Blogroll

Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa mengajarkan suatu ilmu, maka dia mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya, tidak mengurangi dari pahala orang yang mengamalkannya sedikitpun".
"Barangsiapa dikehendaki baginya kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberikan PEMAHAMAN AGAMA kepadanya.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)

Pages

Tampilkan postingan dengan label HAROKAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HAROKAH. Tampilkan semua postingan

Kamis, 21 Juli 2011

Ketika Jihad Bangsa Moro

 

Cahaya Islam memasuki tanah air Bangsa Moro pada tahun 1310 M (sekitar 710 H) melalui para pedagang Arab, perantau, pengembara Sufi, dan para dai. Institusi-institusi politik dan pengaruh islami berasal dari Sumatera melalui kedatangan Raja Baginda Ali dengan menteri dan prajuritnya. Islam berkembang pesat sehingga berdirilah negara muslim Sulu dan Maguindanao pada tahun 1830. Sultan pertama dari Kesultanan Sulu ialah Sayyid Abu Bakar. Kesultanan ini merupakan sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, yang memiliki hubungan diplomatik dan perdagangan dengan negara-negara lain di wilayah tersebut. Sedangkan Syarif Muhammad Kabungsuan, seorang Arab Melayu dari Malaysia, mendirikan Kesultanan Maguindanao yang berada di pulau kedua yang terbesar dan terkaya di Filipina.
     Ketika dua kesultanan Muslim di selatan berkembang dengan cepat dan semakin kuat dan menjadi bangsa yang merdeka, kabupaten-kabupaten muslim lain lahir dan kemudian dikenal sebagai emirat (keamiran) seperti Emirat Raja Sulaiman (Manila ) dan Emirat Panay. Dapat dikatakan pula bahwa negara-negara Islam dan emirat muslim merdeka berdiri 600-an tahun yang lalu, jauh sebelum Barat (Spanyol) menemukan Filipina. Kesultanan Sulu dan Maguindanao eksis secara de facto sampai tahun 1933 dan terus eksis secara seremonial saja dari tahun 1935 hingga 1946.
     Fakta-fakta penting tentang tanah air Bangsa Moro yang tidak bisa diabaikan oleh para sarjana dan ahli sejarah modern yang meneliti akar permasalahan Bangsa Moro adalah sebagai berikut :
         1.         Institusi politik pertama yang berdiri di tanah air Bangsa Moro bersifat islami.
         2.         Agama samawi pertama yang sampai di wilayah tersebut adalah Islam.
         3.         Sistem pendidikan pertama di pulau itu adalah pendidikan Islam dengan naskah pertama kali yang dikenalkan adalah berbahasa Arab.
         4.         Peradaban pertama yang diperkenalkan di Filipina adalah peradaban Islam.
     Invasi Spanyol sekitar 160 tahun setelah eksistensi kesultanan dan kabupaten-kabupaten Islam menandai permulaan pengawasan Spanyol dan hambatan terhadap perkembangan Islam di kepulauan bagian utara (Luzon dan Visayas). Selanjutnya Bangsa Moro dari Mindanao dan Sulu berjuang melawan kolonialisme Barat atas nama Islam selama 377 tahun (1521-1898).
     Hispanisasi dan kristenisasi yang dilakukan oleh orang-orang Filipina Baru (muda) menjadi landasan kuat bagi kampanye antimuslim—baik secara militer maupun lainnya—setelah Perjanjian Paris 10 Desember 1898 yang menyerahkan Filipina kepada Amerika Serikat dengan kompensasi 20 juta dolar AS. Agresi AS pada tahun 1899 dihadapi dengan ketahanan kaum muslimin di selatan yang bertekad untuk bertempur sampai titik darah penghabisan. Dengan keyakinan bahwa Spanyol tidak pernah punya hak untuk menjual tanah air mereka dan tidak mau menerima aturan Amerika, kaum muslimin memberikan perlawanan berdarah yang berlangsung selama 47 tahun (1899-1946).
     Amerika membalas secara taktis dengan menawarkan sebuah gencatan senjata yang menghasilkan Bates Treaty, The Carpenter Agreement, dan seterusnya. Ini merupakan manuver politis dan sosial ekonomi yang membuat Amerika mampu untuk menaklukkan Bangsa Moro.

Aneksasi (perebutan) Filipina terhadap Kesultanan Islam Bangsa Moro
Di samping memperlakukan Kesultanan Sulu dan Maguindanao sebagai wilayah protektorat, Amerika Serikat mendirikan pemerintahan Persemakmuran Filipina pada tahun 1935. Pemerintahan semacam ini berfungsi sebagai transisi ke arah kemerdekaan penuh yang akan dihadiahkan segera kepada Filipina. Sebenarnya pada situasi semacam ini sekalipun tanah air Bangsa Moro tidak pernah dimasukkan oleh Amerika ke dalam wilayah administrasi Filipina.
     Dengan memanfaatkan pemerintahan transisi dan ketidakpedulian politis masyarakat awal Bangsa Moro, para pemimpin politik Kristen Filipina melakukan manuver dan berusaha menganeksasi Tanah Air Bangsa Moro yang terdiri dari Kepulauan Mindanao, Basilan, Sulu, Tawi-Tawi, dan Palawan.
      Di samping memberikan kemerdekaan pada Filipina pada tanggal 4 Juli 1946 AS juga menganeksasi Tanah Air Bangsa Moro ke dalam negara Filipina Merdeka. Tindakan pemerintah AS ini berlawanan dengan kemauan masyarakat Bangsa Moro.
     Ketika orang-orang Kristen Filipina dari Luzon, Visayas, dan daerah-daerah lain di kepulauan bagian utara dengan gembira ria merayakan apa yang mereka anggap sebagai awal dari kebebasan dan kelahiran bangsa baru, masyarakat Bangsa Moro bersedih karena mereka menganggap itu sebagai akhir dari kebebasan, kemerdekaan, dan kedaulatan selama ratusan tahun. Namun Bangsa Moro tidak bisa bereaksi secara cepat karena mereka berperang melawan Spanyol selama 377 tahun dan 47 tahun melawan Amerika. Hal itu memperlemah mereka bahkan lebih dari itu membawa mereka kepada kemiskinan, kebodohan, dan kesehatan yang buruk.
       Bangsa Moro seolah menjadi orang sakit yang tidak mempunyai obat untuk menyembuhkan dirinya sendiri serta tidak cukup makanan dan ketika alam menyembuhkannya dia mendapati dirinya diperbudak oleh orang yang lebih kuat dan sehat. Karena itu, ketika Bangsa Moro masih dalam taraf penyembuhan dari kerusakan-kerusakan parah akibat peperangan, pemerintah Filipina memanfaatkan kelemahan Bangsa Moro untuk merintis jalan penegakan pendudukan orang-orang Kristen di Tanah Air Bangsa Moro.
     Penting dicatat bahwa selama masa Pra-Spanyol tidak diketahui ada seorang Kristen pun di tanah air Bangsa Moro. Orang-orang Kristen yang tinggal di negeri itu adalah budak-budak Spanyol atau buruh-buruh Amerika yang memilih untuk tinggal di tanah air Bangsa Moro untuk menikmati kebebasan daripada pulang ke negeri asal di bagian utara dan tetap menjadi budak dan pekerja..
     Langkah-langkah yang diambil orang-orang Kristen Filipina untuk menaklukkan dan menggagalkan aspirasi Bangsa Moro selama rezim sipil mengindikasikan pengaruh yang semakin kuat dari teori bahwa kristenisasi atau filipinisasi merupakan satu-satunya jalan untuk menghentikan perlawanan kaum Muslimin. Kali ini masa depan Bangsa Moro sebagai Muslim terancam.
     Sebuah hukum Filipina diberlakukan untuk mendorong pendudukan orang-orang Kristen dari selatan dengan membuka lahan-lahan besar dari tanah-tanah Bangsa Moro kepada para penghuni Kristen dengan bantuan pemerintah secara langsung dan material-material.
     Pada tahun 1946 dasar hukum yang lebih kuat diberlakukan yang memberi orang-orang Kristen Filipina pengaruh dan kekuatan lebih di wilayah-wilayah kaum Muslimin yang menimbulkan migrasi besar-besaran orang-orang Kristen dari tahun 1950-1970 untuk merebut tanah leluhur Bangsa Moro Muslim. Penduduk Kristen ini berkembang secara cepat sehingga melebihi penduduk asli Bangsa Moro dan pemilik sah dari tanah-tanah tersebut pada tahun 70-an di berbagai area di Mindanao. Bersamaan dengan meningkatnya jumlah orang-orang Kristen, gangguan terhadap Bangsa Moro Muslim juga meningkat. Tujuan utamanya adalah untuk meraih kekuasaan politik.

