Blogroll

Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa mengajarkan suatu ilmu, maka dia mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya, tidak mengurangi dari pahala orang yang mengamalkannya sedikitpun".
"Barangsiapa dikehendaki baginya kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberikan PEMAHAMAN AGAMA kepadanya.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)

Pages

Tampilkan postingan dengan label HADIST. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HADIST. Tampilkan semua postingan

Jumat, 03 Juni 2011

Hadits tentang Genetika

Jumat ,03 Mei 2011
Genetika adalah ilmu tentang penurunan sifat. Sebenarnya, jauh sebelum “diproklamirkan”, oleh Mendel tahun 1800an, penurunan sifat sudah dikenal luas. Ada peribahasa Belanda yang mengatakan “De apple valt niet van de boom”, yang artinya buah apel jatuh tak jauhdari pohonnya. Bahasa Inggris ada Like father like son. Dan di Indonesia dikenal
air cucuran jatuh ke pelimbahan juga”.
Dan 13 abad sebelum Mendel bereksperimen dengan kacang ercis (Pisum sativum) sebagai dasar hukum genetika-nya, ada sosok manusia jenius yang telah mengatakan hal yang demikian. Siapa dia? Tak lain adalah Rasullullah Muhammad SAW.
Dikisahkan, bahwa
Seorang laki-laki datang pada Rasulullah SAW, mengatakan bahwa dirinya tidak dapat menerima bayi yang dilahirkan istrinya, karena bayi tersebut berkulit hitam (beda dengan dirinya dan ibunya).
Lalu Rasulullah bertanya padanya, “Apakah kau punya unta?”
Laki-laki itu menjawab, “Ya.”
Rasul bertanya lagi, “Apa warnanya?”
Dijawab, “Kemerahan.”
Rasul, “Apakah unta tersebut memiliki warna keabu-abuan?”
Ia menjawab, “Ya, ada 1 warna abu-abu di tubuhnya.”
Rasulullah bertanya lagi, “Bagaimana pendapatmu tentang itu?”
Laki-laki itu menjawab, “Mungkin saja karena faktor keturunan sebelumnya.”
Kemudian Rasulullah berkata, “Dalam masalah kamu pun, bisa jadi karena faktor keturunan sebelumnya.”


Dalam Shahih Bukhari, disebutkan, dari Anas, ia berkata,
“Abdullah bin Salam mendengar kedatangan Rasulullah SAW untuk pertama kalinya di Madinah. Kemudian ia mendatanginya.
Abdullah bin Salam berkata, ‘Aku akan bertanya padamu tentang 3 hal yang tak diketahui siappun kecuali nabi.
Apa ciri-ciri pertama kiamat?
Apa makanan pertama yang dimakan penduduk surga?
Dari sisi mana si anak akan mirip dengan ayahnya?
Dan dari sisi mana akan mirip dengan paman-pamannya?’
Rasullullah menjawab, ‘Baru saja Jibril memberitahukannya kepadaku.’
Abdullah bin Salam berkata, ‘Itu adalah malaikat yang menjadi musuh bangsa Yahudi.’
Rasulullah pun berkata, ‘adapun ciri pertama kiamat adalah adanya api yang mengiring manusia dari timur ke barat.
Sedangkan makanan yang pertama dimakan penduduk surga adalah hati ikan paus.
Dan kemiripan pada si anak, ketika seorang laki-laki menggauli istrinya, dan air maninya keluar lebih dulu, maka si anak akan menyerupai ayahnya. Akan tetapi seandainya,air mani perempuan lebih dulu, anak itu akan mirip dengan ibunya.’
Pada saat itu juga Abdullah bin Salam berkata, ‘Aku bersaksi bahwa sesungguhnya engkau adalah utusan Allah’ . “ (HR. Bukhari)


Dengar dan Download Kajian Ahlussunnah
Tema :
Anjuran Zuhud
Pembicara :
Abdullah Taslim
Link :  
Klik disini

Kamis, 02 Juni 2011

Hadits yang Ditulis pada Masa Nabi Sedikit?

 

