Blogroll

Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa mengajarkan suatu ilmu, maka dia mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya, tidak mengurangi dari pahala orang yang mengamalkannya sedikitpun".
"Barangsiapa dikehendaki baginya kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberikan PEMAHAMAN AGAMA kepadanya.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)

Pages

Tampilkan postingan dengan label TAFSIR QOLBI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label TAFSIR QOLBI. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 Juni 2011

Dosa Ala Orang Bertakwa

Menepis Dosa Ala Orang Bertakwa
إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِّنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُم مُّبْصِرُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, Maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (QS. al-A’raaf: 201)
Orang yang bertakwa bukanlah orang ma’shum yang terjaga dari segala kesalahan. Ada kalanya ia lengah, hingga terpancing oleh bujuk rayu setan. Kadang pula terbersit keinginan untuk bermaksiat, dan bahkan sesekali terjerumus ke dalamnya.
Tapi, alangkah beda karakter orang yang bertakwa dengan orang-orang fajir yang gemar berbuat dosa. Para pendosa tidak memiliki sensor dan lepas kontrol, tidak peka terhadap dosa, tidak berusaha mendeteksi status halal atau haram, tidak pula berpikir akan risiko perbuatan dosa yang dilakukannya.
Waspadai Dosa Sebelum Kedatangannya
Meski sesekali pernah berbuat dosa, dari awal orang yang bertakwa telah optimal melakukan penjagaan dari dosa. Dia berusaha ‘membangun’ pagar antara dia dengan dosa di wilayah yang aman dari dosa, bukan di wilayah ‘abu-abu’, atau persis di batas wilayah antara halal dan haram yang rawan dengan tindakan dosa. Karakter mereka seperti yng dijelaskan oleh Nabi SAW,
لاَ يَبْلُغُ الْعَبدُ أنْ يَكُونَ منَ المُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لاَ بَأسَ بِهِ ، حَذَراً مِمَّا بِهِ بَأسٌ
“Seorang hamba belum mencapai derajat muttaqin sehingga dia meninggalkan apa-apa yang tidak berdosa karena takut terjerumus ke dalam dosa.” (HR Tirmidzi, beliau mengatakan, “hadits hasan”)
Dia tidak hanya meninggalkan yang haram, tapi juga yang syubhat agar lebih jauh dari dosa.
Orang yang bertakwa memiliki kepekaan yang tajam terhadap dosa. Terkadang sensor ketakwaannya mampu mendeteksi godaan setan sejak awalnya, juga dari pintu mana setan hendak masuk mencuri hatinya. Seketika itu iapun bersegera menepisnya. Dia mematuhi sabda Nabi SAW,
يَأْتِي الشَّيْطَانُ أَحَدَكُمْ فَيَقُولُ مَنْ خَلَقَ كَذَا مَنْ خَلَقَ كَذَا حَتَّى يَقُولَ مَنْ خَلَقَ رَبَّكَ فَإِذَا بَلَغَهُ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ وَلْيَنْتَهِ
“Setan mendatangi salah seorang dari kalian, lalu bertanya, “Siapakah yang menciptakan ini? Siapakah yang menciptakan itu?” Hingga dia bertanya,’Siapakah yang menciptakan Rabb-mu?’ Oleh karena itu, jika telah sampai kepadanya hal tersebut, maka hendaklah dia berlindung kepada Allah dan hendaklah dia menghentikan (waswas tersebut)”. (HR Bukhari)
Terkadang pula kepekaan itu muncul saat orang yang bertakwa itu benar-benar dekat sekali dengan kemaksiatan, lalu dia tersadar dan menjauh darinya. Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menyebutkan riwayat dari Ibnu Asakir, bahwa ada seorang pemuda di zaman sahabat yang rajin beribadah ke masjid. Lalu, seorang wanita terus merayu dan menggodanya. Hingga suatu kali, hampir saja dia masuk ke dalam rumah bersama wanita itu, lalu dia teringat dan membaca firman-Nya,
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, Maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (QS al-A’raaf 201)
Tiba-tiba saja ia jatuh pingsan. Pemuda itu sempat sadar dan kembali mengulang bacaannya sebelum akhirnya wafat. Begitu besar rasa takutnya kepada Allah, hingga mencegahnya dari tindakan keji, meski jarak antara dia dengan dosa tinggal sedikit lagi.
Orang yang bertakwa juga mudah menerima peringatan, seketika tersadar saat dibacakan ayat-ayat Allah, sehingga mencegahnya untuk berbuat melampaui batas. Seperti ulama tabi’in, Ali bin Husain bin Ali yang dikenal dengan Zainul Abidin. Tatkala beliau hendak berwudhu, seorang budak beliau menuangkan air dengan kendinya, tiba-tiba kendi itu terjatuh dan pecah, hingga pecahannya melukai wajah beliau. Hampir saja beliau marah, tapi sang budak membacakan firman Allah dalam Surat Ali Imran 134, “wal kazhimiinal ghaizha..(yang menahan amarah)..” Beliau tersadar dan berkata, “Aku tahan amarahku!” Si budak melanjutkan, “wal ‘aafiina ‘anin naas (yang memaafkan manusia)..” Beliau menyahut, “Aku maafkan kamu!” Si budak melanjutkan, “wallahu yhibbul muhsiniin (dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik).” Lalu beliau berkata,
“Aku merdekakan dirimu!”
Peka Terhadap Dosa yang Telah Terjadi
Memang ada kemungkinan paling parah yang dialami orang yang bertakwa. Di mana ia benar-benar terjerumus ke dalam dosa. Tapi, kebeningan hatinya segera menyadarkan ia akan kesalahannya. Seketika itu ia akan menyesali perbuatannya, takut akan akibat, dan lantas bersegera kembali mengingat Allah. Berbeda dengan orang fajir yang tak merasa bersalah usai bermaksiat, tak ada penyesalan dan tetap merasa aman dan nyaman. Beda antara keduanya dijelaskan dalam sebuah hadits,
إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ
“Sesungguhnya orang mukmin memandang dosanya seperti orang yang duduk di kaki gunung, ia takut tertimpa olehnya. Sedangkan orang fajir, memandang dosa-dosanya layaknya lalat yang melewati hidungnya (yang mudah dihalau).” (HR Bukhari)
Bukan sekedar menyadari kesalahan, orang yang bertakwa teringat akan dosanya, saat musibah menimpa mereka. Sufyan ats-Tsauri pernah mengatakan, “Aku terhalang shalat malam selama lima bulan karena dosa yang saya lakukan.”
Muhammad bin Sirin, seorang ulama tabiin juga pernah terlilit hutang. Lalu beliau mengevaluasi diri dengan caranya orang shalih, bukan dengan gaya pedagang. Lalu beliau mendapatkan kesimpulan, “Sungguh, musibah ini tidak menimpaku melainkan karena dosa yang pernah aku perbuat sejak 40 tahun yang silam. Di mana aku mengatakan kepada seseorang, “Hai, orang bangkrut!”  Tatkala kisah ini disampaikan kepada Abu Sulaiman ad-Darani, beliau memberikan komentar, “Dosanya sedikit, sehingga dia bisa mendeteksi dosa mana yang menyebabkan musibah terjadi, tapi dosa kita banyak, sehingga tak tahu lagi, dosa mana yang menyebabkan datangnya tiap musibah.”
Allahumma aati anfusana taqwaaha, ya Allah, anugerahkan taqwa di hati kami. Amin.

Dosa Tampak di Depan Mata


Saat Rekaman Dosa Tampak di Depan Mataبَعِيدًا وَيُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ وَاللهُ رَءُوفُُ بِالْعِبَادِ
“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.” (QS. Ali Imran 30)
Jiwa yang terpancari oleh cahaya iman akan tahu, apa yang harus dilakukan saat hati mengidap gejala sakit atau mebatu. Khalifah Abdul Malik bin Marwan, saat mendeteksi adanya bibit penyakit dalam hati berkata kepada Al-Manshur RHM, “Bacakanlah kepadaku suatu ayat dari Kitabullah, karena hal itu bisa menjadi obat bagi penyakit di dada, dan karena al-Qur’an adalah penyembuh dan cahaya.”
Dari sekian ribu ayat yang ada, al-Manshur memilih untuk membacakan firman-Nya,
Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya;” (QS. Ali Imran: 30)
Tampaknya, ayat yang dibacakan oleh al-Manshur tersebut begitu hebat menancap di ulu hati sang Khalifah, hingga menyebabkan beliau pingsan seketika. Di antara yang beliau ucapkan setelah siuman dari pingsannya adalah, “Sungguh, barangsiapa yang memikirkan ayat ini, lalu dia tetap nyaman dalam bermaksiat kepada Allah setelahnya, maka dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.”
Rekaman Hidup di Dunia
Hari itu, masing-masing jiwa akan mendapati rekaman seluruh harinya di dunia. Tentang secuil ketaatan yang pernah dijalani, juga sederetan dosa yang pernah dilakoni. Tak ada sedikitpun yang tersembunyi atau terlewati. Itulah hari dibukanya topeng kemunafikan, ditelanjanginya segala bentuk kedustaan, disingkapnya segala makar kejahatan.
Satu perbuatan jahat yang telah dilupakan di dunia, atau sepenggal kata dusta yang telah tertimbun oleh memori berjuta giga, kelak akan terkuak pula. Tak ada sedikit jua yang tersisa. Dari yang kecil hingga yang besar, tampak begitu rincinya.
Pandangan manusiapun terbelalak. Seakan tak percaya sedetil itu semua lakon hidupnya akan terkuak. Sedikitpun ia tak mampu membela diri atau mengelak. Semua bukti yang ada terlalu valid untuk ditolak.
Apalagi, lembar kehidupan telah tercatat oleh malaikat. Bumi menjadi saksi atas segala ucapan, sikap dan gelagat. Allah menjadi saksi atas segala hal yang kita perbuat. Tangan, kaki dan semua jasad juga menjadi saksi kunci yang teramat kuat. Sementara lisan terkunci rapat, tak kuasa membantah meski hanya dengan satu kalimat.
Anas bin Malik RDL menceritakan, “Suatu kali kami bersama Nabi SAW, dan tiba-tiba beliau tertawa dan berkata, “Tahukah kalian, karena apa aku tertawa?” Kami menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Lalu beliau bersabda,