Gerakan Ilaga dan Teror Orang-Orang Kristen
     Pada tahun 1970 para penduduk Kristen di Tanah Air Moro mengorganisir dan mendirikan sebuah organisasi bersenjata yang dinamai ILAGA yang para pemimpin serta perintisnya adalah personil militer Kristen yang aktif, perwira purnawirawan angkatan darat Kristen dan para politisi Kristen.
      Organisasi teroris ini digerakkan dengan persetujuan pemerintah Manila. Operasinya dimulai dengan membunuh individu muslim dilanjutkan dengan pembantaian keluarga-keluarga muslim. Bersamaan dengan meningkatnya semangat permusuhan, orang-orang kristen fanatik mulai menyerang desa-desa muslim, membunuh wanita-wanita muslimah, anak-anak, dan orang-orang lanjut usia. Para teroris itu membakar rumah-rumah, masjid-masjid, madrasah-madrasah, buku-buku Islam termasuk setiap kopian Al-Qur’an. Mereka menghancurkan ladang-ladang pertanian Bangsa Moro, kebun buah-buahan, ladang-ladang dan hampir segala hal yang dimiliki orang Muslim.
     Otoritas pemerintah Filipina tetap tuli terhadap keluhan-keluhan kaum Muslimin dan tidak menghiraukan seruan kaum muslimin untuk menciptakan kedamaian. Kedamaian dan keteraturan telah menjadi agak genting. Darah orang Islam yang tak bersalah berceceran di berbagai sudut tanah air Bangsa Moro.
     Ketika peristiwa-peristiwa tersebut berkembang sehingga meningkatkan ketegangan, kaum Muslimin tidak punya pilihan lain lagi kecuali balas memerangi dan mempertahankan diri. Dalam perkembangan pergerakan Moro di tanah airnya, kaum muslimin menyaksikan munculnya sebuah pergerakan revolusioner baru yang berbeda dalam hal sifat dan pendekatan dari pergerakan Moro pada era yang lalu. Elemen baru tersebut adalah para pemimpin Moro muda yang merupakan keturunan dari kaum Muslimin yang gagah berani melawan Spanyol dan Amerika selama lebih dari 400 tahun.
     Dengan persenjataan yang kurang, para pembela kaum muslimin menunjukkan superioritas mereka dalam perang. Ketika milisi teroris Kristen tidak mampu menghadapinya, oknum-oknum dari Angkatan Darat Filipina turut campur dan membantu ILAGA. Pada tahun 1972 Martial Law (Hukum Perang) diumumkan untuk menerobos pertahanan kaum Muslimin.