Selanjutnya, di sini akan dijelaskan tentang jumlah hadits yang ditulis pada masa Nabi saw. Apakah benar jumlahnya kecil, seperti yang diragukan oleh sebagian orang?
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas, riwayat para sabahat yang langsung menulis hadits Nabi pada generasi pertama berikut ini bisa dijadikan rujukan. Dalam hal ini, riwayat mereka lebih kuat dan tidak bisa diragukan lagi. Riwayat-riwayat tersebut antara lain sebagai berikut.
Shahifah Abdullah bin 'Amr
1. Abdullah bin 'Amr berkata, "Dulu aku menulis setiap yang kudengar dari Rasulullah saw. karena ingin menghafalnya. Namun, kaum Quraisy melarangku dan berkata, 'Kamu menulis setiap yang kau dengar dari Rasulullah saw.? Padahal, beliau adalah manusia yang berbicara dalam keadaan marah dan senang.' Maka, aku berhenti menulis sampai mengadukan hal ini kepada Rasulullah saw. Beliau lalu bersabda, 'Tulislah, demi diriku yang ada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar dariku kecuali kebenaran'." (Sumbernya tidak tertulis di dalam buku Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hurgronje hingga Harun Nasution, Dr. Daud Rasyid, MA, [Bandung: Syaamil, 2006), hlm. 52]).
Riwayat ini menjelaskan bahwa Abdullah bin 'Amr pernah menulis hadits-hadits yang ia dengar langsung dari Rasulullah saw. Riwayat berikut ini juga menjelaskan tentang izin Nabi saw. untuk menulis hadits.
2. Abdullah bin 'Amr menceritakan, "Aku minta izin kepada Nabi saw. untuk menulis apa yang aku dengar dari beliau. Beliau mengizinkan dan aku pun menulisnya." Abdullah memberi nama lembarannya itu dengan Ash-Shadiqah. (Sunan Abu Daud, Kitab al-'Ilm, Bab fi Kitab al-Ilm, juz 4, hlm. 60-61, no. hadits 3545; Sunan ad-Daraimi, juz 1, hlm. 125; Al-Hakim, juz 1, hlm. 105-106; Musnad Ahmad, Tahqiq Ahmad Syakir, juz 10, hlm. 15).
3. Mujahid menuturkan, "Aku melihat lembaran pada Abdullah bin 'Amr, lalu aku bertanya kepadanya tentang hal itu. Ia menjawab, "Ini adalah Ash-Shadiqah yang memuat apa yang kudengar langsung dari Rasulullah saw. tanpa perantara." (Sumbernya tidak tertulis di dalam buku Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hurgronje hingga Harun Nasution, Dr. Daud Rasyid, MA, [Bandung: Syaamil, 2006), hlm. 52]).
Berbagai riwayat ini mengisyaratkan bahwa Shahifah ash-Shadiqah milik Abdullah bin 'Amr memuat jumlah hadits yang cukup banyak, karena ia menulis setiap yang ia dengan dari Rasulullah saw. Wajar, jika Abdullah bin 'Amr dikenal banyak meriwayatkan hadits. Hal ini diakui sendiri oleh Abu Hurairah r.a., seorang sahabat yang memiliki daya ingat yang kuat dan paling banyak meriwayatkan hadits. Hal ini adalah berkat doa Rasulullah saw. agar dia diberi hafalan yang kuat. Semua ini semakin membuktikan betapa banyak hadits yang ditulis Abdullah bin 'Amr.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya dengan sanadnya bahwa Abu hurairah berkata, "Tidak ada sahabat Nabi saw. yang lebih banyak meriwayatkan hadits daripada saya, kecuali Abdullah bin 'Amr, sebab ia menulis sedang aku tidak menulis." (Shahih Bukhari, Kitab Al-'Ilm, no. hadits 113).
Abu Hurairah mengakui bahwa jumlah hadits Abdullah bin 'Amr melampaui jumlah haditsnya karena Abdullah bin 'Amr menulis dan ia tidak. Riwayat ini mengisyaratkan bahwa jumlah hadits yang ditulis pada masa Rasulullah saw. sangat banyak. Tidak seperti asumsi sebagian orang bahwa sunnah pada masa itu kurang diperhatikan.
Hal ini ditegaskan Abdullah bin 'Amr, "Aku menghafal seribu hadits dari Nabi saw." (Ali bin Muhammad al-Jazairi, Usud al-Ghabah fi Ma'rifat ash-Shahabah, tahqiq Muhammad Ibrahim al-Banna dkk, Thab'at asy-Sya'b, kairo, tahun 1970, juz 3, hlm. 349). Imam Adz-Dzahabi berkata, "Jumlah sanadnya mencapai 700. Jumlah hadits yang dimuat Bukhari dan Muslim secara bersamaan sebanyak tujuh buah. Imam Bukhari meriwayatkan sendirian sebanyak delapan sanad dan Muslim sebanyak dua puluh hadits."
