Kadang-kadang terpikir olehku, bahwa hakekat, motivasi dan tujuan sesungguhnya dari kemenangan Islam, bukan saja tidak diketahui oleh orang-orang Barat, yang mengira bahwa kemenangan Islam itu hanyalah persoalan gerakan pedang, perpindahan jenis manusia, dan kemajuan yang didorong oleh jiwa rakus, tetapi hal itu juga tidak diketahui oleh kebanyakan kaum Muslimin sendiri, yaitu orang-orang yang menyangka bahwa perluasan daerah kekuasaan saja dalam kemenangan Islam itu telah merupakan keuntungan bagi Islam, telah merupakan tindakan yang penuh jasa bagi pejuang-pejuang Islam di setiap masa.
Orang Barat dan orang Islam yang berpendirian seperti itu sama saja. Mereka sama jauhnya dari pengenalan sebenarnya tentang hakekat kemenangan Islam, serta motivasi dan tujuan sebenarnya. Kiranya baiklah kalau kita memperbaiki gambaran yang telah dipalsukan atau dirusak, bukan saja tentang kemenangan-kemenangan Islam itu saja, tetapi juga tentang pemikiran Islam itu sendiri pada akhirnya.
Allah SWT berfirman:
“Tidak boleh ada paksaan dalam agama, yang benar itu telah jelas berbeda dari yang tidak benar.” (QS. Al-Baqarah [2] : 256)
Allah SWT berfirman:
“Hai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang wanita, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling berkenalan.” (QS. Al-Hujurat [49] : 13)
Rasulullah SAW pernah ditanya seseorang:
“Orang yang berjuang untuk mencari harta rampasan, orang yang berjuang untuk mencari keharuman nama, orang yang berjuang agar dikagumi orang, manakah di antara mereka yang berjuang di jalan Allah?”
Beliau SAW menjawab:
“Siapa yang berjuang untuk menegakkan kalimat Allah yang tinggi, Iaberjuang di jalan Allah.” (HR. Bukhari)
Ketiga teks agama yang terdiri dari ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi itu menyingkapkan kepada kita hakekat peperangan dalam Islam dan hakekat kemenangan Islam secara ringkas.
Islam mengesampingkan sama sekali dari segala pertimbangannya adanya perang yang dilakukan, atau kemenangan yang dicapai, dengan tujuan untuk memaksa orang masuk ke dalam agama Islam. Dengan demikian maka Islam mengesampingkan segala bentuk peperangan dan kemenangan yang dikobarkan oleh semangat kefanatikan agama dalam pengertian seperti ini. Peperangan seperti inilah yang telah menyeret dunia kepada bencana, bukan saja dengan Perang Salib-nya yang terkenal itu, bukan saja dalam penindasan yang dilakukan orang Spanyol terhadap orang-orang Islam di Andalusia, tetapi juga terjadi di banyak bagian dunia, di banyak bagian sejarah. Umat manusia sampai saat ini masih tetap merasakan pahit getirnya, walaupun peperangan seperti itu bersembunyi di bawah judul-judul lain, selain judul kefanatikan agama.
Islam mengesampingkan dari perhitungannya bahwa peperangan dilancarkan, atau kemenangan dicapai, dengan maksud agar suatu bangsa atau rupa bentuk manusia berkuasa. Manusia telah dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal, bukan untuk saling berbunuhan, bukan untuk saling menguasai. Karena itu Islam mengesampingkan segala bentuk peperangan dan kemenangan yang dikobarkan oleh kefanatikan nasional, warna kulit atau bahasa. Keadaan seperti ini masih dirasakan oleh dunia dampaknya yang amat pahit, bahkan di masa modern sekarang ini, yaitu suatu masa yang menurut para pemimpin adalah masa yang berkebudayaan, dan telah dapat meninggikan diri di atas motif-motif kesukuan.
