Blogroll

Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa mengajarkan suatu ilmu, maka dia mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya, tidak mengurangi dari pahala orang yang mengamalkannya sedikitpun".
"Barangsiapa dikehendaki baginya kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberikan PEMAHAMAN AGAMA kepadanya.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)

Pages

Kamis, 21 Juli 2011

Jangan Engkau Nodai Romadhon


“Di hari harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (suci)”

(asy-Syu’ara’: 88-89)

Salah satu ciri orang selamat di akherat kelak adalah mereka yang datang menghadap Allah Ta’ala dengan hati yang suci. Demikian kata ayat di atas. Menurut Ibnu Qoyim rahimahullah,  diantara ciri hati yang suci adalah selalu memperhatikan amalnya, bukan tersibukkan memperbanyak amal. Beliau berkata,
 “Diantara tanda sehatnya hati adalah, jika hati tersebut memiliki perhatian besar untuk memperbaiki amal dari sekedar beramal. Ia pun akan berupaya menjaga keikhlasan amal, mengawasinya, mencontohi Rasul dan selalu menjaga ihsan dalam beramal”
Beberapa hari lagi, Ramadhan akan tiba. Bulan pembawa berkah ini senatiasa dinanti umat Islam. Setiap muslim berharap amal-ibadahnya di bulan Ramadhan nanti diterima oleh Allah Ta’ala. Sebagaimana nasehat Ibnu Qoyim di atas, untuk menjadi pribadi yang sholeh tidak harus berlomba-lomba memperbanyak amal, tapi yang terpenting memperbaiki amal itu sendiri. Salah satunya, mengantisipasi noda-noda bid’ah yang mencampuri amal ibadah selama bulan Ramadhan.
Terkadang, karena semangat memperbanyak amal, seorang muslim –terutama masyarakat awam- terlalu kreatif dalam beribadah, sehingga ibadah yang dicontohi Rasul Shallalahu ‘alaihi wasallam terasa kurang banyak dan mantap. Akhirnya, banyak orang yang berkreasi untuk menciptakan ibadah baru. Ini adalah kebid’ahan yang diharamkan.
Memahami Bid’ah
Secara bahasa bid’ah adalah sesuatu yang baru, atau membuat sesuatu yang baru tanpa ada contoh sebelumnya (Haqiqah al Bid’ah, 1/ 242-244). Salah satu ayat yang menjelaskan makna secara bahasa ini adalah,
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ
“Allah Pencipta langit dan bumi.” (QS al-Baqarah: 117)
Makna badi’ dalam ayat ini adalah memulai tanpa ada contoh sebelumnya. Motor, ijazah, dan sejenisnya masuk dalam kategori bid’ah dalam tinjauan bahasa. Tetapi bid’ah yang dimaksud oleh nabi adalah bid’ah secara istilah. Bukan secara bahasa.
Para ulama berbeda dalam mengungkapkan definisi bid’ah secara istilah, tapi pada intinya sama. Ibnu Hazm berkata, “Bid’ah dalam din adalah segala (bentuk aktifitas ibadah) yang tidak terdapatkan dalam al Qur’an maupun as-Sunnah.” (al-Bid’ah Tahdiduha, 161).
Imam Asy-Syatibi rahimahullah berkata,
 “Segala cara dalam agama yang diada-adakan yang mirip syari’at, dalam melakukannya pelaku bermaksud beribadah kepada Allah Ta’ala.”
Dari segi  bentuk, tata caranya bid’ah mirip dengan syari’at. Niatnya pun sama; untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. Bid’ah menjadi pesaing syari’at karena kemiripan antar keduanya. Dalam melakukannya, pelakunya merasa lebih baik, lebih sempurna atau minimal ia meyakini sebagai alternatif lain dalam beribadah. Tanpa keyakinan ini, ia pasti mencukupkan diri dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam. Selain itu, pelaku bid’ah telah memposisikan dirinya sejajar dengan Rasul, yaitu sama-sama menetapkan syari’at. Bedanya, syari’at yang ditetapkan oleh Rasul berasal dari wahyu Allah, sedangkan “syari’at” yang ditetapkan oleh pelaku bid’ah bersumber dari “wahyu” perasaannya.
Setiap Bid’ah Sesat