Imam Ahmad meriwayatkan isi Shahifah ini dalam Musnadnya, seperti yang telah dihitung Dr. Muhammad 'Ajjaj al-Khathib dalam empat juz berturut-turut. Dimulai dari juz 9, hlm. 235 hadits 6.477. Dalam juz 10 dan 11 dimuat secara utuh dan berakhir pada juz 12 halaman 50, hadits 7.103. Hadits-hadits dari Abdullah bin 'Amr juga banyak dimuat dalam kitab-kitab sunnah lainnya. (Musnad Ahmad, Tahqiq Ahmad Syakir, juz 9, hlm. 235, juz 10, 11, dan 12, hlm. 50; lihat juga 'Ajjaj, As-Sunnah, hlm. 350 [catatan kaki]).
Shahifah Ali bin Abi Thalib
Meski riwayat Ali bin Abi Thalib tersebar di berbagai kitab sunnah, Shahifah (lembaran) beliau sekilas hanya tampak memuat sedikit hadits. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Terbukti Shahifah ini memuat banyak tema, seperti dijelaskan Dr. Rif'at Fauzi yang men-tahqiq (meneliti) dan memberikan ta'liq (anotasi).
Di antara tema hadits tersebut adalah kewajiban zakat. Di sini dijelaskan macam-macam kewajiban dan perinciannya. Ini sama dengan keterangan dalam catatan milik Abu Bakar yang ditulis bersumber dari Rasulullah saw. pendapat yang lebih kuat menyebutkan bahwa keterangan dalam catatan Abu Bakar berasal dari Shahifah Ali bin Abi Thalib. (Prof. Dr. Rif'at Fauzi, Shahifah 'Ali bin Abi Thalib, hlm. 46). Dalam Shahifah ini juga terdapat berbagai keterangan tentang diyat (denda untuk pidana badan) dan perkara-perkara yang menyangkut kejahatan terhadap manusia (jirahat).
Untuk menguatkan simpulan ini adalah catatan dari Rasulullah saw. yang dikirim kepada penduduk Yaman. Catatan lalu disalin oleh keturunan 'Amr bin Hazm karena ayahnya, 'Amr bin Hazm adalah orang yang menerima kiriman catatan ini. Kitab ini juga menjelaskan berbagai kewajiban kaum Muslimin, sunnah, dan diyat.
Shahifah Amr bin Hazm
Imam Ibnul Qayyim mengomentari catatan yang dikirim kepada Amr bin Hazm sebagai berikut. "Buku ini sangat agung dan memuat banyak bahasan fikih." (Ibn al-Qayyim, Zad al-Ma'ad fi Hadyi Khairi al-'Ibad, jilid 1, hlm. 119).
Peneliti Ahmad bin Abdurrahman ash-Shuwayan meringkas masalah yang termuat dalam buku ini dalam 21 bahasan, yaitu sebagai berikut. 1. Zakat dan nishab barang tambang. 2. Zakat onta. 3. Zakat sapi. 4. Zakat kambing. 5. Kriteria harta yang harus dizakati. 6. Zakat uang. 7. Dua barang yang tercampur dengan zakat. 8. Zakat bagi Ahli Bait (keluarga Rasulullah saw.). 9. Tidak ada zakat bagi seorang hamba Muslim dan kudanya. 10. Jumlah jizyah. 11. Dosa yang paling besar. 12. Tidak boleh menyentuh Al-Qur'an kecuali orang yang bersuci. 13. Ketentuan diyat (denda pembunuhan). 14. Shalat dalam satu pakaian. 15. Pemberian hadiah. 16. Akad gandum. 17. Waktu-waktu shalat. 18. Membaguskan wudhu. 19. Umrah (haji kecil). 20. Waktu thalaq (perceraian). 21. Waktu memerdekakan budak. (Lihat Ahmad Abd al-Rahman ash-Shuayyan, Shaha'if al-Shahabah, hlm. 114).
Selanjutnya, di sini kami batasi keterangan mengenai sebagian yang termuat dalam buku tersebut, yakni penjelasan tentang diyat dan perkara-perkara yang menyangkut kejahatan terhadap manusia (jirahat), untuk membuktikan bahwa kedua hal ini juga dimuat dalam lembaran Ali r.a.
Abu Bakar bin Muhammad bin 'Amr bin Hazm meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Rasulullah saw. mengirim catatan kepada penduduk Yaman. Catatan itu menjelaskan hal berikut. "Siapa yang terbukti membunuh seorang mukmin tanpa sengaja, dia harus diqishah, kecuali jika keluarga yang terbunuh rela. Pembunuhan terhadap satu jiwa diwajibkan membayar diyat." (Ibnu Hibban, Kitab az-Zakat, Bab Fardh az-Zakat wa Kam Tajib fih. Lihat Al-Haitsami, Mawarid al-Zham'an, hlm. 202-203; Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, Kitab Az-Zakat, juz 1, hlm. 395-397; Al-Baihaqi, Al-Sunnah al-Kubra, Kitab Az-Zakat, Bab Kayfa Fardh ash-Shadaqah, juz 4, hlm. 89-90; Ibn 'Abd al-Barr, Al-Tamhid, juz 17, hlm. 339-341).
