Menggarap tanah dalam ajaran islam dikenal dengan istilah muzara’ah. Bagaimana gambaran lengkapnya dari sistem ini…? Insya Alloh dirubrik postingan fiqih Ringkas Edisi kali ini kita akan mengulas nya…!
Seseorang memberikan tanahnya kepada orang lain untuk ditanami dengan upah bagian tertentu dari hasil tanah tersebut, misalnya sepertiganya atau separuhnya itulah yang disebut dengan Muzara’ah.
Adapun mengenai dalil diperbolehkanya muzara’ah adalah
“Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memperkerjakan penduduk khoibar dengan memperoleh setengah dari hasilnya berupa buah dan tanaman.”
Berkata Syaikh Abdullah Al-Bassam dalam menyebutkan pelajaran yang dapat diambil dari hadits tersebut :
Pertama, Bolehnya muzara’ah dan Musaqat dengan bagian dari apa yang tumbuh dari tanah tersebut baik berupa tanaman dan buah.
Kedua, Dari zhahir hadits, tidak disaratkan benih dari pemilik tanah, dan ini adalah yang benar.
Selain itu, Berkata Imam Bukhari rohimahulloh: berkata juga Qais bin Muslim dari Abu Ja’far, dia berkata: “Tidaklah di Madinah kaum Anshar melainkan mereka menanam dengan bagian sepertiga atau seperempat. Dan adalah Ali, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali dan Ibnu Sirin, mereka melakukan muzara’ah.
Jadi muzara’ah adalah diperbolehkan dengan dalil-dalil yang ada dan diamalkan oleh salafush shalih.
Sedangkan Mengenai benih tanaman bisa dari pemilik tanah maka ini dinamakan muzara’ah, dan boleh benih berasal dari penggarap dan ini disebut mukhabarah. Berkata Syaikh Abdul Adhim Al-Badawi: “Tidak mengapa benih berasal dari pemilik tanah atau dari penggarap tanah ataupun dari keduanya, dalilnya; berkata Imam Bukhari rohimahulloh bahwa Umar radhiyallohu’anhu memperkerjakan orang-orang, jika benih dari Umar maka bagiannya setengah, dan jika benih berasal dari mereka maka bagian mereka adalah seperti itu atau setengah. Dia juga berkata: telah berkata Hasan: “Tidak mengapa jika tanah itu milik salah satu dari keduanya, kemudian diusahakan bersama maka apa yang keluar atau tumbuh untuk keduanya, dan Az-zuhri berpendapat demikian.
Lantas hal apakah yang tidak diperbolehkan dalam muzara’ah..?
Dalam penggarapan tanah tidak boleh adanya unsur-unsur yang tidak jelas seperti pemilik tanah mendapat bagian tanaman dari tanah sebelah sini, dan penggarap mendapat bagian tanaman dari tanah sebelah sana. Hal ini dikatakan tidak jelas karena hasilnya belum ada, bisa jadi bagian tanaman dari tanah sebelah sini yaitu untuk pemilik tanah bagus dan bagian tanaman penggarap gagal panen ataupun sebaliknya. Dan bila keadaan ini yang terjadi maka terjadi salah satu pihak dirugikan. Padahal muzara’ah termasuk dari kerjasama yang harus menanggung keuntungan maupun kerugian bersama-sama.
Ataupun bisa terjadi pemilik tanah memilih bagiannya dari tanah yang dekat dengan saluran air, tanah yang subur, sementara yang penggarap mendapat sisanya. Inipun tidak diperbolehkan karena mengandung ketidakadilan, kezhaliman dan ketidakjelasan.
Dalam muzara’ah harus disepakati pembagian dari hasil tanah tersebut secara keseluruhan. Misalnya pemilik tanah mendapatkan bagian separuh dari hasil tanah dan penggarap mendapat setengah bagian juga, kemudian setelah ditanami dan dipanen ternyata rugi maka hasilnya dibagi dua, begitu juga bila hasilnya untung maka harus dibagi dua. Dan pada kasus ini ada kejelasan pembagian hasil, dan ini diperbolehkan.
Terkait hal tersebut Berkata Syaikh Abdul Azhim Al-Badawi: “Dan tidak boleh muzara’ah dengan syarat sebidang tanah ini untuk pemilik tanah dan sebidang tanah yang ini untuk penggarap. Sebagaimana tidak boleh pemilik tanah berkata bagianku dari tanah ini adalah sejumlah berapa wasak.
“Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khadij, dia berkata, pamanku telah menceritakan kepadaku bahwasanya mereka menyewakan tanah pada zaman Nabi dengan apa yang tumbuh dari saluran-saluran air atau sesuatu yang telah dikecualikan pemilik tanah, kemudian Nabi shollallohu,’alaihi wa sallam melarang hal itu. Aku bertanya kepada Rafi’, bagaimana bila dengan dinar dan dirham..? maka Rafi’ menjawab, tidak mengapa menyewa tanah dengan dinar dan dirham.
”Dari Hanzhalah bin Qais, dia berkata, aku bertanya kepada Rafi’ bin Khadij mengenai penyewaan tanah dengan emas dan perak, kemudian dia menjawab, tidak apa-apa. Sesungguhnya orang-orang pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyewakan tanah dengan imbalan apa yang tumbuh di saluran air dan parit, dan berupa aneka tanaman. Kemudian terkadang tanaman ini rusak dan itu selamat, terkadang juga tanaman ini selamat dan tanaman itu rusak, sedangkan orang-orang tidak mempunyai sewaan kecuali itu, oleh karena itu Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Adapun sesuatu (imbalan) yang jelas diketahui dan terjamin maka tidak apa-apa.
Dari dua hadits yang ada, keduanya memang menggunakan lafadz menyewakan tanah namun menyewakan tanah yang dilarang pada hadits tersebut adalah muzara’ah atau menggarap tanah, karena imbalan yang disepakati adalah dari hasil tanah tersebut dan ini dinamakan muzara’ah. Sedangkan apabila imbalannya berupa emas, perak, uang ataupun selain dari hasil tanah tersebut maka ini disebut penyewaan tanah. Pelarangan muzara’ah pada hadits tersebut juga tidak secara mutlak, karena sebenarnya muzara’ah diperbolehkan sebab nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mengamalkan muzara’ah dan juga salafus shalih.
Namun pelarang muzara’ah pada hadits tersebut dikarenakan tidak adanya pembagian hasil yang jelas. Maka haruslah bagi orang yang akan melakukan akad muzara’ah harus menentukan pembagian hasil tanah dengan jelas seperti menentukan separuh, sepertiga atau seperempat dari hasil tanaman yang dihasilkan untuk penggarap dan untuk pemilik tanah karena muzara’ah adalah kerja sama alias persekutuan, dan yang namanya kerja sama keuntungan dan kerugian harus ditanggung bersama.
Dari uraian tadi dapat kita tarik kesimpulan bahwa menggarap tanah adalah termasuk akad kerjasama atau persekutuan alias syirkah yang harus jelas pembagian hasilnya seperti separuh, sepertiga atau seperempat atau bagian yang tertentu dari hasil tanaman yang diperoleh, sehingga apabila mengalami kerugian ataupun keberhasilan ditanggung bersama. Dan menggarap tanah hukumnya dibolehkan. Wallohu ’alam…..
0 komentar:
Posting Komentar
Jazakallah