Semua umat Islam sepakat bahwa, sebuah ibadah harus suci dan jauh dari noda-noda yang merusak agar diterima di sisi Allah I. Semua orang yang beribadah berharap agar amal ibadahnya diterima disisi Allah. Bersungguh-sungguh dan memperbanyak ibadah adalah salah satu cara untuk meraup keuntungan di bulan Ramadhan.
Namun ada satu perkara yang tidak boleh dilupakan, modal kesungguhan dalam beribadah saja tidak cukup untuk meraih pahala, harus disertai kesesuaian tata cara ibadah sesuai contoh Rasul r. Semakin gigihnya seseorang dalam kebid’ahan semakin jauh ia dari Allah I.
Imam Hasan al-Bashri berkata,
صَاحِبُ البِدْعَةِ لَا يَزْدَادُ اجْتِهَاداً، صِيَاماً وَصَلَاةً، إِلَّا ازْدَادَ مِنَ اللهِ بُعْداً
“Semakin bersungguh-sungguh seorang pelaku bid’ah -dalam puasa dan sholat- semakin bertambah jauhnya ia dari Allah I. ” [al-I’tishom:57]
Bulan Ramadhan sering dinodai dengan kebi’ahan dan khurafat yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin. Diantara bid’ah dan khurafat yang sering terulang pada bulan Ramadhan adalah;
1. Ritual Nyadran dan Padusan di Penghujung Sya’ban
Istilah nyadran bersumber dari bahasa jawa. Tapi, bukan berarti di luar jawa ini tidak didapatkan. Biasanya diadakan menjelang bulan ramadhan, dan beraneka ragam prosesi yang dilakukan untuk merayakannya. Tempatnya pun beraneka ragam, seperti puncak gunung Tidar, Magelang salah satunya.Tapi biasanya lebih sering diadakan di kuburan
Di beberapa tempat di luar Jawa, ada semacam tradisi ziarah kubur menjelang Ramadhan, atau sekedar membersihkan kuburan, dan acara ini biasanya khusus di adakan menjelang Ramadhan, bukan diwaktu lain. Terkadang disertai meminta restu kepada para arwah.
Sedangkan padusan merupakan ritual mandi di pemandian umum (kolam renang, mata air atau sejenisnya), ini banyak terjadi di Jawa, tapi juga tidak menutup kemungkinan terjadi di luar Jawa. Biasanya diadakan sehari sebelum Ramadhan. Yang mengerikan, terkadang bercampur laki-laki dan perempuan dalam satu kolam tanpa batasan yang layak. Berpadulah dua jenis fitnah pada ritual ini; syubhat dan syahwat.
2. Melafadzkan Niat Puasa di Malam Hari
Niat merupakan syarat sah ibadah, semua ulama sepakat akan hal ini. Dan kita pun tidak memungkirinya. Hanya yang harus dipahami, niat tempatnya di hati bukan di lisan. Siapapun yang terlintas dalam hatinya bahwa dia besok akan berpuasa, berarti dia telah berniat. Sedangkan melafadzkan niat puasa di malam hari baik dengan berjamaah maupun sendiri-sendiri dengan mengucapkan:
“Nawaitu Shouma ghodin ‘an adaai fardli syahri romadloona hadzihissanati lillahi ta’ala”
“Aku berniat puasa besok untuk melaksanakan fardlu puasa Romadlon pada tahun ini karena Allah Ta’ala”.
Bacaan ini sangat masyhur di masyarakat kita, bahkan acap kali diucapkan secara berjamaah di masjid setelah sholat tarawih. Ritual ini tidak ada asalnya sama sekali dalam syari’at, ia termasuk kebid’ahan dalam agama, sekalipun manusia menganggapnya baik.
Imam Ibnu Abil Izz al-Hanafi rahimahullah, “Tak seorangpun dari imam yang empat, baik Imam Syafi’i rahimahullah maupun lainnya yang mensyaratkan harus melafadzkan niat, karena niat itu di dalam hati dengan kesepakatan merek.a” [al-Ittiba’, hal.62].