Imam Baihaqi meriwayatkan, ketika Umar bin Abdul Aziz memangku jabatan khilafah, beliau mengutus orang ke Madinah untuk mencari catatan Rasulullah saw. tentang zakat, termasuk catatan milik Umar bin Khatthab. Utusan beliau menemukan catatan yang disampaikan pada Amr bin Hazm tentang zakat. Selain itu, pada keluarga Umar ditemukan catatannya yang juga menjelaskan masalah serupa, yang isinya seperti catatan Nabi saw. Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk menyalin keduanya. (Al-Baihaqi, Al-Sunnan al-Kubra, juz 4, hlm. 91).
Ini adalah bukti bahwa sebagian hadits yang dikumpulkan Umar bin Abdul Aziz dari seluruh penjuru wilayah Islam yang tersebar bersama para sahabat bersumber dari apa yang telah ditulis Rasulullah saw. (Dr. Rif'at Fauzi, Shahifah 'Ali bin Abi Thalib, hlm. 50).
Terdapat juga lembaran Jabir bin Abdullah al-Anshari yang sangat terkenal di kalangan ahli hadits. Diceritakan bahwa Mujahid bin Jabar meriwayatkan dari lembaran tersebut. (Ibnu Sa'ad, At-Thabaqat al-Kubra, juz 5, hlm. 44). Sahabat Nabi yang mulia ini juga telah meriwayatkan banyak ilmu (hadits) yang bermanfaat dari Rasulullah saw, seperti diisyaratkan Adz-Dzahabi yang berkata, "Musnadnya mencapai 1.540 hadits; yang dimuat bersama oleh Bukhari dan Muslim berjumlah 59 hadits. Bukhari meriwayatkan sendiri berjumlah 26 hadits, sedangkan Muslim meriwayatkan sendiri 126 hadits." (Adz-Dzahabi, Tazkiratul Huffazh, juz 1, hlm. 43).
Di antara hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya yang berasal dari lembaran ini terkait dengan tata cara haji mencapai 30 hadits. (Shahih Muslim, juz 2 hlm. 881-893. Kitab Al-Hajj, Bab Bayan Wujuhul Ihram, Hadits no. 136-150; Rif'at Fauzi, Tautsiq as-Sunnah, op.cit., hlm. 52). Riwayat terpanjang diriwayatkan Ja'far bin Muhammad dari ayahnya, dari Jabir bin Abdullah mengenai haji wada. Dalam kitab Shahih Muslim, hadits ini berisi lebih dari empat halaman tentang cara haji Nabi secara lengkap.
Diceritakan, Jabir bin Abdullah menulis hadits di atas papan. Rabi' bin Sa'ad meriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, ia berkata, "Aku melihat Jabir di tempat Ibnu Sabith sedang menulis di atas papan." Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al-Kufi al-Absi, Al-Mushannaf fi al-Hadits wa al-Atsar, tahqiq: Mukhtar Ahmad al-Nadawi, Dar al-Salafiyah, Bombay, India, cet. pertama, tahun 1401, juz 9, hlm. 49). Sejumlah muridnya menemui Jabir untuk menulis hadits. Abdullah bin Muhammad bin 'Uqail bin Abi Thalib berkata, "Dulu saya pergi bersama Muhammad bin Ali Abu Ja'far dan Muhammad al-Hanafiah menemui Jabir bin Abdullah. Kami bertanya kepadanya tentang sunnah Rasulullah saw. tentang cara shalat beliau. Kami menulis dan belajar darinya." (Abu Ja'far Ahmad bin Muhammad bin Salamah al-Azdi al-Thahawi al-Hanafi (235 H), Syarah Ma'ani al-Atsar, tahqiq Muhammad Zuhri al-Najjar, Daru al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut, cet. pertama, tahun 1399 H, juz 4, hlm. 319; Al-Qadhi al-Hasan bin 'Abd al-Rahman ar-Ramahurmuzi, Al-Muhaddits al-Fashil baina ar-Rawi wal Wa'i, tahqiq Dr. M. 'Ajjaj al-Khathib, Dar al-Fikr, Dimasyq, cet. pertama, tahun 1391 H/1971M, hlm. 370; Al-Khatib al-Baghdadi, Taqyid al-'Ilmi, op.cit., hlm. 104).
Abu Khutsaimah menceritakan, Ibnu Abbas r.a. sangat menyarankan penulisan. Beliau menasihatkan, "Ikatlah ilmu itu dengan cra menulisnya. Siapa yang membeli ilmu dariku dengan satu dirham." (Abu Khaitsamah Zuhair bin Harb an-Nasa'i (160-234 H), Kitab al-'Ilm, tahqiq Muhammad Nashiruddin al-Albani, Al-Mathba'ah al-'Umumiyyah, Dimasyq, hlm. 144). Ibnu Sa'ad menceritakan bahwa Ibnu Abbas mempunyai sejumlah catatan sebanyak muatan unta. (Ibnu Sa'ad, op.cit., juz 5, hlm. 216, Sejarah Hidup Kuraib bin Abi Muslim).
Selain Abdullah bin Amr, Ali bin Abi Thalib, Jabir bin Abdullah dan para sahabat r.a. lainnya juga memiliki catatan hadits Rasulullah saw. Seluruh nash ini menegaskan kepada kita bahwa jumlah hadits yang ditulis pada masa Nabi saw. sangatlah banyak. Dengan demikian, apa yang disangkakan atau dituduhkan Dr. Harun Nasution bahwa penulisan hadits pada masa Nabi tidak terjadi atau kalaupun terjadi hanya sedikit adalah sebuah anggapan atau tuduhan yang salah.
Bersambung ...!