مِنْ مُخَاطَبَةِ الْعَبْدِ رَبَّهُ يَقُولُ يَا رَبِّ أَلَمْ تُجِرْنِى مِنَ الظُّلْمِ قَالَ يَقُولُ بَلَى. قَالَ فَيَقُولُ فَإِنِّى لاَ أُجِيزُ عَلَى نَفْسِى إِلاَّ شَاهِدًا مِنِّى قَالَ فَيَقُولُ كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ شَهِيدًا وَبِالْكِرَامِ الْكَاتِبِينَ شُهُودًا – قَالَ – فَيُخْتَمُ عَلَى فِيهِ فَيُقَالُ لأَرْكَانِهِ انْطِقِى

“Karena perbincangan seorang hamba dengan Rabbnya. Hamba itu berkata, “Wahai Rabbi, bukankah Engkau bebaskan hamba dari kezhaliman?” Allah berfirman, “Ya.” Hamba itupun berkata, “Kalau begitu, hamba tidak mau menerima saksi lain kecuali saksi dari diriku sendiri.” Lalu Allah berfirman, “Cukuplah dirimu sendiri yang menjadi saksi pada hari ini, dan al-Kiraamul Kaatibun menjadi saksi!” lalu lisanpun dikunci, kemudian dikatakan kepada seluruh anggota badan, “Berbicaralah!.” (HR Muslim)
Allah SWT mengijinkan seluruh anggota badan untuk berbicara, tangan bisa bersuara, begitupun dengan kaki, mata dan telinga. Semuanya melapor tentang apa yang telah diperbuat di dunia. Ini sesuai dengan firman-Nya,
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS. Yaasin: 65)
Jika demikian, masihkah hati tergiur oleh dosa? Adakah nafsu masih berselera dengan tindakan durjana? Sedangkan dosa yang telah lewat dan masih kita ingatpun sulit dihitung saking banyaknya. Dan lebih banyak lagi dosa yang kita telah lupa, namun Allah tidak pernah lupa.
Dosa-Dosa yang Tak Ditampakkan
Hari itu, tak terbayangkan betapa malunya para pendosa. Karena aib akan terbuka, dosa-dosa akan kasat mata. Kita tak sedang membicarakan orang lain yang kita lihat sering berbuat dosa. Tapi kita justru mengkhawatirkan nasib kita, akankah kita juga akan malu sedemikian rupa?
Rasa takut tetap harus ada, lalu antisipasi harus diambil segera. Jika tidak ingin malu lantaran salah dan dosa, jangan biarkan kita terseret ke dalamnya. Meski tak satupun manusia yang ma’shum dari dosa, tidak berarti boleh menjadi alasan kita untuk sengaja menjamahnya. Karena faktanya, banyak sekali dosa yang kita lakukan namun kita tak menyadarinya. Bukan karena lupa atau tak sadar melakukannya, tapi saking sering dan terlalu biasa. Hingga terhadap maksiat tak lagi peka. Maka jangan lagi kita menambah dosa, apalagi dengan sengaja.
Adapun maksiat yang telah terjadi di masa lalu, masih ada celah agar kelak di akhirat kita tak melihatnya. Yakni dengan taubat nashuha, berhenti, menyesal, bertekad untuk tidak mengulanginya, dan memohon ampunan Allah SWT.
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Abu Dzar RDL, bahwa Nabi SAW bersabda,
“Sesungguhnya aku tahu orang terakhir yang masuk jannah, dan yang terakhir keluar dari neraka. Ada seseorang didatangkan pada hari Kiamat, lalu dikatakan, “Perlihatkan kepadanya dosa-dosa kecilnya!” Lalu dikatakan kepada orang itu, “Kamu telah melakukan ini, ini dan itu pada hari anu. Dan kamu juga berbuat ini, ini dan itu pada hari anu.” Orang itu berkata, “Benar,” ia tidak kuasa untuk mengelak, sedangkan dia masih mengkhawatirkan ditampakkannya dosa besar yang pernah dilakukannya. Lalu dikatakan kepadanya, “Bagimu, setiap keburukan (dihapus dan) diganti dengan kebaikan.” Lalu hamba itu berkata, “Wahai Rabbi, saya melakukan suatu dosa yang tidak saya lihat di sini?!” Sungguh aku (Abu Dzar) melihat Nabi tertawa hingga kelihatan gerahamnya.” (HR Muslim)
Allahu akbar! Begitulah kemurahan Allah, Dia menghapus dosa orang yang bertaubat, dan menggantinya dengan kebaikan. Sebagaimana firman-Nya,
“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Furqan: 70)
Allahummastur ‘auraatana, wa aamin rau’atana, Ya Allah, tutuplah auarat kami dan amankanlah penjagaan kami. Amien. (Abu Umar Abdillah)



http://www.arrisalah.net/

Hayaatan Thayyibah,

Hayaatan Thayyibah, Hidup yang Benar-benar Baik

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَاكَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS an-Nahl 97)
Hayaatan Thayyibah
Hidup yang Benar-benar Baik
Penghidupan yang baik, manusia mana yang tidak memimpikannya? Ia adalah puncak cita-cita setiap insan yang hidup di dunia. Untuk tujuan itu pula manusia berjuang sepanjang umur, mencurahkan sepenuh potensi dan tak jarang harus rela menyabung nyawa. Tapi kehidupan seperti apa yang dianggap baik oleh manusia?
Meski diungkapkan dengan kalimat yang sama, sesungguhnya persepsi manusia tentang makna penghidupan yang baik itu sangat beragam dan berbeda-beda. Perbedaan itu pula yang menyebabkan manusia berbeda cara untuk meraihnya, juga berlainan jalan yang ditempuhnya.
Yang paling umum, kehidupan yang baik diartikan sebagai hidup mapan secara ekonomi, anggota keluarga yang komplit, juga tempat timggal dan kendaraan yang nyaman, serta unsur lain yang bersifat materi. Memang, semua itu bisa saja melengkapi nilai sebuah kehidupan yang baik. Namun ada yang lebih inti, yang mesti ada untuk disebut sebagai hayaatan thayyibah, atau kehidupan yang baik.
Hidup Dengan Rizki yang Halal
Allah menjanjikan ganjaran bagi orang yang beriman dan beramal shalih, berupa kehidupan yang baik. Imam al-Qurthubi mengumpulkan pendapat para ulama tafsir tentang makna hayaatan thayyibah (kehidupan yang baik), ketika beliau menafsirkan firman Allah dalam Surat an-Nahl di atas.
Pertama, kehidupan yang baik bermakna rizqun halaalun, rizki yang halal. Beliau mengalamatkan pendapat ini kepada Ibnu Abbas, Sa’id bin Jubeir, Atha’ dan juga adh-Dhahak. Rizki yang halal akan mendatangkan ketenangan hati. Tenang saat mencari, nyaman pula tatkala membelanjakannya. Tak ada was-was, khawatir atau perasaan bersalah. Karena dia hanya mengambil yang dihalalkan oleh Allah, tidak pula merenggut apa yang menjadi hak orang lain.
Allah juga akan memberkahi rejeki yang didapat dengan cara yang halal. Sedangkan makna berkah adalah wujudnya pengaruh baik pada sesuatu. Yang sedikit bisa menjadi banyak, yang banyak juga mendatangkan maslahat. Dan berkah yang paling utama adalah menggunakan rejeki untuk taat kepada Allah.
Keberkahan itu terkadang berujud kemudahan urusan, anak istri yang berbakti, kedamaian di hati anggota keluarga dan hal-hal lain yang merupakan unsur-unsur kebahagiaan.
Berbeda dengan orang yang mendapat rejeki dari yang haram. Siksa hati di dunia telah mendera, sebelum merasakan siksa berta di akhirat. Kecuali jika dia bertaubat atau Allah berkehendak mengampuni kesalahannya.
Mereka yang mendapatkan rejeki dengan cara korupsi, mencuri, menipu timbangan, atau cara-rara haram yang lain, didera oleh was-was dan kekhawatiran yang berkepanjangan. Mereka takut saat mengambil, juga khawatir tatkala mengelola hasil. Keberkahan juga akan dicabut dari apa yang mereka dapatkan. Banyaknya harta tidak bermanfaat, tingginya jabatan tak membuatnya tenteram, dan harta yang dibelanjakannya hanya mendatangkan masalah dan problem yang sulit dipecahkan.
Qana’ah Atas Anugerah yang Allah Berikan
Makna kedua dari kehidupan yang baik adalah al-qana’ah. Ini adalah pendapat Hasan al-Bashri, Zaid bin Wahab, bin Munabih dan bahkan Ali bin Abi Thalib RDL. Sedangkan makna qana’ah adalah ridha bil qismi, ridha atas pembagian yang telah Allah anugerahkan. Tak diragukan, bahwa qana’ah akan membawa ketenteraman dan kebahagiaan hidup. Nabi SAW menyebut orang yang qana’ah sebagai orang yang beruntung, maka jelaslah bahwa hidup yang dijalani dengan qana’ah adalah kehidupan yang baik. Nabi SAW bersabda,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
“Sungguh beruntung, orang yang telah berislam, diberi rejeki yang cukup, lalu Allah menjadikannya qana’ah atas apa yang Dia karuniakan kepadanya.” (HR Muslim)
Tak setiap manusia yang dikarunia harta melimpah lantas puas dan ridha dengan apa yang didapatkan. Hati yang tidak qana’ah, akan terus panas terbakar oleh provokasi nafsu yang tak kenal puas. Bak minum air laut, yang tak hilang dahaga karenanya. Seandainya diberikan kepadanya satu ladang emas, niscaya dia akan mencari ladang yang kedua. Dan inilah hakikat kefakiran yang sebenarnya.
Taufik untuk Menjalankan Ketaatan
Makna ketiga adalah taufiiq ila ath-thaa’aat, anugerah taufik atau kekuatan untuk bisa menjalankan ketaatan kepada Allah. Ini juga menjadi salah satu pendapat adh-Dhahak. Beliau juga berkata, “Barangsiapa yang beramal shalih sedangkan dia beriman dalam kondisi susah dan mudah, maka kehidupannya adalah kehidupan yang baik. Dan barangsiapa yang berpaling dari berdzikir kepada-Nya dan tidak beriman kepada Rabbnya, tidak beramal shalih, maka kehidupannya adalah kehidupan yang sempit, tak ada kebaikan di dalamnya.”
Telah di-nash oleh Allah bahwa “innal abraara lafii na’iim, wa innal fujjaara lafii jahiim”, sungguh orang yang berbakti itu akan beroleh kenikmatan, dan sesungguhnya orang yang fajir itu akan beroleh jahim (kesengsaraan). Kenikmatan maupun kesengsaraan yang dimaksud bukan sebatas kenikmatan jannah atau penderitaan di neraka saja, tapi juga di dunia, di alam barzakh, dan di daarul qarar (jannah atau neraka), seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitab al-Jawaabul Kaafi.
Maka barangsiapa yang mencari kenikmatan yang bukan dalam ketaatan kepada-Nya, niscaya akan dihukum dengan kesengsaraan hati di dunia, diombang-ambing oleh nafsu yang kebingungan mencari klimaks kenikmatan.
Makna Lain yang Melengkapi
Pendapat keempat, Mujahid, Qatadah dan Ibnu Zaid berkata, “Maksud kehidupan yang baik adalah jannah.” Inia adalah pendapat Hasan al-Bashri. Beliau berkata, “Tidak ada kehidupan yang lebih baik dari kehidupan di jannah. Memang begitulah adanya. Jannah adalah kehidupan yang baik. Terkumpul di dalamnya kenikmatan yang tak terkurangi sedikitpun takarannya. Juga disingkirkan atas mereka segala perkara yang menyusahkan atau sekedar mengurangi rasa nyaman. Terkumpul di dalamnya, antara keridhaan ar-Rahman dengan nafsu yang terpuaskan. Allah berfirman,
Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.” (QS. Fushilat: 31)
Masih ada lagi makna lain yang disebutkan oleh para ulama yang masing-masing tidak saling bertentangan, dan bahkan saling menguatkan satu sama lain. Orang yang beriman dan beramal shalih akan mendapatkan kehidupan yang baik dengan segala pengertian di atas. Karena itu, Ibnu Katsier RHM berkata setelah menyebutkan berbagai pendapat para ulama tentang makna kehidupan yang baik, “Yang benar, bahwa makna kehidupan yang baik mencakup semua pengertian di atas..”
Semoga Allah menganugerahkan kepada kita, kehidupan yang baik di dunia, di alam bazakh di di jannahnya yang abadi. Amein. (Abu Umar Abdillah)
http://www.arrisalah.net/

