Blogroll

Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa mengajarkan suatu ilmu, maka dia mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya, tidak mengurangi dari pahala orang yang mengamalkannya sedikitpun".
"Barangsiapa dikehendaki baginya kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberikan PEMAHAMAN AGAMA kepadanya.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)

Pages

Minggu, 12 Juni 2011

Dosa Ala Orang Bertakwa

Menepis Dosa Ala Orang Bertakwa
إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِّنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُم مُّبْصِرُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, Maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (QS. al-A’raaf: 201)
Orang yang bertakwa bukanlah orang ma’shum yang terjaga dari segala kesalahan. Ada kalanya ia lengah, hingga terpancing oleh bujuk rayu setan. Kadang pula terbersit keinginan untuk bermaksiat, dan bahkan sesekali terjerumus ke dalamnya.
Tapi, alangkah beda karakter orang yang bertakwa dengan orang-orang fajir yang gemar berbuat dosa. Para pendosa tidak memiliki sensor dan lepas kontrol, tidak peka terhadap dosa, tidak berusaha mendeteksi status halal atau haram, tidak pula berpikir akan risiko perbuatan dosa yang dilakukannya.
Waspadai Dosa Sebelum Kedatangannya
Meski sesekali pernah berbuat dosa, dari awal orang yang bertakwa telah optimal melakukan penjagaan dari dosa. Dia berusaha ‘membangun’ pagar antara dia dengan dosa di wilayah yang aman dari dosa, bukan di wilayah ‘abu-abu’, atau persis di batas wilayah antara halal dan haram yang rawan dengan tindakan dosa. Karakter mereka seperti yng dijelaskan oleh Nabi SAW,
لاَ يَبْلُغُ الْعَبدُ أنْ يَكُونَ منَ المُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لاَ بَأسَ بِهِ ، حَذَراً مِمَّا بِهِ بَأسٌ
“Seorang hamba belum mencapai derajat muttaqin sehingga dia meninggalkan apa-apa yang tidak berdosa karena takut terjerumus ke dalam dosa.” (HR Tirmidzi, beliau mengatakan, “hadits hasan”)
Dia tidak hanya meninggalkan yang haram, tapi juga yang syubhat agar lebih jauh dari dosa.
Orang yang bertakwa memiliki kepekaan yang tajam terhadap dosa. Terkadang sensor ketakwaannya mampu mendeteksi godaan setan sejak awalnya, juga dari pintu mana setan hendak masuk mencuri hatinya. Seketika itu iapun bersegera menepisnya. Dia mematuhi sabda Nabi SAW,
يَأْتِي الشَّيْطَانُ أَحَدَكُمْ فَيَقُولُ مَنْ خَلَقَ كَذَا مَنْ خَلَقَ كَذَا حَتَّى يَقُولَ مَنْ خَلَقَ رَبَّكَ فَإِذَا بَلَغَهُ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ وَلْيَنْتَهِ
“Setan mendatangi salah seorang dari kalian, lalu bertanya, “Siapakah yang menciptakan ini? Siapakah yang menciptakan itu?” Hingga dia bertanya,’Siapakah yang menciptakan Rabb-mu?’ Oleh karena itu, jika telah sampai kepadanya hal tersebut, maka hendaklah dia berlindung kepada Allah dan hendaklah dia menghentikan (waswas tersebut)”. (HR Bukhari)
Terkadang pula kepekaan itu muncul saat orang yang bertakwa itu benar-benar dekat sekali dengan kemaksiatan, lalu dia tersadar dan menjauh darinya. Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menyebutkan riwayat dari Ibnu Asakir, bahwa ada seorang pemuda di zaman sahabat yang rajin beribadah ke masjid. Lalu, seorang wanita terus merayu dan menggodanya. Hingga suatu kali, hampir saja dia masuk ke dalam rumah bersama wanita itu, lalu dia teringat dan membaca firman-Nya,
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, Maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (QS al-A’raaf 201)
Tiba-tiba saja ia jatuh pingsan. Pemuda itu sempat sadar dan kembali mengulang bacaannya sebelum akhirnya wafat. Begitu besar rasa takutnya kepada Allah, hingga mencegahnya dari tindakan keji, meski jarak antara dia dengan dosa tinggal sedikit lagi.
Orang yang bertakwa juga mudah menerima peringatan, seketika tersadar saat dibacakan ayat-ayat Allah, sehingga mencegahnya untuk berbuat melampaui batas. Seperti ulama tabi’in, Ali bin Husain bin Ali yang dikenal dengan Zainul Abidin. Tatkala beliau hendak berwudhu, seorang budak beliau menuangkan air dengan kendinya, tiba-tiba kendi itu terjatuh dan pecah, hingga pecahannya melukai wajah beliau. Hampir saja beliau marah, tapi sang budak membacakan firman Allah dalam Surat Ali Imran 134, “wal kazhimiinal ghaizha..(yang menahan amarah)..” Beliau tersadar dan berkata, “Aku tahan amarahku!” Si budak melanjutkan, “wal ‘aafiina ‘anin naas (yang memaafkan manusia)..” Beliau menyahut, “Aku maafkan kamu!” Si budak melanjutkan, “wallahu yhibbul muhsiniin (dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik).” Lalu beliau berkata,
“Aku merdekakan dirimu!”
Peka Terhadap Dosa yang Telah Terjadi
Memang ada kemungkinan paling parah yang dialami orang yang bertakwa. Di mana ia benar-benar terjerumus ke dalam dosa. Tapi, kebeningan hatinya segera menyadarkan ia akan kesalahannya. Seketika itu ia akan menyesali perbuatannya, takut akan akibat, dan lantas bersegera kembali mengingat Allah. Berbeda dengan orang fajir yang tak merasa bersalah usai bermaksiat, tak ada penyesalan dan tetap merasa aman dan nyaman. Beda antara keduanya dijelaskan dalam sebuah hadits,
إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ
“Sesungguhnya orang mukmin memandang dosanya seperti orang yang duduk di kaki gunung, ia takut tertimpa olehnya. Sedangkan orang fajir, memandang dosa-dosanya layaknya lalat yang melewati hidungnya (yang mudah dihalau).” (HR Bukhari)
Bukan sekedar menyadari kesalahan, orang yang bertakwa teringat akan dosanya, saat musibah menimpa mereka. Sufyan ats-Tsauri pernah mengatakan, “Aku terhalang shalat malam selama lima bulan karena dosa yang saya lakukan.”
Muhammad bin Sirin, seorang ulama tabiin juga pernah terlilit hutang. Lalu beliau mengevaluasi diri dengan caranya orang shalih, bukan dengan gaya pedagang. Lalu beliau mendapatkan kesimpulan, “Sungguh, musibah ini tidak menimpaku melainkan karena dosa yang pernah aku perbuat sejak 40 tahun yang silam. Di mana aku mengatakan kepada seseorang, “Hai, orang bangkrut!”  Tatkala kisah ini disampaikan kepada Abu Sulaiman ad-Darani, beliau memberikan komentar, “Dosanya sedikit, sehingga dia bisa mendeteksi dosa mana yang menyebabkan musibah terjadi, tapi dosa kita banyak, sehingga tak tahu lagi, dosa mana yang menyebabkan datangnya tiap musibah.”
Allahumma aati anfusana taqwaaha, ya Allah, anugerahkan taqwa di hati kami. Amin.

0 komentar:

Posting Komentar

Jazakallah