Soal : 
Assalamualaikum wr wb. 
Ana mau tanya ustadz..
Abu  Tsa`labah Al-Khusyani jurtsum bin Nasyir R.A meriwayatkan dari  Rasulullah, beliau bersabda: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan  beberapa kewajiban, maka janganlah kau meninggalkannya dan telah  menentukan batasan-batasan, maka janganlah kamu melampauinya dan telah  mengharamkan beberapa perkara, maka janganlah kamu melanggarnya dan Ia  telah diamkan dari beberapa perkara sebagai rahmat bagimu bkn karena  lupa, maka janganlah engkau membahasnya.(H.R Daruquthni).
Ana mau tanya yg kalimat terakhir dari hadits itu. Apa qiyas tidak disebut dengan membahas apa-apa yg Allah diamkan ustadz?
Mohon penjelasannya. Jazakumullah kheir.
(Amie Lady Poem)
Jawab :
بسم الله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه، أما بعد؛
Waalaikumus salam warahmatullahi wabarakatuhu..
Ukhty  fillah, qiyas dalam sumber hukum Islam memiliki kedudukan yang penting,  yaitu merupakan sumber dalil keempat dari dalil-dalil usul fiqh, dimana  dengannya disimpulkan kebanyakan hukum-hukum syarie karena nash-nash  hukum jumlahnya terbatas sedangkan kejadian-kejadian tidak terbatas dan  selalu muncul sesuatu yang baru, oleh karena Imam Ahmad berkata : (  Tidak seorangpun bisa melepaskan diri dari qiyas ) dan beliau berkata : (  Qiyas sangat penting ).
Dan telah berkata Imamul Haramain :  sesungguhnya kebanyakan kejadian tidak ada nash secara langsung) oleh  karena itu imam yang mengatakan : ( bahwa seandainya qiyas tidak  dipergunakan maka akan mengakibatkan luputnya kebanyakan kejadian dari  hukumnya, karena sedikitnya nash dan bentuk kejadian tidak terbatas )  Lihat Al Bahrul Muhith oleh Az Zarkasyi.
Dan bahwa umat telah  sepakat mengenai beramal dengan qiyas, telah ada nash-nash dari Al Quran  dan Hadits, dan diriwayatkan secara mutawatir dari para sahabat dan  tabiin dan para alim ulama, dan ini juga dipegang oleh para ulama  diantaranya para imam yang empat, dan para pentahqiq dari para ulama  usul, maka mereka menjadikannya termasuk dasar yang disepakatinya,  sampai datang Nidham Al Mutazili yang mengatakan pengingkaran terhadap  qiyas lalu pendapatnya diikuti kebanyakan kelompok Mutazilah dan Dawud  Ad Dhohiri dan para pengikut madzhabnya  dan pengikut Rafidhoh dari  kelompok Imamiyah. Dan pendapat ini dipegang juga oleh sebagian firqoh  yang mengaku bagian dari islam pada hari ini seperti Hizbut Tahrir dan  selainnya.
Dan sikap manusia terhadap qiyas bermacam-macam  diantara mereka ada yang berlebih-lebihan dalam mengamalkannya sehingga  mereka menyelisihi nash-nash yang jelas shahih dengan pendapatnya.
Diantara mereka ada yang ekstrim dalam menolaknya dan mengingkarinya hingga mengharamkannya.
Diantara  mereka ada yang mengamalkannya dengan syarat-syaratnya mereka itulah  para ulama pentahqiq, dimana mereka tidak cenderung kepada qiyas kecuali  dalam keadaan darurat, yaitu apabila mereka tidak menemukan hukum dari  permasalahan atau kejadian dalam Al Quran, Hadits maupun Ijma.
Adapun  hadits diatas yaitu riwayat dari Abu Tsalabah yang diriwayatkan Imam  Thabrani dalam Mujamul Kabirnya dengan derajat yang shahih secara  dhahirnya menyatakan bahwa seolah-olah sesuatu yang didiamkan oleh Allah  Taalaa, yaitu yang tidak disebutkan hukumnya dengan haram, maupun  halal, maupun wajib maka termasuk perkara yang dimaafkan hingga kita  tidak boleh menyatakan hukumnya dengan ijtihad.
Namun Imam Ibnu  Rajab Al Hambali dalam menerangkan hadits ini berkata : ( Akan tetapi  yang patut kita ketahui : bahwa menyebutkan pengharaman dan pengharaman  suatu perkata termasuk suatu yang kadang tidak bisa dipahami dengan  jelas dari Al Quran dan Sunah, karena indikasi dalil dari nash-nash ini  bisa dengan cara nash dan jelas, dan bisa juga secara umum dan  menyeluruh, atau melalui makna yang tersembunyi dibalik nash.
Dan  bisa juga indikasinya termasuk bab qiyas, seperti apabila Allah Taalaa  menyatakan hukum satu perkara secara nash (jelas)  karena suatu makna  tertentu, dan makna tersebut ada dalam perkara yang lain, maka hukumnya  juga menular kepada setiap perkara yang terdapat didalamnya makna  tersebut menurut pendapat Jumhur Ulama, dan itu termasuk bentuk keadilan  dan neraca yang diturunkan Allah, dan kita diperintahkan untuk  mengambilnya sebagai pertimbangan, dan ini semua termasuk cara  mengetahui indikasi nash atas halal atau haramnya sesuatu.
Adapun  perkara yang tidak ada hukumnya dengan semua indikasi tersebut, maka  disini perkara yang tidak disebutkan wajib atau haram termasuk sesuatu  yang dimaafkan.
Lihat Jamiul Ulum Wal Hikam ( 19 ).
Wallahu Alam Bishowab.
Catatan:  Seluruh jawaban pertanyaan dalam kolom Konsultasi Syariah merupakan  hasil ijtihad / pendapat murni penjawab yang terkait dan tidak  merepresentasikan Muslimdaily.net. Antara satu ustadz dengan ustadz yang  lain tidak terdapat hubungan sama sekali. Masing-masing mungkin  memiliki pandangan / pendapat yang berbeda.


 






 
 
 
 
 
0 komentar:
Posting Komentar
Jazakallah