Jihad Bangsa Moro Melawan Pemerintah Filipina
Bangsa Moro Muslim menderita berbagai macam tekanan dan ketidakadilan di bawah pemerintahan Filipina. Pemerintah Filipina mendiskriminasi mereka sebagai warga negara kelas dua, bahkan berlanjut mencapai titik terendah dengan memperlakukan mereka secara tidak manusiawi. Pembunuhan Wanton terhadap kaum Muslimin dimulai pada tahun 1972 dan puncaknya deklarasi Martial Law (Hukum Perang) pada tanggal 21 September tahun itu juga.
       Selama rezim Martial Law, Angkatan Bersenjata Filipina melancarkan serangan udara, laut dan darat besar-besaran terhadap desa-desa atau masyarakat Muslim di Mindanao, Basilam, Sulu, Palawan dan Tawi-Tawi. Konon, sebagian pengamat mengatakan serangan tersebut melebihi serangan yang dilakukan oleh Jepang ke Pearl Harbour dan bagian-bagian lain di Pasifik selama Perang Dunia II.
Pada tahap awal perang, Mujahidin Moro mampu untuk menahan agresi musuh dan menghentikan gerak maju kekuatan militer Filipina yang berjumlah sekitar seratus ribu personil yang menguasai udara dan laut secara penuh. Mujahidin mampu untuk mempertahankan beberapa wilayah sebelum mundur ke hutan karena kekurangan amunisi. Kali ini perang gerilya terus dilakukan tanpa henti, sehingga memaksa Pemerintah Filipina meminta gencatan senjata sehingga diambil solusi damai terhadap problem Bangsa Moro. Dengan demikian masuklah Perjanjian Tripoli pada tahun 1976.
Meskipun demikian, serangan terhadap masyarakat muslim yang dilakukan oleh militer dan milisi Filipina terus berlangsung, guna menumpas kekuatan perjuangan Bangsa Moro. Bangsa Moro pun balas menyerang meski daya tahan hidup mereka dalam keadaan darurat. Hingga berlanjut ke meja perundingan atas mediasi OKI.
        Tiba-tiba sejarah berbalik terhadap rezim diktator Ferdinand Marcos. Revolusi EDSA pada tanggal 24 Februari 1986 telah menggulingkan Marcos, dan mengantarkan Corazon Aquino, janda musuh bebuyutan Marcos, Benigno Aquino Jr. ke kursi kepresidenan. Di bawah rezim Aquino, mujahidin Bangsa Moro dijanjikan gencatan senjata yang lain, kali ini dengan MILF (Moro Islamic Liberation Front) untuk merintis jalan menuju perdamaian, pembangunan dan kemajuan di tanah air.
        Sayangnya, kesepakatan tersebut gagal mencapai sasarannya karena Presiden Aquino menyelisihi perjanjian dengan MILF. Sehingga pertempuran antara mujahidin MILF dan elemen-elemen Angkatan Bersenjata Filipina dan milisi-milisi fanatiknya berlanjut secara sporadis diberbagai wilayah dari Davao Oriental di Timur ke Surigao Del Norte di utara dan Tawi-Tawi di barat daya.
     Sebagai upaya untuk mengakhiri aspirasi kaum Muslimin untuk mendirikan negara Islam, pemerintah Aquino membuat dan mengumumkan Republic Act No. 6734, sebuah undang-undang untuk mendirikan wilayah otonomi dalam Mindanao Muslim (ARMM) di tanah air yang terdiri dari Sulu, Tawi-Tawi Lanao Del Sur dan Maguindanao. Bagi penduduk Moro ini merupakan aturan yang dibuat untuk memisahkan kaum muslimin di wilayah-wilayah yang disebutkan di atas dengan saudara-saudaranya yang lain di tanah air yang sama, dalam rangka melemahkan kekuatan Bangsa Moro.
      Agar tetap bertahan, Bangsa Moro tidak punya pilihan kecuali menolak seluruh undang-undang yang bertentangan dengan eksistensi mereka. Berbekal segala keterampilan untuk membela diri, mereka harus berjihad di jalan Allah dan membayar harga kemerdekaan dari tekanan dan penjajahan dengan darah dan jiwa mereka.
     Dengan peran utama yang dimainkan oleh BIAF (Angkatan Perang Islam Bangsa Moro), masyarakat bertempur dengan hebat untuk mempertahankan tanah air. Ujian pun semakin berat setelah kini Angkatan Bersenjata Filipina dibantu militer AS di bawah kampanye global perang melawan terorisme.


