Blogroll

Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa mengajarkan suatu ilmu, maka dia mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya, tidak mengurangi dari pahala orang yang mengamalkannya sedikitpun".
"Barangsiapa dikehendaki baginya kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberikan PEMAHAMAN AGAMA kepadanya.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)

Pages

Selasa, 22 Januari 2013

TAHUKAH ANDA USHUL FIQH?



Prof. Muhammad abu zahrah

PENDAHULUAN

Difinisi ilmu ushul fiqh
Ada istilah-istilah yang perlu diketahui:
1.       Ushul
Jama' dari ashl secara bahasa yaitu dasar [fundamen] yang diatasnya dibangun sesuatu. Istilah adalah dasar yang di jadikan pijakan oleh ilmu fiqh.
2.       Fiqh
Bahasa adalah pemahaman yang mendalam tentang tujuan suatu ucapan dan perbuatan. Istilah yaitu pengetahuan tentang hokum-hukum syara' mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil yang terinci [mendetail].
Pembahasan ilmu fiqh ada dua macam:
a)       Pengetahuan tentang hukum-hukum syara' mengenai perbuatan manusia yang praktis. Seperti keimanan kepada Allahk, Rasul dan lain-lain. Semuanya ini tidak termasuk dalam pengertian fiqh secara istilah.
b)       Pengetahuan dalil-dalil yang terinci [mendetail] pada setiap permasalahan.

Sebagai kesimpulan bahwa pemahaman ilmu fiqh adalah hokum yang terinci pada setipa perbuatan manusia, baik halal, haram, makruh atau wajib beserta beserata dalilnya masing-masing.
3.       Ushul fiqh
Ilmu ushul figh secara bahasa adalah terdiri dari mudhaf [ushul] dan mudhaf alaih [fiqh]. Istilah yaitu kaidah-kaidah yang yang menjelaskan tentang cara [methode] pengambilan hokum-hukum yan berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar'i.

Kesimpulan perbedaan antara fiqh dan ushul fiqh
Bahwa ushul fiqh merupakan methode [cara] yang harus ditempuh oleh ahli fiqh [faqih] didalam menetapkan hukum syara' berdasarkan dalil-dalil syar'i, serta mengklasifikasikan dalil-dalil tersebut berdasarkan kualitasnya. Sedangkan fiqh adalah hasil hokum-hukum syar'I berdasarkan methode-methode tersebut.

Hubungan ushul fiqh dengan fiqh
Hubungan ushul fiqh dengan fiqh adalah seperti hubungan ilmu mantiq [logika] dengan filsafat atau hubungan ilmu nahwu dengan bahasa arab, dimana ilmu nahwu merupakan gramatika yang menghindarkan kesalahan seseorang dalam menulis dan mengucapkan bahasa Arab.
Dengan demikian ushul fiqh adalah merupakan kaidah yang memelihara fuqaha' agar tidak terjadi kesalahan didalam mengistinbatkan [menggali] hukum. Fungsi yang lain ushul fiqh adalah membedakan antara istinbath yang benar dengan yang salah.

Obyek pembahasan ushul fiqh dan fiqh
1.       Fiqh, yaitu hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia beserta dalil-dalilnya yang terinci.
2.       Ushul fiqh, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan methodologi yang digunakan oleh ahli fiqh didalam menggali hokum syara' sehingga ia tidak keluar dari jalur yang benar.

Perbedaan antara qawa'id fiqhiyyah dengan ushul fiqh
  1. Ushul fiqh
    Adalah kaidah-kaidah yang yang menjelaskan tentang cara [methode] pengambilan hokum-hukum yan berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar'i.
  1. Qawa'id fiqhiyyah
    Adalah kaidah ataiu teori yang diambil dari atau menghimpun masalah-masalah fiqh yang bermacam-macam sebagai hasil ijtihad para mujtahid.

Imam syafi'i penyusun ilmu ushul fiqh
Ilmu ushul fiqh memang telah ada sejak zaman sahabat, tabiin tetapi, belum dibukukan. Imam syafi'I adalah orang yang paling berhak disebut sebagai orang yang pertama kali membukukan ilmu ushul fiqh. Karena belum ada orang yang menulis ushul fiqh sebelum beliau, walaupun banyak diantara para ulama' yang telah menyampaikannya kepada para muridnya tetapi belum terbukukan.
Pengakuan syi'ah imamiyah bahwa yang pertama kali membukukan ilmu ushul fiqh adalah muhammad al-Baqir bin Ali ibnu Zainal Abidin dan diikuti putranya yang bernama Imam Abu Abdillah Ja'far asy-shadik. Pengakuan ini dibantah karena mereka cuma menyampaikannya kepada para muridnya dan belum membukukannya.



Ilmu ushul fiqh sesudah Iman syafi'i
Imam syafi'I telah mengarang beberapa kitab, yaitu ar-Risalah Jima'ul ulum dan Ibthalul istihsan. Imam Syafi'I v memproklamirkan madzhabnya di Irak dan Mesir beliau telah menyusun kaidah-kaidah ushul fiqh ini dan telah mempraktekkannya.
Meskipun semua ahli fiqh telah mempelajari dan meneliti ushul fiqh yang telah disusun oleh imam Syafi'I, tetapi setelah periode imam syafi'I, mereka berbeda pangan sebagai berikut:
1.       Diantara mereaka ada yang memberi penjelasan [syarah] terhadap ushul fiqh imam syafi'I dengan merinci kaidah-kaidah yang masih global
2.       Sebagian yang lain ada yang mengambil sebagian besar kaidah-kaidah ushuk fiqh yang telah ditetapkan imam syafi'I dan tidak menyetujui bagian yang lain, sambil menambah kaidah-kaidah yang lain
Methode ushul fiqh imam syafi'I paling dekat dengan ushul fiqhnya madzhab hanafi, sedang methode ushul fiqh madzhab hanbali paling dekat dengan methodenya madzhab maliki.
Setelah madzhab madzhab fiqh menajdi baku, kajian para fuqaha' terhadap ushul fiqh menjadi dua aliran:
  1. Aliran teorotis, yang terlepas dari permasalahan yang terdapat dalam berbagai madzab. Alairan ini hanya menetapkan kaidah-kaidah tanpa bertujuan untu menguatkan atau membatalkan pratek-pratek berbagai madzhab.
  2. Aliran pratis, yang bertujuan untuk memberian legimitasi terhadap hasil-hasil ijtihad terhadap masalah-msalah furu'. Artinya setiap ulama' madzhab berijtihad untuk memberikan legimitasai terhadap masalah-masalah fiqh yang telah ditetapkanoleh ulama' madzhab yang mendahuluinya, dengan menyebutkan kaidah-aidah yang menguatkan madzhabnya.

Obyek pembahasan ilmu fiqh ada empat bagian:
  1. Hukum syara'
  2. al-Hakim (yang menetapkan hokum), yaitu Allahk
  3. Mahkum fih (obyek hokum atau yang dihukumi), yaitu perbuatan orang mukallaf
  4. Mahkum 'alaih (subyek hokum atau yang menaggung hokum), yaitu para muallaf [orang yang dibebani hukum].

HUKUM SYARA'
Hukum syara' terbagi menjadi dua macam:
  1. Taklifi
Yaitu hukum yang menjelaskan tentang perintah, larangan dan pilihan untuk menerjakan sesuatu atau meninggalkannya. Menurut jumhur terbagi lagi menjadi lima, yaitu wajib, haram, makruh, mandub dan mubah.
Menurut madzhab hanafi terbagi menjadi 7, yaitu fardhu, wajib, mandub, makruh tahrim, makruh tanzih, haram dan mubah.
  1. Wadh'i
Yaitu hukum yang menjelaskan hubungan antara dua hal, dimana yang satu merupakan sebab, syarat tau mani' bagi yang lain.

Wajib
Nama lain wajib, yaitu fardhu, mahtun dan lazim. Perbedaan antara frdhu dan wajib menrut madzhab hanafi, yaitu
1.       Fardhu adalah perintah berdasaran dalil qath'I [pasti] yang tidak ada kebimbangan lagi. Orang yang meninggalkan perbutan fardhu, maka batal amal ibadahnya. Seperti orang yang berhaji tidak melakukan wukuf di arafah maka, batal ibadah hajinya. Ornag yang ingkar terhadap ibadah fardhu ia kafir, seperti orang yang ingkat terhadap kewajiban shalat dan zakat.
2.       Wajib berdasarkan dalil dhanni yang masih mengandung keraguan. Orang yang meninggalkan wajib, ibadahnya ibadahnya masih shah. Seperti orang berhaji yang meninggalkan sa'I, maka ibadah hainya tetap shah, karena kewajiban sa'I bukan berdsarkan dalil qath'i. ornag yang ingkar terhadapa ibadah wajib ia tidak kufur.
Sebagian ulama' madzhab hanafi ada yang menyebut perbuatan wajib yang pasti itu sebagai fardhu amali. Dengan demikian fardhu terbagi menjadi dua, yaitu:
  1. fardhu dalam eyakinan dan perbuatan [amal], yaitu fardhu yang berdasarkan dalil qath'i.
  2. fardhu amali [dalam perbuatan saja], yaitu fardhu berdasarkan dalil dhanni. Dalil-dalil dhanni wajib diamalkan tetapi tidak wajib diyakini.

Pembagian wajib
  1. Dari segi masa pelaksanaannya, yaitu:
§  Mutlaq (bebas), yaitu yang masa pelaksanaannya tidak dibatasi oleh waktu tertentu. Seperti membayar kafarat sumpah yang tidak dibatasi oleh waktu tertentu atau mengqaha' puasa ramadhan menurut madzhab hanafi tidak dibatasi waktunya, sedang madzhab syaf'I membatsinya satu tahun.
§  Pelaksanaannya dibatasi oleh waktu, terbagi menjadi dua, yaitu:
a)       Muwassa', yaitu ibadah wajib yang mempunyai waktu luas (panjang) yang cukup untuk melaksanakan ibadah yang lain. Seperti waktu shalat dhuhur bisa digunakan untuk shalat-shalat yang lainnya.
b)       Mudhayyaq, yaitu suatau iabadah wajib, dimana waktu yang di sediakan untuk melaksanakannya sangat terbatas sehinggga tidak cukup untuk malaksanakan ibadah yang lainnya. Seperti pausa ramadhan, dimana sepanjang hari hanya bisa digunakan untuk ibadah ramadhan saja.
  1. Dari segi tertetunya tuntutan, yaitu:
           J Muayyan, yaitu suatu kewajiban yang hanya mampunyai satu tuntutan, seperti membayar hutang, zakat dan memenuhi akad.
           J Mukhayyar, yaitu suatu kewajiban yang tidak hanya mempunyai satu macam tuntutan, tetapi mempunyai dua atau tiga alternatif yang dapat dipilih. Comtoh penguasa  diperblehkan memilih antara membebaskan tawanan perang atau menerima tebuan mereka, contoh lain kafarah sumpah memilih memerdekakan budak, memberi makan 10 orang miskin atau memberi pakaian kepada mereka.
  1. Segi kadar atau ukuran perintah
      N Wajib yang mempunyai ukuran tertentu, seperti dalam pembagian harta pusaka.
      N Wajib yang tidak mempunyai uuran-ukuran yang kongrit, seperti kadar mengusap kepala, ukuran ruku' dan sujud serta ukuran memberi nafkah keluarga.
  1. Dari segi pelaksananya
@ Fardhu 'ain, yaitu suatu kewajiban yang harus dikerjakan oleh setiap ornag mukallaf, sehingga jika ia meninggal, berdosalah ia dan berhak disiksa.
@ Fardhu kifayah, yaitu suatu kewajiban yang hanya menuntut terwujudnya suatu pekerjaan dari sekelompok masyarakat.

Mandub
Yaitu perbuatan yang dianjurkan oleh syari' (Allahk) untuk dikerjakan. Atau dengan kata lain, suatu perintah yang apabila dilaksanakan diberi pahala, dan jika ditinggalkan tidak disiksa.
Tingkatan mandub terbagi menjadi tiga macam:
  1. Mandub muakkadah, suatu sunnah yang dijalankan oleh Rasulullah saw secara kontinyu pada masa hidupnya dan  jarang meninggalkannya. Seperti adzan, iqamah dan shalat jamaah lima waktu.
  2. Ghairu muakkadah, yaitu sesuatu yang dikerjakan rasulullah tidak secara kontinyu. Seperti puasa senin kamis, shalat 4 rakaat sebelum dhuhur, 4 rekaat sebelum ashar dan isya’.
  3. Mandub al-A’dy (yang tingkatannya lebih rendah dari dua tingkatan di atas). Yaitu amalan yang dikerjakan Rasulullah yang tidak ada hubungnnya dengan tugas tabligh atau posisi beliau sebagai manusia biasa. Seperti memakai baju putih, cara makan dan minum beliau, memelihara jenggot dan mencukur kumis. Jika hal ini kita ikuti kita mendapatkan pahala karena kita mengikuti beliau dan tidak berdosa bagi yang meningalkannya

Ada dua hal yang berkaitan dengan hukum mandub sebagaimana di jelaskan oleh Imam asy-Syaibi di dalam kitabnya al-Muwafaqat:
a)       Setiap ibadah yang mandub yang datang dari Rasulullah saw adalah bersifat membantu, menjaga atua menjadi perantara bagi kontiunitas iabadah fardhu. Ibadah-ibadah sunnah berfungsi untuk menjaga ibadah-ibadah wajib, karena ibadah sunnah merupakan latihan jiwa yang dapat mendorong melaksanakan ibadah fardhu. Barangsiapa yang mau mengerjakan ibadah sunnah yang tidak wajib dikerjakan secara kontinyu, pasti ia akan mau mengerjakan ibadah fardhu yang wajib dikerjakan secara kontinyu. Sebaliknya orang yang malas mengerjakan ibadah sunnah, hal itu menunjukkan kemalasan dalam menjalankan ibadah yang fardhu
Sehubungan dengan hal ini, Imam asy-Syatibi mengatakan, bahwa jika engakau menganalisa secara lebih luas ibadah sunnah, engkau akan mengetahui, bahwa ibadah sunnah itu bersifat membantu terhadap ibadah yang fardhu. Karena ibadah sunnah itu adakalanya mendahului atau mengingatkan kepada ibadah fardhu, baik ibadah sunnah sejenis dengan ibadah fardhu atau tidak. Yang sejenis, misalnya shalat sunnah dengan shalat fardhu, puasa sunnah dengan puasa fardhu, shadaqah sunnah dengan zakat, haji yang sunnah dengan haji yang wajib dan sebagainya.
Sedang yang tidak sejenis, misalnya membersihkan kotoran pada tubuh, pakian dan tempat shalat, mengenakan pakaian (menutup aurat) yang berhubungan dengan ibadah shalat, mempercepat berbuka, mengakhirkan makam sahur dan meninggalkan ucapan-ucapan yang tidak bermanfaat, yang berhubungan dengan ibdah puasa, meskipun hal-hal bukan termasuk ibadah fardhu, tetapi dapat mengauatkan dan mengokohkan ibadah fardhu. Mengakhirkan sahur misalnya, dapat meringankan puasa tersebut secara kontinyu. Karena sebaik-baik amal ibadah menurut Allah adalah yang kontinyu, meskipun sedikit.

b)       Meskipun ibadah sunnah tidak ditekankan secara juz’I (individual), tetapi secara umum ibadah sunnah tersebut sangat ditekankan. Sunnah muakkadah yang biasa dikerjakan oleh Rasulullah saw secara kontinyu, atau sunnah yang beliau laksanakan secara temporer, itu boleh oleh seseorang sewaktu-waktu, tetapi tidak boleh di tinggalkan sama sekali. Bahkan jika mereka sepakat untuk meninggalkan adzan, mereka semua berdosa. Demikian juga shalat jama’ah, seseorang tidak booleh meninggalkannya seama-lamanya, karena beliau saw bersabda:

من ترك الجماعة فوق ثلاث طبع على قلبه
“Barangsiapa yang meniggalkan shalat jama’ah lebih dari tiga kali, maka hatinya akan tertutub (keras).
Demikian juga nikah. Meskipun nikah bagi setiap indifidu hukumnya sunnah, tetapi secara kolektif mereka tidak boleh meninggalkan nikah secara keseluruhan. Karena jika mereka semua tidak menikah, maka punahlah semua umat manusia. Oleh karena itu, sebagian fuqaha’ syi’ah berpendapat bahwa nikah hukumnya fardhu kifayah.