Demikian pula, Islam mengesampingkan dari perhitungannya bahwa suatu peperangan dilancarkan, atau kemenangan diperoleh, dengan maksud untuk mencari keuntungan materi. Karena itu Islam mengesampingkan semua bentuk kemenangan kolonialis, yang di belakangnya tersembunyi kerakusan-kerakusan ekonomi, seperti memperluas pasar untuk memutarkan hasil produksinya atau untuk mendapatkan bahan baku, atau untuk mengeksploitasi sumber-sumber alam, atau untuk mendapatkan tempat-tempat strategis dan kepentingan-kepentingan militer. Peperangan seperti inilah yang masih tetap dirasakan malapetakanya sampai sekarang ini oleh umat manusia. Tetapi hal inilah yang menjadi dasar dan peradaban Barat sekarang ini, karena hal ini merupakan salah satu unsur pokoknya.
Akhirnya, Islam menjauhkan dari segala pertimbangannya, bahwa perang dilancarkan, atau kemenangan dicapai, dengan maksud untuk memperoleh kemegahan pribadi untuk raja-raja dan para pemimpin, atau untuk memuaskan nafsu-nafsu untuk mencapai ketinggian, kekuasaan dan ketenaran, yang menguasai tokoh-tokoh itu, sehingga mereka sampai hati mengorbankan rakyat, agar mahkotanya mendapat tambahan sebuah bintang, atau dadanya dihiasi oleh sebuah bintang lagi.
Dari sini menjadi jelaslah adanya satu motivasi yang merupakan tujuan satu-satunya dari kemenangan Islam, yaitu perkataan yang telah diucapkan oleh Rasulullah SAW:
“Siapa yang berjuang untuk ketinggian kalimat Tuhan yang tinggi, ialah yang berjuang di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jadi inilah gagasan yang hendak disebarluaskan dan direalisasikan: untuk meninggikan kalimat Allah yang tinggi. Apakah yang dimaksud dengan kalimat Allah dalam hubungan ini? Apakah hakekatnya? Apakah batas-batasnya? Kita harus mengetahui hakekat dan batas-batas gagasan ini, agar kita dapat mengetahui hakekat kemenangan Islam dan agar kita mengetahui perbedaan antara kemenangan Islam itu dan kemenangan-kemenangan militer lain. Selanjutnya agar kita dapat memahami bahwa kemenangan Islam itu adalah dalam batas-batas gagasan Islam. Kalau tidak begitu, maka kemenangan Islam itu tidak ada, walau pun dicapai oleh tangan orang-orang Islam.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali-Imran [3] : 19)
Jadi jadikan kalimat Allah dan menjadikannya tinggi mengandungi pengertian menjadikan Islam itu kepunyaan Allah, yaitu agama seluruh umat manusia. Islam bagi Allah secara mutlak berarti mengikhlaskan hati bagi Allah saja, bukan untuk yang lain. Teori Islam menganggap bahwa semua Rasul dalam pengertian ini telah datang dengan Islam. Semua risalah berdiri atas dasar Islam. Muhammad SAW hanya datang dengan Islam dalam bentuknya yang terakhir yang telah disukai Allah untuk seluruh umat manusia. Al-Qur ‘an itu diturunkan hanyalah: “untuk membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan untuk menjaganya.” karena itu sepantasnya kalau seluruh manusia kembali kepada Islam, sehingga dapat direalisasikan kalimat Allah di atas dunia, dan kalimat Allah itu menjadi tinggi. Inilah salah satu pengertian kalimat Allah dalam hubungan ini.
