Blogroll

Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa mengajarkan suatu ilmu, maka dia mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya, tidak mengurangi dari pahala orang yang mengamalkannya sedikitpun".
"Barangsiapa dikehendaki baginya kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberikan PEMAHAMAN AGAMA kepadanya.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)

Pages

Selasa, 19 Juli 2011

Hati-Hati Awas, Penjagamu Lengah!


Awas, Penjagamu Lengah!
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api naar yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. 66:6)
Ayat yang sudah sangat familiar ditelinga dan mata kita. Ayat yang paling sering dikutip untuk menggambarkan tugas seorang anggota keluarga agar menjaga keluarga dari neraka. Tentunya mukhatab (objek bicara) yang paling layak menanggung beban perintah ini adalah kepala rumah tangga alias para suami. Adapun anak atau isteri, secara umum mereka juga terkena kewajiban ini, hanya saja porsi kepala rumah tangga lebih besar.
Bagi suami tugas ini jauh lebih urgen melebihi tugas memberi nafkah, lahir maupun batin. Tugas dengan skala prioritas paling utama yang harus segera dilaksanakan. Juga menjadi tugas yang paling berat karena menyangkut nasib keluarga di masa depan.
Menjaga keluarga dari neraka, sebagaimana dijelaskan Imam Qotadah maksudnya, “Suami mendorong keluarga untuk melaksanakan perintah Allah, mencegah mereka dari melanggar larangan Allah, menegakkan perintah Allah atas semua anggota serta membantu dan membimbing mereka dalam pelaksanaannya. Dan jika dia melihat ada pelanggaran terhadap syariat, dia menegur dan memperingatkan.”(Tafsir Ibnu Katsier). Artinya seorang suami harus berperan sebagai ‘polisi syariat’ dalam keluarga. Selain menjadi penegak hukum allah, dia juga harus memberikan penyuluhan agar warganya lebih sadar hukum.
Tugas ini akan kian berat jika tak didukung anggota keluarga yang lain. Kalau diibaratkan, suami tak ubahnya satpam atau prajurit jaga yang harus melindungi keluarganya agar tak diculik oleh maksiat dan akhirnya dijebloskan ke neraka. Dan seorang penjaga, seharusnya tak boleh lengah sedikitpun. Hanya saja, yang perlu disadari oleh anggota keluarga yang lain, khususnya isteri sebagai pendamping adalah jadual jaga ini bersifat abadi. Karenanya, sangat mungkin sesekali atau bahkan berulangkali sang prajurit, mengantuk, atau malas dalam melakukan jaga.
Pada saat sang penjaga lemah semangat dan alpa, semestinya yang dijaga merasa khawatir. Seperti layaknya pemilik lumrah yang akan sangat khawatir dan takut jika satpamnya lengah dan tak sigap dalam melakukan penjagaan. Kondisi gawat semacam itu tidak mungkin akan dibiarkan berlarut-larut.
Jangan sampai sang isteri justru senang dan malah memanfaatkan kondisi tersebut. Saat suami membiarkan saja dirinya menunda-nunda shalat dan bangun kesiangan, isteri justru senang. bahkan dengan bangga menyebut suaminya kini sebagai suami yang “lebih pengertian”.Sepulang dari arisan atau kumpulan ibu-ibu dalam berbagai variannya, biasanya para isteri  pulang membawa oleh-oleh seabrek bahan gunjingan untuk beberapa tetangga. Saat isteri mulai dengan lahap menyantap daging saudaranya alias mengghibah, ternyata suami cuma diam dan hanya mendengarkan. Isteri malah merasa bahwa suaminya kini lebih enak diajak bicara dan teman curhat yang budiman. Ketika suami hanya diam melihat isteri yang cenderung berlama-lama di depan TV hingga pekerjaan rumah tangga kacau karena banyak yang ditunda, isteri malah enjoy dan menyebutnya sebagai suami yang “tidak saklak”.
Gawat jika seperti itu yang terjadi. Bukannya khawatir, yang dijaga justeru senang ketika penjaga lengah dan penjahat mulai menjulurkan tangannya menjahili dirinya. Jika terus dibiarkan, hal itu akan menjadi alamat bubrahnya masa depan keluarga, khususnya masa depan akhiratnya.
Untuk itu, isteri sebaiknya waspada. Kalau suaminya yang dulu biasa membangunkan dan menegur jika dirinya menunda-nunda shalat, isteri tidak boleh senang dan malah memanfaatkan. Sebaliknya harus curiga karena polisinya kini mulai lemah dalam menjaga. Atau ketika pembicaraan mulai mengarah pada ghibah dan suami yang dulu biasa mengingatkan kini hanya diam, isteri pun harus khawatir. Pasti ada yang tidak beres dalam hal itu. Lebih-lebih jika suami memang tidak pernah menggubris berbagai pelanggaran syariat yang ada di dalam keluarga, kekhawatiran seorang isteri semestinya lebih besar lagi. Mengapa? Karena seakan-akan keluarganya tidak dijaga sama sekali.
Nah, untuk itu, tidakada salahnya jika sesekali isteri mengajak diskusi suami tentang kualitas pengamalan Islam dalam keluarga. Mengingatkan suami dan membangun kesadaran bersama untuk saling mengingatkan dan menasehati. Menyatakan diri siap untukdiingatkan jika memang salah.
Amar makruf nahi mungkar itu berat, hatta terhadap isteri dan keluarga sendiri sekalipun. Tapi dengan kesadaran bersama akan pentingnya kebiasaan saling mengingatkan dan menegur jika salah, insyallah beban itu akan terkurangi. Tidak masalah meskipun pada prakteknya, saat diingatkan ketika salah, tidak mudah untuk bisa menerima dengan lapang dada tanpa pasang muka cemberutsama sekali atau kilah untuk membela diri. Yang penting asal kesadaran senantiasa dibangun, hal itu hanyalah variasi yang akan membuat suasana menjadi lebih indah. Ibarat makan, gurih melulu mlaah bisa bikin eneg, kadangkala harus ada rasa pedes atau asemnya. Bukan begitu ibu-ibu?

1 komentar:

Jazakallah