Dalam hal ini Imam asy-Syatibhi berpendapat, bahwa perbuatan yang di sunnahkan secara juz’I (satuan), secara umum (kolektif) perbutan tersebut adalah di wajibkan. Seperti adzan di masjid-masjid jami’, shalat jama’ah, shalat idhul fitri dan idhul adha, shadakoh sunnah, nikah, shalat witir, shalat sunnah fajar (subuh) umrah dan shalat sunnah rawatib. Jika semua umat islam meninggalkan sunnah-sunnah tersebut, maka mereka semua berdosa.
Bukankah adzan itu dapat menadikan syi’ar agama islam, sehingga jika suatu penduduk desa tida ada yang mau mengumandangkan adzan semuanya, maka boleh diperangi. Demikian juga orang yang selalu meninggalkan shalat berjama’ah adalah berdosa dan tidak dapat diterima persaksiannya. Rasulullah telah mengancam bagi orang yang selalu meninggalkan shalat berjama’ah agar dibakar rumahnya. Sebagaimana rasulullah tidak mau menyerang suatu kaum hingga masuk waktu subuh. Jika beliau telah mendengar adzan, maka beliau berhenti dan bila tidak mendengar adzan maka beliau mengadakan penyerangan.
Nikah juga tidak lepas dari tujuan-tujuan syara’, yakni memperbanyak keturunan dan melestariakan manisia. Sehingga jika manusia semuanya tidak mau menikah, maka dapat mengancam eksistensi sjaran-ajaran agama. Tetapi jika hala tersebut berlangsung sewaktu-waktu saja, maka hal itu tidak sampai menimbulkan bahaya bagi agama.[1]
Pandangan ini sungguh merupakan pandangan yang benar yang menuntut berpegang teguh pada perintah-perintah Allah secara menyeluruh, baik perintah yang pasti maupun yang tidak pasti.

Haram
       Yaitu larangan yang pasti terhadap suatu perbutan, baik ditetapkan dengan dalil-dalil qath'I maupun dalil dhanni.
Pembagian haram
  1. Haram li-dzatih,
Yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allahk karena bahaya tersebut terdapat dalam perbuatan itu sendiri. Seperti berzina, makam bangkai dan minum arak.
  1. Haram li-qhairi atau li-'aridhi
Yaitu perbuatan yang dilarang oleh syara', dimana adanya larangan tersebut bukan terletak pada perbuatan itu sendiri, tetapi perbutan tersebut dapat menimbulkan haram li-dhatih. Seperti melihat aurat wanita, dapat menimbulkan perbutan zina, sedang zina diharamkan oleh Allahk karena dhatihnya sendiri.

Perbedaaan haram li-dhatih dan haram li-ghairih
 @ Haram li-dzatih apabila menyangkut akad, maka dapat membatalkan akad tersebut dan menimbulkan cacatnya akad. Seperti akad jual beli bangkai, babi, anjing, dan akad nikah dengan wanita yang masih mahram, maka akad jual beli tersebut batal.
 Sedang akad haram li-ghairih, dimana akad tersebut tidak batal, seperti jula beli pada waktu adzan jum'at, akad nikah dengan wanita yang telah di pinang orang lain dan lain-lain. Menurut jumhur semua akad tersebut sah, hanya saja pelakunya berdosa. Menurut madzhab hanbali dan dhahiri akad tersebut batal.  
@ Haram li-dzatihi tidak diperbolehkan sama sekali, kecuali dalam keadaan darurat (terpaksa). Alasannya, haram li-dzatihi adalah langsung berhubungan dengan hal-hal yang sangat vital, sehingga keharaman tersebut tidak dapat dihilangakan kecuali oleh sebab yang vital juga. Jika meminum arak diharamkan karena merusak akal, maka khamer tidak boleh diminum kecuali bagi yang khawatir akan mati jika tidak meminumnya.
 Haram li-ghairih boleh dikerjakan bila ada hajat, meskipun meskipun tidak sampai tingkat darurat (terpaksa). Alasannya bahwa haram li-ghairih tidak berhubungan langsung dengan masalah yang vital dan jika tidak dikerjakan akan menimbulkan kesulitan. Oleh karena itu bagi seorang dokter yang akan mendiaknose pasien wanitanya, boleh melihat auratnya, apabila untuk memberikan terapi tersebut memang mengharuskan melihat auratnya.

Makruh 
Menrut fuqaha' makruh adalah suatu larangan syara' terhadap suatu perbutan, tetapi larangan tersebut tidak bersifat pasti, lantaran tidak ada dalil yang menunjukkan atas haramnya perbutan tersebut.
Pembagian makruh, yaitu:
N  Makruh tahrim, yaitu larangan yang pasti yang didasarkan pada dalil dhanni yang masih ada keraguan. Seperti emakai sutra, emas bagi kaum lelaki, poligami bagi yang khawatir tidak tidak dapat berbuat adil. Lawan dari wajib.
N  Makruh tanzih, yaitu lawan dari hukum mandub. Menurut jumhur, bahwa pelaku makruh tidak tercela, sedang bagi yang meninggalkannya adalah terpuji. Menurut madzhab hanafi, pelaku makruh tahrim tergolong tercela, sedang pelaku makruh tanzih tidak, dan orang yang meninggalkan kedua makruh tadalah terpuji.

Mubah
Yaitu suatu hukum dimana dimana Allahk memberikan kebebasan kepada mukallaf untuk memilih antara mengerjakan atau meniggalkannya.
Hukum mubah ditetapkan karena ada salah satu dari tiga hal, yaitu:
@ Tidak berdosa bagi ornag yang megerjakan perbutan yang diharaman, dengan ada qarinah [tanda-tanda] atas diperbolehkannya perbutan tersebut.

$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøŠyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ͍ƒÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎŽötóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOŠÏm§ ÇÊÐÌÈ  
"Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allahk.[2] tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [al-Baqarah: 173]
@  Tidak ada nash atau dalil yang mennunjukkan haramnya perbutan tersebut, seperti mendengarkan radio.
@  Ada nash (dalil) yang menunjukan atas halalnya perbuatan tersebut seperti makan maanan yang halal. Firman Allahk:

tPöquø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sŒÎ) £`èdqßJçF÷s?#uä £`èduqã_é& tûüÏYÅÁøtèC uŽöxî tûüÅsÏÿ»|¡ãB Ÿwur üÉÏ­GãB 5b#y÷{r& 3 `tBur öàÿõ3tƒ Ç`»uKƒM}$$Î/ ôs)sù xÝÎ6ym ¼ã&é#yJtã uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ƒÎŽÅ£»sƒø:$# ÇÎÈ
"Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[3] diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi." [al-Ma'idah: 5]

Pembagian mubah ditinjau dari segi penggunaannya menurut Imam asy-Syatiby v :
J Mubah yang digunakan utnuk melayani suatu perntah yang diwajibakan, yang disebut dengan mubah juz'I (temporer), tapi secara kully (keseluruhan) diperintahkan, seperti  makan dan nikah, seseorang tidak diperbolehkan untuk meinggalkan selama-lamanya.
J Mubah yang digunakan untuk melayani suatu perbuatan yang dilarang. Secara temprer perbutan tersebut boleh dierakan tetapi tidak boleh dierakan terus-menerus. Seperti bergurau, mendengarkan radio dan berjima' diperbolehkan secara temporer tetapi seseorang tidak boleh menghabiskan waktunya hanya utuk bergurau dan mendengarkan radio.
J   Mubah yang digunakan untuk melayani perbuatan yang mubah.
J Mubah yang tidak digunakan untuk melayani apa-apa. Menurut beiau yang keempat dan ketiga ini tiadak ada wujudnya yang nayata.[4]

 Azimah dan rukhshah
Azimah adalah hukum yang mula-mula harus dikerjakan lantaran tidak ada sesuatu yang menghalan-halanginya atau hukum asli yang bersifat umum, diamana semua manusia  diperintahkan untuk malaksanakannya. Hukum azimah berupa larangan. Contoh seseorang tidak mau mengucapkan kata-kata kafir walaupun ia dibunuh. 
Rukhshah adalah suatu hukum yang dikerjakan lantaran ada suatu sebab yang memperbolehkan untuk meninggalkan hukum yang asli atau bukan hukum asal, bahkan ia termasuk hukum baru lantaran ada pneghalang untuk melakukan hukum asal. Hukum rukhshah berupa keringanan.
        Dalam kondisi seseorang boleh memilih antara melaksanakan huum rukhshah atau 'azimah. Seperti seorang musafir dalam bulan ramadhan diperbolehkan melaksanakan hukum 'azimah yaitu tetap puasa, juga diperbolehkan mengambil rukhshah yaitu berbuka puasa.

Fakto-faktor yang menyebabkan adanya rukhshah:
N     Dharurat, seperti seseorang dalam keadaan sangat lapar dan dikuatirkan akan mengakibatkan kematian dan ia tidak mendapatkan sesuatu kecualai bangkai, maka ia boleh memakannya.
N     Untuk menghilangkan kesempatan dan masyaqqat (keberatan), seperti diperbolehkan melihat aurat wanita bagi dokter untuk memeriksanya.

Pembagian rukhshah, yaitu:
@ Rukhshah untuk mengerjaan suatu perbuatan, seperti memaan bangkai.
@ Ruhshah untuk meninggalkan suatu perbuatan, seperti iftaq ketika safar pada bulan ramadhan.

Pembagian rukhshah
§  Rukhshah isqath, apabila seseorang diwajibkan melaksanakan rukhshah tersebut lantaran hukum 'azimah telah gugur.
§  Rukhshah tarfih, apabila hukum rukhshah dan hukum 'azimah masih dapat dilakukan semuanya.




HUKUM WADH'I
Sebab
Menurut jumhur adalah sesuatu yang lahir dan jelas batas-batasannya, yang oleh Allahk dijadikan sebagai tanda bagi wujudnya hukum. Berdasarkan definisi ini, ada 2 esensi yang terkandung didalamnya:
1.       Bahwa sesuatu tidak shah dijadikan sebagai sebab, kecuali oleh Allahk sendiri  yang menjadiannya sebagai sebab.
2.       Bahwa sebab-sebab itu dukanlah yang mempengaruhi terhadap wujudnya hukum-hukum taklifi, akan tetapi merupakan tanda bagi lahirnya hukum-hukum itu.

Pembagian sebab, yaitu:
§  Sebab yang berasal dari perbuatan mukallaf, yaitu perbutan muallaf yang oleh Allahkdijadikan sebagai akibat timbulnya hukum. Seperti akad nikah yang shah merupkan sebab dihalalkannya berhubungan, safar bulan ramadhan merupkan sebab diperbolehkannya berbuka.

  Sebab yang ada dala jangakauan manusia ini ada beberapa macam, yaitu
 @ Perbuatan yang diperintahkan (dituntut untuk dikerjaan)
 @ Perbutan yang dituntut untuk ditinggalkan
 @ Perbutan yang diperbolehkan

§  Sebab yang bukan berasal dari perbutan mukallaf (manusia), yaitu sebab yang dijadikan oleh Allahksebagai tnada atas wujudnya hukum. Seperti adanya waktu merupakan sebab bagi wajibnya shalat, takut terjerumus keperbutan zina merupakan sebab wajibnya nikah dan keadaan terpaksa merupakan sebab boleh maan bangkai.

Syarat
Yaitu sesuatu yang menjadian tempat bergantung wujudnya hukum. Tidak adanya syarat berarti, pasti tidak adanya hukum, tetapi adanya syarat tidak pasti adanya  hukum.
Perbedaan syarat dengan sebab:
Bahwa adanya syarat tidak pasti adanya hukum. Oleh karenanya, adanya wudhu yang merupakan syarat shalat tidak mengakibatkan wajibnya shalat, tetapi shalat menjadi tidak shah tanpa adanya wudhu. Adapun sebab, jika adanya sebab itu memastikan adanya hukum, kecuali adanya mani' (penghalang). Karenanya, datangnya waktu shalat, manjadikan shalat wajib dilakukan, jika datang bulan ramadhan, maka wajiblah berpuasa, jika seseorang berzina, maka wajib dikenakan had dan lain-lain.?

Syarat dari segi sasaran (sesuatu yang disyarati), maka syarat terbagi menjadi dua macam:
  1. Syarat-syarat bagi hukum taklifi
Seperti thaharah (bersuci) merupakan syarat untuk memenuhi suatu perbutan taklifi yang diperintahkan syari' (Allahk) dan zina mukhshan wajib dikenakan had, merupakan syarat untuk memenuhi perbuatan taklifi yang perkaranya dihadapkan kepada hakim.
  1. Syarat-syarat bagi hukum wadh'i
Seperti adanya kemampuan untuk menyerahkan barang sebagai sebab untuk mendapatkan hak pemilikan atau kematian pewaris sebagai syarat untuk mendapatkan warisan.
Para ahli ushul memabagi syarat yang berhubungan dengan hukum wadh'I menjadi dua macam:
a)       Syarat syar'iyyar, yaitu syarat yang oleh syari' dijadikan sebagai syarat untuk memenuhi sebab, atau untuk memenuhi musabbab (efek).
b)       Syarat ja'liyyah, yaitu syarat-syarat dimana syari' memperbolahkan pihak-pihak yang melakukan akad untuk membuat syarat dalam akad demi tegaknya hukum.
Al-mani' [penghalang]
Adalah perkara syara' yang keberadaannya menafikan tujuan yang dikehendaki oleh sebab atau hukum.
Macam-macam mani'
1)       Mani' yang berpengaruh terhadap sebab, seperti perbedaan agama dan pembunuhan yang kedua merupakan penghalang (mani') untuk dapat memperoleh harta warisan.
2)       Mani' yang mempengaruhi hukum sekaligus menghilangkannya (yang menghilangkan hukum dan tidak menghilangkan sebab), seperti hubungan kebapakan merupakan mani' [penghalang] dikenakan hukum qishas.
Mani' yang menghalangi hukum ini terbagi menjadi dua:
§  Mani' yang tidak mungkin terkumpul dengan hukum taklifi, yaitu berupa hilangnya akal dengan segala sebabnya seperti teridur, gila atau sakit ayan.
§  Mani' yang dapat berkumpul dengan dasar pembebanan (taklifi), tetapi mani' ini dapat menghilangkan pembebanan secara menyeluruh, disamping ada kemungkinan dapat berkumpul dengannya. Contoh, haid dan nifas merupakan penghalang shalat.
§  Mani' yang tidak menghilangkan dasar tuntutan taklif tetapi menghapuskan ketetapannya dan merubah tuntutan yang bersifat pasti (wajib) menjadi tuntutan yang bersifat pilihan (tahyir). Contoh, sakit merupakan mani' bagi fardhunya shalat jum'at, tetapi jika penderita sakit itu malakukan shalat maka shalatnya tetap shah.
Sah, rusak dan batal
         Sah, rusak dan batal merupakan sifat yang ada dalam hukum syara' baik itu taklifi atau wadh'i. Perbuatan ibadah terbagi menjadi dua, yaitu ibadah yang shah dan ibadah yang tidak shah.
        Para ahli fiqh sepakat, bahwa tidak ada perbedaan antara ibadah ibdah yang tidak shah dengan ibadah yang batal dan ibadah yang rusak. Artinya jika ibadah-ibadah itu telah memenuhi semua rukun dan syarat shahnya bersrti telah cukup dan dengan melaksanakannya berarti telah bebas dari tanggungan (taklif). Sedang jika ibadah itu kurang sebagian dari syarat dan rukunnya, berarti belum cukup dan dengan melaksanakan semacam ini berarti belum bebas dari tanggungan. Dalam hal initidak ada perbedaan apakah kurang rukun atau syaratnya.?

