Blogroll

Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa mengajarkan suatu ilmu, maka dia mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya, tidak mengurangi dari pahala orang yang mengamalkannya sedikitpun".
"Barangsiapa dikehendaki baginya kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberikan PEMAHAMAN AGAMA kepadanya.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)

Pages

Kamis, 21 Juli 2011

Jihad Ikhwanul Muslimin


Al-Muslimun—lebih dikenal dengan sebutan Ikhwanul Muslimin (IM)—adalah pergerakan Islam modern yang lahir di Mesir setelah runtuhnya Turki Utsmani. Dalam perkembangannya, IM mendapatkan sambutan dan berkembang di berbagai penjuru Dunia Islam. Seiring proses adaptasi terhadap tantangan dakwah yang ada, cabang-cabang IM di masing-masing negeri pun mengalami berbagai transformasi gerakan. Di Palestina, misalnya, hadir sebagai sayap perjuangan militer HAMAS. Sementara di Indonesia sekarang, hadir dengan baju partai politik PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, harus diakui harakah ini memiliki kontribusi yang cukup signifikan dalam kancah jihad kontemporer. Tulisan kali ini hanya membahas peran IM dalam jihad pada masa awal berdirinya.
Selepas Perang Dunia I, paham berhaluan Barat melakukan penetrasi cukup hebat di Mesir. Kebangkitan nasionalisme di Dunia Islam mencapai puncaknya dengan penggulingan sistem Khilafah Islam Utsmaniyah di Turki oleh Kamal Attaturk. Fenomena ini berlangsung ketika Hasan Al Banna tengah belajar di Darul Ulum. Di dalam catatannya, ia mengekspresikan kebimbangannya,
“Hanya Allah yang mengetahui sudah berapa malam kami berbincang-bincang mengenai kondisi negara dan hubungannya dengan segenap lapangan hidup rakyat, apa dampak dari penyakit masyarakat dan bagaimana mengatasinya. Kami berbincang dengan penuh perasaan hingga meneteskan air mata. Sebelum mengambil satu keputusan, kami berbicara panjang lebar. Namun, alangkah terkejutnya kami ketika membandingkan keadaan ini dengan mereka yang tidak memikirkannya sama sekali, dan justru asyik bersenang-senang di kedai kopi.” (The Moslem Brethren, Ishak Musa Husaini, op. cit. p. 7)
Para ulama yang ada kurang berdaya menahan serangan kelompok modernis; atau—barangkali—baru sebatas melabeli mereka dengan kemurtadan. Lebih malang lagi, ada sekelompok orang yang digelari “ulama” demi memuaskan rezim penguasa terlalu mudah berkompromi dalam aspek prinsip-prinsip agama. Hingga sebagian “ulama” Kairo jatuh ke lembah kehinaan ketika menyetujui fatwa Syaikh Al-Azhar bahwa Raja Farouk layak memerintah dan layak digelari sebagai Khalifatul Mu'minin dengan alasan ia adalah seorang muslim dan termasuk keturunan Rasulullah.
Masih dalam catatan yang sama, Hasan Al Banna mengakui bahwa keputusan mendirikan jamaah Ikhwanul Muslimin adalah follow-up dari perhatiannya terhadap berbagai fenomena di atas yang begitu memprihatinkan. Selepas belajar di Darul Ulum, Hasan Al Banna mendirikan Ikhwanul Muslimin, tepatnya pada 1928. Ia bercita-cita untuk mendirikan satu harakah islamiah yang syumul (komprehensif), yang akan mempraktikkan prinsip-prinsip Islam dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk politik, ekonomi, dan sosial.
Setiap anggota IM diminta melakukan baiat atau sumpah setia. Mereka bersumpah untuk melindungi saudara-saudara IM sekalipun dengan mengorbankan nyawa mereka sendiri, di samping meletakkan kepercayaan dan ketaatan dengan lapang dada terhadap pemimpin mereka, selama sejalan dengan Alquran dan Sunnah.