Para Sahabat Tidak Menghafal Hadits?

 

Selanjutnya, Dr. Harun Nasution menuduh bahwa hadits tidak dihafal pada masa sahabat. Ini adalah tuduhan yang aneh dan menggelikan. Tuduhan ini tidak pantas muncul dari seorang mahasiswa pemula, apalagi dari seorang profesor. Alasannya, dalam logika sederhana, jika tidak ditulis atau tidak dihafal, bagaimana sunnah bisa sampai dari sahabat kepada generasi berikutnya?  
Terdapat banyak bukti bahwa para sahabat r.a. menghafal banyak hadits. Di sini, penulis mengutip beberapa pengakuan sahabat dan tabi'in yang menegaskan bahwa sebelum ditulis, hadits lebih dahulu dihafal. Dalam hal ini, keterangan mereka diposisikan untuk menjawab tuduhan Harun. Para sahabat r.a. sepenuhnya sadar bahwa sunnah adalah bagian tidak terpisahkan dari agama Allah. Seperti telah kami sebutkan, Al-Qur'an menyuruh taat kepada perintah Rasulullah saw. dan menjauhi larangannya, untuk meneladaninya, dan mengikuti sunnahnya. Bahkan, Rasulullah saw. mengancam orang yang meninggalkan dan mengabaikan sunnah dengan dalih bahwa Al-Qur'an sudah memadai.
Sejak awal Rasulullah saw. telah mengungkap adanya kelompok-kelompok tertentu yang bertujuan merobek-robek Islam dengan jalan memisahkan kitabullah dari sunnah. Mereka berasumsi bahwa yang wajib diikuti hanyalah Al-Qur'an dengan mengabaikan sunnah. Rasulullah saw. telah mengetahui kecenderungan ini sejak awal, sehingga beliau merasa perlu memperingatkan agar umatnya tidak terjebak.
Beliau saw. bersabda, "Nanti akan datang suatu masa saat seorang dari kalian sedang duduk di peraduannya, lalu diajukan kepadanya perintah dan laranganku, lalu ia berkata, 'Aku tidak tahu, kami hanya mengikuti apa yang ada dalam kitab Allah saja'." (Al-Hakim, Al-Mustadrak, juz 1, hlm. 108. Ia mengatakan shahih berdasarkan kriteria Bukhari dan Muslim, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi).
Para sahabat itu telah merasakan peran penting sunnah sejak turunnya ayat Qur'an yang bersifat mujmal (umum, membutuhkan perincian), seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Semua kewajiban ini tidak dapat dilaksanakan tanpa penjelasan sunnah. Mereka tidak dapat memahaminya kecuali dengan kembali kepada Rasulullah saw. sebagai penerapan dari firman Allah SWT (yang artinya), "Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka." (An-Nahl: 44).
Selain itu, beberapa ayat bersifat umum dan mutlak, dan para sahabat tidak tahu teknis pelaksanaannya. Mereka merujuk pada sunnah tentang pengecualian ayat yang bersifat umum atau pembatasan ayat yang bersifat mutlak. Di samping itu, seperti h alnya Al-Qur'an, sunnah juga menetapkan hukum secara independen karena tidak terdapat dalam Al-Qur'an.
Oleh karena itu, para sahabat sangat membutuhkan sunnah. Kebutuhan ini mengharuskan mereka meriwayatkan, menjaga, menghafal, dan mewariskan hadits kepada generasi yang lahir sesudahnya. Mereka serius mengawal sunnah, sejak menerimanya dari Rasulullah saw. hingga menyampaikan kepada generasi berikutnya dengan cara yang shahih dan metode yang benar, tanpa distorsi dan manipulasi dengan cara menambah atau menguranginya. (Rif'at Fauzi, Tautsiq as-Sunnah, hlm. 26).
Oleh karena itu, tuduhan Harun yang menyatakan bahwa hadits tidak dihafal pada masa sahabat adalah tuduhan atau anggapan yang keliru. Ini bisa dilihat dari keterangan-keterangan sebagai beirkut.
Abu Nadhrah, seorang tabi'in, mengisahkan perbincangannya dengan Abu Sa'id. Ia minta Abu Sa'id menuliskan hadits-hadits Rasulullah saw. karena ia tidak mampu menghafal. Abu Sa'id menolak. Alasannya, hafalan adalah alat utama dalam menjaga sunnah Nabi dan jalan paling banyak digunakan para sahabat.
Abu Nadhrah berkata, "Saya berkata kepada Abu Sa'id, 'Tolong tuliskan hadits karena kami tidak bisa menghafal.' Abu Sa'id menjawab, 'Kami tidak menulisnya untuk kalian dan kami tidak menjadikannya sebagai mushaf. Ia menceritakannya dan kami menghafalnya. Pesannya, 'Hafalkanlah dari kami seperti kami menghafalnya dari Nabi'." (Al-Khatib, Taqyid al-Ilm, hlm. 36). Senada dengan hal itu, Abu Musa al-Asy'ari berpesan, "Hafalkanlah dari kami sebagaimana kami menghafal sebelumnya." (Al-Khatib, Taqyid al-Ilm, hlm. 40).
Terdapat banyak keterangan, khususnya tentang sahabat yang terkenal banyak menghafal hadits dan riwayat, seperti Abu Hurairah r.a. Said bin Abu Hasan berkata, "Tidak ada sahabat Nabi saw. yang lebih banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw. selain Abu Hurairah." (Al-Khatib, Taqyid al-Ilm, hlm. 41).
Pola kehidupan sahabat ini diwarisi oleh generasi tabi'in yang datang kemudian. Abu Sofyan menegaskan sikapnya untuk tidak menulis dan mengandalkan hafalan di luar kepala. Ia berkata, "Aku tidak menulis hadits dari Abu Hurairah, tetapi kami menghafalnya." (Al-Khatib, Taqyid al-Ilm, hlm. 47).