Ketika Siksa yang Tak Terduga

Siksa yang Tak Terduga
وَبَدَا لَهُم مِّنَ اللَّهِ مَا لَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ
”Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.” (QS. az-Zumar: 47)
Suatu malam, Muhammad bin al-Munkadir khusyuk dengan shalatnya. Beliau banyak menangis hingga keluarga mengkhawatirkan keadaannya. Di sela-sela shalat, keluarga bertanya penyebab tangisannya. Namun tak ada jawaban, selain bertambah histeris tangisannya. Keluarga pun berinisiatif mengundang Abu Hazim RHM, seorang ulama sekaligus teman dekat Muhammad al-Munkadir. Dengan harapan beliau bisa menenangkan dan menghentikan tangis Muhammad al-Munkadir.
Setelah bertemu, Abu Hazim bertanya, ”Apa sebenarnya yang membuatmu menangis, hingga keluargamu mengkhawatirkan dirimu?” Muhammad menjawab, ”Aku membaca al-Qur’an, lalu sampai pada suatu ayat.”
Ayat manakah itu? Tanya Abu Hazim penasaran. Lalu Muhammad bin al-Munkadir membacakan ayat yang dimaksud,
“Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.” (QS. Az-Zumar:47)
Mendengar ayat dibacakan, kontan saja Abu Hazim turut menangis, hingga keduanya menangis bersama-sama. Keluarga Muhammad pun menggerutu, “Anda kami undang untuk menghentikan tangisnya, tapi justru Anda makin membuatnya menangis.”
Pernah pula seseorang memuji Sulaiman at-Taimy akan keshalihannya, ”Anda…siapa lagi yang bisa seperti Anda?” Beliau menyergah, “Janganlah Anda berkata seperti itu, karena saya tidak tahu, apa yang akan ditampakkan Allah kepadaku, karena Allah Azza wa Jalla berfirman, “ “Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.” (QS. Az-Zumar:47)
Ayat ini begitu membekas di hati orang-orang shalih, membuat takut orang-orang yang hatinya lembut. Betapa tidak, mereka khawatir jika nantinya dihadapkan siksa yang tak terduga. Sungguh, kelak akan banyak orang-orang yang tercengang, kaget dan ketakutan. Banyak ahli tafsir menjelaskan, mengapa mereka terkejut dengan siksa yang tidak pernah mereka perkirakan.
Dikira Amal Baik, Ternyata Buruk
Sebagian ahli tafsir mengatakan, bahwa orang yang zhalim tidak menyangka bertemu dengan adzab lantaran, “Mereka mengerjakan amalan yang mereka anggap kebaikan, namun di akhirat ternyata dihitung sebagai keburukan.” Inilah pendapat Mujahid bin Jabr dan Fudhail bin Iyadh. Kesalahan anggapan itu bisa dikarenakan cara yang ditempuhnya salah, bisa juga karena salah niat. Salah cara, karena dia mengasumsikan kebaikan dan berbuat baik menurut versinya, atau ikut-ikutan kebanyakan orang, bukan mengikuti syariat yang digariskan. Atau dia menyangka telah menjalankan sunnah, padahal yang dilakukan adalah bid’ah.
Adapun salah niat, bisa jadi amalnya sesuai syariat, tapi dia bermaksud riya’ dalam ibadahnya. Ketika membaca ayat tersebut, sebagian ulama berkata, ”Celakalah orang yang berbuat riya’ (pamer).”
Allah berfirman,
”Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. al-Kahfi: 103-104)
Dianggap Ringan Ternyata Berat
Sebab lain yang membuat manusia terkejut dengan siksa yang dihadapinya adalah, dia menganggap suatu dosa sebagai hal yang remeh, padahal di sisi Allah dihitung sebagai sesuatu yang besar. Allah berfirman,
”dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja.Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” (QS. an-Nur:15)
Selayaknya kita takut termasuk dalam kriteria ini. Berapa banyak dosa yang kita anggap sepele, lalu dengan ringan kita menjamahnya. Anas bin Malik berkata, ”Sesungguhnya kalian melakukan suatu perbuatan yang dalam anggapan kalian lebih ringan dari biji gandum, padahal di zaman Nabi SAW kami menganggapnya sebagai dosa yang membinasakan.” Ini beliau katakan kepada generasi tabi’in, dan masih hidup pula beberapa sahabat Nabi SAW, lantas bagaimana penilaian beliau sekiranya melihat realita di zaman ini?
Begitu biasa pemandangan haram disaksikan di televisi, dan hampir semua keluarga menikmati. Di sana penuh dengan tayangan mengumbar aurat, mempromosikan zina, menyebarkan gosip serta melestarikan khurafat dan kesyirikan. Seakan dianggap hiburan yang aman-aman saja. Belum lagi perilaku buruk dalam muamalah; curang dalam berjual beli, menipu timbangan, korupsi, bicara dusta dan pergaulan bebas dengan lawan jenis. ”Dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal di sisi Allah adalah besar.”
Memang, sebagian pelaku itu juga memiliki amal ketaatan, tapi ketika menghadapi sesuatu yang diharamkan oleh Allah, tanpa beban mereka menjamahnya. Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya ada di antara umatku yang datang dengan membawa pahala sebesar gunung Tihamah yang putih, lalu Allah jadikan laksana debu yang berterbangan.” Subhanallah, bagaimana amal kebaikan sebesar gunung menjadi debu yang berterbangan? Nabi menyebutkan,
<h2>أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنَ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا</h2>
”Mereka adalah saudara kalian, yang berkulit seperti kulit kalian, mereka bahkan juga shalat malam sebagaimana kalian, tapi mereka adalah suatu kaum yang jika menghadapi apa yang diharamkan Allah, mereka menjamahnya.” (HR. Ibnu Majah, al-Albani menshahihkannya)
Mengira Kebaikan Lebih Banyak
Sebagian lagi nekad berbuat maksiat lantaran merasa masih banyak memiliki tabungan pahala. Mereka sangka kebaikan yang dikumpulkannya bisa menutupi kezhaliman yang diperbuatnya. Tapi pada hari Kiamat mereka melihat kenyataan yang sebaliknya. Raslullah SAW bersabda, ”Tahukah kalian, siapakah orang yang bangkrut itu?” Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari Kiamat dengan pahala shalat, shaum maupun zakat. Namun dia juga mencela si fulan, menuduh si fulan, memakan harta si fulan, menumpahkan darah si fulan, memukul si fulan, lalu kebaikannya diambil untuk membayar ini dan itu. Hingga tatkala kebaikannya habis sebelum kezhalimannya lunas terbayar, maka dosa-dosa orang yang dizhalimi ditimpakan atasnya, dan iapun dilempar ke neraka.”
Jika demikian, alangkah pantasnya jika Muhammad bin Munkadir menangis membaca ayat ini. Begitupun dengan Abu Hazim, Sulaiman at-taimy dan juga Ibnu al-Jauzy. Lantas bagaimana dengan kita? Adakah kita merasa aman dari siksa yang tak disangka-sangka?
Rabbana zhalamna anfusanaa wa inlam taghfirlanaa watarhamna, lanakuunanna minal khaasiriin. (Abu Umar Abdillah)