Hasan Al Banna mengetahui dengan rinci anggota-anggota yang aktif dan tsiqah (terpercaya). Mereka diminta untuk merekam amal yaumi mereka, termasuk hafalan Al-Qur'an, kehadiran dalam shalat berjamaah, serta berbagai pelajaran agama. Mereka pun diajari menggunakan bermacam-macam senjata dan pertolongan darurat. Pada akhir pengajaran, mereka akan dievaluasi.
IM menekankan pentingannya takwinul jama’ah (pembentukan jamaah) secara bertahap. Sebuah harakah perlu dukungan umat yang kuat sebelum dapat menggantikan penguasa yang ada. Khalayak mestilah diajari dengan cukup prinsip-prinsip perjuangan Islam. IM juga berpendapat bahwa kekuatan perlu digunakan ketika semua cara lain gagal. Namun, pada berbagai ucapan dan tulisannya, Hasan Al Banna memang sempat menafikan bahwa IM hendak melakukan revolusi berdarah.
Meski demikian, di antara ciri menonjol IM adalah penekanannya yang kontinyu akan urgensi JIHAD. Pada masa awal berdirinya, jihad yang diajarkan oleh IM ialah jihad yang dipahami oleh setiap muslim yang lurus pemahamannya, yaitu jihad yang dibangun atas dasar wala’ dan bara’; bukan konsep jihad yang direka-reka oleh kaum modernis-sekuler. IM menganggap bahwa ibadah dan amal saleh seorang muslim belum cukup berarti jika ia masih enggan untuk mengorbankan jiwanya demi mempertahankan Islam. Mestilah ia bersedia untuk syahid, semata-mata karena cinta Allah dan rindu akhirat.
IM memompa semangat jihad dengan cara menggalakkan pemuda Islam melakukan latihan olah fisik untuk persiapan perang. Akhirnya, mereka menumbuhkan unit tentara mereka sendiri untuk mempertahankan harakah apabila diperlukan. Ini sesuai dengan simbol jamaah mereka yang bertuliskan: Wa a’iddû (‘Dan persiapkanlah oleh kalian’), serta salah satu motto Jamaah: Syahid Asma’ Amanina (Syahid Cita-cita kami tertinggi’).
Berkali-kali Hasan Al Banna mengajak masyarakat agar berjihad menumpas penjajah Inggris dan mengusir mereka selama-lamanya dari Mesir. Ia menolak bekompromi dan tidak mempercayai pendapat dan pikiran bahwa masalah ini dapat diselesaikan melalui perundingan. Pada Perang Palestina 1948, pasukan sukarelawan IM adalah pasukan yang paling berani berperang di pihak Arab. Ketika PBB mengeluarkan akta kelahiran berdirinya negara Zionis di Palestina, Hasan Al Banna menyerukan kepada seluruh negara di Dunia Islam untuk meninggalkan PBB dan berjihad melawan Yahudi.
Sementara itu di dalam negeri, Hasan Al Banna dan para pengikutnya dengan lantang menyuarakan bahwa Islam sajalah solusi dari semua masalah yang dihadapi Mesir. IM mendeklarasikan diri akan mendirikan masyarakat dan Daulah Islamiah di mana Syariat Islam menjadi undang-undang negara. Hasan Al Banna berkata,
“Kita tidak akan berdiam diri dan bersenang hati atau berhenti hingga Al-Qur'an benar-benar menjadi perlembagaan negara. Kita akan hidup untuk mencapai tujuan ini atau mati dalam usaha melaksanakannya.”
Salah satu statemen Hassan Al Banna tentang prinsip IM dalam bernegara adalah supaya undang-undang Islam dijalankan sepenuhnya di mana pemerintah dan rakyat tunduk kepada syariat Allah . Dalam soal ini, ia mengatakan,
“Al-Ikhwan Al-Muslimun memiliki sikap bahwa Islam mempunyai implikasi yang signifikan dan menyeluruh. Islam mengawal semua tingkah laku individu dan masyarakat. Segala sesuatu mesti tunduk di bawah undang-undang-Nya dan mengikuti ajaran-Nya. Siapa yang tunduk kepada Islam dari segi peribadatan saja tetapi meniru orang kafir dalam segala hal lain dapat dianggap sama derajatnya dengan orang kafir.”
Di dalam jawaban kepada salah seorang pemimpin politik di zamannya, Hasan Al Banna juga berkata, “Kami mengajak Anda kepada Islam, ajaran Islam, undang-undang Islam dan petunjuk Islam. Kalau ini Anda anggap politik, maka inilah politik yang kami perjuangkan.”