Tetapi prinsip yang digunakan agar semua manusia kembali kepada agama yang terakhir ini tidak boleh keluar dari kaidah pokok yang telah ditetapkannya: “Tidak boleh ada paksaan dalam agama.” Yang diminta dari Rasul Islam dan para pemeluknya adalah agar mereka mencoba memberikan petunjuk kepada manusia, dengan jalan melakukan seruan secara lemah lembut dan pelajaran yang baik:
“Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan pelajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nahl [16] : 125)
Kalau ada sesuatu kekuatan materialistis yang menghambat da’wah yang bersifat damai ini maka baru dalam keadaan ini boleh mengangkat senjata, demi untuk mempertahankan kebebasan da’wah. Demikian pula kalau kekuatan itu mencoba menghalangi orang-orang yang telah mau mendengarkan himbauan da’wah, agar orang tidak masuk agama yang telah mereka pilih dengan kehendak yang bebas. Ini adalah dalam rangka menegakkan kebebasan beragama:
“Perangilah mereka sampai fitnah tidak terdapat lagi.” (QS. Al-Baqarah [2] : 193)
Dalam keadaan seperti ini tampak jelas arti peperangan menegakkan kalimat Allah yang tinggi. Kalimat Allah di sini berarti kebebasan berda’wah dan kebebasan beragama. Setiap kekuatan materialistis yang menghambat kedua kebebasan ini atau salah satunya, adalah kekuatan agresif yang menentang kalimat Allah yang telah memberikan kemuliaan kepada manusia, yang menjadikan manusia pengawas dirinya, dan menjadikan otaknya sebagai penentu, dan menjadikan kehendaknya sebagai patokan pertanggungjawaban. Setiap kekuatan yang menghambat da’wah atau menggunakan kekerasan untuk memaksakan dalam persoalan agama, dianggap melawan kalimat Allah. Siapa yang berjuang untuk ketinggian kalimat Allah adalah berjuang di jalan Allah.
Karena itu peperangan-peperangan dan kemenangan-kemenangan Islam dalam masa-masanya yang pertama, yang telah menyebarluaskan agama Islam dan yang telah mengukuhkan tegaknya di tempat-tempatnya yang pertama, baik di dalam maupun di luar Jazirah Arabia, adalah untuk menegakkan kalimat Allah. Peperangan dan kemenangan itu didahului oleh da’wah Islam. Perang baru terjadi kalau terdapat dua hal:
Orang Barat dan orang Islam yang berpendirian seperti itu sama saja. Mereka sama jauhnya dari pengenalan sebenarnya tentang hakekat kemenangan Islam, serta motivasi dan tujuan sebenarnya. Kiranya baiklah kalau kita memperbaiki gambaran yang telah dipalsukan atau dirusak, bukan saja tentang kemenangan-kemenangan Islam itu saja, tetapi juga tentang pemikiran Islam itu sendiri pada akhirnya.
Allah SWT berfirman:
“Tidak boleh ada paksaan dalam agama, yang benar itu telah jelas berbeda dari yang tidak benar.” (QS. Al-Baqarah [2] : 256)
Allah SWT berfirman:
“Hai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang wanita, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling berkenalan.” (QS. Al-Hujurat [49] : 13)
Rasulullah SAW pernah ditanya seseorang:
“Orang yang berjuang untuk mencari harta rampasan, orang yang berjuang untuk mencari keharuman nama, orang yang berjuang agar dikagumi orang, manakah di antara mereka yang berjuang di jalan Allah?”
Beliau SAW menjawab:
“Siapa yang berjuang untuk menegakkan kalimat Allah yang tinggi, Iaberjuang di jalan Allah.” (HR. Bukhari)
Ketiga teks agama yang terdiri dari ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi itu menyingkapkan kepada kita hakekat peperangan dalam Islam dan hakekat kemenangan Islam secara ringkas.
Islam mengesampingkan sama sekali dari segala pertimbangannya adanya perang yang dilakukan, atau kemenangan yang dicapai, dengan tujuan untuk memaksa orang masuk ke dalam agama Islam. Dengan demikian maka Islam mengesampingkan segala bentuk peperangan dan kemenangan yang dikobarkan oleh semangat kefanatikan agama dalam pengertian seperti ini. Peperangan seperti inilah yang telah menyeret dunia kepada bencana, bukan saja dengan Perang Salib-nya yang terkenal itu, bukan saja dalam penindasan yang dilakukan orang Spanyol terhadap orang-orang Islam di Andalusia, tetapi juga terjadi di banyak bagian dunia, di banyak bagian sejarah. Umat manusia sampai saat ini masih tetap merasakan pahit getirnya, walaupun peperangan seperti itu bersembunyi di bawah judul-judul lain, selain judul kefanatikan agama.