Negeri Ideal yang Didambakan

Baldatun Thayyibatun, Negeri Ideal yang Didambakan
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ ءَايَةٌ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِن رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
“Sesungguhnya bagi kaum Saba ada tanda (kekuasaan Rabb) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.(kepada mereka dikatakan):”Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Rabb-mu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya.(Negerimu) adalah negeri yang baik(Baldatun Thayyibah) dan (Rabb-mu) adalah Rabb Yang Maha Pengampun”. (QS. Saba’:15)
Belasan tahun lalu, sering kita dengar optimisme para pembesar negeri mengungkapkan impian negeri ini sebagai negeri ideal dengan slogan ‘baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur’, sebuah negeri yang baik, dan diberi ampunan oleh Allah.
Saba’, Negeri Percontohan
Seperti negeri Saba di era kejayaan dan kemakmurannya, hingga Allah menjadikannya sebagai percontohan dalam al-Qur’an. Tadinya, Saba’  adalah negeri yang aman, subur dan makmur . Bukan saja aman dari segala bentuk kriminal dan kejahatan yang dilakukan oleh manusia, namun juga tak ada ancaman dari hewan-hewan yang berbahaya. Bahkan Allah membersihkan hewan-hewan pengganggu dari negeri itu. Imam asy-Syaukani dalam Tafsir Fathul Qadir menyebutkan dari Imam Abdurrahman bin Zaid RHM  tentang firman-Nya, “Sesungguhnya bagi kaum Saba ada tanda (kekuasaan Rabb) di tempat kediaman mereka..”
Yakni, “mereka tidak melihat adanya nyamuk, lalat, kutu, kalajengking, ular dan hewan (pengganggu) lainnya.” Dalam kontek kekinian, barangkali termasuk virus dan bakteri yang membahayakan.
Saba’ juga menjadi negeri yang sangat subur dan makmur. Dengan bendungan yang disebut sejarawan sebagai Bendungan Ma’rib, mengairi dua kebun yang terletak di sisi kanan dan sisi kiri wilayah mereka,
yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.” (QS. Saba’: 15)
Ahli tafsir di kalangan tabi’in, Qatadah dan yang lain menggambarkan betapa subur dan makmurnya negeri Saba’, “Seorang wanita berjalan di bawah pepohonan dengan memanggul keranjang di kepalanya  untuk mewadahi buah-buahan yang berjatuhan, maka keranjang itu penuh tanpa harus susah payah memanjat atau memetiknya.” Buah-buahan yang ada juga digambarkan dengan segala sifat kelezatan dan istimewa dibandingkan dengan buah-buahan yang ada di dunia. Begitulah ’baldatun thayyibah’ bernama Saba’, yang sempat diimpikan masyarakat dan didongengkan para tokoh negeri ini.
Negeri Kita, Ada Kemiripan
Sekarang, slogan negeri yang baik itupun nyaris tak terdengar. Mungkin kurang percaya diri, atau malu untuk mengungkapkannya. Karena realita makin jauh dari impian. Harapan itupun seakan kandas sebelum mendekati titik yang diharapkan. Seakan potensi alam kita menjelma menjadi musuh dan dari arah itulah bencana dan musibah datang bergantian. Mengingatkan kita akan kondisi kaum Saba’ ketika mereka merubah syukur dengan kufur, maka dalam sekejap Allah menggantikan ni’mah (nikmat) dengan niqmah (bencana). Hujan lebat tiada henti, bendunganpun jebol dan terjadilah banjir besar. Firman Allah,
”Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr.” (QS. Saba’:16)
Berubahlah keadaan secara ekstrim, tak ada lagi rasa aman, tikus-tikus menggerogoti bendungan seperti yang disebutkan Ibnu Katsier. Tak ada lagi yang tumbuh selain pepohonan atau buah yang mereka tidak membutuhkannya atau tidak bisa memanfaatkannya.
Sungguh, dijadikannya Kaum Saba’ sebagai permisalan, agar kita mengambil pelajaran. Karena pada beberapa bagian, antara kita dan mereka ada kemiripan. Kemiripan dalam hal potensi alamnya yang subur, sekaligus kemiripan dari sisi musibah yang menimpa. Selayaknya kita berkaca diri, adakah kesamaan sebab antara Saba’ dan negeri kita, hingga kita juga mengalami bencana serupa?
Mungkin kita tak mau dipersalahkan, atau sebagian malah menganggap bahwa menghubungkan antara dosa dengan musibah hanyalah wujud simplifikasi (menggampangkan) masalah, atau bahkan dianggap tidak empati terhadap para korban bencana. Padahal, mengkaitkan bencana dengan dosa tidak berarti menuduh korban bencana itu menjadi biangnya dosa. Boleh jadi orang yang tidak terkena musibah juga turut andil dalam mengundang datangnya musibah. Baik dengan menyebarluaskan dosa, atau sekedar meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Karena kita ibarat penumpang dalam satu kapal, jika kita biarkan sebagian penumpang melobangi kapal untuk mendapatkan air, maka tatkala kapal tenggelam, tentu tidak hanya menimpa mereka yang melobangi kapal saja.
Menuju Baldatun Thayyibah
Meski telah kenyang dengan musibah dan kekhawatiran yang bertubi-tubi, Allah masih memberikan peluang kepada kita untuk bangkit. Menuju baldatun thayyibah, sekaligus wa Rabbun ghafuur. Kalimat Allah mengampuni, mengandung konsekuensi bahwa untuk mendapatkan situasi negeri yang baik, kita harus bersedia bertaubat dan memohon ampunan-Nya. Dengan terlebih dahulu mengakui kesalahan, kesombongan dan kelancangan kita yang telah mencampakkan hukum dan aturan-aturan-Nya. Harus ada penyesalan, bertekad untuk tidak mengulangi maksiat lagi, dan menjadikan Islam sebagai jalan hidup baik secara personal, maupun komunal. Gairah untuk mencegah kemungkaran harus pula digalakkan, karena tanpanya, bencana belum akan dicabut, meski doa terus dilantunkan, Nabi SAW bersabda,
وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلاَ يُسْتَجَابُ لَكُمْ
“Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, hendaknya kamu mengajak yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, atau Allah akan mengirimkan bencana atas kalian, kemudian kalian berdoa namun tidak dikabulkan.” (HR Tirmidzi, hadits hasan)
Rabbij’al haadza baladan aaminan, war zuq ahlahu minats tsamaraati man aamina minhum billah wal yaumil aakhir. Amien (Abu Umar Abdillah)