Demikianlah, para tabi'in terlatih menghafal hadits dan tidak beralih pada penulisan, kecuali dalam beberapa situasi. Khalid al-Hadza' (141 H) berkata, "Aku tidak menulis sesuatu kecuali sebuah hadits yang panjang. Jika aku telah menghafalnya, aku lalu menghapusnya." (Ar-Ramahurmuzi, Al-Muhaddits al-Fashil baina ar-Rawi wal Wa'i, tahqiq Dr. M. 'Ajjaj al-Khathib, Dar al-Fikr, Dimasyq, cet. pertama, tahun 1391 H/1971 M, hlm. 59). Keterangan senada juga diriwayatkan dari 'Ashim bin Dhamrah.
Imam Adz-Dzahabi meringkas karakteristik ilmiah geenerasi pertama: "Sesungguhnya ilmu sahabat dan tabi'in itu ada dalam hati mereka (dihafal di luar kepala, pen.). Ini adalah gudang penyimpanan ilmu mereka," ungkap Adz-Dzahabi. (Dinukil dari Dr. Yusuf al-'Isy, dalam Taqyid al-Ilm, hlm. 6).
Abu Thalib al-Makki (381 H) menyebutkan, generasi pertama tabi'in tidak suka mencatat hadits. Mereka berkata, "Hafalkanlah seperti kami menghafal." (Abu Thalib Muhammad bin 'Athiyah al-Haritsi al-Makki (387 H) Qut al-Qulub Mathba'ah al-Anwar al-Muhammadiyah, Kairo, tahun 1405 H-1985 M, juz 1, hlm. 351).
Inilah sikap mereka dalam menjaga sunnah. Seperti digambarkan Ibnu Hajar, "Sekelompok sahabat dan tabi'in tidak suka penulisan hadits dan lebih suka bila orang meriwayatkan dari mereka dengan cara menghafal, seperti cara yang dulu mereka gunakan. Namun, ketika perhatian berkurang dan para ulama khawatir hilangnya hadits, mereka lalu menulisnya." (Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 1, hlm. 208).
Kalangan yang mengamati bangsa Arab masa jahiliah dan permulaan Islam tahu pasti bahwa mereka memiliki ingatan kuat. Mereka biasa pergi ke suuq al-adab (pasar sastra) dan membacakan syair dalam bentuk qashidah (kumpulan bait syair). Dengan sekali mendengar, mereka langsung menghafalnya.
Dengan kondisi ini, wajar jika Rasulullah saw. menjelaskan karakter umat ini lewat sanadnya, "Injil mereka ada dalam hati mereka. Mereka membacanya dengan lancar." (Abu Nu'aim Ahmad bin Abdillah al-Ashbahani [430 H] Dalail an-Nubuwah, Maktabah an-Nahdhah, Baghdad, tahun 1983 M, hlm. 30-31). Maksudnya, "Seolah-olah lembaran-lembaran buku itu ada dalam hati mereka." (Dr. Abdul al-Muhdi bin 'Abdil Qadir bin 'Abdul Hadi, As-Sunnah an-Nabawiyah: Makanatuha, 'Awamil Baqa'iha, wa Tadwinuha, Daru al-I'tisham, Kairo, cet. pertama, tahun 1409 H, hlm. 73).
Qatadah berkata, "Ketika telingaku mendengar sesuatu, aku langsung menghafalnya." Ibnu Syihab az-Zuhri berkata, "Bila melintas di kawasan Baqi', aku terpaksa menutup telinga. Aku khawatir mendengar kata-kata tidak sopan. Demi Allah, aku tidak pernah melupakan apa yang kudengar." (Ibnu 'Abdil Barr, Jami' Bayan al-'Ilm wa Fadhlihi, juz 1, hlm. 83). Di tempat lain Az-Zuhri berkata, "Aku tidak mengulang satu hadits pun. Aku tidak pernah ragu terhadap sebuah hadits kecuali satu hadits saja. Aku lalu bertanya kepada seorang sahabatku dan ia menyebutkan seperti yang kuhafalkan." (Az-Zahabi, Tadzkirah al-Huffazh, juz 1, hlm. 111). Jumlah hadits yang dihafal Az-Zuhri, seperti disebutkan Abu Daud mencapai 2.200 hadits, setengahnya dalam bentuk musnad. Tadzkirah al-Huffazh, juz 1, hlm. 109).
Berbagai keterangan ini menjelaskan bahwa menghafal adalah cara utama dalam menjaga sunnah, baik pada periode sahabat maupun tabi'in. Cara lainnya adalah menulis, seperti yang juga diawali pada masa Nabi saw.
Bukti Perhatian Para Sahabat terhadap Sunnah
Berbagai bukti perhatian para sahabat terhadap sunnah dapat dirinci sebagai berikut.
1. Semangat yang tinggi dalam mendengar hadits. Para sahabat sangat bersemangat menghadiri majelis Rasulullah saw. untuk mendengarkan sabda dan menyaksikan seluruh perbuatannya. Jika sibuk dengan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan hingga tidak bisa hadir, mereka datang bergantian. Targetnya, agar orang yang hadir bisa menyampaikan kepada yang tidak hadir.
2. Mereka tidak pernah jenuh mendengar hadits dari Rasulullah saw. lebih dari satu kali. Bahkan, sebagian sahabat berpendapat bahwa seseorang tidak boleh meriwayatkan hadits kecuali telah mendengarnya lebih dari tiga kali.
Amir bin Abasah berkata, "Seandainya aku tidak mendengarnya dari Rasulullah saw. kecuali satu, dua, atau tiga kali, hingga tujuh kali, selamanya aku tidak akan menceritakannya. Namun, aku mendengarnya lebih dari jumlah itu." (Shahih Muslim, juz 1, hlm. 571. Kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab Islam 'Amru bin 'Absah, no. hadits 294). Senada dengan itu, Abu Umamah juga berkata, "Kalau aku tidak mendengar dari Nabi saw. kecuali hanya tujuh--Abu Said berkata, 'kecuali tujuh kali'--aku tidak meriwayatkannya." (Musnad Ahmad, juz 5, hlm. 264).
3. Mereka sangat berhati-hati dalam mendengar dan menghafal hadits. Hal ini dalam rangka menjaga kemurnian dan orisinalitas riwayatnya, tanpa distorsi dan penyimpangan sekecil apa pun. Seolah-olah mereka selalu menaruh di depan mata peringatan Rasulullah saw., "Siapa yang berdusta atas namaku, hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka." (Al-Haitsami, Majma' az-Zawa'id, juz 1, hlm. 143 dan rawi-rawinya shahih). Ini adalah hadits mutawatir yang diriwayatkan lebih dari 70 sahabat, seperti disebutkan Imam Suyuthi. (Jalal al-Din 'Abd. al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthi (849-911 H), Tahdzir al-Khawash min Akadzib al-Qushshos, Tahqiq Muhammad ash-Shabbagh, Al-Maktab al-Islami, Dimasyq, cet. 1, tahun 1392 H, hlm. 8-57).