Islam mengesampingkan dari perhitungannya bahwa peperangan dilancarkan, atau kemenangan dicapai, dengan maksud agar suatu bangsa atau rupa bentuk manusia berkuasa. Manusia telah dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal, bukan untuk saling berbunuhan, bukan untuk saling menguasai. Karena itu Islam mengesampingkan segala bentuk peperangan dan kemenangan yang dikobarkan oleh kefanatikan nasional, warna kulit atau bahasa. Keadaan seperti ini masih dirasakan oleh dunia dampaknya yang amat pahit, bahkan di masa modern sekarang ini, yaitu suatu masa yang menurut para pemimpin adalah masa yang berkebudayaan, dan telah dapat meninggikan diri di atas motif-motif kesukuan.
Demikian pula, Islam mengesampingkan dari perhitungannya bahwa suatu peperangan dilancarkan, atau kemenangan diperoleh, dengan maksud untuk mencari keuntungan materi. Karena itu Islam mengesampingkan semua bentuk kemenangan kolonialis, yang di belakangnya tersembunyi kerakusan-kerakusan ekonomi, seperti memperluas pasar untuk memutarkan hasil produksinya atau untuk mendapatkan bahan baku, atau untuk mengeksploitasi sumber-sumber alam, atau untuk mendapatkan tempat-tempat strategis dan kepentingan-kepentingan militer. Peperangan seperti inilah yang masih tetap dirasakan malapetakanya sampai sekarang ini oleh umat manusia. Tetapi hal inilah yang menjadi dasar dan peradaban Barat sekarang ini, karena hal ini merupakan salah satu unsur pokoknya.
Akhirnya, Islam menjauhkan dari segala pertimbangannya, bahwa perang dilancarkan, atau kemenangan dicapai, dengan maksud untuk memperoleh kemegahan pribadi untuk raja-raja dan para pemimpin, atau untuk memuaskan nafsu-nafsu untuk mencapai ketinggian, kekuasaan dan ketenaran, yang menguasai tokoh-tokoh itu, sehingga mereka sampai hati mengorbankan rakyat, agar mahkotanya mendapat tambahan sebuah bintang, atau dadanya dihiasi oleh sebuah bintang lagi.
Dari sini menjadi jelaslah adanya satu motivasi yang merupakan tujuan satu-satunya dari kemenangan Islam, yaitu perkataan yang telah diucapkan oleh Rasulullah SAW:
“Siapa yang berjuang untuk ketinggian kalimat Tuhan yang tinggi, ialah yang berjuang di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jadi inilah gagasan yang hendak disebarluaskan dan direalisasikan: untuk meninggikan kalimat Allah yang tinggi. Apakah yang dimaksud dengan kalimat Allah dalam hubungan ini? Apakah hakekatnya? Apakah batas-batasnya? Kita harus mengetahui hakekat dan batas-batas gagasan ini, agar kita dapat mengetahui hakekat kemenangan Islam dan agar kita mengetahui perbedaan antara kemenangan Islam itu dan kemenangan-kemenangan militer lain. Selanjutnya agar kita dapat memahami bahwa kemenangan Islam itu adalah dalam batas-batas gagasan Islam. Kalau tidak begitu, maka kemenangan Islam itu tidak ada, walau pun dicapai oleh tangan orang-orang Islam.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali-Imran [3] : 19)
Jadi jadikan kalimat Allah dan menjadikannya tinggi mengandungi pengertian menjadikan Islam itu kepunyaan Allah, yaitu agama seluruh umat manusia. Islam bagi Allah secara mutlak berarti mengikhlaskan hati bagi Allah saja, bukan untuk yang lain. Teori Islam menganggap bahwa semua Rasul dalam pengertian ini telah datang dengan Islam. Semua risalah berdiri atas dasar Islam. Muhammad SAW hanya datang dengan Islam dalam bentuknya yang terakhir yang telah disukai Allah untuk seluruh umat manusia. Al-Qur ‘an itu diturunkan hanyalah: “untuk membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan untuk menjaganya.” karena itu sepantasnya kalau seluruh manusia kembali kepada Islam, sehingga dapat direalisasikan kalimat Allah di atas dunia, dan kalimat Allah itu menjadi tinggi. Inilah salah satu pengertian kalimat Allah dalam hubungan ini.