Perbandingan Pemburu Akhirat dan Pecandu Dunia

Pemburu Akhirat dan Pecandu Dunia
مَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ اْلأَخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَالَهُ فِي اْلأَخِرَةِ مِن نَّصِيبٍ
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (QS. Asy-Syura: 20)
Semua manusia bergerak dan berusaha demi kenikmatan yang menjadi tujuan. Garis besarnya ada dua titik akhir yang diharapkan. Ada yang mengingini dunia sebagai terminal akhir perjalanan, ada pula yang menatap lebih jauh ke depan, mereka jadikan akhirat sebagai akhir perjalanan yang didambakan. Masing-masing titik tujuan, ada penggemarnya. Ada yang banting tulang demi nikmat dunia yang didamba, ada yang bekerja keras demi kejayaan hidup setelah dunia menjadi sirna. Sahabat Ali bin Thalib mengistilahkan dengan abna’ul akhirah dan abna’ud dunya. Beliau berkata setelah menyebutkan perbedaan karakter dunia dan akhirat,
وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ ، فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الآخِرَةِ ، وَلاَ تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا ، فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلاَ حِسَابَ ، وَغَدًا حِسَابٌ وَلاَ عَمَلَ
“Masing-masing dari keduanya memiliki generasi (penggemar), maka jadilah generasi akhirat, dan janganlah menjadi generasi dunia, karena sesungguhnya hari ini (di dunia) adalah tempat berjuang belum ada perhitungan (hisab), sedangkan besok (di akhirat) adalah hari perhitungan, tidak ada lagi amal.” (Shahih al-Bukhari)
Karakter Pemburu Akhirat
Orang yang cerdas akan menjatuhkan pilihan akhirat sebagai negeri tujuan yang didambakan. Alasannya sangat kuat, tak ada satu celahpun keraguan hati yang melekat. Karena informasi bersumber dari al-Qur’an yang seratus persen akurat. Allah berfirman.
” Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” {Al-’Ala : 17}
Jenis kenikmatan yang tersedia terlampau hebat untuk dibayangkan. Masa mengenyam kelezatannya kekal tiada batasan. Hanya orang bodoh yang rela kehilangan, demi kenikmatan yang sangat sedikit, dengan durasi waktu yang sangat sempit.
Karena itulah, Nabi memberikan gelar al-kayyis, orang yang jenius bagi mereka yang mau mengevaluasi diri dan berbekal untuk hidup setelah mati.
Mereka rela mempertaruhakn apapun demi mendapatkan jannah yang dinanti. Mereka juga rela kehilangan berbagai kenikmatan syahwati yang bisa menjerumuskan ke dalam kesengsaraan abadi. Maka segala penderitaan apapun di dunia dia senantiasa berusaha untuk bersabar. Karena itu terlalu ringan dan singkat bila dibanding dengan siksa di akhirat. Allah berfirman,
“Dan sesungguhnya azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.” (QS Thaha 127)
Orang yang serius menjadi pejuang akhirat, pastilah banyak memikirkan dan mengingatnya. Seperti orang yang senang dengan hobi tertentu, pandangannya akan tertuju kepada apa yang menjadi kecenderungannya. Seperti para pekerja bangunan tatkala masuk ke dalam bangunan yang indah mempesona. Tukang batu akan memerhatikan dindingnya, tukang kayu akan mengamati kursi, almarai, pintu dan jendelanya.
Begitu pula keadaan orang yang hatinya terkait dengan akhirat. Tatkala melihat orang yang tidur, dia mengingat kematian, jika berada di kegelapan, dia ingat alam kubur, jika merasakan atau melihat kenikmatan, maka dia akan mengingat jannah.
Seperti Imam Hasan al-Bashri, tatkala dijamu dengan air yang dingin nan segar, seketika beliau terkejut dan pingsan. Setelah siuman, beliau ditanya, ”Ada apa dengan Anda wahai Abu Sa’id?” Beliau menjawab, “Aku teringat akan harapan penghuni neraka tatkala mereka berkata kepada penghuni jannah,
”Limpahkanlah kepada kami sedikit air, atau makanan yang telah dirizkikan Allah kepadamu.” (QS al-A’raf 50)
Di zaman sahabat, ada Abu Darda’ radhiyallahu ’anhu. Ketika ada jenazah lewat di depan beliau, llau beliau ditanya, “Jenazah siapa yang baru saja lewat itu?” Maka beliau menjawab, “Itu adalah kamu dan aku, tidakkah kamu membaca firman Allah,
“Sesungguhnya kamu mayit, dan mereka adalah mayit.”
Dan masih banyak lagi teladan yang menakjubkan dari para pemburu akhirat.
Derita Para Pemuja Dunia
Sebagaimana tersirat dalam ayat yang kita bahas, pemburu dunia akan mendapatkan kerugian besar dari dua sisi,
“dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.”(QS asy-Syuura 20)
Dia tidak mampu mengenyam semua kenikmatan dunia yang diidamkan, tidak pula sempat menikmati seluruh hasil jerih payah yang diusahakan. Dan yang lebih berat lagi, dia tidak mendapatkan kenikmatan apapun, atau kebahagiaan sedikitpun di akhirat. Laa haula wa laa quwwata illa billah.
Marilah kita simak perumpamaan para ulama yang makin memperjelas, betapa piciknya orang yang rela mengorbankan akhirat demi secuil kenikmatan dunia yang fana.
Perumpamaan pertama datang dari Bisyr bin al-Harits al-Hafi rahimahullah. Beliau berkata, Dunia itu laksana biji-bijian yang dikumpulkan semut di musim panas sebagai simpanan menghadapi musim dingin. Tanpa sadar, tatkala semut sedang asyik membawa sebutir biji di mulutnya, datanglah seekor burung yang mematuk sang semut beserta sebutir biji yang sedang dibawanya. Maka semut itu tak sempat menikmati makanan yang dikumpulkannya, tidak pula mendapatkan apa yang diharapkannya.” Terapkanlah permisalan tersebut, di mana biji-bijian itu adalah kenikmatan dunia, semut itu adalah manusia, sedangkan burung tersebut ibarat malakul maut. Betapa banyak manusia sibuk mengumpulkan harta, hingga kematian tiba-tiba menyergapnya di saat dia masih mengumpulkan dunianya, dan dia belum sempat mengenyam semua hasil jerih payahnya.
Perumpamaan kedua datang dari seorang ulama yang sangat faqih di Abad 6 H, Ibnu al-Jauzi rahimahullah. Beliau mengumpamakan dunia laksana perangkap yang ditebar di dalamnya biji-bijian. Sedangkan manusia ibarat seekor burung yang menyukai biji-bijian. Burung-burung itu hanya asyik menikmati bijian-bijian itu, tanpa menaruh waspada terhadap perangkap yang akan menjeratnya sekejap mata. Cukup jelas, pemburu dunia terperangkap kenikmatan yang menipu, akhirnya mendekam dalam kesengsaraan tanpa batasan waktu.
Perumpamaan yang lebih menohok dibuat oleh senior tabi’in, Imam penduduk Bashrah, Imam Hasan al-Bashri rahimahullah. Beliau berkata, “Wahai anak Adam, pisau telah diasah, dapur api telah dinyalakan, sedangkan domba masih sibuk menikmati makanan.”
Ya, siksa telah disiapkan, tapi manusia masih terbuai dengan kenikmatan yang memperdayakan. Wallahul musta’an. (Abu Umar Abdillah)

Ketika Hidup, Bukan untuk Main-Main

Hidup, Bukan untuk Main-Main
Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami. (QS al-Mukminun 115)
Ibrahim bin Adham termasuk keturunan orang terpandang. Ayahnya kaya, memiliki banyak pembantu, kendaraan dan kemewahan. Ia terbiasa menghabiskan waktunya untuk menghibur diri dan bersenang-senang. Ketika ia sedang berburu, tak sengaja beliau mendengar suara lantunan firman Allah Ta’ala,
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami.”                                                 (QS al-Mukminun 115)
Serasa disambar petir. Ayat itu betul-betul menyentak beliau. Menggugah kesadaran, betapa selama ini telah bermain-main dalam menjalani hidup. Padahal hidup adalah pertaruhan, yang kelak akan dibayar dengan kesengsaraan tak terperi, atau kebahagiaan tak tertandingi. Yakni saat di mana mereka dikembalikan kepada Allah untuk bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. Sejak itulah beliau tersadar, dan itulah awal beliau meniti hidup secara semestinya, hingga saksi sejarah mencatat beliau sebagai ahli ibadah dan ahli ilmu yang ‘bukan main’.
Bila Hidup Dianggap Main-Main
Rasa-rasanya, ayat ini seperti belum pernah diperdengarkan di zaman kita ini. Meski tidak terkalamkan, lisaanul haal menjadi bukti, banyak manusia yang menganggap hidup ini hanya iseng dan main-main. Aktivitasnya hanya berkisar antara tidur, makan, cari makan dan selebihnya adalah mencari hiburan. Seakan untuk itulah mereka diciptakan.
Ayat ini menjadi peringatan telak bagi siapapun yang tidak serius menjalani misi hidup yang sesungguhnya. Kata ‘afahasibtum’, (maka apakah kamu mengira), ini berupa istifham inkari, kata tanya yang dimaksudkan sebagai sanggahan. Yakni, sangkaan kalian, bahwa Kami menciptakan kalian hanya untuk iseng, main-main atau kebetulan itu sama sekali tidak benar. Dan persangkaan kalian, bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami, adalah keliru.
Allah tidak akan membiarkan manusia melenggang begitu saja, bebas berbuat, menghabiskan jatah umur, lalu mati dan tidak kembali,
”Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (QS. Al-Qiyamah 36)
Orang yang tidak mengetahui tujuan ia diciptakan, tak memiliki pathokan yang jelas dalam meniti hidup. Tak ada panduan arah yang bisa dipertanggungjawabkan, hingga ia akan terseok dan tertatih di belantara kesesatan.
Hanya ada tiga ’guide’ yang mungkin akan mereka percaya untuk memandu jalan. Pertama adalah hawa nafsu. Dia berbuat dan berjalan sesuai petunjuk nafsu. Apa yang diingini nafsu, itulah yang dilakukan. Kemana arah nafsu, kesitu pula dia akan berjalan. Padahal, nafsu cenderung berjalan miring dan bengkok, betapa besar potensi ia terjungkal ke jurang kesesatan.
Pemandu jalan kedua adalah setan. Ketika seseorang tidak secara aktif mencari petunjuk sang Pencipta sebagai rambu-rambu jalan, maka setan menawarkan peta perjalanan. Ia pun dengan mudah menurut tanpa ada keraguan. Karena sekali lagi, dia tidak punya ’kompas’ yang bisa dipertanggungjawabkan dalam menentukan arah perjalanan. Sementara, peta yang disodorkan setan itu menggiring mereka menuju neraka yang menyala-nyala,
”Sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni naar yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6)
Rambu-rambu ketiga adalah tradisi orang kebanyakan. Yang ia tahu, kebenaran itu adalah apa yang dilakukan banyak orang. Itulah kiblat dan barometer setiap tingkah laku dan perbuatan. Padahal,
”Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. al-An’am: 116)
Misi Hidup yang Bukan Main
Allah menciptakan manusia untuk tugas yang sangat agung; agar mereka beribadah kepada-Nya. Untuk misi itu, masing-masing diberi tenggat waktu yang sangat terbatas di dunia. Kelak, mereka akan mempertanggungjawabkan segala perilakunya di dunia, adakah mereka gunakan kesempatan sesuai dengan misi yang diemban? Ataukah sebaliknya; lembar catatan amal dipenuhi dengan aktivitas yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang diperintahkan.
Di hari di mana mereka dinilai atas kinerja mereka di dunia, tak ada satu episode pun dari kehidupan manusia yang tersembunyi dari Allah. Bahkan semua tercatat dengan detil dan rinci, hingga manusiapun terperanjat dan keheranan, bagaimana ada catatan yang sedetil itu, mereka berkata,
”Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis).” (QS. al-Kahfi: 49)
Sebelum peluang terlewatkan, hendaknya kita bangun motivasi, untuk menjadikan hidup lebih berarti. Mudah-mudahan, fragmen singkat di bawah ini membantu kita untuk membangkitkan semangat itu.
Suatu kali Fudhail bin Iyadh bertanya kepada seseorang, “Berapakah umur Anda sekarang ini?” Orang itu menjawab, “60 tahun.” Fudhail berkata, “Kalau begitu, selama 60 tahun itu Anda telah berjalan menuju perjumpaan dengan Allah, dan tak lama lagi perjalanan Anda akan sampai.”
Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un,” tukas orang itu.
Fudhail kembali bertanya, ”Tahukah Anda, apa makna kata-kata yang Anda ucapkan tadi? Barangsiapa yang mengetahui bahwa dirinya adalah milik Allah, dan kepada-Nya pula akan kembali, maka hendaknya dia menyadari, bahwa dirinya kelak akan menghadap kepada-Nya. Dan barangsiapa menyadari dirinya akan menghadap Allah, hendaknya dia juga tahu bahwa pasti dia akan ditanya. Dimintai pertanggungjawaban atas tindakan yang telah dilakukannya. Maka barangsiapa mengetahui dirinya akan ditanya, hendaknya dia menyiapkan jawaban.”
Orang itu bertanya, ”Lalu, apa yang harus aku lakukan sekarang? Sedangkan kesempatan telah terlewat?”
Fudhail menjawab, ”Hendaknya Anda berusaha memperbagus amal di umur yang masih tersisa, sekaligus memohon ampunan kepada Allah atas kesalahan di masa lampau.”
Semoga kita mampu mengubah hidup kita, dari main-main, menjadi bukan main. Amien. (Abu Umar Abdillah)