Bahkan, Al Banna berani menyerukan pembubaran segenap partai politik termasuk sistem parlemen, karena lebih menghasilkan keruntuhan moral dan perebutan kekuasaan daripada perbaikan. Al Banna dan para pengikutnya melihat bahwa tidak satu pun partai politik Mesir di zaman Raja Farouk benar-benar ingin melaksanakan syariat Islam. Adapun IM bercita-cita untuk mendirikan sebuah negara Islam Mesir yang kuat dan menggantikan segenap partai yang ada. Demikian tegas sikap IM pada masa awal berdirinya. Bahkan, jamaah ini mensyaratkan siapa saja yang ingin menjadi anggotanya untuk berhenti dari keanggotaan partai politik yang ada di Mesir pada era Raja Farouk. (Bandingkan dengan mereka yang menisbatkan diri kepada IM hari ini!)
Walaupun IM bekerja sama dengan Nasionalis Arab Sekuler dalam hal membebaskan Mesir dari belenggu penjajah dan mewujudkan kesatuan Arab, ini bukanlah tujuan, namun strategi saja. Menurut IM saat itu, menyatukan bangsa Arab adalah langkah pertama kepada penyatuan umat Islam di negara Arab. Bebas dari penjajahan bermakna umat Islam memiliki kesempatan untuk mendirikan sebuah negara Islam.
Niat baik IM itu ternyata tidak cukup. Malangnya, setelah Raja Farouk terguling dalam Revolusi 23 Juli 1952, Mesir berubah menjadi sebuah Negara Nasionalis Sekular tulen. Westernisasi terus berlanjut seperti era sebelumnya. Terbukti bahwa pemerintah yang baru sama ganasnya terhadap pergerakan Islam seperti halnya rezim lama, dan bahkan lebih tamak, zalim, dan gila kekuasaan.
IM tak hendak berkuasa untuk kepentingan sendiri, bahkan mereka berjanji berulang kali untuk menyokong siapa yang memerintah, asalkan undang-undang Islam dijalankan. Namun, hal ini ditolak mentah oleh diktator militer yang baru berkuasa. Presiden Gamal Abdul Nasser pernah menyatakan,
“Saya telah bertemu dengan Mursyid ‘Am Ikhwanul Muslimin yang telah mengajukan beberapa tuntutan kepada saya. Hal pertama yang ia kehendaki adalah semua wanita diwajibkan menutup aurat. Ia juga mendesak supaya semua bioskop dan tempat pementasan ditutup. Dengan kata lain, ia ingin agar hidup kita gelap dan mendung. Tentulah hal ini mustahil untuk kita laksanakan.”
Percobaan pembunuhan terhadap Nasser pada Desember 1954 menjadi alasan yang ditunggu-tunggu oleh pemerintah untuk memberangus IM. IM dituduh melakukan penembakan itu walaupun IM berkali-kali menafikannya. Beribu-ribu anggota IM ditangkap, dipenjara, dan enam orang digantung. Protes dari Dunia Islam tidak diladeni. Dua belas tahun selepas peristiwa itu, yaitu pada tahun 1961, IM sekali lagi dituduh sebagai penyebab kegagalan dan kemunduran negara.
Gamal pun menggunakan segenap wewenang militer dan undang-undang untuk menghancurkan IM. Akibatnya, beribu-ribu anggota IM beserta muslimatnya ditangkap tanpa peluang membela diri. Mereka disiksa dengan secara kejam. Hasan Ismail Hudaibi, hakim dan dai terkenal yang menggantikan Hasan Al Banna sebagai Mursyid ‘Am turut disiksa walaupun umurnya sudah tua dan uzur. Puncaknya, pada 29 Agustus 1966, tiga orang tokoh IM dieksekusi, salah satu dari mereka Sayyid Quthb.
Sebagai penutup, perlu diketahui bahwa beberapa tahun sebelumnya Hasan Al Banna pernah memprediksi bahwa “malapetaka” akan menghampiri. Ia mengisyaratkan kepada para pengikutnya bahwa IM akan dihina, ditentang, ditahan, dianiaya, disiksa, dan akan mengalami fase kesusahan. Namun, ia berjanji bahwa kemenangan di dunia dan di akhirat akan tetap bersama IM pada akhirnya. Sekalipun IM ditindas di negaranya sendiri, harakah ini terus berkembang di Suriah, Yordania, Lebanon, Sudan, bahkan hingga Eropa dan Asia.

0 komentar:

Posting Komentar

Jazakallah