Tetapi prinsip yang digunakan agar semua manusia kembali kepada agama yang terakhir ini tidak boleh keluar dari kaidah pokok yang telah ditetapkannya: “Tidak boleh ada paksaan dalam agama.” Yang diminta dari Rasul Islam dan para pemeluknya adalah agar mereka mencoba memberikan petunjuk kepada manusia, dengan jalan melakukan seruan secara lemah lembut dan pelajaran yang baik:
“Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan pelajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nahl [16] : 125)
Kalau ada sesuatu kekuatan materialistis yang menghambat da’wah yang bersifat damai ini maka baru dalam keadaan ini boleh mengangkat senjata, demi untuk mempertahankan kebebasan da’wah. Demikian pula kalau kekuatan itu mencoba menghalangi orang-orang yang telah mau mendengarkan himbauan da’wah, agar orang tidak masuk agama yang telah mereka pilih dengan kehendak yang bebas. Ini adalah dalam rangka menegakkan kebebasan beragama:
“Perangilah mereka sampai fitnah tidak terdapat lagi.” (QS. Al-Baqarah [2] : 193)
Dalam keadaan seperti ini tampak jelas arti peperangan menegakkan kalimat Allah yang tinggi. Kalimat Allah di sini berarti kebebasan berda’wah dan kebebasan beragama. Setiap kekuatan materialistis yang menghambat kedua kebebasan ini atau salah satunya, adalah kekuatan agresif yang menentang kalimat Allah yang telah memberikan kemuliaan kepada manusia, yang menjadikan manusia pengawas dirinya, dan menjadikan otaknya sebagai penentu, dan menjadikan kehendaknya sebagai patokan pertanggungjawaban. Setiap kekuatan yang menghambat da’wah atau menggunakan kekerasan untuk memaksakan dalam persoalan agama, dianggap melawan kalimat Allah. Siapa yang berjuang untuk ketinggian kalimat Allah adalah berjuang di jalan Allah.
Karena itu peperangan-peperangan dan kemenangan-kemenangan Islam dalam masa-masanya yang pertama, yang telah menyebarluaskan agama Islam dan yang telah mengukuhkan tegaknya di tempat-tempatnya yang pertama, baik di dalam maupun di luar Jazirah Arabia, adalah untuk menegakkan kalimat Allah. Peperangan dan kemenangan itu didahului oleh da’wah Islam. Perang baru terjadi kalau terdapat dua hal:
- Kalau ada kekuatan materialistis yang menghambat da’wah yang bersifat damai.
- Apabila terjadi serangan terhadap kebebasan beragama, dan godaan agar kaum Muslimin keluar dari agamanya, baik secara perseorangan atau secara berkelompok.
Tidak dapat diragukan lagi bahwa pimpinan Islam dalam peperangan-peperangannya yang pertama, juga dalam kebanyakan peperangan yang terjadi kemudian, mempunyai tujuan tidak lebih daripada untuk menegakkan kalimat Allah, dan agar Islam itu menjadi agama seluruh umat manusia, bukan dengan melalui paksaan, tetapi dengan melalui da’wah. Peperangan itu dilakukan demi untuk menjamin kebebasan berda’wah, untuk kebebasan beragama. Untuk itulah tentera dikerahkan dan perjuangan dilakukan, dan negeri-negeri dibuka, setelah da’wah disampaikan kepadanya, dan diumumkan bahwa inilah tujuannya yang pertama dan terakhir.