AL-HAKIM [PEMBUAT HUKUM]
Yang membuat hukum adalah Allahk. Firman-Nya

ö@è% ÎoTÎ) 4n?tã 7puZÉit/ `ÏiB În1§ OçFö/¤Ÿ2ur ¾ÏmÎ/ 4 $tB ÏZÏã $tB šcqè=ÉÚ÷ètGó¡n@ ÿ¾ÏmÎ/ 4 ÈbÎ) ãNõ3ßÛø9$# žwÎ) ¬! ( Èà)tƒ ¨,ysø9$# ( uqèdur çŽöyz tû,Î#ÅÁ»xÿø9$# ÇÎÐÈ
"Katakanlah: "Sesungguhnya Aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku,[5] sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. dia menerangkan yang Sebenarnya dan dia pemberi Keputusan yang paling baik" [al-An'am: 57]
Èbr&ur Nä3ôm$# NæhuZ÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# Ÿwur ôìÎ7®Ks? öNèduä!#uq÷dr& öNèdöx÷n$#ur br& šqãZÏFøÿtƒ .`tã ÇÙ÷èt/ !$tB tAtRr& ª!$# y7øs9Î) ( bÎ*sù (#öq©9uqs? öNn=÷æ$$sù $uK¯Rr& ߃̍ムª!$# br& Nåkz:ÅÁムÇÙ÷èt7Î/ öNÍkÍ5qçRèŒ 3 ¨bÎ)ur #ZŽÏWx. z`ÏiB Ĩ$¨Z9$# tbqà)Å¡»xÿs9 ÇÍÒÈ
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah diturunkan Allah), Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik." [al-Ma'idah: 49]

ö/ä3ósuø9ur ã@÷dr& È@ŠÅgUM}$# !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# ÏmŠÏù 4 `tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd šcqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÐÈ
"Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya.[6] barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik[7]." [Al-Ma'idah: 47]

Akal dan kedudukannya
Tahsin aqly dan taqbih aqly (baik dan buruk menurut akal)
    Dalam masalah ini para ulama' ihtilaf menjadi 3 golongan:
  • Golongan mu'tazilah berpendapat bahwa baik dan buruk itu adalah dua sifat esensial yang ada pada sebagian hal, dan sebagian lain berada antara manfaat dan madharat, serta diantara baik dan buruk.
Menurut kaum mu'tazilah, bahwa sesuatu itu terbagi menjadi tiga bagian:
1)       Sesuatu yang buruk menurut dzatnya dan Allahk tidak berhak memerintahannya
2)       Sesuatu yang baik menurut dzatnya dan Allahk berhak (wajib) memerintahkannya
3)       Sesuatu yang ada diantara baik dan buruk. Bagian ini boleh diperintahkan dan boleh dilarang. Jika diperintahkan maka nilai kebaikannya adalah kerena perintah, dan jika dilarang maka nilai keburukannya adalah karena larangan.
  • Golongan maturidiyah yang dinukil dari Abu Hanifah v dan dianut pula oleh ulama' Hanafiyah g.Mereka ini mengatakan bahwa sesuatu itu secara esensial ada yang baik dan buruk. Dan sesungguhnya Allahk tidak akan melarang sesuatu yang baik menurut dzatnya. Dengan demikian mereka membagi menjadi:
1)       Hasan li-dzatih (baik menurut dzatnya)
2)       Qabih li-dzatih (buruk menurut dzatnya)
3)       Sesuatu yang ada diantara keduanya dan ini tergantung pada perintah dan larangan Allahk
  • Golongan asy-'ariyah yang dipegangi oleh jumhur ulama' ushul, yang berpendapat bahwa segala sesuatu itu menurut dzatnya (esensial) tidak ada yang baik dan buruk. Semuanya mutlak tergantung dan ditentukan oleh kehendak Allahk dalam aturan syara'. Tidak ada sesuatu pun yang membatasi kehendak-Nya. Dia adalah pencipta sesuatu dan Dia pula yang menciptakan baik dan buruk. Oleh karena itu segala yang dia perintahkan itulah yang baik, dan segala sesuatu yang Dia larang itulah yang buruk.?


SUMBER HUKUM

Al-qur'an
Al-qur'an adalah kitab yagn diturunkan kepada nabi Muhammad n selama 23 tahun di Makkah dan Madinah. Ayat yang pertama turun adalah Qs. Al-alaq: 1-5. Dalam ayat permualain turun ini menunjukkan bahwa al-qur'an mangajak manusia untuk menguasai ilmu pengetahuan. Tema pembahasannya pun ilmu pengetahuan, dan apa yang dibawanya dasar ilmu pengetahuan. Sedang ayat terakhir turun adalah Qs. Al-ma'idah ayat 3. Dengan turunnya ayat terakhir ini sempurnalah syari'at islam.

Kenapa al-Qur'an diturunkan secara beransur-ansur dan tidak sekaligus?
Pertanyaan ini pernah dilontarkan orang-orang musyrik kepada nabi n . Allah telah menceritakan teentang mereka dengan firman-Nya:

tA$s%ur tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. Ÿwöqs9 tAÌhçR Ïmøn=tã ãb#uäöà)ø9$# \'s#÷Häd ZoyÏnºur 4 y7Ï9ºxŸ2 |MÎm7s[ãZÏ9 ¾ÏmÎ/ x8yŠ#xsèù ( çm»oYù=¨?uur WxÏ?ös? ÇÌËÈ
"Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah[8] supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).[al-Furqan: 32]
Jawaban dalam ayat ini terkandung dua aspek, yaitu
1)       Bahwa turunnya al-Qur'an secara beransur-ansur untuk menguatkan hati
2)       Untuk mentartilkan al-Qur'an
Kemutawatiran (keberuntunan) al-Qur'an
Allahk telah menjaga al-Qur'an dan akan ada selalu orang yang menghafalnya sejak zaman sahabat sampai akhir zaman nanti. Firman Allahk :

$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya [9]." [al-Hijr: 9]

Bentuk-bentuk kemukjizatan al-Qur'an
1)       Kebalaghahan al-Quran
2)       Pemberitaan al-Qur'an tentang keadaan yang terjadi pada abad-abad yang silam, seperti al-Qur'an telah menceritakan tentang kasus kaum nabi luth, Nuh dan Ibarahim g .
3)       Pemberitaan al-Qur'an tentang hal-hal yang akan terjadi pada masa akan dating, seperti kekalahan bangsa persi dan romawi dalam surat ar-Rum: 1-5 atau kemanangan dalam perang badar terdapat dalam al-Anfal: 7 dan sebagainya.
4)       Kandungan al-Qur'an yang memuat beberapa ilmu pengetahuan yang tidak mungkin diketahui oleh seorang ummy yang tidak bias membaca dan menulis, dan tidak ada suatu perguruan atau lembaga pendidikan yang mengajarnya. Seperti cerita awal kejadian manusia, peredaran alam semesta dan lain-lain.

Penjelasan al-Qur'an
Dalam al-qura'an, niscaya akan menemuan penjelasannya dalam tiga macam:
  1. Penjelasan yang bersifat sempurna, qs, al-baqarah: 185
  2. Nash al-Qur'an yang bersifat mujmal (global), dan sunnahlah yang menjelasannya
  3. Nash-nash yang hanya menjelaskan pokok-pokok hukum, baik dengan isyarat, atau dengan ungkapan langsung, kemudian sunnah merinci hukum tersebut dengan sempurna, seperti hukuman budak yang berzina dlam Qs. An-nisa'; 25. dalam ayat ini menerangkan bahwa hukuman hamba sahaya yang berzina separuh orang yang merdeka

Oleh kerena itu dalam menjelaskan hukum syara', al-Qur'an menggunakan bermacam-macam bentu ungkapan. Diantaranya ialah
N   Bentuk perintah , seperti Qs. at-Thalaq: 2
N   Benruk larangan, seperti Qs. Al-Isra': 33
N  Dengan menetapkan, bahwa sesuatu perbutan itu diwajibakan, seperti Qs. Al-baqarah: 178
N  Menyebutkan larangan, dengan meniadakan kebaikan dalam suatu perbutan, seperti Qs. Al-baqarah: 189
N  Bentuk perintah dengan menyebutkan akibat dari suatu perbuatan, baik berupa pahala atau siksa dan dosa, seperti Qs. An-nisa': 13-14



Hukum yang terdapat dalam al-Qur'an
§  Ibadah
§  Kafarat, pada dasarnya termasuk dalam macam ibadah, karena kafarat adalah menebus dari sebagian dosa. Macam-macam kafarat, yaitu;
1.       Kafarat dhihar, yaitu dengan memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu memberi makan kepada 60 fakir miskin.
2.       Kafarat sumpah, yaitu dengan memeberi makan atau pakaian kepada seluruh orang miskin, memerdekakan budak, jika tidak mampu puasa tiga hari.
3.       Kafarat membunuh orang mukmin yang tidak sengaja, yaitu disamping membayar diyat, pembunuh juga diwajiban memerdekakan budak mukmin, puasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mempu memberi makan kepada 60 orang miskin.
§  Muamalah
Dasar yang dijadikan prinsip dalam bermuamalah keharta bendaan, adalah melarang memakan makanan yang bathil dan salaing merelakan.
§  Hukum keluarga
Seperti hukum thalaq, nikah dan lain-lain .
§  Hukum pidana
Hukum pidanan disesuaian dengan kejahatan yang dilakukan, seperti hukum qishas, had zina, pencurian penyamun dan lain-lain dilakukan sesuai kejahatannya. Qishas ada dua macam, yaitu;
1.       qishas shurah, dimana hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang itu sejenis dengan kejahatan yang dilakukan.
2.       qishas ma'na, dimana hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang itu cukup dengan membayar diyat.
Dalam menetapkan hukum-hukum pidana, al-Qur'an selalu memperhatikan empat hal, yaitu;
1.       melindungi jiwa, akal, agama, harta dan keturunan.
2.       meredam kemarahan ornag yang terluka, lantara ia dilukai.
3.       memberikan ganti rugi kepada orang yang terluka atau keluarganya, bila tidak dilakukan qishas dengan sempurna karena ada suatu sebab.
4.       menyesuaikan hukuman dengan pelaku kejahatan.

Hubungan hakim dan orang yang dijatuhi hukuman
Al-qur'an telah menjelaskan kaidah-kaidah tentang hubungan ini, dan meyimpulkan kaidah-kaidah tersebut menjadi lima dasar sebagai berikut;
@  Keadilan
@  Musyawarah
@  Tujuan kepada kebaikan serta membawa maslahat kepada umat islam
@  Tolong menolong
@  Melindungi masyarakat

Hubungan orang islam dengan non muslim
Orang non muslim terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu;
  1. Kafir dhimmiy dan mua'had (yang telah mengikat perjanjian)
  2. Kafir musta'man (kafir yang dianggap aman dan tidak membahayakan)
  3. Kafir harby yang harus diperangi

Hak-hak yang diberikan islam kepada orang non muslim
N  Hak penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, baik dalam suasana perang maupun damai Qs. Al-insan: 7
N   Hak ukhuwah isnaniyah (persaudaraan kemanusiaan) Qs. Al-baqarah: 17
N  Hak keadilan, meskipun mereka termasuk kafir harbi (musuh). Sebab, keadilan hak asasi yang ditetapkan al-Qur'an baik bagi kawan atau lawan Qs. Al-ma'idah: 8
N  Hak perlakuan sepadan atau sebanding dengan memperhatikan keutamaan. Maka tidak boleh berlaku aniaya walaupun berada dikancang peperangan. Qs. Al-baqarah: 194
N  Hak menetapi janji, selama pihak musuh konsisten dengan janjinya, dan tidak terlihat adanya tanda-tanda hendak melangar janji itu. Qs. At-taubah; 58

As-Sunnah
Sunah adalah ucapan, perbuatan serta ketetapan-ketetapan nabi n . Ada tiga alasan mengapa sunnah dipakai sebagai hujjah;
  1. Adanya nash-nash al-Qur'an yang memerintahkan agar patuh dan tunduk kepada nabi n, firman Allahk Qs. An-nisa': 80 an-nisa: 59 Qs. Al-ahzab: 36
  2. Sunnah nabi n pada dasarnya adalah tabligh (penyampaian) risalah Allahk, dan Allah telah menugaskan kepada nabi n agar menyampaikan risalah itu kepada umatnya. Qs. Al-ma'idah; 67
  3. Nash-nash al-Qur'an menerangkan bahwa nabi n berbicara atas nama Allahk,,, firman-Nya Qs. An-najm:3-4 Qs. An-nisa': 113
  4. Ayat –al-Qur'an dengan jelas menerangkan kewajiban iman kepada Rasul n Qs. Al-a'raf: 158 Qs. An-nur: 62



Pembagian sunnah dari segi periwayatannya
©  Muttashil as-sanad, yaitu hadits yang bersambung mata rantai perawinya. Dilihat dari segi jumlah perawinya, terbagi menjadi tiga, yaitu mutawatir, masyhur dan hadits ahad. 
© Ghairu muttashil asanad, yaitu hadits yang tidak bersambung mata rantai perawinya.

Kedudukan sunnah terhadap al-Qur'an
  1. Berfungsi menjelaskan ayat yang masih mubham, mujmal, mentahsis ayat yang umum, menjelaskan nasikh dan mansukh, seperti al-Qur'an memerintahkan shalat dan zakat, kemudian sunnah memperjelasnya.
  2. Sunnah menambah kewajiban-kewajian syara' yang ketentuan pokoknya telah ditetapkan dalam nash al-Qur'an, seperti masalah li'an, al-Qur'an telah menerangkan secara jelas dan sempurna masalah ini, kemudian sunnah memberikan ketetapan untuk memisahkan suami istri itu dengan jalan perceraian.
  3. Sunnah membawa hukum yang tidak ada ketentuan nashnya didalam al-qur'an, tidak pula merupakan tambahan terhadap nash al-Qur'an, seperti sunnah mengharamkan hewan keledai jinak, daging binatang buas dan diyat.

Perbuatan Rasullullah
Seseorang bertanya; "Apakah setiap perbuatan nabi n , seperti cara makan, minum, pakaian dan yang lainya termasuk ajaran agama yang harus diikuti?
Jawab: para ulama' telah membagi perbuatan-perbutan nabi n menjadi tiga macam:
  1. Perbuatan yang menyangkut penjelasan syari'at yang harus diikuti, seperti cara shalat, haji dan lain-lain.
  2. Perbuatan yang khusus untuk nabi n , seperti beliau menikah lebih dari empat.
  3. Perbuatan tabi'at manusia biasa, dan adad kebiasaan yang berlaku di Arab, seperti memakai pakaian, makanan dan barang-barang halal yang diperoleh serta cara-cara memperolehnya dan sebagainya.
        Perbuatan yang ketiga ini masih ihtilaf dikalangan ulama', apakah perbutan dan kebiasaan nabi n itu termasuk dalam konteks menjelaskan hukum syara' ataukah dalam konteks adad kebiasaan Arab, seperti nabi n merawat jenggot. Kebanyakan ulama' menganggap bahwa perbuatan itu termasuk sunnah yang harus diikuti. Mereka menguatkan pendapatnya itu dengan sabda beliau: "Cukurlah kumismu dan biarkanlah panjang jenggotmu."
Para ulama' yang berpendapat bahwa perbutan nabi n memelihara jenggot itu termasuk adapt, bukan penjelasan hukum syara', mengemukakan alasan bahwa larangan (nahy) tidak mesti mengandung keharusan, berdasarkan ijma' ulama'. Perbutan nabi itu sebenarnya dikerenakan alasan, yaitu larangan menyerupai orang Yahudi dan orang a'jam (non-arab) yang memelihara kumis dan mencukur jenggot. Alasan ini memperkuat bahwa perbutan nabi n itu karena adab kebiasaan.?

Pengambilan hukum dari al-Qur'an dan sunnah
Dalil-dalil syara' ada dua macam, yaitu nash (al-Qur'an dan sunnah) dan ghairu nash (qiyas, istihsan dan lain-lain). Cara pengambilan huum dari nash ada dua macam, yaitu:
  1. Thuruq ma'nawiyah (pendekatan makna), yaitu istidlal atau penarikan kesimpulan hukum bukan kepada nash langsung seperti menggunakan qiyas, istihsan, dara'I dan sebagainya.
  2. Thuruq lafdhiyah (pendekatan lafadz), yaitu pendekatan lafadz yang penerapannya membutuhkan beberapa factor pendukung yang sangat dibutuhkan, yaitu penguasaan terhadap ma'na (pengertian) dari lafadz-lafadz nash serta konotasinya dari segi umum dan khusus dan sebagainya.

Pembahasan lafadz nash
Seorang ahli fiqh harus mengetahui kaidah-kaidah bahasa (lughawiy) agar dalam melakukan istinbath hukum terhindar dari kekeliruan. Pengetahuan tentang kaidah-kaidah lafdhiyyah tersebut tidak hanya berguna bagi pengkaji hukum islam saja, tetapi juga berguna bagi pengkaji perundang-undangan yang berlaku. Kaidah-kaidah lughawiy tersebut mengacu pada 4 segi, sebagai berikut:
  1. Lafadz-lafadz nash dari segi kejelasan dan kekuatan dalalahnya terhadap pengertian yang dimaksud.
  2. Dari segi ungkapan dan konotasinya, apakah menggunkaan ibarat yang sharih (ungkapan yang jelas) ataukah menggunakan isyarat yang mengandung makna yang tersirat dan apakah memakai mantuk atau mafhum.
  3. Dari seri cakupan lafadz dan sasaran dalalahnya, berupa lafadz umum atau khusus dan lafadz muqayyad atau mutlaq.
  4. Dari segi bentuk tuntutan (shighah taklif-nya).

Lafadz yang jelas
Lafadz yang lelas berbeda-beda tingkat "kekuatan kejelasan lafadznya", yaitu (dari yang paling rendah):
§  Dzahir
Madzhab hanbali, syafi'I dan maliki tidak membedakan anatara nash dengan dzahir. Dzahir sam dengan nash.
  Sebagian ulama' madzhab maliki dan syafi'i  melihat adanya perbedaan anatara keduanya, yaitu:
1)       Nash, adalah lafadz yang tidak menerima kemungkainan arti lain (ihtimal) di dalam dalalahnya.
2)       Dzahir adalah lafadz yang masih menerima kemungkinan arti lain di dalam dalalahnya.
Contoh firman Allahk ;
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[10], Maka (kawinilah) seorang saja[11], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." [an-Nisa': 3] Dzahir ayat ini menunjukkan diperbolehkan kawin sampai 4 istri.

Keterangan:
Lafadz dzahir masih tetap menerima adanya takhshis, ta'wil dan nasakh. Jadi karena adanya kemungkinan masuknya tiga hal itulah, lafadz dzahir masih mengandung ihtimal (kemungkinan) di dalam dalalahnya.

