Para pemikir liberal-sekuler pada level global maupun lokal begitu khawatir terhadap kemungkinan dimasa depan kelompok Islam fundamentalis-radikal menguasai ruang publik, sehingga menjadi rujukan masyarakat. Yang dipersepsi sebagai Islam fundamentalis-radikal, adalah semua kelompok umat Islam yang pro penegakan syari'at, baik yang menggunakan pendekatan kekerasan maupun yang menempuh jalur legal-formal (masih menurut versi mereka).
Perubahan Taktik Serangan
Kelompok itu, kini mereka merubah strategi pergerakannya. Sebelumnya mereka lebih banyak melakukan serangan terhadap struktur pemikiran umat Islam yang telah mapan. Cara ini setelah dievaluasi ternyata kontra produktif karena dianggap memicu reaksi balik umat Islam, menjadikan lebih banyak umat Islam yang ingin tahu, akhirnya justru membuka pintu kesadaran umat terhadap agamanya. Sekarang mereka berganti haluan memasuki birokrasi, mendekat ke lingkar kekuasaan dan menampilkan karya nyata. Dengan itu mereka bermaksud menarik simpati publik untuk kemudian mempengaruhi kebijakan. Diantara mereka ada yang masuk di lingkar kepemimpinan partai yang berkuasa, ada yang menampilkan citra penjaga moral sebagai bapak bangsa anti korupsi, dll.
Perubahan strategi ini lebih membahayakan, sebab gerakannya lebih soft, menarik simpati masyarakat, tidak mengundang kontroversi dan penentangan . Produk kebijakan yang mereka pengaruhi juga lebih efektif merubah keadaan masyarakat.
Serangan Pemikiran Tetap Berlanjut
Di luar itu, mereka masih tetap produktif melansir produk pemikiran yang dipublikasikan melalui dunia maya, journal, maupun buku-buku akademik bernuansa sekuler-liberal yang karena kapasitas intelektual penulisnya menjadi referensi bagi lembaga-lembaga pendidikan tinggi khususnya institusi universitas Islam milik pemerintah.
Apa yang dilakukan oleh komunitas sekuler-liberal ini sama sekali tidak mengubah paradigma dasar pemikiran mereka yang sekuler dan anti syari'at Islam. Yang berubah adalah strategi dan taktik gerakan mereka untuk mengefektifkan serangan supaya lebih efisien memenangi pertarungan, tentu saja pertarungan menghadapi gelombang penegakan syari'at Islam.
Kadang para abna' ash-shohwah al-Islamiyah merasa sesak dada menghadapi para penentang itu. Wajar, karena dhahir-nya mereka orang-orang muslim, tetapi pikiran, sikap dan tingkah lakunya berseberangan dengan Islam dan perjuangan menegakkan Islam. Jika pada masa Nabi hal itu dilakukan oleh orang-orang musyrik Makkah dan Yahudi di Madinah yang jelas-jelas kafir, yang dihadapi oleh para abna' ash-shohwah al-Islamiyah hari ini dilakukan oleh agen-agen pemikiran dari kalangan intelektual muslim yang telah berubah tashowwur ke-Islamannya. Syaik Abu Bashir at-Tartusyi menyebutnya pengikut tashowwur munhazimin (pemahaman 'Islam' kaum pecundang). Gangguannya menjadi terasa lebih berat dan lebih sulit dihadapi karena kabut kepalsuan menyelimuti hakekat mereka, terutama bagi umat awam. Terlebih para abna' ash-shohwah al-Islamiyah hari ini tidak sekualitas beliau shallalLahu 'alayhi wa sallam yang dibimbing langsung oleh Allah.
Tidak Hanya Anti Jihad, Tetapi Anti Syari'at Islam
Anak panah permusuhan kelompok sekuler-liberal hari ini, tak hanya membidik kelompok yang berjuang mengembalikan harga diri umat Islam terhadap kezhaliman orang-orang kafir asli, menentang perampasan kekayaan dunia Islam, mencegah penghancuran warisan tempat-tempat ibadah dan menegakkan syari'at Allah dengan jihad fi sabililLah. Anak panah itu juga diarahkan kepada setiap usaha menegakkan syari'at Allah yang tidak menggunakan pendekatan kekuatan bersenjata. Bahkan kelompok umat Islam penempuh jalur demokrasi, yang masuk ke dalam pola sistem mereka, tetap dikategorikan sebagai musuh. Mereka menerimanya karena memenuhi semua syarat yang dipersyaratkan untuk masuk sistem mereka, tetapi gagasan Islam kaffah-nya itu tetap dianggap musuh. Bahkan menurut mereka lebih berbahaya karena dapat bergerak secara legal sesuai dengan persyaratan yang mereka tetapkan (lihat dalam Ilusi Negara Islam). Sebenarnya substansi permusuhan itu jelas,... sangat jelas, bagi mereka yang relatif cermat dan tidak kehilangan fokus dan menghadapi serangan pemikiran dari pihak manapun, dengan balutan redaksi apapun.
Penyebaran pemikiran sekuler-liberal ini, sejatinya tidak menyentuh kelompok masyarakat Islam grass root, sifatnya elitis. Masalahnya, para pengusungnya berasal dari kelompok intelektual yang memiliki popularitas, memegang posisi-posisi penting birokrasi, pemimpin orpol, ormas maupun non goverment organization (NGO/LSM), juga dosen di berbagai universitas. Selain itu, pemikiran dan aktivitas mereka di-blow up gencar media massa, mereka mempengaruhi kebijakan pemerintah dan arah birokrasi, bekerjasama dengan lembaga anti syari'at Islam yang mensponsori, mengkoordinir dan memberi inspirasi gagasan kepada mereka, apa yang mesti dilakukan untuk mencegah pengaruh dakwah Islamiyah yang murni. Substansi gagasan mereka memisahkan kehidupan dari campur tangan agama, memisahkan urusan negara dan pemerintahan dari moral agama sesungguhnya asing dan tertolak, bahkan bagi masyarakat Islam awam sekalipun, karena kuatnya doktrin Al-Islamu ya'lu wa la yu'la 'alayh. Hanya saja, ketika hadir dalam bentuk kebijakan, disalurkan melalui jalur kekuasaan politik, dikawal dengan struktur kekuasaan, masyarakat mau tidak mau harus ikut dan taat.