Dengan begitu maka hapuskan segala kebohongan dan cerita-cerita palsu yang sering dikemukakan orang-orang Barat tentang kemenangan-kemenangan Islam: tentang hakekat dan motivasinya, yang sebagiannya disebabkan oleh kefanatikan agama menentang Islam dan kaum Muslimin, sebagiannya lagi disebabkan penafsiran yang salah karena para ahli sejarah Barat membandingkan kemenangan peperangan Islam dengan peperangan yang mereka alami. Mereka menyamakan motivasi perang dalam Islam dengan motivasi peperangan-peperangan imperialistis-kolonialistis yang mereka lakukan baik di zaman dahulu maupun di zaman sekarang ini.
Ada pengertian ketiga tentang menjadikan kalimat Allah yang tertinggi, yang terambil dari kedua pengertian yang telah kita sebutkan sebelumnya, dan merupakan pelengkap dari kedua pengertian itu.
Islam adalah suatu aqidah bersifat perasaan. Dari sanalah bersumbernya syari’at yang bersifat hukum. Inilah yang menjadi dasar sistem kemasyarakatan. Suatu sistem yang amat berada dengan sistem-sistem yang pernah dikenal umat manusia, mempunyai unsur-unsur khas. Mungkin unsur-unsur itu ada persamaannya dengan unsur yang terdapat dalam sistem lain, tetapi dipandang dari segi keseluruhannya sudah pasti amat berada dari segala sistem lain itu.
Di antara ciri-ciri khasnya ini adalah bahwa ia itu adalah suatu sistem universal yang bebas dan kefanatikan rasialisme dan kefanatikan agama. Karena itu maka sistem itu dapat memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk bergabung ke dalamnya dengan mudah, dan segera setelah menggabungkan diri itu, ia dapat menikmati semua hak-hak orang Islam lain dari jenis manapun dan dari suku manapun:
“Hai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Tuhan adalah yang paling bertaqwa.” (QS. Al-Hujurat [49] : 13)
Di antara ciri khasnya adalah bahwa sistem itu adalah sistem yang adil yang menjamin hak-hak yang sama untuk semua anggotanya. Penguasa dan keluarganya, atau suatu kelas tertentu dalam masyarakat, tidak diberi suatu tambahan hak, lebih dari hak-hak seorang individu biasa. Sistem itu menjamin keadilan mutlak dalam hubungan antara golongan dan antara bangsa. Rasa permusuhan dan rasa benci tidak ada pengaruhnya. Demikian pula hubungan persahabatan dan hubungan kekeluargaan juga tidak ada pengaruhnya:
“Dan janganlah sampai kebencian suatu kaum terhadapmu menjadikan kamu bertindak tidak adil. Selalulah bertindak adil, karena hal itu lebih mendekati ketaqwaan.” (QS. Al-Maidah [5] : 8)
“Kalau kamu berkata maka berkatalah dengan adil walaupun mengenai kaum kerabat sendiri” (QS. Al-An’am [6] : 152)
Dalam masa modern ini dengan atas nama “kepentingan negara” menurut pengertian Islam tidak boleh dijadikan alasan untuk bertindak menyeleweng dari keadilan mutlak dalam interaksinya dengan individu, golongan atau negara-negara. Kesimpulan seluruh persoalannya adalah merealisasikan syari’at Islam, agar kalimat Allah itu menjadi yang tertinggi.