“Tidak semua bid’ah sesat kok, toh sahabat Umar Radhiyallohu ‘anhumengatakan sebaik-baiknya bid’ah.” Demikian pernyataan sebagian orang ketika ada yang menyampaikan bahwa bid’ah itu sesat.
Sekilas, ungkapan di atas seperti ada benarnya. Apalagi dibumbui dengan perkataan Umar bin Khattab Radhiyallohu ‘anhudan para ulama lainnya yang membagi bid’ah menjadi dua: sayyi’ah (buruk) dan hasanah (baik).
Hanyasanya, seorang muslim wajib mengembalikan seluruh perkara dien (agama) kepada Allah dan Rasul-Nya. Tentang bid’ah Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan,
 “Jauhilah kalian perkara yang diada-adakan, karena sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan bid’ah dan sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud)
Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan bahwa setiap kebid’ahan itu sesat, tanpa pengecualian. Jika hendak berpendapat bahwa bid’ah ada yang baik, wajib mengemukakan dalil dari al Qur’an dan as-Sunnah. Artinya, di atas Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam telah menghukumi seluruh kebid’ahan sesat, maka untuk mengecualikan bahwa ada bid’ah yang baik, harus menunjukkan dalil dari al Qur’an dan as-Sunnah.
Jika tidak ada dalil yang menunjukkan adanya bid’ah yang baik, berarti orang yang bersikukuh bahwa ada bid’ah yang baik maka ia telah menentang Rasul Shallalahu ‘alaihi wasallam. Menentang Rasul merupakan perbuatan yang tidak ditolerir dalam Islam. Allah Ta’ala berfirman,
..Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”(an-Nuur:63)
Pernyataan Umar, “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (sholawat tarawih berjama’ah).” Telah didudukan dengan baik oleh para ulama;
1)       Kalaupun pernyataan Umar di atas maknanya seperti apa yang mereka maksudkan. Maka tidak boleh mempertentangkan pendapat sahabat dengan pendapat Rasulullah `.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah.” (Al-Hujurat: 1)
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Hampir-hampir kalian ditimpa hujan batu dari langit. Aku katakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda demikian…demikian, (tapi) kalian mengatakan: Kata Abu Bakr dan Umar begini…begini….”
2)       Yang dimaksud oleh Umar adalah bid’ah dari sisi bahasa. Ibnu Katsir berkata, “Kadang bid’ah disebut dalam pengertian bahasa, sebagaimana perkataan Umar bin Khattab ketika mengumpulkan untuk sholat tarawikh.”
3)       Sholat tarawih berjama’ah yang diadakan Umar Radhiyallohu ‘anhubukan kategori bid’ah secara syar’i, karena telah dicontohi Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam. Hanya beliau tidak melanjutkan karena khawatir diwajibkan atas umatnya. Beliau ` bersabda,
 “…Sungguh tak ada yang menghalangiku untuk keluar menemui kalian (untuk sholat tarawih berjama’ah) kecuali karena khawatir jika sholat tarawih itu diwajibkan atas kalian.” (HR. Bukhari)
Setelah Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam wafat, Umar melihat sebab yang menghalangi untuk melaksanakan tarawih secara berjama’ah telah hilang, maka Umar menghidupkan kembali sunah ini. Tentu, ini berbeda dengan orang-orang yang mengada-adakan sesuatu yang belum pernah ada contoh sama sekali dari Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam, bermodal niat baik dan perasaan.
Tidak Cukup Niat Baik
Segala aktivitas manusia pasti dilandasi alasan. Demikian pula dengan pelaku bid’ah, mereka pun memiliki alasan. Alasan yang sering mereka kemukakan adalah, “Yang penting niatnya baik.”
Kalaulah yang dijadikan dalil hadits, “innamal a’malu bin niyah” (sesungguhnya segala amal tergantung niat). Maka ini penyalahgunaan dalil, karena maksud hadits tersebut adalah amalan baik yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam, bukan amalan buruk yang diada-adakan, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama ahlu sunnah, termasuk al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali dalam jami’ul ‘ulum wal hikam.