Kepala BNPT, dalam paparannya di hadapan para 'ulama' dan du'at pada 6 Nopember 2010 dalam acara bertajuk Halaqah Nasional Penanggulangan Terorisme menjelaskan bahwa tujuan terorisme aktual adalah: pertama, penegakan khilafah Islamiyah/Daulah Islamiyah (JI) dan kedua, syari'at Islam. Ada yang menarik dalam paparan tersebut. Dikatakan bahwa tidak ada konsensus global (kesepakatan secara internasional) mengenai definisi terorisme, tetapi kepala BNPT dapat menyimpulkan dengan tegas dan berani apa yang menjadi tujuan terorisme.
Kesimpulan ini tidak dapat dimaknai lain, selain menempatkan dua sasaran tersebut, yakni Khilafah Islamiyah dan Syari'at Islam sebagai indikator gerakan terorisme. Kesimpulan ini sungguh berani. Sebab hal itu berarti menempatkan umat Islam yang penduduk mayoritas negeri ini sebagai musuh dan perjuangan untuk menegakkan syari'at Islam sebagai tindakan kriminal. Hal ini juga merupakan suatu bentuk test chase, apakah para pemimpin umat Islam masih memiliki kepekaan terhadap agamanya, kepedulian untuk membela syari'at Islam dan para penganjurnya. Sebab, meskipun para pemimpin umat Islam tidak berani bersuara lantang membela para da'i dan mujahid secara terang-terangan, nurani mereka tidak pernah dapat membenarkan permusuhan terhadap syari'at Islam. Ini disebabkan kecintaan, kesetiaan dan pembelaan terhadap syari'at itu merupakan satu paket tak terpisahkan dari keimanan. Sekalipun secara dhahir belum dapat mengimplementasikan, tetapi menolak, apalagi menempatkan perjuangan penegakan syari'at sebagai tindakan kriminal, pasti tetap dianggap sebagai kekafiran.
Dalam paparan itu Kepala BNPT lebih lanjut menjelaskan bahwa akar masalah terorisme diantaranya adalah kemiskinan ekonomi, keterbelakangan pendidikan, pemerintah yang otoriter, marginalisasi (peminggiran peran umat Islam), dominasi negara super power dan globalisasi. Beberapa akar masalah yang disebutkan di atas barangkali tidak sepenuhnya tepat, seperti kemiskinan ekonomi dan keterbelakangan dalam bidang pendidikan serta globalisasi. Terlalu banyak contoh para tokoh, pendukung dan simpatisan apa yang mereka tuduh teroris justru dari keluarga yang cukup mapan, kaya dan dari kelompok berpendidikan. Adapun jika yang sebagai pemicu pemerintahan yang otoriter (represif), marginalisasi peran umat Islam dan dominasi negara super power terhadap negara dan pemerintahan di negara-negara Islam, maka bukankah hal itu justru merupakan justifikasi pembenaran perjuangan kelompok yang mereka semati julukan teroris itu?
Para abna' ash-shohwah al-Islamiyah harus terus memperkuat tashowwur mereka, agar tidak goyah sedikitpun menghadapi kampanye menyudutkan din dan para ahli ad-din yang terus mereka gencarkan. Jika para abna' ash-shohwah al-Islamiyah lemah, merasa malu memegang persepsi yang benar tentang Islam, berarti mereka berhasil memadamkan cahaya keimanan dari sumbernya. Jika sudah begitu, komitment untuk memperjuangkan syari'at Allah dan berjihad akan padam dari tempat menyalanya, justru itu sasaran yang mereka inginkan ; mereka yang berjihad hendak mereka kendorkan dari melakukan jihad kepada hanya berpikiran jihad, sedang yang berpikiran jihad hendak mereka lucuti pikiran itu menjadi tidak harus menempuh jalan jihad.
Ketahanan Fikrah
Penguatan sisi pemikiran ini, menurut Al-'Allamah Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam Zad al-Ma'ad li Hadyi al-Khayri al-'Ibad pada bab V Kitab al-Jihad beliau namakan Jihad asy-Syaythan (jihad menghadapi syetan). Beliau memerincinya menjadi 2 (dua) rincian; Daf'u asy-Syubuhat dan Daf'u asy-Syahawat, yaitu jihad untuk mencegah pengaruh kekacauan pemahaman terhadap din al-Islam dan jihad untuk mencegah pengaruh hawa nafsu yang akan mengotori jalan jihad bahkan mengeluarkan dari jalur jihad.
Begitu pentingnya persoalan ini, sampai-sampai beliau mengatakan bahwa dua tingkatan jihad yang pertama merupakan jihad menghadapi musuh dari dalam diri sendiri yakni jihad an-nafs dan jihad asy-syaithan. Seorang mujahid tidak akan mampu memerangi musuh dari luar dirinya, apakah itu orang-orang kafir, orang munafiq dan orang zhalim, jika dia sendiri tidak yakin terhadap kebenaran jalan perjuangan yang ditapakinya. Wa alLohu a'lam.
diambil dari An-Najah
0 komentar:
Posting Komentar
Jazakallah