3. Mengumumkan Waktu Imsak
Sebenarnya yang menjadi batasan akhir seseorang makan sahur adalah terbitnya fajar bukan adzan. Adzan hanya sebagai bukti telah terbitnya fajar shadiq. Allah I berfirman,
“Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (al-Baqarah:187)
Sedangkan hukum mengakhiri makan sahur sebelum terbit fajar disunnakan, Imam Asy-Syafi’I berkata, “Mustahab hukumnya melaksakan sahur pada waktu yang tidak mendekati terbitnya fajar, karena khawatir akan terbitnya fajar.” [al-Umm, 2/96]
Adanya penentuan waktu imsak hari ini yang mengharamkan makan sesudah waktu itu, lalu di umumkan lewat mikrofon, tidak ada contoh sama sekali. Ini termasuk kebid’ahan. Jika berdalih dengan hadits bahwa jarak antar sahur Rasulullah r dan sholat subuh 50 ayat (HR. Muslim), hal ini tidak dibenarkan. Karena apa yang diperbuat Rasulullah r bukan bermaksud menentukan batas akhir waktus sahur. Dan Rasulullah pun tidak mengumumkannya seperti dikerjakan banyak orang hari ini.
Jadi, batas akhir waktu sahur telah dijelaskan dalam ayat di atas, yaitu sampai fajar shadiq terbit, bukan waktu imsak.
4. Memperingati Nuzulul Quran
Kebiasaan lain yang dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin pada tanggal 17 Romadhon ialah mengadakan peringatan yang disebut dengan perayaan Nuzulul Quran sebagai bentuk pengagungan kepada kitab suci al-Quran. Namun ritual ini perlu disoroti dari dua segi:
Pertama: Dari segi sejarah, adakah bukti autentik baik berupa dalil ataupun fakta sejarah yang menyebutkan bahwa al-Quran diturunkan pada tanggal tersebut.
Kedua: Anggaplah memang terbukti bahwa al-Quran diturunkan pada tanggal tersebut, maka untuk menjadikannya sebagai perayaan yang syar’i diperlukan dalil dan contoh dari Nabi r. Bukankah orang yang paling gembira dengan turunnya al-Quran adalah Rasulullah r? Namun sekalipun demikian, tidak ada satu riwayatpun dari beliau dan para sahabatnya mengenai peringatan ini.
Perayaan tahunan dalam Islam hanya ada dua macam: ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha [HR. Ahmad, Abu Dawud dan HR. an-Nasa’i]. Al-Hafizh Ibnu Rojab rahimahullah berkata, “Tidak disyariatkan bagi kaum muslimin untuk membuat perayaan kecuali perayaan yang diizinkan syariat, yaitu ‘Idul Fithri, ‘Idul Adha, hari-hari Tasyrik, ini perayaan tahunan, dan hari Jum’at ini perayaan pekanan. Selain itu, menjadikannya sebagai perayaan adalah bid’ah dan tidak ada asalnya dalam syari’at.”[ Lathoiful Ma’arif, hal. 228]
5. Komando Diantara Raka’at Sholat Tarawih
Berdzikir dan mendo’akan para Khulafaur Rosyidin diantara dua salam sholat Tarawih dengan cara berjamaah dipimpin oleh satu orang dengan mengucapkan, “Assholatu sunnatat tarawihi rahimakumullah…” atau sejenisnya, tidak pernah pernah dicontohkan oleh Rasulullah r maupun para sahabatnya. Ini merupakan perkara yang diada-adakan dalam Islam.
Jika ada yang menganggap baik karena di dalamnya ada sholawat dan do’a kebaikan, tidak bisa dibenarkan. Bagaimanapun baiknya suatu perkara, tetap tertolak jika tidak terdapat contoh dari Rasulullah r. Menganggap baik sesuatu yang tidak ada ajarannya dalam agama, adalah suatu keharaman. Imam Syafi’i rahimahullah berkata:
“Barangsiapa yang istihsan maka ia telah membuat syariat.”[al-I’tishom, 1/432].
Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Maksud istihsan adalah ia menetapkan suatu syariat yang tidak syar’i dari pribadinya sendiri.”[ Irsyadul Fuhul, hal. 240].
6. Tadarrus al-Qur’an Berjamaah Dengan Pengeras Suara
Pada dasarnya kita dianjurkan untuk banyak membaca al-Qur’an di bulan ini. Namun ritual Tadarrus al-Qur’an berjamaah yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin di masjid dengan mengeraskan suara adalah suatu hal yang perlu diluruskan.