Marwan Hadid dan Estafet Jihad di Suriah

Marwan Hadid lahir di tengah-tengah keluarga yang terhormat dan terkenal di Hama pada 1934. Keluarga ini menonjol dalam kecerdasan berpikir, teguh pendiriannya, murah hati, dan progresif. Anggota keluarga ini mempunyai ciri fisik khusus berbadan tinggi-besar dan memiliki bakat kepemimpinan, meskipun paham dan mazhabnya berbeda-beda. Marwan sendiri adalah sosok pemuda yang tinggi semampai, tubuhnya kuat, rambutnya disisir rapi, kumis dan jenggotnya dipotong rapih, suka memakai hem dan pantalon, pakaiannya rapi dan bersih, sehingga penampilannya menarik perhatian orang.
Marwan menempuh studi di Hama hingga berhasil meraih gelar sarjana sains (B.Sc.) pada tahun 1955. Ia melanjutkan kuliah di Fakultas Pertanian, Universitas Ain Syams pada 1956-1964. Kemudian melanjutkan lagi belajarnya di Jurusan Filsafat, Fakultas Sastra, Universitas Damaskus pada sekitar 1965/1966 hingga 1970.
Sebelum bergabung dengan Ikhwanul Muslimin, Marwan Hadid pernah menjabat sebagai bendahara organisasi pelajar sosialis di SMA Ibnu Rusyd. Ia pun menceritakan perubahan orientasi pemikirannya sehingga menjadi aktivis Islam:
"Anda sudah tentu memahami, bahwa lingkungan tempat kami hidup di tengah masyarakat dan saudara-saudara, menjadikan saya dengan sendirinya seorang sosialis. Suatu hari, ketika saya masuk ke dalam rumah, saudara tertua saya berkata: ‘Hari ini orang yang paling berbahaya bagi bangsa Arab telah tewas!’ Kemudian ia mema­ki dan mengumpat sepuas-puasnya dengan kata-kata kotor kepada orang tersebut. Saya pun bertanya kepadanya, Siapa dia, Bang?’ Kakak saya menjawab, Hasan Al-Banna, pemimpin Ikhwanul Muslimin di Mesir!
Sejak saat itu saya berusaha mengikuti kabarnya melalui radio dan surat kabar-surat kabar. Saya terdorong keras untuk mengenal pemikiran orang yang dikatakan berbahaya terhadap bangsa Arab itu. Saya membaca risalah-risalahnya, saya berusaha melihat apa yang dapat dilihat dan mendengar apa yang mungkin didengar ten­tang sosok ini. Ternyata ia telah membawa perubahan pada diri saya; dari kebutaan kepada hidayah, dari merelakan diri menjadi pasukan kebatilan, berbalik menjadi prajurit kebenaran."
Sejak saat itu Marwan dikenal di kalangan Al-Ikhwan sebagai seorang pemuda yang paling teguh memegang ajaran Islam dan paling gigih melaksanakan ketentuan syariat-Nya. Rekan-rekannya terheran melihat Marwan banyak mengerjakan shalat dan di­siplin dalam shalat jama'ah. Lama sekali sujudnya, hingga bila ada salah seorang yang agak lama bersujud, ditanya oleh yang lain: "Anda meniru sujudnya Marwan ya?"
Ketika itu Suriah masih dalam suasana bergolak dan porak-poranda oleh berbagai kudeta yang silih berganti. Ia mengamati dengan cermat gerak-gerik semua rezim pemerintah terhadap berbagai harakah islamiah. Saat itu ia melakukan aktivitas dengan rahasia dan berpusat di Masjid Jami' An-Nuri di Hama.
Dalam kegiatannya Marwan mengikutsertakan kawan-kawan yang kelak menjadi pelopor jihad melawan musuh-musuh Islam. Mereka juga ikut bersama Dunia Islam menuntut Presiden Gamal Abdul Nasser membatalkan keputusan hukuman mati yang dijatuhkan kepada enam orang tokoh Ikhwanul Muslimin kala itu. Pelaksanaan hukuman tersebut menimbulkan perasaan benci dan jijik dalam hati Marwan kepada Gamal Abdul Nasser. Meskipun sedang melanjutkan kuliah di Ain Syams, Mesir, ia tidak segan-segan menyatakan sikap antipatinya terhadap presiden yang waktu itu dipuja-puja sebagai pemimpin dan pahlawan bangsa Arab. Padahal hakikatnya ia adalah jagal bangsa Mesir yang berkhianat dengan menyerahkan Sinai kepada Israel tanpa perang.
Ketika kuliah di Mesir ia berdakwah kepada teman-teman sekuliahnya. Ia menganjurkan supaya rekan-rekannya hanya takut kepada Allah semata. Akhirnya terbinalah pemuda dan mahasiswa Mesir yang lebih siap syahid dalam perjalanan meraih ridha-Nya. Dia pun menga­jarkan caranya menerkam dan memberikan pukulan mematikan lewat berbagai latihan ilmu bela diri.
Pada awal Maret 1964 Marwan kembali dari Mesir setelah meraih ijazah sarjana dari Fakultas Pertanian, Univcrsitas Ain Syams. Pada tahun sebelumnya terjadi kudeta yang berhasil mengantarkan Partai Ba'ats ke tampuk kekuasaan di Syiria. Dengan cepat Marwan Hadid menyadari bahaya yang tersembunyi di balik pengaruh partai kufur ini, lalu ia mulai memperingatkan kawan-kawannya akan bahaya yang mungkin akan mengancam mereka dan Islam. Ternyata para pemuda yang dibinanya juga cepat me­nangkap niat dan rencana busuk rezim Ba’ats maka menyalalah semangat juang  para aktivis untuk membendung mereka.
Kobaran semangat keimanan suatu saat pasti akan berbenturan dengan kekafiran, karena perbedaannya jelas dan jalannya bertentangan. Maka terjadilah peristiwa pengepungan aparat terhadap basis para aktivis di Masjid Jami' As-Sulthan pada 14 April 1964 itu. Marwan dan para ikhwan pun ditangkap. Sesudah keluar dari penjara, Marwan Hadid aktif kembali seperti biasa. Akibatnya, ia ditangkap lagi oleh Pemerintah Suriah pada tahun 1966 dan baru dilepaskan sesudah Perang Arab-Israel pada 5 Juni 1967.
Rupanya Marwan Hadid sudah sampai pada kesimpulan bahwa tiada jalan bagi kaum muslimin  selain melawan kekerasan dengan kekerasan. Sejak tahun 1974 mulailah ia menyiapkan para pemuda Islam untuk berjihad melawan rezim Nushairiyah. Marwan dan kawan-kawannya mendorong para pemuda Islam lainnya untuk menyiapkan diri mengadakan perang gerilya; tidak hanya mengadakan latihan bela diri dan menggunakan senjata saja.