§  Nash
Menurut madzhab hanafi adalah dalalah lafadz yang sesuai dengan konteks kalimatnya. Seperti frman-Nya;

ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ÷ƒr& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇÌÑÈ
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [al-Ma'idah: 38]
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ( t ÇËÈ
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman." [an-Nuur: 2]

Keterangan:
Jika terjadi pertentangan antara nash dan dzahir, yang didahulukan adalah lafadz nash, karena nash lebih kuat dari dzahir. Walaupun demikian, nash masih menerima kemungkinan adanya takhsih, nasakh dan ta'wil.

§  Mufassar
Adalah lafadz yang menunjukkan kepada maknanya sesuai dengan yang dimaksud oleh konteks kaliamat. Makna lafadz itu menjadi jelas karena ada keterangan dari dalil lain. Kadang lafadz itu pada asalnya merupakan lafadz yang mujmal, lalu dating nash lain yang menafsirinya. Seperti firman-Nya tetang kewajiban membayar diyat dalam tindak pidana pembuuhan tidak sengaja;

$tBur šc%x. ?`ÏB÷sßJÏ9 br& Ÿ@çFø)tƒ $·ZÏB÷sãB žwÎ) $\«sÜyz 4 `tBur Ÿ@tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz ㍃̍óstGsù 7pt7s%u 7poYÏB÷sB ×ptƒÏŠur îpyJ¯=|¡B #n<Î) ÿ¾Ï&Î#÷dr&
"Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali Karena tersalah (Tidak sengaja)[12], dan barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat[13] yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah[14]. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. barangsiapa yang tidak memperolehnya[15], Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan Taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana." [an-Nisa': 92]
Kemudian ayat diyat itu dijelaskan dalam hadits nabi n, yaitu

لا قطع في أقل من عشر دراهم
"Tidak dikenakan hukuman potong tangan, pencurian yang kurang dari 10 dirham."
Dengan demikian apabila lafadz ayat merupakan lafadz yang mujmal atau musytarak, dan ditemukan sunnah nabi n yang menafsirinya, maka dengan dilakukannya penggabungan dua sumber hukum itu, lafadz ayat yang tadinya mujmal dan musyarak menjadi maufassar (ditafsiri).

Keterangan:
Perlu diingat bahwa dalil-dalil yang bisa menasiri hanya terbatas pada ayat-ayat al-Qur'an dan hadits nabi n . Oleh karena itu, penafsiran yang mempunyai fungsi tahsis atau ta'wil hanya ada pada zaman nabi n saja. Sedang ijtihad yang dilakukan setelah masa nabi n tidak bisa terhindar dari ihtimal. Lafadz mufassar lebih kuat dari nash dan dzahir. Lafadz mufassar tidak menerima kemungkinan ta'wil dan takhsis, ia hanya menerima kamungkinan nasakh.
                Perbedaan tafsir dengan ta'wil. Tafsir adalah penjabaran pengertian lafadz yang tidak menyimpang dari madlul ibarat dan berpegang pada pemikiran fiqhy. Sedang ta'wil adalahpenajbaran pengertian lafadz yang keluar dari dzahir madlulnya kerena adanya dalil fiqhy yang lain.

§  Muhkam
Yaitu lafadz yang menunjukkan makna yang dimaksud, yang memang didatangkan untuk makna itu. Lafadz ini tidak menerima adanya ta'wil dan takhsis. Kadang disertai ungkapan yang menunjukkan tidak adanya nasakh. Seperti sabda nabi n ;
الجهاد ماض إلى يوم القيامة
"Jihad itu terus sampai hari kiamat."

tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ Ÿwur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r& 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÈ
"Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[16] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik." [an-Nuur: 4] Kata abadan menunjukkan bahwa ayat itu merupakan nash yang muhkam yang tidak bisa menerima nash.
Macam-macam muhkam
1)       Muhkam lidzatih, yaitu lafadz muhkam yang tidak menerima nasakh disebabkan oleh nash itu sendiri.
2)       Muhkam li-ghairih, yaitu lafadz muhkam yang tidak menerima nasakh disebabkan bukan bersumber dari dzat nash.

Lafadz yang tidak jelas pengertiannya
N Al-khafiy
Menurut fahrul islam al-Bazdawi, kahfiadalah lafadz yang maknanya  samar dan apa yang dikehendakipun menajdi samara (kabur) karena ada factor diluar sighat, yang tidak dapat ditemukan kecuali harus dicari. Contoh
  1. Istilah ath-tharar (pencopet), an-nabbasy (pencuri kain kafan), kedua istilah ini masu dalam lafadz sariq (pencuri) pada firman Allahk:
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ÷ƒr& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇÌÑÈ
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [al-Ma'idah: 38]
Padahal istilah sariq adalah orang yang mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dan harat dalam keadaan tersimpan. Sedang tharrar (pencopet) adalah orang yang mengambil harat secara samara, korban dalam keadaan sadar (terjaga). Makna nabbasy adalah koarang yang menggali kubur untuk mengambil kain kafan si mayit. Dalam istilah tharar dan nabbasy terjadi kesamaran, apakah ia masuk dalam istilah sariq (pencuri) atau bukan.
Abu Yusuf, imam Malik, Syafi'I dan Ahmad g, berpendapat bahwa nabbasy dan tharrar masuk kedalam pengertian umum kata sariq, karena keduanya mengandung arti pencurian. Dan menurut kebiasaan yang berlaku ia disebut pencuri. Sedang Imam Abu Hanifah dan Muhammad bin al-Hasan asy-syaibaniv tidak menerapkan nash yang mewajibkan had (hukuman) pencuri kepada nabbasy dan tharrar.
  1. Diantara contoh yang lain, yaitu sabda nabi n :

لا يرث القاتل
               "Orang yang membunuh tidak mendapatkan harta warisan."
                Sesungguhnya kata qaatil masih khafiy (samara) karena berbeda antara pembunuhan sengaja, tanpa sengaja, pembunuhan karena suatu sebab, pembunuhan bersekongkol atau pembunuhan karena ada dorongan.
Imam Syafi'I v tidak membedakan antara sengaja, tidak sengaja atau sebab lain.

N Al-Musykil
                Adalah lafadz yang maknannya samara/kabur karena sesuatu sebab yang ada pada lafadza itu sendiri. Cara menentukan satu dari beberapa makna dalam lafadz musytarak, hanyalah dengan melihat dalil (indicator) dari segi kontek kalimatnya, atau memakai dalil dari luar. Perbedaan antara khafi dengan musykil, yaitu
§  Khafi kesamaran makna bukan disebabkan oleh lafadz itu sendiri, tapi oleh penerapan segi cakupan lafadznya. Dan apa yang dikehendaki lafadz khafi dapat diketahui.
§  Musykil kekaburan/kesamaran makna itu timbul dari lafadznya sendiri, dan apa yang dikehendaki oleh lafadz tidak dapat dipahami kecuali dengan memakai dalil dari luar.

Contoh :
  1. Musykil adalah lafadz musytaraq yaitu lafat yang menunjukkan dua arti atau lebih secara bergantian, seperti kata 'ain (عين). Kata ini menunjukkan beberapa arti, yaitu mata, sumber air, zat (esensi) dan intel (mata-mata).
  2. Firman Allahk:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 Ÿwur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3tƒ $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjŠtÎ/ Îû y7Ï9ºsŒ ÷bÎ) (#ÿrߊ#ur& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ 3 ª!$#ur îƒÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ

"Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'[17]. tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya[18]. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." [al-Baqarah: 228]
Makna quru' termasuk lafadz musytarak, dan para ulama' berbeda pendapat dalam menafsirinya, ulama' Hanafiyah menafsirinya arti quru' dengan haid. Sedang ulama' Syafi'iyyah manafsirkannya dengan tuhr (suci).

N Mujmal
Adalah entuk ungkapan yang dalam maknanya tersimpan banyak ketentuan dan dan berbagai keadaan yang tidak mungkin diketahui secara pasti kecuali melalui pernyataan lain yang menjelaskan (mubayyin). Al-Bazdawi v mendefinisikan mujmal adalah ungkapan yang didalamnya terkandung banyak makna, tetapi makna yang dimaksud tidak jelas. Maksudnya, apa yang dimaksud tidak bisa diketahui dari ungkapan itu sendiri, harus ditafsiri, diteliti dan dipikirkan secara mendalam.
Contoh perintah shalat dan zakat dalam al-Qur'an yang masih berbentuk mujmal kemudian dijelaskan nabi n dengan sabda beliau.

N Mutasyabih
    Adalah lafadz yang samar maknanya, dan tidak mungkin dijangkau oleh akal manusia melainkan menyerahkannya kepada Allahk. Dalam al-Qur'an dan hadits tidak ada penafsiran yang qath'I maupun dhanny terhadap lafadz tersebut.
Lafadz mutasyabih ada dalam al-Qur'an, firman-Nya:
uqèd üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»tƒ#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB ( $¨Br'sù tûïÏ%©!$# Îû óOÎgÎ/qè=è% Ô÷÷ƒy tbqãèÎ6®KuŠsù $tB tmt7»t±s? çm÷ZÏB uä!$tóÏGö/$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö/$#ur ¾Ï&Î#ƒÍrù's? 3 $tBur ãNn=÷ètƒ ÿ¼ã&s#ƒÍrù's? žwÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)tƒ $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/ @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã $uZÎn/u 3 $tBur ㍩.¤tƒ HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇÐÈ
"Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat[19], Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat[20]. adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal." [ali Imran: 7]
Ibnu Hazm maengatakan bahwa di dalam al-Qur'an tidak ada mutasyabih selain potongan-potongan huruf di awal surat, serta sumpah Allahk dalam al-Qur'an, seperti:
Iw ãNÅ¡ø%é& ÏQöquÎ/ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# ÇÊÈ
      "Aku bersumpah demi hari kiamat." [al-Qiyamah: 1]
ħ÷K¤±9$#ur $yg8ptéÏur ÇÊÈ ÌyJs)ø9$#ur #sŒÎ) $yg9n=s? ÇËÈ
"Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, Dan bulan apabila mengiringinya." [asy-Syams: 1-2]

N Ta'wil
    Ta'wil merupakan bagian dari istimbat aqly (penyimpulan hukum melalui akal) kadang benar kadang salah. Penerapan ta'wil hanya akan shah apabila memenuhi tiga syarat sebagai berikut:
1.       Lafadz tersebut memang menyimpan makna ta'wil walaupun itu sangat jauh.
2.       Harus ada factor yang memaksa diterapkannya  ta'wil. Misalnya, satu lafadz dzahir bertentangan dengan lafadz nash, atau terdapat pertentangan antara lafadz nash dengan lafadz mufassar.
3.       Ta'wil tidak boleh tanpa ada sanad (sandaran). Sebaliknya, ia harus berdasar atas sanad yang bisa dipegang sebagai factor penyebab diterapkannya ta'wil.

Macam-macam ta'wil
@ Ta'wil terhadap hadits dan ayat-ayat al-Qur'an yang bisa menimbulkan pengertian tasybih (penyerupaan Allahk dengan makhluk). Contoh menta'wilkan kata tangan dengan kekuasaan Allahk atau istiwa' dengan berkuasa dan lain-lain. Firman-Nya:
[al-Fath: 10]
[thaaha: 5]
@  Ta'wil terhadap nash yang khusus berkenaan dengan hukum taklif. Fiman Allahk:
[al-Ma'idah: 3]
[al-An'am: 145]

Pada ayat pertama kata "darah" disebut secara muqayyad (dibatasi) dengan suatu klasifikasi berupa "darah yang mengalir", padahal obyek hukumnya sama, yaitu darah. Maa dari itu, ungkapan yang muqayyad kita anggap sebagai penjelasan yang membatasi ungkapan mutlak.
Dalalah lafadz [manthuq]
Madzhab Hanafi membagi cara peninjauan dalalah lafadz manjadi 4 bagian. Semua dalalah, kecuali dalalah nash masuk dalam kategori dalalah manthuq, karena dalalah-dalalah tersebut didasarkan pada pengertian lafadz, baik pengertian esplisit (ibarat) maupun implicit (isyarat) atau didasarkan pada kebutuhan lafadz tersebut kepada dalalah. Dalalah manthuq kebalikan dalalah mafhum.
 Tingkatan dalalah yang paling kuat dalalah ibarah dan yang paling rendah adalah iqtidha'. Penjelasan semua tersebut sebagai berikut;

§  Ibarah (eksplisit)
Adalah makna yang dipahami dari lafadz, baik lafadz itu berupa dzahir atau nash muhkam atau tidak. Jadi, setiap pengertian yang dipahami dari keadaan lafadz yagn jelas disebut dalalah ibarah. Seperti firaman-Nya:
( (#qç6Ï^tFô_$$sù š[ô_Íh9$# z`ÏB Ç`»rO÷rF{$# (#qç6Ï^tFô_$#ur š^öqs% Ír9$# ÇÌÉÈ
"Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta." [al-Hajj: 30]
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa perkataan dusta dan saksi palsu adalah dosa.
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ tAºuqøBr& 4yJ»tGuŠø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù'tƒ Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR ( šcöqn=óÁuyur #ZŽÏèy ÇÊÉÈ
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)." [an-Nisa': 10]  Nash ini menunjukkan bahwa memakan harata anak yatim termasuk perbutan dzalim yang paling keji, dan akan mendapatkan siksa di akhirat nanti.
§  Isyarah nash
Adalah suatu pengertian yang ditangkap dari suatu lafadz, sebagai kesimpulan dari pemahaman terhadap suatu ibarah (ungkapan) dan bukan dari ungkapan itu sendiri. Atau dengan kata lain ibarah nash adalah pengertian logis dan rasional yang diambil dari apa yang ditunjukkan oleh suatu ungkapan (ibarat) suatu teks. Misalnya firman Allahkyang memperbolehkan poligami, yaitu:
÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷ÇÌÈ
"Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[21], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." [an-Nisa': 3]
Ayat di atas menunjukkan bahwa laki-laki yang yakin tidak mampu adil terhadap istrinya, maka tidak halal bagi untuk berpoligami.
4 n?tãur ÏŠqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4 ÇËÌÌÈ
”Kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf." [al-Baqarah: 233]
Ayat ini menjelaskan bahwa kewajiban memberikan nafkah terhadap anak adalah seorang ayah.
§  Nash (mafhum muwafaqah/ dalalatul aula)
Sebagian ulama' menyebutnya qiyas jaly, yaitu pengertian secara implisit (isyarah nash) tentang suatu hukum lain yang dipahami dari pengertian nash secara eksplisit (ibaratun nash) karena ada factor penyebab yang sama. Seperti firman-Nya:
 Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ  
"Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." [al-Isra': 23]
Ayat tersebut menjelaskan tentang haramnya mengucapkan "ah" kepada orang tua. Bila uacapan "ah" saja diharamkan, maka memukul dan mencerca menghina tentu lebih diharamkan.
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ tAºuqøBr& 4yJ»tGuŠø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù'tƒ Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR ( šcöqn=óÁuyur #ZŽÏèy ÇÊÉÈ
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)." [an-Nisa': 10]
Ayat ini menjelaskan tentang haramnya memakan harata anak yatim. Bila memakan hartanya saja diharamkan apa lagi memusnahkannya, tentu lebih diharamkan.
§  Iqtidla'
Adalah penunjukan (dilalah) lafadz terhadap sesuatu, dimana pengertian lafadz tersebut tidak logis kecuali dengan adanya sesuatu tersebut. Misalnya, firman-Nya:
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$#
"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allahk." [al-Ma'idah: 3]
Maksud ayat diatas adalah haram "mamakannya" bukan karena dzat barangnya.
كل مسلم على المسلم حرام دمه وماله وعرضه
"Setiap orang muslim haram darahnya, harta dan kehormatannya bagi muslim yang lain."
Keharaman dalam hadits ini bukanlah karena dzatiyahnya (harat, darah dan kehormatannya), akan tetapi pada factor permusuhan.
Ulama' ushul fiqh membagi dalalah iqtidha' menjadi tiga macam, ditinjau dari segi keharusan mentakdirkan suatu lafadz yang terbuang:
1)       Dalalah iqtidha' yang harus mentakdirkan lafadz yang terbuang, karena suatu nash tidak dapat dipahami dengan benar menurut syara' kecuali dengan mentakdirkan lafadz yang terbuang. Seperti sabda nabi n :
لا صيام لمن لا يبيت النية