Khawatir jatuh dalam berbuat dusta terhadap Rasulullah saw., membuat sahabat bersikap ekstra hati-hati dalam mendengar dan menerima hadits. Utsman bin Affan berkata, "Tidak ada yang menghalangiku untuk meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw. kecuali keinginanku untuk menjadi sahabat yang paling berhati-hati meriwayatkan dari beliau. Aku bersaksi bahwa aku mendengar beliau bersabda, 'Siapa yang mengatakan dariku apa yang tidak aku katakan, hendaknya ia mempersiapkan tempat duduknya dalam api neraka'." (Musnad Ahmad, juz 1, hlm. 65).
Ali r.a. juga mengungkapkan kekhawatirannya jika mendengar hadits secara tidaka semestinya, atau menghafalnya secara keliru sehingga salah dalam menyampaikan dan mengucapkan berita yang bersumber dari Rasulullah saw., "Soal berita dari Rasulullah, lebih baik aku dilemparkan dari langit daripada mengatakan apa yang tidak beliau katakan," papar Ali bin Abi Thalib r.a. (Shahih Bukhari, juz 2 hlm. 531, Kitab Al-Manaqib, Bab 'Alamat an-Nubuwwah, no. hadits 3611; Kitab Al-Istitabah, Bab Qatl al-Khawarij wa al-Mulhidin Bakda Iqamah al-Hujjah 'alaihim, no. hadits 6930).
Kenyataannya, tidak semua sahabat mendengar sabda dan melihat perbuatan Nabi saw. karena sebagian mereka sibuk dengan urusan pribadi dan kemaslahatan umat, hingga tidak sempat menghadiri majelis Rasulullah saw. Akibatnya, mereka terpaksa mendengar melalui rekannya. Walau demikian, dalam kondisi ini, mereka tetap bersikap ketat bahkan terhadap rekan mereka sendiri. Fakta ini dijelaskan Al-Bara' bin Azib, "Tidak semua hadits kami dengar dari Rasulullah saw. Orang yang menceritakan adalah para sahabat kami sementara kami sibuk memelihara unta. Sementara itu, para sahabat Nabi saw. meminta apa yang tidak langsung mereka dengar dari Rasulullah saw. lalu mereka dengar dari rekannya dan dari orang yang lebih hafal dari mereka. Mereka dikenal ketat terhadap orang yang mereka dengar." (Al-Hakim, Ma'rifah 'Ulum al-Hadits, hlm. 14; Jalal al-Din as-Suyuthi, Miftah al-Jannah fi al-Ihtijaj bi as-Sunnah, Tahqiq Muhibbudin al-Khatib, Al-Maktabah al-Salafiyah, Kairo, cet. pertama, tahun 141, hlm. 21).
Dalam beberapa kondisi, sikap hati-hati ini mengakibatkan para sahabat menyuruh rekannya sendiri bersumpah di hadapan mereka Ali bin Abi Thalib r.a. melakukan hal ini jika ia mendengarkan nya lewat perantara orang lain dan tidak langsung dari Rasulullah saw. (Al-Hakim, Ma'rifah 'Ulum al-Hadits, hlm. 15; Ar-Rahamurmuzi, Al-Muhaddits al-Fashil, hlm. 518).
Ini tidak berarti para sahabat mendustakan orang yang menyampaikan hadits pada mereka. Sama sekali tidak. Tidak ada satu pun bukti bahwa salah seorang sahabat r.a. meragukan kejujuran saudaranya, apalagi menuduhnya berdusta. Yang mereka khawatirkan adalah kesalahan perawi dalam meriwayatkan hadits, sehingga menyampaikan hadits dengan tidak semestinya.
Jika kita memahami sikap hati-hati dan perhatian para sahabat dalam menjaga sunnah, baik dalam hafalan dan periwayatan, kita dapat memahami beberapa sikap yang mereka ambil pada rekan dan saudara mereka sendiri. Misalnya, menyuruh bersumpah, meminta saksi, tawaqquf (berhenti dan tidak mengambil sikap) terhadap sebuah hadits, dan berbagai sikap keras lainnya dalam menerima riwayat. Hal ini didasari oleh beberapa hal sebagai berikut.
1. Rasa bertanggung jawab terhadap sunnah, agar diwariskan generasi berikutnya dengan benar. Hal ini tidak menunjukkan bahwa para sahabat meragukan kejujuran rekan-rekannya, apalagi menuduh mereka berdusta. Pasalnya, mereka adalah sebaik-baik umat yang diperuntukkan bagi manusia. Allah SWT sendiri telah memuji mereka di banyak tempat di dalam Al-Qur'an.
2. Perbedaan pendapat terjadi dalam memahami beberapa hadits dan simpulannya. Hal ini bisa terjadi jika makna sebuah hadits pernah dipraktikkan pada suatu masa dan setelah itu dihapus (naskh). Padahal, perawi hadits ini belum mendengar berita tentang penghapusan, sehingga ia masih terus mengamalkannya. Situasi lain adalah sifat tawaqquf (abstain) sebagian sahabat terhadap hadits yang belum mereka dengar, sampai mereka yakin bahwa hadits itu berasal dari Rasulullah saw. Setelah y akin, mereka tidak ragu menerima dan mengamalkannya, bahkan menyesal karena tidak mendengarnya secara langsung. (Rir'af Fauzi, Al-Madkhal ila Tautsiq as-Sunnah, hlm. 36).
Dalam masalah ini, tidak sedikit peneliti kontemporer yang salah membuat konklusi. Mereka mengira sikap kritis sebagian sahabat dalam menerima beberapa hadits dilatari oleh keraguan mereka terhadap kejujuran dan integritas pembawa berita (perawi). Tampaknya, Harun Nasution berada dalam kelompok ini.
Bersambung ...!