Sebenarnya banyak saudara-saudaranya dari anggota Al-Ikhwan yang kurang sependapat dengan gagasan Marwan. Namun, berkat ketekunannya yang luar biasa, Marwan dapat membuktikan kepada mereka bahwa ia telah banyak melepaskan kader-kader yang insyaallah mampu untuk mengadakan perlawanan bersenjata. Maka, mulailah mereka menyusun cikal bakal pasukan mujahidin di Suriah.
Pemerintah bukan tidak tahu atau menga­baikan kegiatan berbahaya Marwan dan kawan-kawannya. Pengawasan dan pemantauan dijalankan terus di mana dan kapanpun kegiatan mereka dilakukan. Namun, hal itu tak menyurutkan Marwan karena ia lain daripada yang lain. Ia sudah menazar­kan nyawa dan hidupnya karena ia berprinsip: "Kematian dalam taat kepada Allah lebih baik daripada hidup dalam maksiat kepada-Nya."
Kata-katanya selalu berkisar pada soal sabar dan tabah dalam menghadapi musuh. Ia melukiskan ketabahan orang-orang zaman dahulu, meskipun salah seorang dari mereka digergaji dari atas kepalanya dengan gergaji besi, yang membelah tubuhnya menjadi dua, namun mereka tidak surut dan berhenti membela agamanya. Ia selalu meyakinkan kawan-kawannya bahwa kemenangan insyaallah sudah dekat. Ia juga menyatakan keyakinannya bahwa kemenangan itu selalu menyertai keimanan dan kesabaran. Selalu mawas diri, mematuhi pemimpin, mempererat ukhuwah, dan mem­persenjatai jamaah dengan segala sesuatu yang mungkin, demi mencapai kemenangan atau syahadah sesuai dengan spirit: "Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggup." (Al-Anfal: 60).
Marwan tidak menyembunyikan dirinya dan memimpin kawan­-kawannya dari belakang layar. Keyakinannya tegas, metodenya jelas, dan gerakannya dalam menghadapi pihak penguasa beralasan. Para pemuda tertarik pada sosok kepemimpinan Marwan Hadid yang tampil berdakwah dengan kemuliaan akhlaknya; karena keluhuran budinya, karena kemurahan dan rendah hatinya, suka berkelakar, kata-katanya sejajar dengan perbuatannya, serta simpatik dan berwibawa.
Pihak penguasa sering sekali merencanakan akan membunuhnya, yaitu pada peristiwa 1964 dan tahun 1966, namun selalu gagal karena ajalnya memang belum juga tiba. Mereka juga akan menangkapnya pada awal Maret 1973 di rumahnya yang terletak di kampung Barudiyah. Namun, Marwan melakukan gerakan bawah tanah selama itu sembari mempersiapkan kader-kader umat untuk menghadapi rezim Ba’ats dengan kekuatan senjata. Ia tinggal di Damaskus lebih dari 2,5 tahun; berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah lainnya. Pemerintah berusaha keras mengetahui tempatnya dan menangkapnya hidup atau mati. Terutama sesudah Direktur Badan Keamanan Nasional, Mayor Muhammad Ghirrah ditemukan terbunuh di Hama.
Pada pagi hari 30 Juni 1975 terjadilah kontak senjata dengan pasukan pemerintah dari pukul 7.00 hingga pukul 17.00. Pihak pemerintah menggunakan berbagai senjata modern. Setelah pihak AI-Ikhwan kehabisan amunisi dan Marwan terkena tembak pada pundaknya barulah mereka berhasil menangkapnya. Setelah itu Marwan tidak pernah dihadapkan ke pengadilan, baik terbuka maupun tertutup. Ia pun dijadikan mangsa pasukan intelijen yang memiliki spesialisasi dalam hal penyiksaan mental dan fisik.
Marwan Hadid yang dikenal berbadan tinggi, padat , dan kuat disiksa terus-menerus. Makanan dan minumannya tidak tertelan. Tangan dan kakinya diborgol, meskipun di dalam sel. Kepada salah seorang sipir ia berkata, "Sampaikan­lah kepada orang-orang bahwa anjing-anjing (para intel) itu tidak berhasil memaksa saya berbicara; sepatahpun tidak!"
Sesudah kesehatannya menurun dengan drastis sehingga pihak intelijen putus asa, untuk menutupi kejahatan mereka, Marwan dibawa ke rumah sakit. Pihak intelijen membujuk saudaranya Ahmad agar mau menyuruhnya makan dan minum. Saudaranya pun datang membujuknya, namun Marwan tetap menolak karena makanan yang disuguhkan kepadanya terdiri dari makanan yang diolesi kotoran orang dan minumannya dicampur dengan air kencing.
Sete­lah saudaranya memaksa, akhirnya Marwan pun mau menerima nasihatnya dengan syarat. Ucapnya, “Abang Ahmad, saya mau makan dan minum dengan dua syarat; air yang akan saya minum air dari Hama dan Abang berjanji kepada saya akan mengerjakan shalat!” Saudaranya menjawab tegas, “Ya, aku berjanji akan melakukannya!”
Sejak hari itu mulailah kesehatan Marwan Hadid pulih kembali. Namun pada suatu sore, tiba-tiba ia dinyatakan meninggal dunia. Keluarganya pun meminta agar Marwan dimakamkan di Hama. Namun, pihak keamanan memaksakan kehendaknya untuk menguburkannya di Damaskus, dengan pengawalan militer dan intelijen yang ketat. Setelah dikebumikan, kuburannya tetap dijaga keras; tidak diperkenankan untuk diziarahi! Demikianlah, Marwan meraih cita-citanya; hidup terhormat dan syahid (insyaallah).
Marwan Hadid sudah gugur, namun ia telah meninggalkan keteladanan dan kepahlawanan pada rekan-rekan seperjuangan dan mujahidin generasi berikutnya. Terbukti, Dr. Abdullah Azzam sering menyinggung sosok Marwan dalam tulisan dan ceramah beliau. Madrasah jihadnya juga melahirkan tokoh-tokoh jihad kontemporer setelah era 11 September; yang paling terkenal di antaranya ialah Abu Bashir Ath-Tharthusi dan Abu Mush’ab As-Suri. Rujukan: At-Tajribah Al-Jihadiyyah fi Suriya, Umar Abdul Hakim; dan Ikhwanul Muslimin Dibantai Suriah, Jabir Rizq.