"Tidak (shah) puasa seseorang yang tidak berniat pada waktu malam."
Hadits ini harus mentakdirkan lafadz ash-Shihhah yang berarti shah, agar dapat dipahami dengan benar. Jika tidak mentakdirkan kata ash-shihhah, maka hadits tersebut tidak dapat dipahami dengan benar.
2)       Dilalah iqthidha' yang harus mentakdirkan lafadz yang terbuang, karena suatu nash tidak dapat dipahami secara shah menurut akal, kecuali dengan mentakdirkan lafadz yang terbuang. Seperti firman-Nya:
äíôuù=sù ¼çmtƒÏŠ$tR ÇÊÐÈ
" Maka Biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya)." [al-Alaq: 17]
Lafadz nadiyah dalam ayat di atas berarti tempat, yang menurut akal sehat tentu mustahil dapat dipanggil. Oleh karena itu yang dimaksud adalah orang-orang yang berada di tempat tersebut. Dengan demikian ayat tersebut mantakdirkan lafadz ahlun yang berarti penduduk, sehingga berbunyi:
فليدع أهل نادية
3)       Dalalah iqtidha' yang harus mentakdirkan lafadz yang terbuang, karena suatu nash tidak dapat dipahami secara shah menurut syara', kecuali dengan mentakdirkan lafadz yang terbuang. Seperti firman-Nya:
4 ô`yJsù uÅ"ãã ¼ã&s! ô`ÏB ÏmŠÅzr& ÖäóÓx« 7í$t6Ïo?$$sù Å$rã÷èyJø9$$Î/ íä!#yŠr&ur Ïmøs9Î) 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 ÇÊÐÑÈ
"Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula)." [al-Baqarah: 178]
Dalam pandangan syara', perintah untuk bersikap baik bagi orang yang mema'afkan kepada ornag yang diberi ma'af memberikan harta kepada orang yang mema'afkan.
§  Mafhum mukhalafah (tambahan jumhur fuqaha')

Dalalah mafhum
  Para ulama' dalalah nash kedalam dalalah manthuq, dan membagai dalalah mafhum menjadi dua bagian. Mafhum muwafaqah lebih kuat dari mafhum mukhalafah. Pembagian tersebut sebagai berikut:
§  Mafhum mukhalafah
Yaitu menetapkan kebalikan dari hukum yang disebut (manthuq) karena tidak adanya suatu batasan (qayd) yang membatasi berlakunya hukum menurut nashnya. Seperti firman-Nya:
`tBur öN©9 ôìÏÜtGó¡o öNä3ZÏB »wöqsÛ br& yxÅ6Ztƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# ÏM»oYÏB÷sßJø9$# `ÏJsù $¨B ôMs3n=tB Nä3ãZ»yJ÷ƒr& `ÏiB ãNä3ÏG»uŠtGsù ÏM»oYÏB÷sßJø9$# 4 ÇËÎÈ
"Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki." [an-Nisa': 25]

  Manthuq (bunyi) ayat diatas menunjukkan kehalalan orang merdeka nikah dengan buda wanita dengan batasan (qayd) orang tersebut tidak mampu menikah dengan wanita merdeka. Dari ayat tersebut dipahami dengan kebalikannya (mafhum mukhalafah) dari lafadznya, yaitu haramnya orang merdeka menikahi budak wanita, jika orang tersebut mampu menikah dengan wanita merdeka.
  Menurut madzhab Hanafi, mafhum mukhalafah  tidak dapat dimasukkan dalam kategori methodology penafsiran nash-nash al-Qur'an dan hadits. Dan tidak menggunakannya dalam methodology dalam memahami hukum-hukum islam, karena factor-faktor berikut:
1)       Nash-nash syara' telah menunjukkan adanya kesalahan (fasad) dengan digunakannya mafhum mukhalafah. Misalnya firman Allahk:
¨bÎ) no£Ïã Íqåk9$# yZÏã «!$# $oYøO$# uŽ|³tã #\öky­ Îû É=»tFÅ2 «!$# tPöqtƒ t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# šßöF{$#ur !$pk÷]ÏB îpyèt/ör& ×Pããm 4 šÏ9ºsŒ ßûïÏe$!$# ãNÍhŠs)ø9$# 4 Ÿxsù (#qßJÎ=ôàs? £`ÍkŽÏù öNà6|¡àÿRr& 4  ÇÌÏÈ
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram[22]. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya dirikamu[23] dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan Ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa." [at-Taubah: 36]
Jika menggunkaan mafhum mukhalafah, dapat dipahami bahwa perbuatan dzalim itu hanya diharamkan pada masa empat bulan tersebut, dan selain 4 bulan tersebut perbutan dzalim tidak diharamkan. Padahal perbutan dzlaim itu haram sepanjang masa (selama-lamanya).
2)       Kebanyakan sifat-sifat yang membatasi dalam nash al-Qur'an dan hadits bukan untuk membatasi hukum, akan tetapi sekedar dorongan atau peringatan.
3)       Menurut jumhur ulama', bahwa suatu hukum pada pada umumnya  mempunyai sebab (illat) dan 'illat tersebut melampaui pada apa yang tidak terkandung dalam suatu nash. Dengan demikian, tidak selamanya kebalikan hukum yang mempunyai batasan (qayd) itu bebas dari hukum yang dijelaskan dalam nash, sehingga secara otomatis kebalikan hukum tersebut dapat diberlakukan. Hal itu disebabkan terkadang hukum yang tidak disebutkan itu mempunyai 'illat hukum sendiri, sehingga tidak logis bila secara otomatis diberlakukan kebalikan hukum tersebut dengan menggunakan mafhum mukhalafah.
Syarat-syarat menggunakan  mafhum mukhalafah:
1)       Batasan (qayd) dalam nash itu tidak mempunyai tujuan lain, kecuali untuk membatasi hukum.
2)       Tidak ada dalil khusus dalam obyek hukum yang dipahami dengan mafhum mukhlafah.

Mafhum mukhalafah terbagi menjadi 5 bagian sebagai berikut:
1)       Mafhum laqab
Yaitu menyebutkan suatu hukum yan gditentukan (ditakhsis) dengan jenis atau macamnya, sehingga hukum tersebut positif dalam masalah yang terdapat pada nash, dan negative bagi masalah yang tidak disebutkan.

في السائمة زكاة
"Binatang yang digembalaan di padang rumput wajib dikeluarkan zakatnya."
Bunyi hadits tersebut menunjukkan, bahwa binatang ternak yang digembalakan dipadang rumput wajib dikeluarkan zakatnya. Jika dipahami dengan mafhum mukhalafah dapat dipahami, bahwa binatang ternak yang dipelihara (dibiayai) tidak wajib dikeluarkan zakatnya.
2)       Mafhum sifat
Yaitu menetapkan hukum dalam bunyi (manthuq) suatu nash yang dibatasi (qayd) dengan sifat yang terdapat dalam lafadz, dan jika sifat tersebut telah hilang, maka terjadilah kebalikan hukum tersebut.
`tBur öN©9 ôìÏÜtGó¡o öNä3ZÏB »wöqsÛ br& yxÅ6Ztƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# ÏM»oYÏB÷sßJø9$# `ÏJsù $¨B ôMs3n=tB Nä3ãZ»yJ÷ƒr& `ÏiB ãNä3ÏG»uŠtGsù ÏM»oYÏB÷sßJø9$# 4 ÇËÎÈ
"Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki." [an-Nisa': 25]
Diperbolehkannya mengawini wanita-wanita budak dalam ayat tersebut adalah dibatasi (diberi qayd) dengan keimanan. Oleh karena itu, wanita-wanita budak yang tidak beriman tidak halal dinikahi.
3)       Mafhum syarat
Yaitu menetapan kebalikan suatu hukum yang terkandung pada syarat, atau bersamaan dengan syarat, jika syarat tersebut tidak terwujud.
bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`ÍköŽn=tã 4Ó®Lym z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4 ÇÏÈ  
"Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya." [ath-Thalaq: 6]
Ayat ini menjelaskan bahwa kewajian memberikan nafkah istri yang telah dicerai dan sedang menjalani masa iddah itu dibatasi (qayd) jika istri yang dicerai tersebut sedang mengandung. Dengan demikian, dapat diambil mafhum muhalafah (syarat), bahwa jika istri yang dicerai tersebut tidak sedang hamil, maka bekas suami tidak wajib memberian nafkah kepadanya.
4)       Mafhum ghayah (tujuan)
Yaitu menetapan hukum yang berada diluar tujuan nash (ghayah), bila hukum tersebut dibatasi dengan tujuan (ghayah), misalnya firman Allahk:

öNèdqè=ÏG»s%ur 4Ó®Lym Ÿw tbqä3s? ×poY÷FÏù tbqä3tƒur ßûïÏe$!$# ¬! ( ÈbÎ*sù (#öqpktJR$# Ÿxsù tbºurôãã žwÎ) n?tã tûüÏHÍ>»©à9$# ÇÊÒÌÈ
"Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu Hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim." [al-Baqarah: 193]
Ayat menjelaskan, bahwa peperangan diperbolehkan karena ada tujuan, yaitu mencegah timbulnya fitnah dalam agama. Jika fitnah dalam agama tersebut sudah tidak ada, maka peperangan tidak diperbolehkan lagi.
5)       Mafhum adad
Yaitu penetapan kebalikan dari suatu hukum yang dibatasi dengan bilangan, ketika bilangan tersebut tidak terpenuhi. Seperti firman-Nya:
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ( Ÿwur /ä.õè{ù's? $yJÍkÍ5 ×psùù&u Îû ÈûïÏŠ «!$# bÎ) ÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# ( ôpkôuŠø9ur $yJåku5#xtã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÈ
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman." [an-Nur: 2]
]
§  Mafhum muwafaqah (nash)
Telah dibahas di atas pada dalalah lafadz atau manthuq.
Lafadz ditinjau dari segi cakupannya
Bab ini merupakan pembahasan ke-tiga tentang lafadz. Pembahasan ini akan dilihat dari dua segi, yaitu:
Pertama segi cakupan lafadz terhadap bagian satuan yang termasuk didalamnya. Terbagi menjadi dua, yaitu amm dan khas.
Kedua dari segi sifat yang ditentukannya. Terbagi menjadi mutlaq dan muqayyad.

Umum Dan Khusus
Amm adalah lafadz yang menunjukkan pada jumlah yang banyak dan satuan yang termasuk dalam pengertiannya dalam satu makna yang berlaku (lafadz itu bukan musytaraq, yang memiliki arti banyak dan berdiri sendiri, seperti ain bias berarti mata, mata air atau benda). Golongan hanafiyah mendefinisikan lafadz amm adalah suatu lafadz yang mencakup arti keseluruhan, baik dengan menggunakan lafadz jama' (seperti rijal) atau menggunakan isim mausul yang menunjukkan arti jama' atau ism syarat dan yang seumpama dengannya, seperti lafadz qaum, jin, ins (manusia) serta lafadz-lafadz lain yang menunjukkan pada arti jama'. Lafadz khas adalah lafadz yang menunjukkan arti tunggal. Seperti Zaid, Ibrahim dan lain-lain.

Lafadz Musytharak
Imam Syafi'I v memasukkannya dalam lafadz amm. Lafadz musytarak yaitu lafadz yang mempunyai dua arti atau lebih, yang arti tersebut dapat digunakan secara bergantian sesuai dengan konteks tersebut. Seperti kata [القرء] yang berarti haidh (menstruasi) dan tuhru (suci). Atau kata [عين] yang berarti penglihatan, mata air, esensi, emas dan mata-mata.
Lafadz yang menyebabkan timbulnya lafadz musytarak, daris segi bahasa:
1.       Perbedaan suku-suku yang menggunakan bahasa Arab. Satu suku menggunakan suatu lafadz, untuk menunjukkan suatu arti dan suku yang lain menggunakan lafadz tersebut untuk menunjukkan arti yang lain.
2.       Terkadang dua arti dalam lafadz musytarak tersebut, dikembalikan pada satu makna yang asli. Kemudian satu makna ini berkembang menjadi beberapa makna yan lain. Seperti kata fatana yang arti semula meletakkan logam dalam api, kemudian diartikan kesesatan, membuat kerusakan dalam agama dan jatuh.
3.       Terkadang pemakaian suatu lafadz itu didasarkan secara majazi (kiasan), karena lafadz tersebut mempunyai hubungan dengan beberapa arti. Kemudian lafadz yang majaz tersebut menjadi masyhur, sehingga menjadi lafadz yang hakiki yang dipakai secara umum. Dengan demikian, lafadz tersebut mempunyai beberapa arti, dimana arti-arti tersebut tidak dapat dipakai secara bersamaan.

Mutlaq dan Muqayyad
Lafadz mutlaq adalah lafadz yang menunjukkan pada hakekat lafadz itu apa adanya tanpa memandang jumlah maupun sifatnya. Seperti lafadz raqabah (budak) pada firman-Nya:
7sù >pt6s%u ÇÊÌÈ
"(yaitu) melepaskan budak dari perbudakan." [al-Balad: 13]
Perbedaan antara lafadz mutlaq dan 'amm, bahwa lafadz mutlaq menunjukkan hakekat suatu lafadz tanpa batasan apapun, baik segi sifat atau jumlahnya. Seperti firman-Nya:

tûïÏ%©!$#ur tbrãÎg»sàム`ÏB öNÍkɲ!$|¡ÎpS §NèO tbrߊqãètƒ $yJÏ9 (#qä9$s% ㍃̍óstGsù 7pt7s%u `ÏiB È@ö6s% br& $¢!$yJtFtƒ 4 ö/ä3Ï9ºsŒ šcqÝàtãqè? ¾ÏmÎ/ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz ÇÌÈ
"Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan." [al-Mujadalah: 3]
Ayat ini menunjukkan tanpa ada batasan jumlah budah satu, dua atau banyak dan tanpa mengartikan sifat budak, apakah budak mukmin atau tidak. Yang penting adalah memerdekakan budak.
Sedang lafadz 'amm adalah lafadz yang menunjukkan pada hakekat lafadz tersebut, dengan memperhatikan jumlahnya. Seperti firman-Nya:
#sŒÎ*sù ÞOçFÉ)s9 tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. z>÷Ž|Øsù É>$s%Ìh9$# ÇÍÈ
"Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) Maka pancunglah batang leher mereka. sehingga apabila kamu Telah mengalahkan mereka Maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka." [Muhammad: 4]
Lafadz di atas meliputi semua orang-orang kafir yang ikut perang.
     Lafadz muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan pada hekekat lafadz tersebut dengan dibatasi (qayd) oleh sifat, keadaan dan syarat tertentu. Atau dengan kata lain lafadz yan gmenunjukkan pada hekekat lafadz itu sendiri, dengan dibatasi oleh batasan-batasan, tanpa memandang pada jumlah.
1.       Misalnya yang dibatasi oleh sifat firman-Nya:
u ㍃̍óstGsù 7pt6s%u 7poYÏB÷sB (  ÇÒËÈ
"Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali Karena tersalah (Tidak sengaja)[24], dan barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.[25] jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. barangsiapa yang tidak memperolehnya.[26] Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan Taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana." [an-Nisa': 92]

2.       Sedang contoh yang dibatasi oleh syarat adalah:
`yJsù óO©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$­ƒr& 4 ÇÑÒÈ
"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi Pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)." [al-Maidah: 89]
Kafarat puasa tiga hari tersebut disyaratkan bila orang yang melanggar sumpah tidak mampu memerdekakan budak setelah tidak mampu memberi makanan dan pakaian.

3.       Contoh yang dibatasi dengan batas tertentu, yaitu:
( ¢OèO (#qJÏ?r& tP$uÅ_Á9$# n<Î) È@øŠ©9$# 4 ÇÊÑÐÈ
"Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam." [al-Baqarah: 187]

Nasakh (penggantian hukum)
Ketika terjadi pertentangan antara dua dzahir nash al-Qur'an, maka kedua nash tersebut harus dipertemukan dengan berbagai cara yang dapat ditempuh. Yaitu sebagai berikut:
1.       Lihat apakah kedua nash tersebut berupa khas atau 'amm.
2.       Bila salah satu dari kedua nash tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan dasar syari'at, sementara nash yang lain menyalahinya, maka nash yang menyalahi dasar-dasar syari'at harus di ta'wilkan, sehingga kedua nash tersebut dapat dipertemukan.
3.       Jika tidak dapat titempuh maka dengan cara mengambil sanad yang lebih kuat sanadnya. Atau dengan cara dilihat mana ayat yang turunnya duluan dengan yang turunnya akhir.

Nasakh menurut istilah ahli ushul adalah mengganti atau merubah hukum syara' dengan dalil yang turun kemudian. Nasikh (yang mengganti) mansukh (yang diganti). Seperti perpindahan kiblat yang dulu menghadap Baitul Maqdis kemudian di naskh dengan mengahadap masjidil Haram, nikah mut'ah yang dulu diperbolehkan kemudian dilarang dan berziarah kubur yang dulu dilarang kemudian di naskh dengan diperbolehkannya ziarah kubur. Orang yang pertama kali membahas nasakh adalah Imam Syafi'I v dalam kitabnya "ar-Risalah al-Ushul". Imam Syfi'I dan Ibnu Hazm mendefinisikan nasakh adalah menjelaskan bahwa masa berlakunya hukum yang terkandung dalam nash yang pertama telah habis. [an-Naskh wal masukh oleh Ibnu Hazm] Imam asy-Syuyuti v berpendapat, bahwa ada 20 nash yang dinaskh.