Sahabat Ibnu  Mas’ud Radhiyallohu ‘anhutelah membantah orang-orang yang menjadikan “niat baik” sebagai dalih untuk melakukan perbuatan bid’ah; Suatu kali Abu Musa al-‘Asy’ari datang melapor kepada Ibnu Mas’ud ‘Alaihissalam, “Aku menemukan sebuah kaum yang duduk berkumpul di masjid, ditangan mereka ada kerikil. Salah seorang dari mereka mengatakan, “Bertakbirlah seratus kali!Lalu mereka melakukannya. “Bertahlillah seratus kali!” Mereka pun melakukannya. “Dan bertasbihlah sertaus kali!” Mereka pun menurutinya.” Kisah Abu Musa ‘Alaihissalam.
Lalu Ibnu Mas’ud Radhiyallohu ‘anhumenemui mereka, kemudian bertanya, “Apa yang kalian perbuat?” Mereka menjawab, “Wahai Abu Abdurrahman, kami menggunakan kerikil ini untuk menghitung bilangan takbir, tahlil dan tasbih.” Beliau menjawab, “Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikitpun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka sahabat Nabi kalian masih banyak. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah)?” Mereka bekilah, “Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman, kami tidaklah menginginkan selain kebaikan”. Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya” (Diriwayatkan ad-Darimi)
Bersandar Pada “Wahyu” Perasaan
“Saya sangat khusyu’ jika melakukan hal ini.” Ini salah satu ungkapan para pelaku bid’ah. Ini juga salah satu alasan mereka melestarikan kebid’ahan yang mereka lakukan. Banyak orang yang menyangka, jika hatinya sudah mantap, perasaannya tenang,  jiwanya mood, berarti apa yang ia perbuat adalah benar dan diridhoi Sang Khaliq.
Persangkaan atau perasaan memang sering menjadi rujukan bagian sebagian orang. Terlebih orang yang mencari pembenaran terhadap kesalahannya. Allah k berfirman;
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan (perasaan) saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran” (Yunus: 36)
 Ada lagi dalil yang dijadikan dalil oleh pelaku kemungkaran –termasuk bid’ah- untuk menjustifikasi perbuatannya, yaitu sabda Rasulullah `, kepada salah seorang sahabat,
Mintalah fatwa dari hatimu. Kebajikan itu adalah apa-apa yang menentramkan jiwa dan menenangkan hati dan dosa itu adalah apa-apa yang meragukan jiwa dan meresahkan hati, walaupun orang-orang memberikan fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya”. (HR. Ahmad dan Ad-Darimi, Hadits hasan)
Bila hadits ini dijadikan dalil untuk membenarkan tindakan-tindakan bid’ah dan melanggar syari’at, jelas ini sebuah pemahaman yang keliru. Menurut para ulama, diantaranya Ibnu Rajab dan Syaikh DR. Adullah Azzam dalam desertasi doktoralnya, hadits ini tidak bisa dijadikan dalil untuk melanggar syari’at Islam dan membuat kebid’ahan dengan dalih “wahyu” (perasaan) hati.
Perasaan hati bisa digunakan dalam dua kondisi;
Ø       Dalam perkara-perkara yang belum ternashkan. Baik lewat Qur’an, Hadits, ijma’ maupun Qiyas; secara tersirat ataupun tersurat.
Ø       Dalam hal-hal yang diperselisihkan oleh para ulama dan dalam pandangan seorang muslim, masing-masing pendapat memiliki hujjah yang sama-sama kuat. (Jami’ul ulum, hal. 315-316 & Dalalatul al kitab wa sunnah, hal. 52)
Alhasil, Ramadhan adalah bulan agung. Bulan yang diberkahi Allah k. Ibadah di dalamnya dilipat-gandakan pahalanya oleh Allah Ta’ala. Jangan pernah menodainya dengan ritual ibadah yang tidak ada contohnya dari Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam. Ritual yang diada-adakan semuanya tertolak, walau seikhlas apapun niat pelakunya.* Wallahu a’lam bis showab

0 komentar:

Posting Komentar

Jazakallah