Ketika Derita Tanpa Jeda

Neraka, Derita Tanpa Jeda
Maka, Kami memperingatkan kamu dengan api yang menyala-nyala.Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka, yang mendustakan (kebenaran) dan (berpaling) dari iman. (QS.al-Lail 14-16)
Suatu hari, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengimami Shalat Maghrib dengan membaca Surat al-Lail. Tatkala bacaan sampai pada firman-Nya, “fa andzartukum naaran talazhzha..”,  beliau menangis hingga tak mampu melanjutkan bacaannya. Kemudian beliau mengulanginya dari awal, namun sampai pada ayat yang sama, beliau kembali menangis dan tak sanggup melanjutkannya. Hal itu terjadi dua atau tiga kali, lalu beliau membaca surat yang lain.
Kita memang tidak bisa mengukur persis, gejolak macam apa yang membuncah di dada beliau, hingga air mata tumpah tak terbendung. Tapi, begitulah karakter ulama, “innama yaksyallaha min ‘ibaadihil ‘ulama’, hanyasanya orang yang takut kepada Allah di antara hamba-Nya adalah ulama’.
Mereka merasa menjadi obyek langsung dari Kalamullah. Lantas seperti apa perasaan seseorang yang merasa diingatkan langsung oleh Allah? Apalagi, tatkala peringatan itu berupa ancaman siksa neraka, yang tak ada lagi level penderitaan yang menandinginya.
Orang yang Paling Celaka
Neraka tidak dimasuki kecuali oleh orang yang paling celaka. ”La yashlaaha illal asyqa”, Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka. Tidak ada lagi orang yang lebih celaka darinya. Karena neraka disifati dengan segala kepungan penderitaan dan kesengsaraan, dan dinihilkan dari segala hiburan dan kesenangan.
Di dunia, kita memang sering menyaksikan dan mendengar kisah tentang penderitaan seseorang. Tentang orang yang miskin papa, beratnya penyakit yang menipa, atau dahsyatnya musibah yang menerpa. Tapi, itu semua sungguh tidak seberapa, ketika dibanding dengan neraka. Pasti ada jeda derita di dunia, pun banyak faktor yang bisa membuat beban menjadi ringan dirasa. Tidak sebagaimana derita di neraka, bersabar atau tidak bersabar sama saja bagi mereka.
Intensitas siksa yang tiada jeda dan tanpa koma, bahkan tak ada sedikit waktu meski hanya sekedar menurunnya kadar derajat siksa. Hingga para penghuninya berkata,
”Mohonkanlah pada Rabbmu supaya Dia meringankan azab dari kami barang sehari” (QS al-Mukmin: 49)
Menu Makanan di Neraka
Pada galibnya, makanan dan minuman itu identik dengan kenikmatan dan kelezatan. Tapi tidak demikian halnya dengan menu yang disediakan di neraka. Makanan menjadi siksa, minuman juga sebagai siksa, dan buah-buahan pun berupa siksa.
Ada makanan dhaari’, yang tidak menghilangkan rasa lapar, apalagi membuat perut menjadi kenyang. Rasapun bertentangan dengan selera lidah, bahkan untuk menelannya  harus dengan merobek tenggorokan, karena ia berupa duri,
“Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar.” (QS al-Ghasyiyah:6-7)
Disediakan pula menu buah untuk mereka. Namun bukan untuk menambah vitamin atau hidangan penutup yang menyempurnakan kenikmatan. Bentuknya menyeramkan, tumbuh dari tempat yang sangat mengerikan,
”Sesungguhnya Kami menjadikan pohon zaqqum itu sebagai siksaan bagi orang-orang yang zhalim.. Sesungguhnya ia adalah sebatang pohon yang keluar dari dasar naar jahim. mayangnya seperti kepala syaitan-syaitan. (QS. Ash-Shaffat 63-65)
Tentang rasa, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda memberikan perumpamaan yang menakutkan,
”Seandainya satu tetes dari zaqum diteteskan ke dunia, niscaya akan merusak kehidupan di dunia, lantas bagaimana halnya dengan orang yang memakannya?” (HR Tirmidzi, beliau mengatakan hasan shahih)
Tidak disebutkannya akhir dari orang yang menyantapnya itu menunjukkan kedahsyatannya, hingga sulit digambarkan dengan kata-kata, atau dibayangkan dengan nalar manusia, semoga Allah menjauhkan kita dari neraka.
Jenis makanan lain yang disediakan bagi penghuni neraka adalah ghisliin,
“Dan tiada (pula) makanan sedikitpun (baginya) kecuali dari darah dan nanah.”  (QS. al-Haaqah: 36)
Di antara ulama menafsirkan bahwa ghisliin adalah adonan dari seluruh kotoran yang keluar dari tubuh penghuni neraka, baik nanah, keringat, ludah, maupun kotoran dari depan maupun belakang, nas’alullahal ‘aafiyah.
Minuman yang Disediakan di Neraka
Jika makanan penghuni neraka begitu mengerikan, lantas bagaimana dengan minumannya? Sebagaimana halnya makanan, mereka juga diberi aneka jenis minuman. Tapi masing-masing minuman menjanjikan sisi penderitaan yang berbeda-beda, dengan tingkat derita yang paling ekstrim.
Ada minuman ’hamiim’, air yang mencapai tingkat panas yang paling puncak, hingga meluluhlantakkan segala isi perut yang meminumnya,
“dan diberi minuman dengan air yang mendidih (hamim) sehingga memotong-motong ususnya.” (QS. Muhammad: 15)
Jauh sekali dari kesegaran, tidak pula bermanfaat untuk mengusir haus dan dahaga, bahkan peminumnya menanggung derita tiada tara saking panasnya. Berbeda halnya dengan minuman ‘shadiid’, siksa yang dirasakan bukan semata karena panasnya, namun karena bau dan wujud yang sangat menjijikkan,
“Diminumnya air nanah (shadiid)  itu, dan hampir dia tidak bisa menelannya.” (QS. Ibrahim: 17)
Dan terakhir adalah minuman dari air ‘muhl’, cairan besi yang mendidih, sebagaimana firman Allah,
“Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (QS. 18:29)
Begitu komplit jenis penderitaan neraka yang tak diselingi sedikitpun oleh kenikmatan ataupun kesenangan. Itulah balasan bagi orang yang mendustakan kebenaran dan berpaling dari ketaatan. Semoga Allah menjauhkan kita dari neraka. Amin. (Abu Umar Abdillah)