Syarat-syarat nasakh
§  Hukum yang di mansukh (diganti) tidak diikuti oleh ungkapan yang menunjukkan atas berlakunya hukum tersebut selama-lamanya (abadi).
§  Hukum yang di mansukh tidak termasuk masalah-masalah yang telah disepakati atas kebaikan atau keburukan masalah tersebut. Seperti berbohong, jujur, adil berbakti keorang tua dan lain-lain.
§  Nash yang mengganti (nasikh) turunnya harus lebih akhir dari nash yang di mansukh.
§  Nash tersebut sudah tidak dapat dikompromikan dengan berbagai cara.

Menasakh al-Qur'an
Al-Qur'an dapat dinaskh oleh al-Qur'an. Jumhur berpendapat bahwa al-Qur'an dapat di naskh oleh sunnah, yaitu hadits mutawatir atau hadits mustafidh. Pendapat Imam Syafi'I v, bahwa al-Qur'an hanya dapat dinasakh oleh al-Qur'an, hadits mutawatir apa lagi hadits ahad tidak dapat menasakhnya.

Menasakh sunnah
Imam Syafi'I v berpendapat bahwa hukum yang terkandung dalam hadits hanya dapat dinasakh oleh hadits dan al-Qur'an tidak dapat menasakhnya. Beliau menyatakan:

سنة رسول الله لا تنسخها إلا سنة رسول الله
"Sunnah Rasulullah n hanya dapat dinasakh oleh sunnah itu sendiri."
Imam Syafi'I v mempunyai alasan sebagai berikut: "Jika al-Qur'an dapat menasakh sunnah, maka pasti hal itu telah disampaikan oleh nabi n . Imam Syafi'I khawatir sunnah akan ditinggalkan lantaran didakwa bertentangan dengan dengan al-Qur'an. Sedang menurut jumhur, bahwa al-Qur'an dapat menasakh hukum-hukum yang ada dalam hadits, sebagaimana hadits dapat menasakh al-Qur'an.

Ijma'
Yaitu kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah n, terhadap hukum syara' yang bersifat praktis ('amaly). Menurut jumhur ijma' yang dapat dijadikan argumentasi dalam menetapkan hukum syara' adalah ijma' para ulama' jumhur.
Ijma' mempunyai kedudukan yang penting dalam ijtihad. Dalil yang menjadi dasar ijma' adalah sabda Rasulullah n yang berbunyi:

مارأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
"Apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut pandangan Allahkjuga baik."

لا تجمع أمتي على ضلالة
"Umatku tidak akan bersepakat pada perbutan yang sesat."
  ألا فمن سره بحبحة الجنة فليلزم الجماعة فإن الشيطان مع الفذ وهو من الاثنين أبعد
"Ingatlah!, barangsiapa yang ingin menempati syurga, maka bergabunglah dengan jama'ah. Karena syaitan bersama orang-orang yang menyendiri. Ia akan lebih jauh dari dua orang."
Imam syafi'I v cenderung menolak kemunginan terjadinya ijma' dengan alasan sebagai berikut:
  1. Para fuqaha' berdosmisili di berbagai tempat yang saling berjauhan, sehingga mereka tidak mungkin saling bertemu.
  2. Terjadinya perpedaan pendapat diantara para  fuqaha' yang tersebar diberbagai daerah diseluruh Negara-negara islam.
  3. Tidak adanya kesepakatan para ulama' tentang orang-orang yang diterima ijma'nya.
  4. Tidak adanya esepakatan para ulama' tentang kriteria ulama' yang berak untuk berpendapat dalam masalah fiqh.
Meskipun Imam syafi'I v cenderung menolak kemungkinan terjadinya ijma', akan tetapi di dalam kitab ar-Risalah beliau telah menetapkan bahwa ijma' dapat terjadi dalam masalah-masalah yang diperdebatkan. Menurut pendapat Abu Zahrah v ijma' yang dapat dijadikan argumentasi (hujjah) hanyalah ijma' para sahabat.
Tingakatan ijma'
§  Ijma' sharih, yaitu ijma' yang disepakati jumhur ulama' sebagai hujjah. Imam Syafi'I v mengatakan bahwa ijma' sharih adalah jika engkau atau salah seorang ulama' mengatakan, "Hukum ini telah disepakati," maka niscaya setiap ulama' yang engkau temui juga mengatakan seperti apa yang engkau katakana.
§  Ijma' syukuti, yaitu suatu pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid, kemudian pendapat tersebut telah diketahui oleh para mujtahid yang hidup satu masa dengannya, akan tetapi tidak diketahui oleh para mujtahid yang hidup satu masa dengannya, akan tetapi tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Imam syafi'I mengatakan bahwa ijma' syukuti tidak termasuk ijma' dan tidak dapat dijadikan hujjah.
Pendapat ulama' tentang ijma' syukuti
1)       Tidak termasuk ijma', pendapat Imam Syafi'I v dan mayoritas fuqaha.
2)       Termasuk ijma', tetapi tigkat kekuatannya dibawah ijma' sharih.
3)       Tidak termasuk ijma', tetapi dapat dijadikan argumentasi (hujjah).

Para fuqaha' mensyaratkan ijma' dapat sempurna jika ulama' yang bersepakat suatu hukum sudah meninggal semua. Dengan alasan, karena seorang mujtahid yang masih hidup boleh mencabut kembali pendapatnya, sehingga ijma' tersebut menjadi batal. Dan ijma' syukuti tidak akan sempurna jika para mujtahid yang bersepakat telah meninggal semua, sehingga dapat diketahui bahwa tidak seorang pun dari mujtahid yang diam itu mengemukakan pendapatnya, yang menyebabkan ijma tersebut tidak bersifat shukuti lagi tapi jahri. Sedang ijma sharih tidak mensyaratkan menunggu semua matinya mujtahid yang membentuk ijma' tersebut.
§  Ijma' pada masalah yang pokok (ijma' yang tidak dapat ditentang oleh pendapat seseorang)
Sebagian ulama' memasukkan ijma' ini dalam ijma syukuti. Yaitu jika para fuqaha' yang hidup dalam satu masa (generasi) berbeda dalam berbagai pendapat, akan tetapi bersepakat dalam hukum yang pokok, maka seseorang tidak boleh mengemukakan pendapat yang bertentangan dengan pendapat mereka. Seperti sahabat berpendapat, bila kakek bersama saudara-saudara mayit, maka saudara-saudara mayit tersebut memperoleh harta warisan, dengan syarat kakek memperoleh harta pusaka tidak kurang dari 1/3. sedang para sahabat yang lain berpendapat, saudara-saudara mayit mendapat harta warisan dengan syarat kakek memperoleh tidak kurang dari 1/6 harat wairisan. Sementara yang lain berpendapat, bahwa saudara-saudara mayit tidak memperoleh harta warisan sama sekali. Dengan demikian, meskipun para sahabat berselisih dalam jumlah bagian harta warisan sang kakek, akan tetapi mereka tetap sepakat, bahwa sang kakek berhak mendapatkan harta warisan, baik ia sendirian atau bersama saudara-saudara si mayit.

Nasakh ijma' dan terjadinya ijma'
Ijma' tidak dapat dinasakh dengan ijma' yang lainnya. Karena nasakh hanya terjadi pda masa Rasulullah n dan tidak setelahnya. Ijma' hanya terjadi pada masa sahabat g. dan tidak dapat terjadi setelah mereka.

Fatwa Sahabat
Jumhur fuqaha' menetapkan bahwa fatwa-fatwa sahabat dapat dijadikan hujjah. Mereka beragumentasi sebagai berikut:
§  Firman Allahk :
šcqà)Î6»¡¡9$#ur tbqä9¨rF{$# z`ÏB tûï̍Éf»ygßJø9$# Í$|ÁRF{$#ur tûïÏ%©!$#ur Nèdqãèt7¨?$# 9`»|¡ômÎ*Î/ šÅ̧ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊuur çm÷Ztã ÇÊÉÉÈ
"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar." [at-Taubah: 100]
§  Sabda Rasulullah n
أناأمان لأصحابي أمان لأمتي
"Saya adalah kepercayaan (orang yang dipercaya) sahabatku, sedang para sahabatku orang kepercayaan para umatku."
§  Dalil-dalil akal
1.       Para sahabat orang yang lebih dekat dengan Rasulullah n dibanding orang lain. Dengan demikian, mereka mereka lebih mengetahui tujuan-tujuan syara', karena mereka langsung menyaksikan tempat dan waktunya wahyu al-Qur'an turun.
2.       Pendapat-pendapat yang dikemukakan para sahabat sangat mungkin sebagai bagian dari sunnah nabi dengan alasan mereka sering menyebutkan hukum-hukum yang dijelaskan oleh Rasulullah n.
3.       Jika pendapat para sahabat didasarkan pada qiyas, sedang ulama' yang hidup setelah mereka juga menetapkan hukum berdasarkan qiyas yang berbeda dengan pendapat para sahabat, maka untuk kehati-hatian, yang kita ikuti adalah pendapat para sahabat. Karena mereka sebaik-baik generasi.

Qiyas
Yaitu menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukumnya. Qiyas merupakan aktivitas akal, dan dikalangan ahli fiqih dalam hal qiyas terdapat tiga kelompok sebagai berikut:
1.       Jumhur yang mempergunakan qiyas sebagai dasar hukum.
2.       Madzhab dzahiriyah dan  syi'ah Imamiyah tidak mempergunakan qiyas.
3.       Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal kerena persamaan illat.
Syarat-syarat qiyas:
1.       Qiyas harus berupa hukum syara’ semacam perbuatan yang ditetapkan oleh nash.
2.       Qiyas harus berupa hukum asal yang illatnya dapat ditangkap oleh akal manusia.
3.       Tidak ada yang menghalangi untuk qiyas, yaitu hukum asal tidak bersifat khusus.
4.       Diketahui adanya illat di dalam al Far’u ( hukum yang baru yang tidak ada nashnya).

Kehujjjahan qiyas
§  Dalil al-Qur'an
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." [an-Nisa': 59]
§  Dalil sunnah
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar bin Khataba pernah berkata kepada nabi n : "Wahai Rasulullah, aku melakukan suatu perbuatan yang besar, mencium istri dan saya dalam keadaan berpuasa." Kemudian Rasulullah n berkata kepadanya: "Bagaimana seandainya kamu berkumur dengan air, sedang kamu dalam keadaan puasa?" Umar menjawab: "Tidak mengapa !" Kemudian Rasulullah n bersabda: "Lanjutkan puasamu."

Madzhab yang menolak qiyas mereka mengajukan argumentasi tentang batalnya qiyas dengan 5 alas an, yaitu:
1.       Hukum islam secara keseluruhan telah dinyatakan dalam al-Qur'an, maka tidak ada tempat buat qiyas dan qiyas tidak perlu, karena tidak mempunyai sasaran.
2.       Orang yang menggunakan qiyas itu sama artinya dengan menganggap bahwa penjelasan Rasul n tidak sempurna dan menuduh Rasulullah n lalai dalam dalam menjalankan tugas risalah. Al-Ma'idah: 3 dan an-Nahl: 44
3.       Tidak ada petunjuk nash untuk mengetahui 'illat.
4.       Sesungguhnya nabi n memerintahkan kaum mukminin untuk meninggalkan apa yang dibiarkan oleh Allahk dan rasul-Nya tanpa ketentuan nash.
"Tinggalkanlah apa-apa yang aku biarkan untukmu. Kebinasaan orang-orang sebelum kamu semata-mata karena  banyaknya pertanyaan dan berselisih pendapat dengan nabi mereka. Maka apabila aku memerintahkan sesuatu, lakukanlah semampumu, dan apabila aku melarang sesuatu, maka tinggalkanlah ia."
5.       Banyak nash yang menunjukkan larangan menggunakan qiyas.
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qãBÏds)è? tû÷üt/ Äytƒ «!$# ¾Ï&Î!qßuur ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# ììÏÿxœ ×LìÎ=tæ ÇÊÈ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya[27] dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui." [al-Hujurat: 1]
                Ÿwur ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#ur yŠ#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." [al-Isra': 36]
       
        $¨B $uZôÛ§sù Îû É=»tGÅ3ø9$# `ÏB &äóÓx« 4 ÇÌÑÈ
"Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab,[28] Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan." Al-An'am: 38]
Dari argumentasi para penentang qiyas di atas, nampak ada dua prinsip yang menjadi dasar argumentasi tersebut, yaitu:
§  Bahwa nash-nash dalam al-qur'an san sunnah sudah tuntas mencakup keseluruhan hukum islam, wajib, aram, sunnah, makruh dan mubah. Prinsip ini terdapat pada argument 1,2, 4 dan 5.
§  Qiyas adalah upaya meambah nash yang telah sepurna itu dengan karya manusia, bukan dengan hukum agama. Terdapat dalam argument ke-3.
 Rukun qiyas
1)       Al-Ashl [الأصل], yaitu sumber hukum yang berupa nash-nash yang menjelaskan tentang hukum, atau wilayah tempat sumber hukum.
2)       Al-Far'u [الفرع], yaitu sesuatu yang tidak ada ketentuan nashnya.
3)       Al-Hukh [الحكم], yaitu hukum yang dipergunakan qiyas untuk memperluas hukum dari asl ke far'u (cabang).
4)       Al-Illah [العللة], yaitu alasan serupa antara asal dan far'u (cabang).
‘Illat adalah sifat hokum asal yang dijadikan dasar hokum, yang dengan sifat tersebut dapat diketahui hokum pada masalah baru. Contoh: Memabukkan adalah sifat dalam khomer yang dijadikan dasar keharaman, kemudian dari sifat tersebut dapat diketahui hokum haram pada setiap (minuman) perasan yang memabukkan.
Syarat-syarat ‘illat:
1.       Illat harus berupa sifat yang nyata,
2.       Harus berupa sifat yang mengikat,
3.       Hendaknya berupa sifat yang sesuai,
4.       Hendaknya berupa sifat yang bukan hanya untuk masalah asal

Macam qiyas dan tingkatannya dalam hukum
Qiyas dilihat dari segi tingkatannya terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
§  Qiyas aulawi, yaitu tujuan penetapan yang menjadi illat hukum terwujud dalam kasus furu' lebih kuat dari illat hukum dalam kasus asal. Contoh sabda nabi n : "Sesungguhnya Allahk menharamkan darah orang mumin dan berprasangka kepadanya kecuali prasangka  baik."
Dari hadits ini dapat diketahui, bagaimana hukumnya berprasangka tidak baik kepada orang mukmin. Kemudian apabila hanya hal yang baik-baik saja yang boleh disangkakan terhadap ornag mukmin, maka bagaimana hukum memperbincangkan hal-hal yang tidak baik terhadapnya. Tentu lebih dilarang, inilah yang dinamakan qiyas aulawi.
§  Qiyas setara, yaitu sifat hukum yang dianggap sebagai illat dalam kasus furu' sama kuatnya dengan 'illat dalam hukum asal. Seperti mengqiyaskan budak laki-laki terhadap budak wanita dalam masalah separoh hukuman dari hukuman orang merdeka, firman-Nya:
4 !#sŒÎ*sù £`ÅÁômé& ÷bÎ*sù šú÷üs?r& 7pt±Ås»xÿÎ/ £`ÍköŽn=yèsù ß#óÁÏR $tB n?tã ÏM»oY|ÁósßJø9$# šÆÏB É>#xyèø9$# 4 ÇËÎÈ
"Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain,[29] Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka Telah menjaga diri dengan kawin, Kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [an-Nisa': 25]
§  Qiyas naqish, dimana wjud illat dalam hukum furu' kurang tegas, sebagaimana dalam hukum asal. Seperti illat "memabukan" bagi minuman-minuman yang dibuat dari anggur. Alasan memabukkan pada minuman-minuman tersebut tidak sekuat pada khamr. Akan tetapi, hal ini bukan berarti menolak teori illat hukum, sebab untuk memahami nash hukum secara tepat harus mengetahui 'illat hukumnya pula. Dan untuk itu illat harus dibuktikan secara nyata.

Pertentangan qiyas dengan nash
Tidak mungkin terjadi pertentangan antara qiyas dan nash, akan tetapi hal itu bisa terjadi pada hadits ahad.

Istihsan
Imam Abu Hasan al-Karkhi v mendefinisikan istihsan yaitu penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena alasan yang lebih kuat dan menghendaki dilakukannya penyimpangan itu. Seperti seluruh tubuh wanita adalah aurat. Akan tetapi seorang dokter boleh melihat sebagian dari tubuhnya karena ada hajat atau pemeriksaan.
Imam Malik v menilai, pemakaian istihsan merambah 90% dari seluruh ilmu fiqh. Ibnul Araby membuat definisi yang menyerupai definisi golongan Hanafi. Ia mengatakan, "Istihsan adalah memilih meninggalkan dalil, dan mengambil rukhsah dengan hukum sebaliknya, karena dalil itu berlawanan dengan dalil lain pada sebagian kasus tertentu." Ia membagi istihsan menjadi 4 macam, yaitu:
1.       Meninggalkan dalil karena 'urf
2.       Meninggalkan dalil karena ijma'
3.       Meninggalkan dalil karena maslahah
4.       Meninggalkan dalil karena untuk meringankan dan menghindarkan masyaqah.