Evaluasi Pergerakan Syaikh Ahmad bin Irfan



Syaikh Ahmad bin Irfan melihat kondisi kaum muslimin yang mengalami kemerosotan di Jazirah Anak Benua (India). Hal ini mempengaruhi setiap rongga tubuh dan denyut jantung sehingga mempengaruhi juga semua perasaan dan pancaindranya. Bergejolaklah guncangan dan kesedihan dalam jiwaserta menimbulkan dorongan untuk hijrah kepada Allah dan menyalakan api jihad.
Prinsip gerakan Ahmad bin Irfan tercermin dalam sepucuk surat yang ditujukan kepada para ulama, syaikh, dan para amir India. Ia menjelaskan sasaran akhir dari perang melawan musuh-musuh Allah:
"Sungguh, Al1ah telah menjadi Wali orang yang lemah ini dahulu, agar menyeru manusia untuk mengikuti syariat dan memerintahkan kebaikan siang dan malam. Kemudian AIIah menganugerahkan nikmat dengan memasukkan saya ke dalam kelompok muhajirin dan shadiqin dengan mengikuti sejumlah hamba-Nya yang mukmin dan mukhlis, karena dakwah kepada agama Al1ah dan amar makruf itu tidak sempurna tanpa jihad di medan perang. AIIah Yang Mahasuci telah memerintahkan kepada imam para pembawa petunjuk dan penghulu para dai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar me­merangi kaum kafirin, sehingga unggul1ah agama Al1ah dan syariat-Nya mengatasi semua agama dan syariat lain." (Ahmad bin Irfan, Said Al-Adhawi, hlm. 45)
Jadi, secara garis besar prinsip-prinsip gerakan Ahmad bin Irfan terhimpun dalam dua hal:
Pertama: Menyeru kepada tauhid murni/bersih dari semua bentuk syirik dan khurafat, menuju pelaksanaan syariat Allah Ta'ala.
Kedua: Menyeru kepada jihad di jalan Allah dalam rangka merealisasikan seruan kepada Allah dan amar makruf nahi munkar di bawah naungan suatu pemerintahan yang menghidupkan tatanan keamiran (imarah) dan keimaman (imamah).
Untuk keperluan itu disusunlah suatu jamaah besar dengan tarbiyah yang intensif, baik aspek keagamaan maupun aspek perang, sehingga beliau mampu mendirikan Daulah Islamiyah Salafiyah sekalipun tidak berumur panjang. Standarnya adalah suatu jamaah yang tertib. Anggotanya harus bersih dari segala macam bentuk syirik dan bid'ah. Ikhlas dalam berdakwah. Siap memikul di pundaknya tugas memerangi musuh dan mem­bangun daulah islamiyah mencontoh daulah islamiyah pertama.
Jika kita mengunjungi jamaah Ahmad bin Irfan, akan tampak tangan-tangan yang sedang berwudhu, dahi-dahi yang sedang bersujud, serta mata yang menangis karena takut kepada Allah. Mungkin akan terbayang di benak kita bahwa kita sedang berada di hadapan jama’atul muslimin pertama. Sebagian yang menarik perhatian dari dakwah dan jamaah beliau adalah perpaduan antara jihad dan melawan nafsu, antara cinta dan benci karena Allah, antara zuhud dan ibadah, antara keteguhan beragama dengan kebanggaan sebagai muslim, antara pedang dengan mushaf Al-Qur'an, antara rasio dan rasa, antara tasbih dalam masjid dengan tahajud pada kegela­pan malam, antara takbir di medan jihad—di atas punggung kuda—dengan dakwah kepada agama yang hanif, antara pelurusan akidah dan tarbiyah islamiyah yang sahih dengan pelaksanaan syariat Islam secara benar, antara syariat dan hukum pidana Allah dengan mendirikan pemerintahan menurut sistem Khilafah Rasyidah, serta antara pembentukan masyarakat Islam yang saling menyempurnakan dengan pengamalan perintah-Nya untuk berjihad.
“Dan perangilah mereka itu sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu) maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 193). (Lihat: AI-Imam alladzi Lam Yuwaffa Haqquhu, Abul Hasan An-­Nadawi, hlm. 33, dan Ahmad bin Irfan Asy-Syahid, Ali Ath- Thanthawi, hlm. 34)
Mereka memerangi syirik dengan segala bentuknya, me­madamkan bid'ah-khurafat, menghidupkan sunnah dan mem­bantah para “syaikh”; orang-orang mengaku suci dan bodoh yang mempergunakan dalil dan hujah dari tradisi-tradisi khurafat dan adat-istiadat jahiliyah. Tabah menghadapi kaum Sufi yang mengada-­adakan bid'ah, mengajak untuk mengikuti contoh generasi Salaf Shalih, serta menjelaskan kepada umat pengertian yang benar tentang zuhud, syafaat, kewalian, syirik, dan lain-lain pemahaman Islam, yang kebanyakan kaum muslimin salah memahaminya.
Di samping itu mereka memerangi kaum kuffar dan orang-orang sesat. Berhadapan dengan Inggris dalam berbagai peperangan, menimpakan bencana perang kepada kaum Hindu, sehingga dapat merangkai benih-benih daulah islamiyah. Sesungguhnya, bagi umat Islam di Anak Benua, munculnya daulah ini meru­pakan pelindung dari perpecahan yang mengancam dan penja­ga dari ujian syirik yang mengepung dan kesesa­tan yang mengintip, serta benteng dari bahaya yang mungkin datang sewaktu-waktu.
Pemerintahan ini berlangsung selama empat tahun. Kemudian kabilah­-kabilah Afghan yang jahil menimbulkan fitnah dengan me­mukulkan pedang ke tengkuk kaum yang beriman. Syaikh Ahmad bin Irfan syahid—insyaallah—di Palakot ketika dalam perjalanan menuju Kashmir. Daulah Islamiyah pun padam selagi masih dalam masa persemaian. Namun, pengaruhnya tidak padam, dengan izin Allah.