Membaca al-Qur’an termasuk ibadah mulia yang diharapkan dengannya dapat dipahami dan diamalkan kandungannya serta dilakukan sesuai tuntunan Nabi r yaitu dengan suara pelan dan merendahkan diri karena itu lebih menjauhkan seseorang dari riya’ dan mendekatkan seseorang kepada Robbnya. Allah I berfirman:
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’rof:55)
Rasulullah r pernah menegur sebagian sahabat yang berdo’a atau berdzikir dengan suara keras,
“Wahai manusia, kasihanilah dirimu ! sesungguhnya kalian tidaklah berdo’a kepada Dzat yang tuli dan tidak ada, sesungguhnya Ia bersama kalian dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat.” (HR. Bukhori dan Muslim)
7. Mengkhususkan Ziarah Kubur
Pada Bulan Romadhon dan hari raya sering kita dapati manusia ramai ke kuburan dengan keyakinan bahwa waktu itu adalah waktu yang sangat istimewa dalam ziarah kubur. Namun, adakah dalam Islam ketentuan waktu khusus untuk ziarah kubur ?
Islam tidak mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk melakukan ziarah kubur. Para ahli fiqih dari kalangan Syafi’iyyah dan Hanabilah telah menegaskan anjuran memperbanyak ziarah kubur kapanpun waktunya. Ulama-ulama dari kalangan Malikiyah mengatakan, “Ziarah kubur tidak ada batasan dan waktu khusus.” [ Ahkam al-Maqobir, hal. 302].
Dalil-dalil tentang ziarah bersifat umum; tidak mengkhususkan waktu tertentu. Mengkhususkan waktu tertentu dalam beribadah tanpa dilandasi dalil adalah bid’ah. Hikmah ziarah kubur adalah untuk mengambil pelajaran, mengingat akhirat, melembutkan hati, dan hal itu dianjurkan untuk dilaksanakan setiap waktu tanpa terbatasi oleh waktu khusus.
Neraca Bid’ah
Syaihk Utsaimin rahimahullah mengatakan, ada empat perkara yang mempengaruhi kemunculan bid’ah, yaitu:
1) Sumber ibadah, artinya jika ada ritual ibadah yang tidak memiliki dasar syar’I sama sekali, maka ritual ini termasuk kebid’ahan.
2) Waktu dan Tempat, maksudnya bid’ah dapat terjadi dengan mengkhususkan waktu dan tempat tertentu. Boleh jadi ibadah tersebut ada sumber atau dalilnya, tapi akan bernilai bid’ah bila dalam pelaksanaannya pada waktu-waktu yang dikhususkan, dan pengkhususan ini tidak bersumber dari Rasulullah r.
Seperti sholawat antar rekaat tarawih yang dikomando oleh seseorang. Bersholawat memang sunnah, namun karena waktu pelaksanaannya dikhususkan, berubah menjadi bid’ah.
3) Penambahan, yaitu menambah bilangan ibadah yang telah disyari’atkan. Seperti menambah rekaat sholat dzuhur atau ashar menjadi lima rekaat.
4) Tata cara. Bisa jadi suatu ibadah memiliki sumber yang valid, namun jika dalam pelaksanaannya ada variasi atau kreasi yang tidak dicontohkan oleh Rasul maka ibadah tersebut haram, dan bid’ah. Tahlilan –membaca lailaha illallah- contohnya, banyak ayat dan hadits memerintahkan untuk bertahlil, namun jika dilakukan dengan cara menari-nari atau dengan menggelengkan kepala ke kiri dan ke kanan maka ini masuk dalam kategori bid’ah. Karena, ia mengadakan tata cara baru, tidak memiliki dasar dalam Islam.
Dari keempat perkara inilah sebuah prosesi atau ritual ibadah bisa dinilai bid’ah atau tidak. Atas dasar ini juga, perbuatan-perbuatan yang tertera pada poin di atas dihukumi bid’ah. Wallahul musta’an.
bisa di tyliskat semua referensinya dalam footnote? atau catatan kaki?
BalasHapus