suatu penyakit yang merusak saraf optik (saraf mata) dan mengakibatkan penyempitan lapang pandang. Umumnya penderita baru menyadari adanya blindspot (titik buta) saat kerusakan serabut saraf optik sudah parah. Bila seluruh serabut saraf rusak, kebutaan total tak terhindarkan.
"Bersamaan Anda menyadari bahwa ada sesuatu yang janggal, sesungguhnya telah terjadi penurunan fungsi penglihatan yang nyata yang dapat mengarah pada hilangnya penglihatan," kata Iwach. "Namun jika kita sigap menanganinya lebih awal, banyak hal yang masih bisa diselamatkan," imbuhnya seraya mengungkapkan bahwa pemeriksaan oleh dokter mata dapat membantu mendeteksi kemungkinan terjadinya gangguan mata tersebut. "Mata adalah organ yang unik, di mana kami dapat melihat pembuluh darah, nadi dan saraf secara jelas, bahkan hingga ke bagian belakang mata dan saraf optik. Melalui pemeriksaan mata, kita juga dapat mengetahui kemungkinan adanya penyakit sistemik," tutur Iwach.
Ia mencontohkan, sejumlah gangguan mata dapat merupakan penanda awal dari diabetes. Dalam dunia kedokteran dikenal istilah retinopati diabetika, di mana pembuluh darah retina yang rusak akibat diabetes bisa mengalami kebocoran yang menyebabkan pembengkakan retina. Pada keadaan lebih lanjut bisa terjadi perdarahan dan pertumbuhan jaringan ikat di dalam bola mata. Jika dibiarkan atau tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan gangguan penglihatan, bahkan kebutaan. Sebagai langkah pencegahan, The American Optometric Association merekomendasikan orang dewasa untuk mengecek kondisi kesehatan mata setidaknya setiap dua tahun sekali. Ini penting dilakukan sekalipun tidak ada keluhan penglihatan apa pun.
Sementara bayi dan anak-anak harus dicek kesehatan matanya pada usia 6 bulan, 3 tahun, sebelum masuk SD, dan selanjutnya setiap dua tahun sekali. Survei yang dilakukan The American Optometric Association mengungkap bahwa 8 dari 10 anak tidak pernah mendapatkan pemeriksaan mata hingga menginjak usia setahun. "Orang tua mungkin melihatnya baik-baik saja, anaknya tidak mengeluh apa pun, jadi tidak masalah. Padahal, perlu diingat bahwa anak usia setahun belum memiliki acuan atau perbandingan objek apa saja yang seharusnya dapat mereka lihat. Jadi, kalaupun ada sesuatu yang salah, mereka tidak akan mengatakannya karena tidak tahu," papar Beebe.
Bagi Anda yang mulai menginjak usia 40, panduan terbaru dari the American Academy of Ophthalmology juga menyarankan kunjungan ke dokter spesialis mata (ahli opthalmology) setidaknya sekali. Menurut Iwach, hasil konsultasi dan tes mata ini dapat mengungkapkan kemungkinan adanya faktor risiko gangguan penglihatan, terutama yang rentan dialami pada usia senja seperti halnya katarak. (muslimdaily.net/dkr/dccr)

Kamis, 12 Mei 2011

Metafisika Adalah....

Apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar "metafisika" ? Sangat mungkin yang muncul dari benak Anda adalah hal-hal berbau mistik, klenik, misteri, hantu-hantu, ramalan, pengobatan alternatif.

Seseungguhnya metafisika adalah ilmu pengetahuan. Metafisika (Bahasa Yunani: μετά (meta) = "setelah atau di balik", φύσικα (phúsika) = "hal-hal di alam") adalah cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada?

Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, kausalitas/hubungan sebab akibat, dan probabilitas/kemungkinan.

Penggunaan istilah "metafisika" telah berkembang untuk merujuk pada "hal-hal yang di luar dunia fisik". "oko buku metafisika, sebagai contoh, bukanlah menjual buku mengenai ontologi, ataupun buku filsafat, melainkan lebih kepada buku-buku mengenai ilmu gaib, ramalan, pengobatan alternatif, dan hal-hal sejenisnya.