Hati Tidak Terkunci Mati

Agar Hati Tidak Terkunci Mati
كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (QS al-Muthaffifin: 14)
Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda, “Jika seorang mukmin berbuat dosa, maka akan meninggalkan bercak hitam di hatinya. Jika ia bertaubat, meninggalkan perbuatan itu dan beristighfar kepada Allah, maka hatinya akan kembali bersih. Jika ia terus melakukan dosa, maka bertambah pula bercak hitam di hatinya, sehingga bercak hitam itu menutupi hatinya. Itulah ’rona’ hati yang Allah sebutkan dalam firman-Nya,
Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14)
Bermula Dari Satu Bercak Dosa
Pengaruh dosa bagi hati, tak ubahnya penyakit yang menggerogoti jasad. Jika penyakit terus bertambah, stamina semakin turun dan kematian segera datang. Begitupun matinya hati, dosa demi dosa akan mengatarkan hati menuju kematiannya. Seperti banjir, yang diawali oleh satu tetes hujan, kemudian disusul dengan tetesan lain yang terus menerus, itu pula pula yang terjadi dengan bencana yang menimpa hati. Setiap dosa menyumbang satu bercak hitam yang menutupi kejernihan hati. Makin banyak bilangan dosa yang dilakukan, makin dominan pula bercak hitam yang menutupi hati. Ibnu Jarir ath-Thabari menafsirkan ayat ini, ”Jika dosa dilakukan terus menerus, maka ia akan menutupi hati, jika hati sudah tertutup, maka Allah akan mengunci mati hati, sehingga tidak ada lagi jalan bagi iman untuk memasukinya. Dan kekufuran tidak bisa keluar dari dalamnya. Itulah penutup dan kunci yang Allah sebutkan dalam firman-Nya, “Allah Telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS. Al-Baqarah: 7)
Sekarang kita lihat diri kita masing-masing. Bayangkan jika satu hari kita melakukan sepuluh dosa misalnya. Maka, betapa singkat waktu yang dibutuhkan untuk membuat hati menjadi mati terkunci. Karenanya, sebagai bentuk waspada terhadap dosa, Mujahid bin Jabr memberikan gambaran yang mengerikan. Beliau berkata, “Hati itu, seperti ini…(beliau memperagakan telapak tangannya yang dibuka). Jika ia berbuat dosa, maka akan seperti ini… (beliau kemudian melipat salah satu jarinya hingga menutup sebagian telapak tangan). Jika dia berbuat dosa lagi, maka seperti ini..(beliau melipat jari yang kedua), demikian juga untuk yang ketiga dan keempat).”  Kemudian pada bilangan ke lima beliau menggenggamkan ibu jari hingga telapak tangan menjadi tertutup, beliau berkata, “Lalu Allah mengunci mati hatinya. Lalu siapakah di antara kalian yang masih yakin bahwa hatinya belum tertutup?”
Sungguh mengerikan penggambaran ini. Karena betapa kita sering melakukan dosa, lalu kita merasa aman. Tidak kita ingat, tidak kita hitung, apalagi berusaha untuk dibersihkan. Sehingga potensi tertutupnya hati begitu cepat. Bila hati telah tertutup, maka sulit bagi cahaya iman menerobos masuk menerangi hati, lantaran rapatnya penutup hati dan bercak dosa yang menyelimutinya. Maka jangan heran jika di antara manusia ada yang sulit menerima kebenaran, meski telah jelas bukti-buktinya. Karena hati telah mati. Ia tak lagi mampu menjalankan fungsi yang semestinya. Fungsi untuk mendeteksi, memilih serta mengomando jasad untuk menjalani kebenaran, dan menjauh dari keburukan. Nasihat tidak pula berfaedah baginya. Sebagaimana karakter orang kafir yang difirmankan Allah,
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS. al-Baqarah 6-7)
Agar Hati Tidak Mati
Hati adalah sesuatu yang paling berharga bagi manusia. Kerusakannya pertanda kesengsaraan pemiliknya sepanjang masa, di dunia, di alam barzakh hingga kekal tinggal di neraka. Hanya hati yang salim, bersih dan lurus yang bisa menyelamatkan manusia, hingga ia menghadap Rabbnya. Karenanya, penjagaan hati dari segala unsur yang merusaknya, lebih diperhatikan dari penjagaan terhadap apapun yang kita miliki di dunia.
Jika di antara ulama mengibaratkan hati dengan rumah, maka hati orang mukmin seperti rumah yang dipenuhi oleh kekayaan iman. Sedangkan setan layaknya pencuri yang mengincarnya. Tentunya, dia tidak akan membiarkan pencuri untuk mengambil sedikitpun kekayaan yang ada di dalamnya.
Di antara salaf mengatakan, “Hati itu ibarat rumah yang memiliki enam pintu, maka jagalah semua pintu, jangan sampai pencuri masuk melalui salah satu pintu itu, karena ia akan merusak rumahmu. Hati adalah rumah, sedangkan pintu-pintu itu adalah mata, lisan, pendengaran, penglihatan, kedua tangan, dan kedua kaki. Siapa yang membuka salah satu pintu ini untuk setan maka hilanglah isi rumahnya.”
Pun begitu, keterbatasan manusia yang memang tidak maksum dari dosa, sesekali akan kecolongan juga. Karena setan tak pernah tidur, sedang kita tidur. Setan terus menggoda, sementara kita tak selalu siap dengan perisai yang menghalanginya. Kadang penjagaan lengah, hingga setan mencuri sebagaian kekayaan imannya. Kadang seseorang tergelincir dalam dosa, hingga hal itu meninggalkan bercak dalam hatinya. Manusia yang takwa takkan menyerah begitu saja. Dia segera mengusir setan dari dalam hatinya, dia akan membersihkan bercak yang menempel di hatinya, sebagaimana yang difirmankan Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, Maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (QS. Al-A’raf: 201)
Orang yang bertakwa ialah dia yang peka terhadap dosa, lalu segera membersihkannya, menyesal, bertaubat nasuha dan bertekad untuk tidak mengulanginya. Dia juga memohon perlindungan kepada Allah dari segala godaan setan yang menghasutnya. Selayaknya, kita banyak berdoa kepada Allah, seperti ’curhat’ Umar bin Abdul Aziz yang sering berdoa kepada Rabbnya dengan doa, “Rabbi, Engkau telah menguasakan musuh atas diriku. Engkau jadikan dadaku sebagai tempat tinggalnya. Engkau jadikan aliran darahku sebagai jalannya. Jika aku ingin berbuat maksiat, dia menyemangatiku. Jika aku ingin berbuat taat, ia memperlambat langkahku. Dia tidak lalai saat aku lalai. Dia tidak lupa saat aku lupa. Dia memasang jerat syahwat dan menyuguhkan syubhat. Rabbi, jika Engkau tidak menjauhkan tipudayanya dariku, maka ia akan menggelincirkanku. Ya Allah, tundukkanlah kekuatannya untukku dengan kekuasaan-Mu atas dirinya, sehingga ia menyingkir dengan banyaknya dzikirku kepada-Mu, sehingga aku termasuk orang-orang yang terjaga dari kejahatan setan.” Amien. (Abu Umar Abdillah)
http://www.arrisalah.net/

Muslim yang Seharusnya

Menjadi Muslim yang Seharusnya
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS al-Maidah 3)
Sa’ad bin Abi Waqash adalah orang yang sangat berbakti kepada ibunya. Namun tatkala beliau masuk Islam, ibunya marah dan berkata, “Wahai Sa’ad, agama apa yang kamu anut ini? Kamu harus keluar dari Islam, atau kalau tidak, maka aku tidak akan makan, tidak akan minum hingga mati. Lalu orang-orang pun akan mencelamu dan memanggilmu dengan kalimat, ”Wahai anak yang telah membunuh ibunya!” Dengan santun beliau berkata, ”Jangan lakukan itu wahai Ibunda, saya tidak akan meninggalkan Islam apapun yang terjadi.” Hari-hari berlalu, sementara sang ibu benar-benar mogok dari makan dan minum. Hingga kemudian Saad bin Abi Waqash memberanikan diri berkata kepada sang ibu, “Ketahuilah wahai Ibunda, seandainya ibu memiliki seratus nyawa, lalu satu persatu nyawa itu keluar dari jasad ibu, maka sekali-kali saya tidak akan meninggalkan agama ini,maka terserah ibu ingin makan ataukah tidak!” (Siyaru a’lam an-Nubala’)
Sahabat yang lain, Abdullah bin Hudzafah bahkan tak mundur dari Islam saat diancam hendak direbus hidup-hidup oleh Heraklius. Tawaran masuk Nasarni ditolaknya mentah-mentah, meski diiming-imingi hadiah separuh kerajaan Romawi. Baginya, nilai Islam dalam sekejap mata lebih berharga dari seluruh kerajaan Romawi.
Adapula yang rela mengorbankan nyawanya demi mempertahankan Islamnya seperti Yasir dan istrinya; Sumayyah.
Kekuatan apakah yang menjadikan mereka sanggup bertahan dengan ragam siksaan yang begitu berat? Pertimbangan manakah yang mereka gunakan hingga mereka rela mengambil resiko harta, tenaga bahkan nyawa? Tidak ada jawaban lain kecuali karena keimanan mereka terhadap apa yang dibawa oleh Muhammad saw, keyakinan bahwa Islam menjamin kebahagiaan bagi mereka, bukan sekedar di dunia yang fana, namun juga di akhirat yang abadi. Mereka betul-betul merasakan betapa indahnya hidup dalam Islam, dan betapa agungnya rahmat Islam bagi mereka dan bahkan bagi alam semesta. Tak ada anugerah yang lebih istimewa darinya. Sehingga mereka tidak mau melepaskan secuilpun dari syariat demi tawaran apapun yang memikat. Tak sudi menanggalkan keislamannya, meski nyawa harus keluar dari jasad. Mereka benar-benar merasakan firman Allah,
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS al-Maidah 3)
Namun, hari ini paradigma telah berubah. Seiring dengan minimnya pemahaman, tipisnya keimanan, Islam tak lagi dianggap sebagai hal yang luar biasa. Seakan Islam disandangnya secara kebetulan, bukan karena keinginan atau kebutuhan. Yang karenanya pula,  tak ada beban bagi mereka untuk melepas sebagian atau bahkan keseluruhan, tak ada rasa bersalah jika sesekali syariat disandang, dan di kali yang lain ditendang.
Fenomena ini terus berkembang, seiring dengan mendominasinya hawa nafsu, ditambah pula dengan gencarnya upaya setan jin dan manusia untuk mengaburkan tapal batas antara iman dan kekafiran. Hingga, garis pembeda antara haq dan bathil makin tersamarkan. Dalam persepsi kebanyakan orang, tak ada lagi keistimewaan Islam di atas keyakinan yang lain. Tiada pula sisi kemuliaan mukmin dibanding orang kafir, atau ahli tauhid dibanding ahli syirik.
Perhatikanlah prolog sebuah film yang mengusung paham liberalisme dan toleransi yang kebablasan, yang mengajarkan bahwa semua agama sama benarnya. Dengan suara lembut terkesan keibuan bak penasihat yang bijak mengawali film itu, ”Semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke arah yang sama, mencari satu hal yang sama, dengan satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan.”
Dengan pandangan seperti ini, semua cara beragama dianggapnya sama benarnya. Semua jalan dipandangnya sama-sama mencapai surga, termasuk pilihan untuk tidak beragama. Semua sesembahanpun diyakini sebagai Tuhan yang sama,apakah berujud patung, batu maupun manusia. Inilah konsep netral agama yang tak mengenal istilah tauhid dan syirik, tak ada kata mukmin dan kafir, dan tak ada kamus hidayah maupun murtad. Padahal, semua istilah itu sangat krusial di dalam Islam.
Seakan surga disediakan untuk penganut apa saja, agama apapun, hanya berbeda kapling atau lokasinya. Lantas dimanakah keyakinan mereka terhadap firman Allah Ta’ala,
‘Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang rugi.’ (QS Ali Imran 85)
Bagaimana pula mereka mengira, bahwa Allah akan membalas dengan balasan yang sama atas cara dan jalan agama yang berbeda-beda, sedangkan Allah berfirman,
“Maka Apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Atau Adakah kamu (berbuat demikian). Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (QS al-Qalam 35-36)
Bahkan secara tegas, Nabi saw telah memberitaka kesudahan bagi siapapun yang tidak mengambil Islam sebagai agamanya,
لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ أُ مَّتِي يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ  ماَتَ وَ لاَ يُؤْمِنُ بِمَا جِئْتُ بِهِ إِلاَّ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tiada seorangpun dari Ummat ini yang mendengar (agama)ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dalam keadaan tdiak beriman dengan apa yang aku bawa dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka.” (Hadits Riwayat Muslim)
Seseorang yang merasa memiliki Islam, dan menjadikan Islam sebagai darah dan dagingnya, tentu tidak tertarik dengan ajakan pendangkalan terhadap nilai keagungan Islam. Tak hanya itu, keyakinannya atas kebenaran Islam dia wujudkan dengan mendalami ilmunya, mengamalkannya, mendakwahkannya, dan membelanya dari serangan yang dilancarkan oleh musuh-musuhnya, begitulah seharusnya menjadi seorang muslim. Billahit taufiq. (Abu Umar Abdillah)
http://www.arrisalah.net/