Karena itulah Islam menyerukan kepada para pemeluknya untuk selalu menjadi orang-orang yang dapat dipercayai dalam merealisasikan keadilan di atas seluruh permukaan bumi, melarang ketidakadilan, dan membalas perlakuan yang tidak adil, demi untuk mewujudkan kalimat Allah. Di mana terdapat keaniayaan dan kesewenang-wenangan, kaum Muslimin berkewajiban menolaknya dan menghapuskannya, tanpa melihat kepada siapa yang melakukan keaniayaan dan kesewenang-wenangan itu, atau dalam bentuk apa saja dan dengan alasan apa saja, baik keaniayaan individu terhadap individu, golongan terhadap golongan, individu terhadap golongan, atau golongan terhadap individu. Semuanya itu sama saja, karena manusia itu semuanya sama.
“Kalau ada dua kelompok orang-orang yang beriman saling perang-memerangi, damaikanlah di antara keduanya. Kalau yang satu bertindak sewenang-wenang terhadap yang lain, maka perangilah kelompok yang bertindak sewenang-wenang itu, sampai persoalannya diberi putusan oleh Tuhan. Kalau mereka kembali kepada petunjuk Tuhan, damaikanlah kelompok itu dengan adil. Berlaku adillah kamu, sesungguhnya Allah suka kepada orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujurat [49] : 9)
“Mengapa kamu tidak berjuang di jalan Allah, dan untuk kepentingan orang yang tertindas, laki-laki, wanita dan anak-anak yang berkata, ‘Hai Tuhan kami! Keluarkanlah kami dari negara yang penduduknya aniaya ini. Jadikanlah bagi kami seorang pemimpin dari sisi-Mu. Jadikanlah bagi kami seorang penolong dari sisi-Mu’.” (QS. An-Nisa’ [4] : 75)
Termasuk ke dalam menghapuskan keaniayaan dan merealisasikan keadilan, adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keadilan sosial. Di samping menganggap bahwa keadilan sosial itu dalam bentuknya yang tertinggi merupakan salah satu syari’atnya, dan salah satu kewajiban utamanya, dalam waktu yang sama juga menganggapnya sebagai salah satu bentuk ibadat yang dilakukan seorang individu Muslim, yang dilakukan negara Islam, demi untuk mengharapkan pahala Allah dan menjauhkan diri dari seksaanNya. Karena itu keadilan sosial itu di samping jaminan hukumnya, juga berkaitan dengan agama. Kalau tidak ada jalan untuk mewujudkannya selain dari peperangan, maka harus dilakukan peperangan.
Kesimpulan yang dapat diambil dari seluruh pendahuluan ini, adalah bahwa peperangan dan kemenangan dalam Islam harus diperhatikan sampai ia dapat diwujudkan di samping kebebasan da’wah dan kebebasan beragama, juga keadilan mutlak untuk seluruh manusia. Kalau peperangan itu tidak mewujudkan apa yang tersebut dalam seluruh pendahuluan ini bagi orang Islam itu sendiri dan juga bagi penduduk negara yang dikalahkan berperang, maka peperangan itu bukan peperangan Islam, dan kemenangannya bukan kemenangan Islam. Bertambah luasnya daerah Islam karena peperangan itu tidak mempunyai arti apa-apa. Perluasan daerah itu tidak pernah mempunyai nilai dalam perhitungan Islam. Yang mempunyai seluruh nilai adalah realisasi sistem yang adil secara sempurna yang berdasarkan hukum Islam yang timbul dari aqidah Islamiyah. Faktor inilah yang dapat menambahkan hati dan bangsa kepada Islam. Inilah yang menjadi tujuan dari kemenangan Islam. Bukan perluasan daerah. Bukan harta rampasan atau rampasan perang, dan bukan pula mengalahkan negara lain dan bangsa lain.