Pengaruh dan Penilaian terhadap Gerakan
Pengaruh gerakan Syaikh Ahmad bin Irfan cukup luas. Seandainya bekas peninggalan yang terlihat hanya dari perbaikan akidah manusia, penetapan mazhab Salaf Shalih, serta penolakan terhadap bid’ah dan penganutnya, kiranya itu cukup menjadi kebanggaan dan kebesaran. Padahal bukan hanya itu, pengaruhnya yang besar adalah upaya menghidupkan rukun Islam dan jihad fi sabilillah, menghidupkan sistem imarah dan jamaah dalam Islam, menghidupkan pelaksanaan haji bagi muslimin India, mendorong para bujangan dan orang-orang yang telah kelewat usia untuk menikah, dan ribuan orang yang bertobat dari perbuatan dosa, syirik, dan bid' ah.
Kita tidak boleh melupakan pengaruh besar itu hanya karena buah yang diharapkan--yaitu tamkin (kekuasaan) yang mapan atau berdirinya Khilafah Rasyidah—tidak berlangsung lama. Sisi positif dapat diambil dari niat dan ijtihadnya dalam beramal, karena penilaian pun menurut niat dan ikhtiar amalnya, bukan pada hasil usahanya. Adapun hasil adalah atas izin Allah.
“Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.” (Ath-Thalaq: 3)
            Tidak diragukan bahwa gerakan Syaikh Ahmad bin Irfan telah mencapai sukses besar dalam menjelaskan masalah tauhid dan membersihkan praktik ibadah dari noda-noda bid'ah dan kemungkaran. Mengembalikan mereka kepada kejernihan dan kesucian, mengembalikan manusia kepada tauhid setelah sebelumnya mempersekutukan Allah dan berdoa kepada para syaikh, nabi, imam, wali, malaikat, syuhada, dan jin. Inilah jalan kaum Salaf Shalih. Prioritas seperti ini mengingat bahwa di India berkembang luas tarekat sufiyah yang penuh bid'ah. Bahkan, Ahmad bin Irfan memulai ke­hidupannya bersama kaum sufi, kemudian berubah pikiran setlah memperoleh pencerahan.
Gerakan dakwah ini telah mengikat diri dengan Al-Kitab dan As-Sun­nah dengan ikatan yang kuat terpercaya. Setelah merasa sukses menegakkan perintah-perintah Allah di kalangan mereka, pengikut gerakan ini mencoba untuk mewu­judkan gambaran sempurna dari keadaan kaum  muslimin pada zaman kejayaan Islam yang pertama. Citra masyarakat Islam pada zaman kejayaannya menjadi teladan tertinggi. Mereka pun memulai menepati janji mereka kepada Allah sehingga manusia pun mencontoh mereka. Masyarakat pun mulai berbaiat kepada Imam Ahmad bin Irfan dan berbondong-bondong mengikuti dakwahnya.
Syaikh Ahmad bin Irfan telah memahami kenyataan jahiliyah yang mengelilinginya. Dengan demikian, ia memahami bagaimana cara untuk bergerak; dari mana memulai dan bagaimana menyelesaikannya. juga me­nelaah kondisi kaum muslimin di luar anak benua India terutama dalam perjalanan ibadah haji beliau, yang dalam perjalanan itu Ahmad bin Irfan menimba ide jihad dan pemumian tauhid dari gerakan salafiyah; gerakan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Strategi konfrontasi gerakan Ahmad bin Irfan terhadap musuh-musuhnya terang-terangan. Sayangnya, hasil perang melawan mereka cukup pahit. Gerakan ini dipukul dari belakang oleh klan kabilah-kabilah Afghan yang jahil. Para syaikh mereka yang jahat berhasil dikipas-kipasi oleh kaum penjajah dengan siasat dan tipu daya sehingga membangkang terhadap pemerintahan Islam yang baru tumbuh dan berkembang.
Menurut Dr. Hafizh Al-Ja’bari dari Universitas Ummul Qura, Mekkah, gerakan ini sebenarnya telah menyempumakan selu­ruh syarat yang seyogianya dipenuhi oleh gerakan Islam, yaitu sistem gerakan yang mantap. Gerakan ini juga memiliki kemandirian sehingga membatasi hubungananya dengan kekuatan-kekuatan yang mengelilinginya serta menjaga batas-batas hubungan itu berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah.
Yang jelas, gerakan ini telah berjihad dalam masa yang panjang dan melahirkan banyak syuhada. Tetapi, ­kekuatan yang mengepung mereka—pada faktanya—lebih besar dan lebih kuat secara fisik. Meski tamkin tak lama diraih, kemenangan maknawi berupa konsistensi di atas dakwah salafiyah dan pelaksanaan jihad fi sabilillah menjadi harga mati. Puncaknya adalah kesyahidan—insyaallah—Syaikh Ahmad bin Irfan sendiri, yang disusul kemudian oleh sahabatnya Syaikh Ismail Ad-Dahlawi beserta kaum muslimin pilihan.