Syukur Bertambah, Dapat Nikmat Melimpah

Syukur Bertambah, Nikmat Melimpah
Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa suatu kali hujan turun di zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam. Lalu Nabi bersabda, ”Pagi ini, di antara manusia ada yang bersyukur, namun ada juga sebagian yang kufur. Mereka (yang bersyukur) berkata, ”Hujan ini adalah rahmat dari Allah.” Namun sebagian lagi (yang kufur) berkata, ”Memang benar (hujan turun karena) bintang ini dan bintang itu.” (HR Muslim)
Ada yang Syukur dan Ada yang Kufur
Meski kasus di atas terkait dengan hujan, namun kaidah ini berlaku untuk segela jenis nikmat yang Allah turunkan. Untuk setiap karunia yang Allah berikan, selalu menjadi ujian untuk memisahkan dua golongan, golongan orang yang bersyukur, dan golongan orang yang kufur.
Dikatakan kufur atas nikmat Allah, karena mereka mengalamatkan asal nikmat dan rejeki yang disandangnya kepada selain Allah. Bahwa rejeki datang karena kerja kerasnya, harta berlimpah karena kepiawaian dalam bisnisnya, atau karena semata-mata kondisi ekonomi sedang bagus-bagusnya. Apalagi jika mengalamatkan rejeki diperoleh berkat jimat, pertolongan leluhur, mendatangi dukun atau sesaji yang dilakukannya.
Sebagian lagi yang kurang, atau bahkan tidak bersyukur, mereka tidak peka atas nikmat yang tertuju kepadanya. Mereka tidak menyadari tiap nikmat yang melekat pada dirinya. Karena fokus pikirannya hanya tertuju pada apa-apa yang belum dimiliki.
Mereka  baru sadar, ketika nikmat itu dicabut atau hilang dari genggaman. Inilah karakter kebanyakan manusia sebagaimana yang difirmankan Allah,
”Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Rabbnya” (QS al-’Adiyaat 6)
Imam Hasan al-Bashri  rahimahullah menyebutkan bahwa maksud ’lakanuud’ (sangat ingkar) adalah yang suka mengingat musibah, namun melupakan nikmat.” Saat musibah datang, atau ada sesuatu yang hilang darinya, maka seakan ia tak pernah memiliki apa-apa selain yang hilang itu. Maka bagaimana Allah akan memberikan nikmat tambahan jika mereka hanya memandang nikmat dengan sebelah mata? Bagaimana pula mereka akan bahagia jika mereka tak mampu mendeteksi segala nikmat yang disandangya? Begitulah siksa bagi orang yang kufur atas nikmat Allah di dunia, sebelum nantinya merasakan pedihnya siksa di akhirat.
Ikat Nikmat dengan Syukur
Berbanding terbalik dengan kufur nikmat. Begitu indahnya nikmat saat direspon dengan syukur. Sungguh kesyukuran itu bahkan lebih berharga nilainya dari nikmat yang disyukuri. Karena ia akan melahirkan banyak sekali buah dan faedah yang akan dirasakan nikmatnya dalam segala sisi, baik di dunia maupun di akhirat. Tidaklah mengherankan, jika target setan menggoda manusia dari segala arah adalah untuk menjauhkan manusia dari kesyukuran, Iblis berjanji,
”Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS al-A’raf 17)
Setan tidak ingin manusia mendapatkan faedah melimpah karena bersyukur. Karena orang yang bersyukur tak hanya terhindar dari siksa akhirat, tapi juga bisa mengenyam selaksa kebahagiaan di dunia.
Kebahagiaan akan terpancar di hati orang yang bersyukur. Tiada orang yang lebih berbahagia dan lebih optimis dari orang yang bersyukur. Syeikh Abdurrahman as-Sa’di menggambarkan kondisi hati orang yang bersyukur, “Orang yang bersyukur adalah orang yang paling bersih jiwanya, paling lapang dadanya, dan paling bahagia hatinya. Karena hati dipenuhi oleh pujian terhadap-Nya, merasakan hadirnya setiap nikmat-nikmat dari-Nya, dia pun bahagia lantaran bisa menikmati karunia dari-Nya. Lisannya senantiasa basah dengan ungkapan syukur dan dzikir kepada-Nya. Dan semua ini merupakan pondasi terwujudnya kehidupan yang baik, inti dari kenikmatan jiwa, dan rahasia diperolehnya segala kelezatan dan kegembiraan. Ketika hati menyadari dan mendeteksi hadirnya tambahan nikmat, maka harapan terhadap karunia Allah pun semakin bertambah dan menguat.”
Tatkala seorang hamba merasa senang, mengakui nikmat dari Allah dan mensyukurinya, maka Allah tak ingin mencabut nikmat itu darinya. Benarlah ungkapan para ulama bahwa asy-syukru qayyidun ni’am, syukur adalah pengikat nikmat. Dengannya, nikmat-nikmat yang tersandang menjadi langgeng dan lestari. Dan tak ada cara yang paling kuat untuk mempertahankan nikmat selain dari syukur.
Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah menurunkan nikmat atas hamba-Nya sesuai kehendak-Nya. Jika ia tidak mensyukurinya, maka nikmat akan diganti dengan musibah. Karena itulah, syukur juga disebut dengan al-haafizh (penjaga), karena ia bisa menjaga nikmat yang telah ada. Syukur disebut juga dengan al-jaalib (yang mendatangkan), karena ia bisa mendatangkan nikmat yang belum di depan mata.”

Syukur bertambah, Nikmat Melimpah
Nikmat itu hadir karena syukur. Lalu syukur itu akan mengundang hadirnya tambahan nikmat. Tambahan nikmat akan terus diturunkan kepada seorang hamba, dan tidak akan berhenti hingga hamba itu sendiri yang menghentikan syukurnya kepada Allah. Begitulah kesimpulan cerdas dari sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Sesuai dengan kadar syukur seseorang, sebanyak itu pula tambahan nikmat akan tercurah kepadanya. Tatkala menafsirkan firman Allah,
“dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS Ali Imran 145)
Ibnu Katsier rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah Kami akan menurunkan karunia dan rahmat Kami di dunia dan di akhirat sesuai dengan kadar syukur dan amal perbuatannya.” Mereka akan mendapatkan karunia tersebut, dan tak akan terkurangi sedikitpun. Ketika seorang mukmin bersyukur dengan menjalankan ketaatan, maka Allah akan memberikan balasan kepadanya sesuai dengan kadar syukurnya. Hal ini dikuatkan dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَظْلِمُ مُؤْمِنًا حَسَنَةً يُعْطَى بِهَا فِى الدُّنْيَا وَيُجْزَى بِهَا فِى الآخِرَةِ
Sesungguhnya Allah tidak akan menzhalimi atas satu kebaikan seorang mukmin, Allah akan memberikan imbalan di dunia, dan memberinya pahala di akhirat.” (HR Muslim)
Namun hal ini tidak berarti bahwa setiap orang yang diberi kemudahan dalam memperoleh harta, atau rejeki datang silih berganti itu selalu diartikan sebagai tambahan karunia. Ada kalanya kemudahan melimpah itu sebagai istidraj, Allah hendak membiarkan mereka bersenang-senang sementara hingga nantinya akan disiksa secara tiba-tiba. Maka hendaknya seorang mukmin segera mawas diri, apakah dia sedang berada dalam taat, ataukah maksiat, sehingga bisa dibedakan, apakah kenikmatan itu berupa karunia atukah istidraj.  Nabi saw bersabda,
إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِى الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ
”Jika kamu mendapatkan Allah memberikan kemudahan dunia kepada seorang hamba sementara ia bergelimang dengan maksiat sesukanya, maka itu hanyalah istidraj.” (HR Ahmad)
Untuk merealisasikan syukur yang dengannya akan mengundang tambahan karunia, hendaknya kita senantiasa mengingat, merenungi dan mencari-cari kenikmatan yang sudah kita miliki. Dengan cara seperti itu, kita pun akan merasakan nikmatnya karunia, untuk kemudian bersyukur kepada Dzat yang telah memberikan karunia.
Inilah yang sering dilakukan oleh para ulama. Seperti Fudhail bin Iyadh dan Sufyan bin Uyainah, keduanya duduk bersama di malam hari untuk saling mengingatkan nikmat yang telah Allah anugerahkan kepada keduanya. Sufyan mengatakan, ”Allah telah menganugerahkan kepada kita ini dan itu, Dia telah menolong kita tatkala ini dan itu..” Begitupun halnya dengan Fudhail.
Maka barangsiapa yang ingin diberi tamhahan nikmat, baik dalam hal ilmu, harta, keharmonisan rumah tangga dan segala kemaslahatan yang lain, maka hendaknya mengingat nikmat, lalu mensyukuri dengan lisan dan menggunakan nikmat untuk ketaatan. Karena Allah tidak pernah ingkar janji dengan firman-Nya,
Dan (ingatlah juga), takala Rabbmu mema’lumkan:”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS al-Maidah 7)
Sebagaimana Allah juga tidak akan mengingkari janji-Nya,
{مَّا يَفْعَلُ اللّهُ بِعَذَابِكُمْ إِن شَكَرْتُمْ وَآمَنتُمْ ( النساء :147(
“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman?” (QS an-Nisa’ 147)
Qatadah mengatakan, “yakni Allah tidak akan menyiksa orang yang bersyukur dan beriman.” Allahumma a’inna ‘alaa dzikri-Ka wa syukri-Ka wa husni ‘ibaadati-Ka, ya Allah bantulah kami untuk senantiasa berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu dan memperbagus ibadahku kepada-Mu. Amiin. (Abu Umar Abdillah)
http://www.arrisalah.net/