Beberapa Tafsiran Metafisika Dalam menafsirkan hal ini, manusia mempunyai beberapa pendapat mengenai tafsiran metafisika. 

Tafsiran yang pertama yang dikemukakan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat hal-hal gaib (supernatural) dan hal-hal tersebut bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Pemikiran seperti ini disebut pemikiran supernaturalisme. atau yang biasa dikenal sebagai animisme. 

Selain paham di atas, ada juga paham yang disebut paham naturalisme. paham ini amat bertentangan dengan paham supernaturalisme. Paham naturalisme menganggap bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan karena kekuatan yang terdapat dalam itu sendiri,yang dapat dipelajari dan dapat diketahui. Orang-orang yang menganut paham naturalisme ini beranggapan seperti itu karena standar kebenaran yang mereka gunakan hanyalah logika akal semata, sehingga mereka mereka menolak keberadaan hal-hal yang bersifat gaib itu. Dari paham naturalisme ini juga muncul paham materialisme yang menganggap bahwa alam semesta dan manusia berasal dari materi. Salah satu pencetusnya ialah Democritus (460-370 S.M).

Adapun bagi mereka yang mencoba mempelajari mengenai makhluk hidup. Timbul dua tafsiran yang masing saling bertentangan yakni paham mekanistik dan paham vitalistik.
Kaum mekanistik melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia-fisika semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substansif dengan hanya sekedar gejala kimia-fisika semata.

Berbeda halnya dengan telaah mengenai akal dan pikiran, dalam hal ini ada dua tafsiran yang juga saling berbeda satu sama lain. Yakni paham monoistik dan dualistik. sudah merupakan aksioma bahwa proses berpikir manusia menghasilkan pengetahuan tentang zat (objek) yang ditelaahnya.
Monoistik tidak membedakan antara pikiran dan zat.keduanya (pikiran dan zat) hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai subtansi yang sama. Pendapat ini ditolak oleh kaum yang menganut paham dualistik. Dalam metafisika, penafsiran dualistik membedakan antara zat dan kesadaran (pikiran) yang bagi mereka berbeda secara substansif. Aliran ini berpendapat bahwa yang ditangkap oleh pikiran adalah bersifat mental. Maka yang bersifat nyata adalah pikiran, sebab dengan berpikirlah maka sesuatu itu lantas ada (cogito ergo sum)

Surat Rasulullah Kepada Najasy Raja Habsy

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang,
Dari Muhammad Rasulillah,
Kepada Najasy Raja Habasyah,
Masuklah ke dalam Islam. Saya memuji-Mu,Ya Allah, tiada Tuhan melainkan Dia, Sang Maha Raja, Maha Suci, Maha Sejahtera, Maha Memberi Keamanan dan Maha Memelihara.
Saya bersaksi bahwa Isa bin Maryam adalah Ruh dan Kalimat Allah yang ditiupkan kepada Maryam yang suci dan terpelihara dari perbuatan nista sehingga ia mengandung Isa.
Allah menciptakan Isa dari Ruh dan Tiupan-Nya sebagaimana Allah menciptakan Adam dari Tangan dan Tiupan-Nya.
Saya menyeru Anda untuk beribadah kepada Allah semata. Tiada sekutu bagi-Nya, selalu loyal ada ketaatan kepada-Nya, mengikuti dan membenarkan wahyu yang datang kepadaku, karena sesungguhnya saya adalah utusan Allah.
Saya telah mengutus saudara sepupu saya yang bernama Ja’far bersama beberapa orang kepada Anda. Jika mereka telah sampai maka berilah tempat dan janganlah berlaku sewenang-wenang.
Saya menyeru Anda dan semua pengikut Anda untuk mengikuti ajaran Allah. Sungguh saya telah memberikan nasihat. Oleh karena itu, terimalah nasihatku.
Akhirnya, kesejahteraan bagi orang yang mengikuti kebenaran.


Sumber: Nahwa Wa’yin Harakiyyin Islami Abjadiyatut Tashawur al Haraki lil ‘Amalil Islam.