Pembagian istihsan
Dilihat dari mu'aridhnya (dalil lain yang bertentangan) istihsan terbagi menjadi 3 macam:
§  Istihsan sunnah, yaitu istihsan yang disebabkan oleh adanya ketetapan sunnah yang mengaharuskan meninggalkan dalil qiyas pada kasus yang bersangkutan. Seperti:
ð Batalnya wudhu disebabkan tertawa berbahak-bahak diwaktu menjalankan shalat. Padahal menurut qiyas, semestinya hanya shalatnya saja yang batal. Sebab shalatnya itulah yang terkena cacat. Mamun pengecualian penggunaan qiyas disini karena nabi n menghukumi batalnya wudhu orang yang tertawa terbahak-bahak ditengah shalatnya. Para ulama' menyamakannya dengan orang buta yang juga harus mengenakan pakaian.
ð Hadits tentang sahnya puasa orang yang makan dan minum di siang hari karena lupa. Padahal menurut qiyas, puasa itu semestinya batal. Akan tetapi karena terdapat hadits yang menetapkan qiyas dalam masalah di atas.

§  Istihsan ijma', yaitu istihsan yang meninggalkan penggunaan dalil qiyas karena adanya ijma' ulama' yang menetapkan hukum yang berbeda dari tuntutan qiyas. Seperti ketetapan ijma' tentang shahnya akad istihshna' (pesanan). Menurut qiyas, semestinya akad itu batal. Sebab sasaran (obyek) akad tidak ada ketika akad itu dilangsungkan. Akan tetapi karena transaksi model itu telah telah dikenal dan shah sepanjang zaman, maka hal itu dipandang sebagai ijma' atau 'urf 'am (tradisi) yang dapat mengalahkan dalil qiyas. Yang demikian ini berarti merupakan perpindahan dari suaatu dalil ke dalil yang lain yang lebih kuat.
Istihsan ijma' pengertiannya hampir sama dengan istihsan urf, yakni dalam rangka menghilangkan kesulitan (daf'ul masyaqah) dan dlaam konteks 'Urf 'Am (tradisi).
§  Istihsan darurat, yaitu istihsan yang disebabkan adanya keadaan dharurat (terpaksa) dalam suatu masalah yang mendorong seorang mujtahid untuk meninggalkan dalil qiyas. Contoh, seperti mensucikan kolam atau sumur yang tidak mungkin dilakukan jika kita berpegang pada dalil qiyas, dengan cara menuangkan air ke dalamnya. Air yang masuk ke dalam kolam akan menjadi najis karena bersentuhan dengan najis. Timba yang dipakai akan menjadi najis karena bersentuhan dengan air najis. Demikian seterusnya saling terkait, sehingga semuanya menjadi najis. Oleh karena itu para ulama' memillih menggunakan dalil istihsan dengan meninggalkan dalil qiyas, karena ada darurat yang tidak bias dihindarkan. Para ulama' fiqh kemudian mengajukan alternative dengan cara menguras air sumur itu beberapa timba, yang dianggap bercampur najis. Dengan menimbanya berulang kali, volume najis yang berada dalam air akan berkurang, meski tidak hilang sama sekali.

Urf  (tradisi)
Sumber hukum in digunakan oleh madzhab hanafi dan Maliki. Urf adalah bentuk-bentuk muamalah (hubungan kepentingan) yang telah menjadi adat kebiasaan dan telah berlangsung terus menerus di suatu masyarakat. Ini termasuk satu sumber hukum (asl) dari ushul fiqh yang diambil dari inti sari sabda Muhammad n .

مارأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن

"Apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut pandangan Allahkjuga baik."
Hadits ini, baik dari segi ibarat maupun tujuannya, menunjukkan bahwa setiap perkara yang telah mentradisi dikalangan kaum muslimin dan dipandang sebagai perkara yang baik, maka perkara tersebut juga dipandang baik dihadapan Allahk. Menolak urf yang telah dipandang baik oleh masyarakat akan menimbulkan kesulitan dan kesempitan. Allahk berfirman: "Dan sekali-kali tidak menjadikan kamu dalam agama suatu kesempitan."

Pembagian 'urf
1.       'Urf yang fasit (rusak/jelek) yang tidak bisa diterima, yaitu urf yang bertentangan dengan nash qath'i.
2.       'Urf shahih (baik/benar) bisa diterima dan dan dipandang sebagai salah satu sumber pokok hukum islam.
Urf yang shahih terbagi menjadi dua, yaitu:
ð Urf amm, yaitu urf yang telah disepakati oleh seluruh negeri. Seperti mandi di kolam, dimana sebagian orang melihat aurat temannya atau akad istishna' (perburuhan). Imam Syafi'I v berpendapat urf ini mengalahkan qiyas, yang dinamakan istihsan ufr (telah dijelaskan dimuka). Urf ini bisa mentakhsis nash yang amm yang bersifat dhanni bukan qath'i.
ð Urf khas, yaitu urf yang berlaku pa suatu Negara, wilayah atau golongan tertentu, seperti urf yang berhubungan dengan perdagangan, pertanian dan lain-lainnya.

Mashalih Mursalah
Berdasarkan dalil stiqra' (penelitian) dan nash-nash al-Qur'an maupun hadits diketahui bahwa hukum-hukum syari'at islam mencakup didalamnya pertimbangan kemaslahatan manusia. Allah berfirman:
!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
"Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." [al-Anbiya': 107]

$tBur tb%x. #x»yd ãb#uäöà)ø9$# br& 3uŽtIøÿム`ÏB Âcrߊ «!$# `Å3»s9ur t,ƒÏóÁs? Ï%©!$# tû÷üt/ Ïm÷ƒytƒ Ÿ@ŠÅÁøÿs?ur É=»tGÅ3ø9$# Ÿw |=÷ƒu ÏmŠÏù `ÏB Éb>§ tûüÏHs>»yèø9$# ÇÌÐÈ
"Tidaklah mungkin Al Quran Ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al Quran itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang Telah ditetapkannya,[30] tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam." [Yunus: 37]
Mashalih mu'tabarah (yang dapat diterima) adalah maslahat-maslahat yang bersifat hakiki, yaitu meliputi lima jaminan dasar:
ð Keselamatan keyakinan agama
ð Keselamatan jiwa
ð Keselamatan akal
ð Keselamatan keluarga dan keturunan
ð Keselamatan harta

Kemaslahatan manusia itu mempunyai tingkat-tingkatan. Tingkat pertama lebih utama dari tingkat kedua dan tingkat yang kedua lebih utama dari tingkat yang ketiga. Tingkat-tingkatan itu, ialah:
1.       Tingkat pertama yaitu tingkat dhurari, tingkat yang harus ada. Tingkat ini terdiri atas lima tingkat pula, tingkat pertama lebih utama dari yang kedua, yang kedua lebih utama dari yang ketiga dan seterusnya. Tingkat-tingkat itu ialah: Memelihara agama; Memelihara jiwa; Memelihara akal; Memelihara keturunan; dan Memelihara harta.
2.       Tingkat yang kedua adalah tingkat yang diperlukan (haji).
3.       Tingkat ketiga, ialah tingkat tahsini. 

Kehujjahan mashalih mursalah
Golongan Maliki (pembawa bendera mashalih marsalah), megemukakan 3 alasan, yaitu:
1.       Praktek para sahabat yang telah menggunakannya. Seperti membukukan al-Qur'an, khulafa' 'urrasidin menetapkan keharusan menanggung ganti rugi kepada para tukang, Umar a sengaja menumpahkan susu yang dicampur dengan air guna memberi pelaaran kepada para pedagang yang mencampurnya, para sahabat menetapkan hukuman mati kepada sekelompok orang yang membunuh satu orang dan lain-lainnya.
2.       Adanya maslahat sesuai dengan maqasid syar'I (tujuan-tujuan syar'i), artinya dengan mengambil maslahat berarti sama dengan merealisasikan maqasid syar'i.
Al-Baqarah: 185
߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$# ÇÊÑÎÈ
Sabda nabi  :
"Bahwasannya tidak sekali-kali nabi n dihadapkan pada dua pilihan, kecuali beliau memilih yang lebih mudah/ringan selama bukan merupakan perbuatan dosa."

Dzari'ah
Dari'ah secara bahasa berarti wasilah (perantara). Sedang secara istilah adalah sesuatu yang menjadi perantara kearah perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan. Dengan kata lain ketentuan hukum yang dikenakan pada dzari'ah selalu mengikuti ketentuan hukum yang terdapat pada perbuatan yang menjadi sasarannya.
Perbuatan yang membawa ke arah mubah adalah mubah, perbuatan yang membawa arah haram maka haram. Misalnya, zina adalah haram, maka melihat aurat wanita yang menyebabkan perbuatan zina adalah haram juga, shalat jumat adalah wajib, maka meninggalkan jual beli guna memenuhi kewajiban menjalankan kewajiban shalat jum'at adalah wajib. Dzari'ah diakui seluruh madzhab.

Perbuatan dilihat dari segi akibatnya terbagi menjadi 4 macam, yaitu:
1.       Perbuatan yang secara qath'I (pasti) menatangkan mafsadah/kerusakan, seperti menggali sumur dibelakang pintu rumah dijalan yang gelap dimana sekira ada yang masuk ke rumah itu akan masuk ke dalamnya.
2.       Perbuatan yang kemungkinan kecil akan (jarang) akan mendatangkan mafsadah. Seperti menanam anggur, menjual makanan.
3.       Perbuatan yang kadar kemungkinan terjadinya mafsadat tergolong dalam kategori persangkaan yang kuat, tidak sampai pada kategori keyakinan yang pasti, tidak pula terhitung jarang. Seperti menjual senjata pada masa mewabahnya fitnah, menjual buah anggur kepada pembuat arak. Ini haram hukumnya.
4.       Perbuatan yang jika dikerjakan, kemungkinan besar akan mendatangkan mafsadah, akan tetapi tidak sampai ke tingkat persangkaan kuat apalagi ketingkat keyakinan yang pasti. Seperti akad salam yang dimaksudkan oleh orang yang melakukan transaksi untuk memperoleh riba dengan kedok jual beli.
Hadits nabi yang menerangkan tentang dzari'ah antara lain:
ð Nabi n mencegah membunuh orang munafiq karena akan menyebabkan fitnah bahwa nabi membunuh para sahabatnya.
ð Nabi n melarang orang yang mengutangi, menerima hadiah dari  orang yang berhutang agar hal tersebut tidak mengarah kepada perbuatan riba dimana penerimaan hadiah itu dianggap sebagai pengganti dari bunga.
ð Nabi n melarang memotong tangan pencuri pada masa perang tidak bergabung dengan kaum musyrikin.
ð  Nabi n melarang menimbun harta.
ð Nabi n melarang seseorang membeli barang yang telah disedekahkan kepada orang lain, walaupun ia mendapatkannya terjual di pasar.

Istishhab
Secara bahasa berarti persahabatan. Secara istilah, adalah:
§  Imam asy-Syaukani dalam kitabnya irsyad al-Fuhul menerangkan bahwa istishhab adalah dalil yang memandang tetapnya sesuatu perkara selama tidak ada sesuatu yang mengubahnya. Yakni ketetapan dimasa lampau, berdasarkan hukum asal, tetap terus berlaku untuk masa sekarang dan masa mendatang.
§  Ibnu Qayyim v memberikan pengertian bahwa istishhab adalah melestarikan yang sudah positif dan menegaskan yang negative (tidak berlaku). Yakni tetap berlaku hukum asal, baik yang positif atau yang negative, sampai ada dalil yang mengubah setatusnya.
Contoh istishhab
ðOrang yang hilang, ia tetap dianggap hidup sampai ada bukti kematiannya.
ð Seseorang tidak berhak menuduh bahwa si fulan halal darahnya lantaran murtad, kecuali ada dalil yang menunjukkan kemurtadannya.
ð Seorang yang adil tidak boleh dituduh fasik kecuali ada dalil yang menunjukkan kefasikannya.
ð Si fulan diketahui pemilik suatu barang, maka hak milik itu tidak berpindak kepada orang lain kecuali ada bukti
ð Seseorang jelas menjadi suami resmi dari seorang wanita, maka dengan sendirinya berarti keduanya terjalin perkawinan, sampai terjadi perceraian.

Pembagian istishhab
1.       Istishhab al-Bara'ah al-Ashliyyah (kebebasan dasar), seperti bebas dari beban kewajiban-kewajiban (taklif) syar'I, sampai ada dalil yang menunjukkan adanya taklif. Anak kecil, terbebas taklif sampai baligh.
2.       Istishhab yang diakui eksistensinya oleh syara' dan akal. Seperti mengenai pertanggungan hutang, sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa hutang itu telah dibayar atau dibebaskan.
3.       Istishhab hukum, yaitu apabila dalam kasus itu sudah ada ketentuan hukumnya, baik mubah atau haram. Ketentuan hukum itu terus berlaku sampai ada dalil yang mengharamkan dalam hal perkara mubah, dan hingga ada dalil yang memperbolehkan dalam hal perkara haram.
4.       Istishhab sifat, seperti sifat hidup bagi orang hilang. Sifat ini dianggap masih tetap melekat pada orang yang hilang sampai ada indicator atas keatiannya. Contoh lain, sifat suci bagi air, sifat itu tetap melekat sampai ada tanda-tanda atas kenajisannya, baik berubah warna atau baunya.

Syari'at Umat Sebelum Kita
Sesungguhnya syari'at-syari'at samawi secara prinsipil adalah satu. Allah berfirman: "Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang Telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama[31] dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)." [assura': 13]

Yang menurunkan agama samawi hanya satu, yakni Allahk, maka berarti esensinya juga satu. Nash di atas jelas menernagkan hal itu, diperkuat dengan ima' ulama'. Hanya saja memang Allahk mengaharamkan sebagian perkara atau perbuatan atas sebagian kaum tertentu. Pengharaman itu dimaksudkan untuk mencegah mereka dari tenggelang dalam kehidupan yang diliputi nafsu syahwat, sebagaimana firman-Nya:
n?tãur šúïÏ%©!$# (#rߊ$yd $oYøB§ym ¨@à2 ÏŒ 9àÿàß ( šÆÏBur ̍s)t7ø9$# ÉOoYtóø9$#ur $oYøB§ym öNÎgøn=tæ !$yJßgtBqßsä© žwÎ) $tB ôMn=yJym !$yJèdâqßgàß Írr& !$tƒ#uqysø9$# ÷rr& $tB xÝn=tG÷z$# 5OôàyèÎ/ 4 y7Ï9ºsŒ Oßg»oY÷ƒzy_ öNÍkÈŽøót7Î/ ( $¯RÎ)ur tbqè%Ï»|Ás9 ÇÊÍÏÈ
"Dan kepada orang-orang Yahudi, kami haramkan segala binatang yang berkuku[32] dan dari sapi dan domba, kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan Sesungguhnya kami adalah Maha benar." [al-An'am: 146]
Selain itu, bentuk maupun cara ibadah masing-masing syari'at samawi juga berbeda-beda, meski esensinya tetap sama, yaitu menyembah Allahk Yang Maha Esa yang tidak ada sekutu bagi-Nya.

OBYEK HUKUM (MAHKUM FIH)

Masyaqqat terbagi menjadi dua macam, yaitu:
  1. Masyaqqat yang dapat ditanggulangi dan mampu direalisasikan. Masyaqqat ini harus dilaksanakan bila dilanggar akan dikenakan sangsi hukuman. Misalnya ibadah puasa dan haji. Kedua ibadah ini tergolong berat, akan tetapi dapat ditanggulangi, sehingga tetap harus dilakukan.
  2. Masyaqqat yang tidak dapat ditanggulangi dan tidak mampu direalisasikan, kecuali dengan mengerahkansegala kemampuan. Masyaqqat jenis ini adalah, masyaqat yang bila harus dikerjakan secara kontinyu akan menimbulkan kornban jiwa atau harta atau ketidak mampuan secara mutlak. Seperti perang, mengucapkan kata-kata kufur ketika dipaksa, adalah masyaqat yang sangat berat dan sulit ditanggulangi, meskipun bagi mereka yang mampu dijanjikan pahala dari Allah contoh lain adalah mengucapkan kebenaran dihadapan penguasa dzalim.
Sampai disini dapat disimpulkan, bahwa masyaqqat yang pada umumnya sulit di tanggulangi, terdapat dalam tiga hal:
ðFardhu kifayah, seperti amarma'ruf dan nahi munkar yang dapat membahayakan bagi diri seseorang.
ð Tuntutan-tuntutan yang tidak dapat siupayakan secara optimal, kecuali dengan menyerahkan jiwa yang sangat berharga.
ð Tuntutan- tuntutan yang berbenturan dengan hak-hak Allahk atau hak-hak manusia. Dalam hal ini seseorang dituntut untuk bersabar, meskipun pada umumnya sangat berat dan sulit ditanggulangi. Seperti seseorang yang dipaksa untuk membunuh orang lain, agar menimbulkan permusuhan. Dalam kasus ini, seseorang wajib bersabar dan tidak boleh membunuh orang karena paksaan tersebut.

