Demi menjalani misi mulia di dunia, juga meraih kenikmatan tak terkira di akhirat, tidak banyak waktu yang tersedia untuk kita. Seperti yang sering kita dengar dan saksikan, rata-rata umur manusia zaman ini seperti yang disebutkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wasallam,
أَعْمَارُ أُمَّتِى مَا بَيْنَ سِتِّينَ إِلَى سَبْعِينَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ
“Umur umatku berkisar antara enam puluh hingga tujuh puluh tahun, dan sedikit orang yang melampaui usia itu.” (HR Tirmidzi, beliau berkata, hadits hasan shahih)
Begitulah jika dihitung umur rata-rata, sedangkan secara personal, bahkan masing-masing tidak tahu berapa lama nantinya ia akan dijatah hidup di dunia.
Karenanya, hidup di dunia disebut dengan mata’un qaliil, kenikmatan yang sedikit. Karena kadar kenikmatannya yang sangat terbatas, dan hanya dinikmati dalam waktu yang sangat singkat. Lebih terasa singkat lagi, tatkala waktu demi waktu telah berlalu, kemudian habis masa tinggal di dunia. Allah mengisahkan,
“Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi.” (QS an-Naazi’at 46)
Hitung Pahala dengan Deret Ukur
Dengan waktu yang sesingkat itu, sulit bagi kita untuk mengumpulkan banyak kebaikan, jika hanya menggunakan logika ‘deret hitung’. Yakni mengumpulkan pahala dengan tambahan satu demi satu, tanpa ada ‘faktor perkalian’.
Alhamdulillah, Allah menurunkan syariat yang memberikan peluang untuk mendapatkan pahala berlipat di setiap amalnya, bagi orang yang mau menempuh jalannya. Dan peluang itu tak hanya dibuka dengan satu pintu, bahkan disediakan dengan banyak kesempatan.
Orang yang menginginkan kemuliaan tentu tergerak untuk ingin tahu, terpacu untuk berjibaku, demi meraih pahala tak terukur, dan mengumpulkannya dengan hitungan ’deret ukur’. Yakni mencari dan menjalani sarana yang bisa menambah faktor perkalian, atau bahkan kelipatan dalam hal pahala.
Sarana pertama, adalah dengan mengisi seluruh waktunya untuk aktivitas yang mendatangkan maslahat. Dengan cara ini, dia telah menyandang sebagai orang yang baik keislamannya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
”Termasuk tanda kebaikan seseorang adalah, dia meninggalkan apa-apa yang tidak berguna baginya.” (HR Tirmidzi)
Karakter ini mengandung kemaslahatan luar biasa di belakangnya. Tidak sama pahala yang diperuntukkan orang yang bagus keislamannya dengan orang yang belum mencapai derajat itu. Orang yang bagus keislamannya diberi kelipatan pahala yang lebih dibanding yang lain. Tentang hadits Nabi saw,
إِذَا أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ إِسْلاَمَهُ ، فَكُلُّ حَسَنَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ
”Apabila salah seorang di antara kalian bagus keislamannya, maka setiap kebaikan yang dilakukannya akan dilipatkan sepuluh hingga tujuh ratus kali.” (HR Muslim)
Ibnu Rajab al-Hambali dalam Jaami’u Uluum wal Hikam menjelaskan, ”Maka, dilipatkannya pahala menjadi sepuluh kali itu pasti, tapi kelipatan yang lebih dari itu diperoleh dengan cara memperbagus keislamannya…”
Di samping waktu yang tidak dibuang percuma, setiap peluang fadhilah dan kemuliaan takkan disiakan oleh pemburu keutamaan. Setiap tawaran pahala berusaha diraihnya dengan cara yang paling utama. Seperti shalat wajib dengan berjamaah yang dijanjikan pahala 27 derajat, atau 27 kali sebagaimana ditafsirkan sebagian ulama. Jika dihitung matematis, dua puluh tujuh tahun yang dijalani seseorang yang shalat sendirian, setara dengan satu tahun yang dijalani seseorang yang shalat dengan berjamaah. Belum lagi keutamaan berjalan ke masjid, tahiyatul masjid dan keutamaan lain yang menyertainya. Begitupun dengan kebaikan lain seperti sedekah, dzikir, tilawah maupun segala bentuk ibadah dan juga akhlaqul karimah.
Melibatkan Orang Lain untuk Mengumpulkan Pahala
Orang yang cerdas juga tidak hanya memproduksi pahala dengan satu ’mesin’ saja. Dia bisa melibatkan sebanyak mungkin orang untuk berpartisipasi memenuhi pundi-pundi pahala kebaikannya. Tentu, ini tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.
Caranya, dengan memperbanyak ilmu dan mengamalkannya, lalu diajarkan kepada orang sebanyak mungkin. Karena ilmu yang bermanfaat termasuk amal yang tak pernah putus, meski nyawa telah terpisah dari raga. Jika ada satu orang yang beramal shalih karena mengambil manfaat dari ilmu yang kita sampaikan, maka setiap kali iaberamal, kita mendapatkan pahala seperti yang ia amalkan, tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun. Jika kita mengajarkan shalat kepada seratus orang, maka pahala setiap shalat kita ditambah dengan seratus kali pahala orang shalat, demikianlah seterusnya.
Nabi SAW bersabda,
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
”Barangsiapa yang menunjukkan kebaikan, maka baginya pahala seperti orang yang berbuat baik.” (HR Muslim)
Inilah yang memotivasi para pendahulu umat yang alim dan shalih. Umur mereka begitu berkah. Mereka berdakwah kepada sebanyak mungkin orang, dengan berbagai sarana yang dibenarkan oleh syariat. Ada yang mengajarkannya di masjdi-masjid, halaqah-halaqah ilmu, mendakwahkannya kepada siapapun orang yang ditemuinya, juga dengan dakwah melalui tulisan. Dengan cara ini, mereka tak hanya berdakwah kepada manusia di lintas negara, bahkan juga lintas generasi dan zaman. Hingga siapapun yang mengambil manfaat dari karya mereka, berarti telah ‘menyumbang’ pahala untuk mereka, tanpa mengurangi pahala sendiri tentunya. Inilah fadhilah dari ‘al-ilmu yuntafa’u bih’, ilmu yang dimanfaatkan. Semoga Allah memberkahi umur kita. Amien. (Abu Umar Abdillah)
0 komentar:
Posting Komentar
Jazakallah