Dalam buku “Da’wah Islam” yang ditulis Thomas Arnold tersebut: Michel Yang Tua, Patriarch Jacobus dari Antioch menulis pada akhir abad ke-11, menyambut baik apa yang ditulis oleh teman-teman seagamanya, dan menyaksikan sendiri tangan Tuhan dalam kemenangan-kemenangan Arab, bahkan setelah gereja-gereja Timur berada di bawah kekuasaan Islam selama lima abad. Setelah ia menceritakan secara panjang lebar penindasan-penindasan yang dilakukan Heraklius, ia menulis:
'Inilah sebabnya Tuhan Pembalas Dendam, yang memonopoli kekuatan dan kekuasaan, yang mengubah negara manusia sesuka hatinya, diberikannya kepada orang yang dikehendakinya dan diangkatnya orang yang hina, tatkala Ia melihat bagaimana kejahatan-kejahatan orang Romawi yang mempergunakan kekerasan. Mereka merampas gereja-gereja kita dan merompak biara-biara kita di seluruh daerah yang mereka kuasai. Mereka menjatuhkan siksa kepada kita tanpa belas kasihan. Ia mengirim kepada kita putera-putera Ismail dari negeri Selatan untuk membebaskan kita dengan kekuatan mereka dari tangan orang Romawi. Dan walaupun benar bahwa kita telah menderita sedikit kerugian karena telah dilucutinya gereja Katolik dari kita dan diberikan kepada golongan Chalcedonia, maka gereja-gereja ini masih tetap dalam hak milik mereka. Dan ketika kota-kota menyerah kepada bangsa Arab, mereka telah menyediakan bagi tiap-tiap sekte, gereja yang mereka miliki. (Dan ketika itu Gereja Homs yang besar dan Gereja Harran telah diambil dari tangan kita.) Walau pun begitu bukanlah suatu keuntungan kecil bahwa kita dapat melepaskan diri dari kekejaman dan seksaan orang Romawi dan kebengisan mereka yang hebat terhadap kita, dan bahwa kita menemui diri kita dalam keamanan dan keselamatan.'
Dan tatkala tentera Islam telah sampai ke Lembah Yordan, dan Abu ‘Ubaidah berkemah dengan tenteranya di Fahl, para penduduk yang beragama Kristen itu menulis surat kepada orang Arab sebagai berikut:
'Wahai kaum Muslimin! Kamu lebih kami cintai daripada orang Romawi, walaupun kami seagama dengan mereka. Kamu lebih menepati janji kepada kami, lebih lemah lembut terhadap kami, tidak mahu menganiaya kami, dan baik pemerintahannya terhadap kami. Orang Romawi menindas kami dan merampoki rumah kami.'
Penduduk kota Homs menutup pintu kota mereka terhadap tentera Heraklius, dan mereka menyampaikan kepada kaum Muslimin bahwa pemerintahan mereka dan keadilan mereka jauh lebih dicintai dibandingkan dengan kesewenang-wenangan dan keaniayaan Yunani.
Jadi kemenangan Islam itu adalah kemenangan yang unik dalam seluruh sejarah umat manusia, yang belum ada tolok bandingannya baik sebelumnya mahu pun setelahnya. Kemenangan ini bukan kemenangan memperoleh daerah dan harta benda, tetapi merupakan kemenangan terhadap hati nurani penduduk daerah itu, dan menanamkan di sana benih keadilan, toleransi, persamaan dan persaudaraan.
Setiap manusia yang mempunyai iktikad baik terhadap kemanusiaan, yang mengenal wujud kemenangan Islam, dan mengetahui tujuan-tujuannya dan motif-motifnya, tentulah akan mendambakan jikalau kebangkitan Islam yang pertama itu mencakup seluruh permukaan bumi, dan menaburkan bibit-bibit yang baik dan pilihan itu di sana.
Sekarang ini harapan tertuju kepada kebangkitan Islam yang kedua, yang tanda-tandanya sekarang telah mulai kelihatan dalam kebangunan Dunia Islam, dan mulai tersebarluasnya gagasan keislaman untuk nantinya meliputi seluruh dunia dan semua orang yang terdapat di atasnya.
0 komentar:
Posting Komentar
Jazakallah