Amal perbuatan yang dibebankan kepada umat manusia terbagi menjadi tiga:
1.       Amal perbutan yang dapat diwakilkan, seperti amal perbutan yang berkaitan dengan harat benda.
2.       Amal perbuatan yang tidak dapat diwakilkan, yaitu amal perbuatan yang berbentuk ibadah secara fisik seperti shalat, puasa dan sejenisnya.
3.       Yang dapat diwakilkan bila ada udzur, yaitu ibadah yang pelaksanaannya memerlukan tenaga fisik dan harta benda, yakni ibadah haji.

Amal perbuatan yang dibebabkan kepada umat manusia, bila ditinjau dari segi hubungannya dengan hak Allahk dan hak manusia, terbagi menjadi 4 macam, yaitu:
1.       Amal yang semata-mata merupakan hak Allahk. Seperti ibadah dan semua masalah-masalah social yang tidak mendzalimi pada hak individu, tapi justru melindunginya, seperti berperang, zakat, had zina dan khamer.
2.       Amal yang semata-mata hak manusia. Seperti hutang, hak milik, hak memperoleh harata kpusaka dan lain-lain.
3.       Amal yang diperserikatkan antara hak Allahk dan manusia, akan tetapi hak Allahk lebih dominant. Seperti sangsi bagi penuduh berbuat zina.
4.       Amal yang diperserikatkan antara hak Allahk dengan hak manusia, tetapi hak manusia lebih dominant. Seperti qishas diyat dan hukuman pidana yang lain.

SUBYEK HUKUM/MUKALLF (MAHKUM 'ALAIH)

Kemampuan untuk taklif
Kemampuan (ahliyah) ialah kemampuan seseorang untuk menerima kewajiban dan menerima hak. Artinya orang itu pantas untuk menanggung hak-hak orang lain, menerima hak-hak atas orang lain, dan pantas untuk melaksanakannya. Dengan demikian, kemampuan terbagi menjadi dua, yaitu:
ð Ahliyatul wujub, yaitu kemampuan untuk mempunyai dan menanggung hak. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi kamanusiaan, yang dasar keberadaannya karena ia seorang manusia, baik sudah dewasa, kanak-kanak, pandai atau bodoh, laki-laki atau wanita, budak atau merdeka. Sewaktu masih janin, ahliyatul wujub belum sempurna dan baru sempurna setelah lahir ke dunia.
ð Ahliyah ada', yaitu kemampuan untuk melahirkan kewajiban atas dirinya dan hak untuk orang lain. Keberadaan kemampuan ini tidak hanya karena ia sebagai manusia, tetapi karena ia cakap (tamyiz).

Halangan atas kemampuan terbagi menjadi dua, yaitu:
§  Halangan alami (awaridh samawiyah), halangan yang terjadi diluar kemampuan manusia, yaitu gila dan dungu, lupa, ayan dan tidur.
§  Tidak alami, halangan yang terjadi karena perbuatan manusia. Halangan ini ada dua, yaitu dari sendiri berupa bodoh, mabuk dan keliru. Sedang dari orang lain, yaitu terpaksa.

TUJUAN HUKUM SYARA'

Sasaran hukum islam:
1.       Penyucian jiwa
2.       Menegakkan keadailan dalam masyarakat
3.       Mengandung maslahat

Maslahat mu'tabarah
Yaitu maslahat yang menitik beratkan pada pemeliharaan lima hal, yaitu agama, jiwa, harta, akal dan keturunan. Apakah maslahat itu terbagi mengikat hukum syara'? Para ulama' berbeda pendapat hingga terbagi menjadi tiga golongan.
1.       Menolak bahwa hukum islam terkait dengan maslahat. Boleh saja Allahk mensyari'atkan hukum yang tidak mengandung maslahat. Ini pendapat asy-Ariyah dan dzahiriyah.
2.       Sebagian madzhab Syafi'I dan sebagian Hanafi berpendapat bahwa maslahat patut menjadi illat bagi hukum. Akan tetapi, sekedar sebagai tanda (amarah) bagi hukum, bukan sebagai penggerak yang mendorong Allahk menetapkan hukum.
3.       Golongan ini menegaskan bahwa segala hukum islam terkait dengan maslahat, karena Allahk telah bejanji demikian. Dia Maha Rahim, menolak mafsadah dan menghilangkan kesulitan dari hamba-Nya. Ini pendapat Mu'tazilah, maturidiyah sebagain madzhab Hanbali dan Maliki.

Maslahat sebagaimana terumuskan ke dalam lima segi tersebut tidak berada pada satu martabat (tingkatan). Akan tetapi terbagi dalam tiga tingkatan:
  1. Dharuriyat (primir), yaitu tingkatan dimana berbagai maslahat tersebut tidak akan terealisir tanpa terpenuhinya tingkatan ini. Contoh menetapkan hukum mati kepada orang kafir yang menyesatkan orang lain, hukum qishas dan lain-lain.
  2. Hajjiyat (sekunder), yaitu segala sesuatu yang oleh hukum syara' tidak dimaksudkan untuk memelihara lima lima hal pokok, akan tetapi dimaksudkan untuk menghilangkan masyaqat, kesempitan, atau ihtiyath (berhati-hati) terhadap lima hal pokok terbebut. Contoh, menimbun harta, membanting harat
  3. Tahsiniyat atau kamiliyat (pelengkap), yaitu hal-hal yang tidak dalam rangka merealisasi lima kemaslahatan pokok tersebut, tidak pula dalam rangka ihitiyath, akan tetapi dima.ksudkan untuk menjaga kehormatan dan melindungi lima hal pokok hukum di atas. Contoh, diharamkan menipu atau memalsu barang. Perbutan ini tidak menyentuh secara langsng harta itu sendiri (eksistensi), tetapi menyangkut kesempurnaannya. 

Tingkatan maslahat
Imam Izzuddin Abdus Salam v membagi maslahat menjadi tiga macam:
1.       Maslahat yang di wajibkan oleh Allahk bagi hamba-Nya. Maslahat wajib bertingkat-tingkat, terbagi kepada fadhil (utama), afdhal (paling utama) dan mutawashith (tengah-tengah). Seperti menyelamatkan orang yang tenggelang didahulukan dari pada shalat berjama'ah.
2.       Maslahat yang disunnahkan.
3.       Maslahat mubah. Maslahat ini tidak berpahala seperti makan dan minum.

IJTIHAT
Definisi
Ijtihat yaitu upaya mengerahkan  seluruh kemampuan dan potensi untuk sampai pada suatu perkara atau perbuatan.
Menurut ulama' ushul, yaitu usaha seorang yang ahli fiqh yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk meggali hukum yang bersifat amaliyah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci.
 Syarat-syarat mujtahid
ð Menguasai bahasa arab
ð Mengetahui nasikh dan mansukh dalam al-Qur'an
ð Mengerti sunnah berupa qauliyah, fi'liyah, taqririyah
ð Mengerti letak ijma' dan khilaf
ð Mengetahui qiyas
ð Mengetahui maksud-maksud hukum/dalil
ð Pemahaman dan penalaran yang benar
ð Aqidah dan  niat yang benar

Menurut Imam asy-Syatibi, dasar ijtihad itu ada dua:
1.       Memahami tujuan syari'at
2.       Kemampuan berintinbath, dengan menguasai alat istinbath, yaitu menguasai bahasa arab, hukum-hukum dalam al-Qur'an, sunnah, ijma', qiyas dan perbedaan pendapt dikalangan ahli fiqh.

Tingkatan Mujtahid
Ulama' ahli fiqh membagi menjadi 7 tingkatan. Empst tingkstsn tergolong mujtahid. Tiga tingkatan berikutnya masuk ke dalam kategori muqallid, belum mencapai derajat mujtahid.
§  Mujtahid mustaqil (independent/mandiri). Untuk mencapai tingkatan ini, harus dipenuhi seluruh persyaratan ijtihad.
§  Mujtahid muntasib, mereka adalah mujtahid-mujtahid yang mengambil/memilih oendapat-pendapat imamnya dalam ushul dan berbeda pendapat dari imamnya dalam cabang, meskipun secara umum ijtihadnya menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang hamper sama dengan hasil ijtihad yang diperoleh imamnya.
§  Mujtahid madzhab, mereka mengikuti imamnya bai dalam ushul atau furu' yang telah jadi. Fungsi danperanan mujtahid madzhab pada hakekatnya meliputi dua hal, yaitu:
a)       Secara murni mengambil kaidah-kaidah yang telah dipakai para imam pendahulunya, serta semua kaidah fiqhiyyah yang bersifat umum yang terumuskan dari illath-illat qiyas yang telah digali oleh imam-imam besar tesebut.
b)       Menggali hukum-hukum yang belum ada ketetapannya berdasarkan kaidah-kaidah tersebut.
§  Mujtahid murajjih, mereka hanya mentarjih (megunggulkan) diantara pendapat-pendapat yang diriwayatkan dari imam dengan tarjih yang telah dirumuskan oleh mujtahid pada tingkatan di atasnya. Mereka mentarjih sebagian pendapat atas pendapat lain karena dipandang kuat dalilnya atau karena sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat pada masa itu atau karena alasan-alasan lain, sepanjang tidak termasuk ke dalam kategori melakukan kegiatan istinbath baru yang independenth atau atau mengikuti metode istinbath imamnya.
§  Mujtahid muwazin, mereka yang membanding-bandingkan antara beberapa pendapat dan riwayat. Seperti, menetapkan bahwa qiyas yang dipakai dalam pendapat ini lebik mengena bila dibandingkan menggunakan qiyas pada pendapat yang lain, atau pendapat ini lebih shahih riwayatnya atau lebih kuat dalilnya.
§  Mukhafidz, tergolong tingkatan muqallid, hanya saja mereka mempunyai hujjah dengan mengetahui hasil tarjih ulama' terdahulu. Ibnu Abidin yang bermadzhab Hanafi mengatakan, "Mereka adalah yang mampu membedakan antara pendapat yang terkuat, yang kuat, yang dha'if, riwayat dzahir dan bermadzhab dhahiry.
§  Muqallid, yaitu mereka yang mampu memahami kitab-ktab, tetapi tidak mampu melakukan tarjih terhadap beberapa pendapat atau riwayat. Tingkat keilmuannya belum cukup mendukung untuk bisa mentarjih pendapat mujtahid murajjih dan menentukan tingkatan tarjih.

Fatwa Dan Syarat Mufti
Imam Ahmad bin Hanbal, mengemukakan beberapa syarat bagi mufti. Seyogyanya seseorang tidak mengeluarkan fatwa sebelum memenuhi lima hal:
a)       Memasang niat
b)       Bertindak atas dasar ilmu, penuh santun, wibawa dan ketenangan
c)       Mempunyai kekuatan untuk menghadapi dan mengetahui persoalan yang akan dikeluarkan fatwanya
d)       Memiliki ilmu yang cukup
e)       Mengetahui kondisi sosiologi masyarakat

Seorang mufti apabila telah mempunyai kemampuan berijtihad dimana ia mampu menilai kekuatan diantara dalil-dalil  yang digunakan dan mampu menyeleksi pendapat dari berbagai madzhab yang berbeda-beda atas dasar istidlal, maka dalam berfatawa ia boleh memilih salah satu pendapat dari berbagai madzhab. Dalam menetapkan pilihannya ia harus berpegang pada tiga hal, yaitu:
a)       Tidak memilih pendapat yang masih simpang siur pendapatnya.
b)       Fatwanya membawa kemaslahatan bagi masyarakat.
c)       Dalam memilih pendapat, ia harus punya niat yang baik.

Wajib bagi ulama' yang hendak memilih satu pendapat dari madzhab-madzhab yang ada untuk memperhatikan tiga hal sebagai berikut:
a)       Mengikuti pendapat madzhab karena pertimbangan dalilnya.
b)       Berijtihad sekuat kemampuannya dengan tidak meninggalkan pendapat yang telah disepakati (mujma' alaih) untuk mengambil pendapat yang masih diperselisihkan.
c)       Tidak mengikuti selera masyarakat. Tapi, ia harus mengutamakan kemaslahatan dan dalil.


ALHAMDULILLAH


[1] Dinukil dari al-muwafaqat, Imam asy-Syatiby, I/132
[2]  Haram juga menurut ayat Ini daging yang berasal dari sembelihan yang menyebut nama Allah tetapi disebut pula nama selain Allah.
[3]  Ada yang mengatakan wanita-wanita yang merdeka
[4]  Al-Muwafaqat: I/141-142
[5]  Maksudnya: nabi Muhammad s.a.w. mempunyai bukti yang nyata atas kebenarannya
[6]   Pengikut pengikut Injil itu diharuskan memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalam Injil itu, sampai pada masa diturunkan Al Quran.
[7]  Orang yang tidak memutuskan perkara menurut hukum Allah, ada tiga macam: a. Karena benci dan ingkarnya kepada hukum Allah, orang yang semacam Ini kafir (surat Al Maa-idah ayat 44). b. Karena menurut hawa nafsu dan merugikan orang lain dinamakan zalim (surat Al Maa-idah ayat 45). c. Karena fasik sebagaimana ditunjuk oleh ayat 47 surat ini.


[8]  Maksudnya: Al Quran itu tidak diturunkan sekaligus, tetapi diturunkan secara berangsur-angsur agar dengan cara demikian hati nabi Muhammad s.a.w menjadi Kuat dan tetap.


[9] Ayat Ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya.

[10]  Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[11]  Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad s.a.w. ayat Ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
[12]  Seperti: menembak burung terkena seorang mukmin
[13]  Diat ialah pembayaran sejumlah harta Karena sesuatu tindak pidana terhadap sesuatu jiwa atau anggota badan
[14]  Bersedekah di sini Maksudnya: membebaskan si pembunuh dari pembayaran diat
[15] Maksudnya: tidak mempunyai hamba; tidak memperoleh hamba sahaya yang beriman atau tidak mampu membelinya untuk dimerdekakan. menurut sebagian ahli tafsir, puasa dua bulan berturut-turut itu adalah sebagai ganti dari pembayaran diat dan memerdekakan hamba sahaya.

[16] Yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanita-wanita yang suci, akil balig dan muslimah.
[17]  Quru' dapat diartikan Suci atau haidh
[18]  Hal Ini disebabkan Karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah tangga (lihat surat An Nisaa' ayat 34).
[19]  Ayat yang muhkamaat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas Maksudnya, dapat dipahami dengan mudah.
[20] Termasuk dalam pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat: ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya Hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.
[21]  Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad s.a.w. ayat Ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
[22] ]  maksudnya antara lain ialah: bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah Haram (Mekah) dan ihram.
[23] maksudnya janganlah kamu menganiaya dirimu dengan mengerjakan perbuatan yang dilarang, seperti melanggar kehormatan bulan itu dengan mengadakan peperangan
[24]  Menembak burung terkena seorang mukmin
[25]  Bersedekah di sini Maksudnya: membebaskan si pembunuh dari pembayaran diat.
[26]  Maksudnya: tidak mempunyai hamba; tidak memperoleh hamba sahaya yang beriman atau tidak mampu membelinya untuk dimerdekakan. menurut sebagian ahli tafsir, puasa dua bulan berturut-turut itu adalah sebagai ganti dari pembayaran diat dan memerdekakan hamba sahaya
[27] Maksudnya orang-orang mukmin tidak boleh menetapkan sesuatu hukum, sebelum ada ketetapan dari Allah dan RasulNya. Dan qiyas dalam hal ini jelas dilarang.
[28] Sebahagian Mufassirin menafsirkan Al-Kitab itu dengan Lauhul mahfudz dengan arti bahwa nasib semua makhluk itu sudah dituliskan (ditetapkan) dalam Lauhul mahfudz. dan ada pula yang menafsirkannya dengan Al-Quran dengan arti: dalam Al-Quran itu Telah ada pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum, hikmah-hikmah dan pimpinan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, dan kebahagiaan makhluk pada umumnya.

[29]  Maksudnya: orang merdeka dan budak yang dikawininya itu adalah sama-sama keturunan Adam dan hawa dan sama-sama beriman.


[30] Maksudnya Al Quran itu menjelaskan secara terperinci hukum-hukum yang Telah disebutkan dalam Al Quran itu
[31] Dimaksud: agama di sini ialah meng-Esakan Allah s.w.t., beriman kepada-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhirat serta mentaati segala perintah dan larangan-Nya.

[32] Yang dimaksud dengan binatang berkuku di sini ialah binatang-binatang yang jari-jarinya tidak terpisah antara satu dengan yang lain, seperti: unta, itik, angsa dan lain-lain. sebahagian ahli tafsir mengartikan dengan hewan yang berkuku satu seperti kuda, keledai dan lain-lain.