Jihad Ikhwanul Muslimin


Al-Muslimun—lebih dikenal dengan sebutan Ikhwanul Muslimin (IM)—adalah pergerakan Islam modern yang lahir di Mesir setelah runtuhnya Turki Utsmani. Dalam perkembangannya, IM mendapatkan sambutan dan berkembang di berbagai penjuru Dunia Islam. Seiring proses adaptasi terhadap tantangan dakwah yang ada, cabang-cabang IM di masing-masing negeri pun mengalami berbagai transformasi gerakan. Di Palestina, misalnya, hadir sebagai sayap perjuangan militer HAMAS. Sementara di Indonesia sekarang, hadir dengan baju partai politik PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, harus diakui harakah ini memiliki kontribusi yang cukup signifikan dalam kancah jihad kontemporer. Tulisan kali ini hanya membahas peran IM dalam jihad pada masa awal berdirinya.
Selepas Perang Dunia I, paham berhaluan Barat melakukan penetrasi cukup hebat di Mesir. Kebangkitan nasionalisme di Dunia Islam mencapai puncaknya dengan penggulingan sistem Khilafah Islam Utsmaniyah di Turki oleh Kamal Attaturk. Fenomena ini berlangsung ketika Hasan Al Banna tengah belajar di Darul Ulum. Di dalam catatannya, ia mengekspresikan kebimbangannya,
“Hanya Allah yang mengetahui sudah berapa malam kami berbincang-bincang mengenai kondisi negara dan hubungannya dengan segenap lapangan hidup rakyat, apa dampak dari penyakit masyarakat dan bagaimana mengatasinya. Kami berbincang dengan penuh perasaan hingga meneteskan air mata. Sebelum mengambil satu keputusan, kami berbicara panjang lebar. Namun, alangkah terkejutnya kami ketika membandingkan keadaan ini dengan mereka yang tidak memikirkannya sama sekali, dan justru asyik bersenang-senang di kedai kopi.” (The Moslem Brethren, Ishak Musa Husaini, op. cit. p. 7)
Para ulama yang ada kurang berdaya menahan serangan kelompok modernis; atau—barangkali—baru sebatas melabeli mereka dengan kemurtadan. Lebih malang lagi, ada sekelompok orang yang digelari “ulama” demi memuaskan rezim penguasa terlalu mudah berkompromi dalam aspek prinsip-prinsip agama. Hingga sebagian “ulama” Kairo jatuh ke lembah kehinaan ketika menyetujui fatwa Syaikh Al-Azhar bahwa Raja Farouk layak memerintah dan layak digelari sebagai Khalifatul Mu'minin dengan alasan ia adalah seorang muslim dan termasuk keturunan Rasulullah.
Masih dalam catatan yang sama, Hasan Al Banna mengakui bahwa keputusan mendirikan jamaah Ikhwanul Muslimin adalah follow-up dari perhatiannya terhadap berbagai fenomena di atas yang begitu memprihatinkan. Selepas belajar di Darul Ulum, Hasan Al Banna mendirikan Ikhwanul Muslimin, tepatnya pada 1928. Ia bercita-cita untuk mendirikan satu harakah islamiah yang syumul (komprehensif), yang akan mempraktikkan prinsip-prinsip Islam dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk politik, ekonomi, dan sosial.
Setiap anggota IM diminta melakukan baiat atau sumpah setia. Mereka bersumpah untuk melindungi saudara-saudara IM sekalipun dengan mengorbankan nyawa mereka sendiri, di samping meletakkan kepercayaan dan ketaatan dengan lapang dada terhadap pemimpin mereka, selama sejalan dengan Alquran dan Sunnah.
Hasan Al Banna mengetahui dengan rinci anggota-anggota yang aktif dan tsiqah (terpercaya). Mereka diminta untuk merekam amal yaumi mereka, termasuk hafalan Al-Qur'an, kehadiran dalam shalat berjamaah, serta berbagai pelajaran agama. Mereka pun diajari menggunakan bermacam-macam senjata dan pertolongan darurat. Pada akhir pengajaran, mereka akan dievaluasi.
IM menekankan pentingannya takwinul jama’ah (pembentukan jamaah) secara bertahap. Sebuah harakah perlu dukungan umat yang kuat sebelum dapat menggantikan penguasa yang ada. Khalayak mestilah diajari dengan cukup prinsip-prinsip perjuangan Islam. IM juga berpendapat bahwa kekuatan perlu digunakan ketika semua cara lain gagal. Namun, pada berbagai ucapan dan tulisannya, Hasan Al Banna memang sempat menafikan bahwa IM hendak melakukan revolusi berdarah.
Meski demikian, di antara ciri menonjol IM adalah penekanannya yang kontinyu akan urgensi JIHAD. Pada masa awal berdirinya, jihad yang diajarkan oleh IM ialah jihad yang dipahami oleh setiap muslim yang lurus pemahamannya, yaitu jihad yang dibangun atas dasar wala’ dan bara’; bukan konsep jihad yang direka-reka oleh kaum modernis-sekuler. IM menganggap bahwa ibadah dan amal saleh seorang muslim belum cukup berarti jika ia masih enggan untuk mengorbankan jiwanya demi mempertahankan Islam. Mestilah ia bersedia untuk syahid, semata-mata karena cinta Allah dan rindu akhirat.
IM memompa semangat jihad dengan cara menggalakkan pemuda Islam melakukan latihan olah fisik untuk persiapan perang. Akhirnya, mereka menumbuhkan unit tentara mereka sendiri untuk mempertahankan harakah apabila diperlukan. Ini sesuai dengan simbol jamaah mereka yang bertuliskan: Wa a’iddû (‘Dan persiapkanlah oleh kalian’), serta salah satu motto Jamaah: Syahid Asma’ Amanina (Syahid Cita-cita kami tertinggi’).
Berkali-kali Hasan Al Banna mengajak masyarakat agar berjihad menumpas penjajah Inggris dan mengusir mereka selama-lamanya dari Mesir. Ia menolak bekompromi dan tidak mempercayai pendapat dan pikiran bahwa masalah ini dapat diselesaikan melalui perundingan. Pada Perang Palestina 1948, pasukan sukarelawan IM adalah pasukan yang paling berani berperang di pihak Arab. Ketika PBB mengeluarkan akta kelahiran berdirinya negara Zionis di Palestina, Hasan Al Banna menyerukan kepada seluruh negara di Dunia Islam untuk meninggalkan PBB dan berjihad melawan Yahudi.
Sementara itu di dalam negeri, Hasan Al Banna dan para pengikutnya dengan lantang menyuarakan bahwa Islam sajalah solusi dari semua masalah yang dihadapi Mesir. IM mendeklarasikan diri akan mendirikan masyarakat dan Daulah Islamiah di mana Syariat Islam menjadi undang-undang negara. Hasan Al Banna berkata,
“Kita tidak akan berdiam diri dan bersenang hati atau berhenti hingga Al-Qur'an benar-benar menjadi perlembagaan negara. Kita akan hidup untuk mencapai tujuan ini atau mati dalam usaha melaksanakannya.”
Salah satu statemen Hassan Al Banna tentang prinsip IM dalam bernegara adalah supaya undang-undang Islam dijalankan sepenuhnya di mana pemerintah dan rakyat tunduk kepada syariat Allah . Dalam soal ini, ia mengatakan,
“Al-Ikhwan Al-Muslimun memiliki sikap bahwa Islam mempunyai implikasi yang signifikan dan menyeluruh. Islam mengawal semua tingkah laku individu dan masyarakat. Segala sesuatu mesti tunduk di bawah undang-undang-Nya dan mengikuti ajaran-Nya. Siapa yang tunduk kepada Islam dari segi peribadatan saja tetapi meniru orang kafir dalam segala hal lain dapat dianggap sama derajatnya dengan orang kafir.”
Di dalam jawaban kepada salah seorang pemimpin politik di zamannya, Hasan Al Banna juga berkata, “Kami mengajak Anda kepada Islam, ajaran Islam, undang-undang Islam dan petunjuk Islam. Kalau ini Anda anggap politik, maka inilah politik yang kami perjuangkan.”
Bahkan, Al Banna berani menyerukan pembubaran segenap partai politik termasuk sistem parlemen, karena lebih menghasilkan keruntuhan moral dan perebutan kekuasaan daripada perbaikan. Al Banna dan para pengikutnya melihat bahwa tidak satu pun partai politik Mesir di zaman Raja Farouk benar-benar ingin melaksanakan syariat Islam. Adapun IM bercita-cita untuk mendirikan sebuah negara Islam Mesir yang kuat dan menggantikan segenap partai yang ada. Demikian tegas sikap IM pada masa awal berdirinya. Bahkan, jamaah ini mensyaratkan siapa saja yang ingin menjadi anggotanya untuk berhenti dari keanggotaan partai politik yang ada di Mesir pada era Raja Farouk. (Bandingkan dengan mereka yang menisbatkan diri kepada IM hari ini!)
Walaupun IM bekerja sama dengan Nasionalis Arab Sekuler dalam hal membebaskan Mesir dari belenggu penjajah dan mewujudkan kesatuan Arab, ini bukanlah tujuan, namun strategi saja. Menurut IM saat itu, menyatukan bangsa Arab adalah langkah pertama kepada penyatuan umat Islam di negara Arab. Bebas dari penjajahan bermakna umat Islam memiliki kesempatan untuk mendirikan sebuah negara Islam.
Niat baik IM itu ternyata tidak cukup. Malangnya, setelah Raja Farouk terguling dalam Revolusi 23 Juli 1952, Mesir berubah menjadi sebuah Negara Nasionalis Sekular tulen. Westernisasi terus berlanjut seperti era sebelumnya. Terbukti bahwa pemerintah yang baru sama ganasnya terhadap pergerakan Islam seperti halnya rezim lama, dan bahkan lebih tamak, zalim, dan gila kekuasaan.
IM tak hendak berkuasa untuk kepentingan sendiri, bahkan mereka berjanji berulang kali untuk menyokong siapa yang memerintah, asalkan undang-undang Islam dijalankan. Namun, hal ini ditolak mentah oleh diktator militer yang baru berkuasa. Presiden Gamal Abdul Nasser pernah menyatakan,
“Saya telah bertemu dengan Mursyid ‘Am Ikhwanul Muslimin yang telah mengajukan beberapa tuntutan kepada saya. Hal pertama yang ia kehendaki adalah semua wanita diwajibkan menutup aurat. Ia juga mendesak supaya semua bioskop dan tempat pementasan ditutup. Dengan kata lain, ia ingin agar hidup kita gelap dan mendung. Tentulah hal ini mustahil untuk kita laksanakan.”
Percobaan pembunuhan terhadap Nasser pada Desember 1954 menjadi alasan yang ditunggu-tunggu oleh pemerintah untuk memberangus IM. IM dituduh melakukan penembakan itu walaupun IM berkali-kali menafikannya. Beribu-ribu anggota IM ditangkap, dipenjara, dan enam orang digantung. Protes dari Dunia Islam tidak diladeni. Dua belas tahun selepas peristiwa itu, yaitu pada tahun 1961, IM sekali lagi dituduh sebagai penyebab kegagalan dan kemunduran negara.
Gamal pun menggunakan segenap wewenang militer dan undang-undang untuk menghancurkan IM. Akibatnya, beribu-ribu anggota IM beserta muslimatnya ditangkap tanpa peluang membela diri. Mereka disiksa dengan secara kejam. Hasan Ismail Hudaibi, hakim dan dai terkenal yang menggantikan Hasan Al Banna sebagai Mursyid ‘Am turut disiksa walaupun umurnya sudah tua dan uzur. Puncaknya, pada 29 Agustus 1966, tiga orang tokoh IM dieksekusi, salah satu dari mereka Sayyid Quthb.
Sebagai penutup, perlu diketahui bahwa beberapa tahun sebelumnya Hasan Al Banna pernah memprediksi bahwa “malapetaka” akan menghampiri. Ia mengisyaratkan kepada para pengikutnya bahwa IM akan dihina, ditentang, ditahan, dianiaya, disiksa, dan akan mengalami fase kesusahan. Namun, ia berjanji bahwa kemenangan di dunia dan di akhirat akan tetap bersama IM pada akhirnya. Sekalipun IM ditindas di negaranya sendiri, harakah ini terus berkembang di Suriah, Yordania, Lebanon, Sudan, bahkan hingga Eropa dan Asia.