Awal Penetapan Sanad


 

Harun menuduh bahwa para sahabat menerima semua hadits sekalipun yang palsu, dan pada saat yang sama, menuduh mereka terlalu ketat dalam menerima hadits karena ragu terhadap integritas rawi. Tuduhan ini sama sekali tidak berdasar. Kita lihat keterangan berikut ini untuk menilai sejauh mana kebenaran dari tuduhan Harun tersebut. Awal Penetapan Sanad  
Generasi awal Islam, sejak masa Rasulullah saw. hingga terbunuhnya Khalifah Utsman, tidak pernah saling mendustakan. Rasa saling percaya dan keimanan memenuhi rongga hati mereka. Setelah timbul fitnah, terbentuklah kelompok sempalan dan muncullah kebohongan terhadap Rasulullah saw. yang dilakukan oleh pengikut-pengikut hawa nafsu.
Pengaruhnya, para sahabat Rasulullah saw. bersikap tegas dalam menjaga hadits. Mereka meminta sanad dari para rawi dan menetapkannya dalam hadits. Posisi sanad bagi hadits nyaris sama dengan silsilah nasab bagi seseorang. Mereka melakukan kritik dan penyaringan terhadap hadits. Kritik dan penyaringan ini dimulai pada akhir pertengahan abad pertama yang dibangun di atas prinsip-prinsip sebagai berikut.
Pertama, membandingkan hadits yang diriwayatkan dengan hadits yang dihafal di kalangan ulama sahabat. Hadits yang selaras dengan hadits yang dihafal diterima dan yang bertentangan ditolak. Imem Muslim meriwayatkan dalam pengantar Shahih-nya dari Ibnu Abi Malikah, ia berkata, "Aku menulis permintaan pada Ibnu Abbas agar menuliskan untukku sebuah kitab dan menyembunyikannya dariku. Ia berkata, 'Anak cerdas. Aku dimintanya untuk memilih beberapa masalah, lalu aku sembunyikan darinya'." Ibnu Abi Malikah selanjutnya berkata, "Lalu Ibnu Abbas mencari dan mengumpulkan putusan hukum Ali dan menulisnya. Saat menemukan ada yang janggal dalam catatan itu, ia berkata, 'Demi Allah, Ali tidak pernah memutuskan hal seperti itu, kecuali jika ia telah sesat'." (Shahih Muslim, juz 1, hlm. 13, Al-Muqaddimah, Bab Bayan anna al-Isnad min ad-Din).
Kedua, menyelidiki kepribadian, integritas, kecermatan, kejujuran, dan kehati-hatian seorang rawi. Seorang ulama tabi'in bernama Muhammad bin Sirin berkata, "Generasi awal umat ini tidak pernah meminta sanad. Namun, setelah terjadi fitnah (terbunuhnya Utsman), mereka berkata, 'Sebutkan kepada kami para perawi Anda.' Kemudian mereka selidiki. Jika mata rantai rawi adalah ahlu sunnah, haditsnya diterima; jika ahlu al-bid'ah, haditsnya ditolak." (Shahih Muslim, juz 1, hlm. 15, Al-Muqaddimah, Bab Bayan anna al-Isnad min ad-Din).
Ketiga, mempertanyakan sanadnya, seperti telah dijelaskan Ibnu Sirin. Mereka membandingkan hadits yang disampaikan sang rawi dengan hadits yang dihafal. Dalam ilmu mushthalah hadits, kritik isi hadits disebut sebagai naqd matan dan kritik serta penyelidikan terhadap kepribadian rawi disebut naqd isnad. Dengan demikian, dapat dipastikan, kajian terhadap rawi, matan maupun isnad telah dimulai sejak akhir pertengahan abad pertama Hijriah.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, awal pemalsuan hadits adalah akhir pertengahan abad pertama Hijriah. Sebagai respon terhadap situasi ini, lahir pula kritik terhadap matan dan isnad. Hal ini akhirnya tidak memberi kesempatan kepada pengikut bid'ah dan hawa nafsu untuk melempar tuduhan dan menjadikannya bagian dari agama dan syariat. (Syaikh 'Abdul Fattah Abu Ghuddah, Lamahat min Tarkih as-Sunnah wa 'Ulum al-Hadits, Maktab al-Mathbu'at al-Islamiyyah, Halb, Syria, set. Pertama, tahun 1404 H, hlm. 44).
Dengan demikian, jelaslah bahwa para sahabat bersikap sangat hati-hati dalam meriwayatkan hadits, misalnya tindakan Umar yang meminta saksi jika hatinya ragu atau sikap Ali yang menyuruh sebagian rawi bersumpah.
Dalam situasi ini, kita tidak bisa membayangkan tuduhan Harun bahwa sahabat menerima setiap hadits, sekalipun maudhu' (palsu), akibat kesibukan mereka mencari solusi berbagai masalah umat. Di sisi lain, tuduhan ini juga kontradiksi dengan tuduhan Harun lainnya yang menyebutkan bahwa Abu Bakar, Umar, dan Ali r.a. tidak mudah menerima sebuah hadits. Mereka meminta bukti penguat sehingga para sahabat seolah-olah saling meragukan. Pemahaman dan cara berpikir Harun tampak rancu dalam hal ini.
Pada bagian lain, Harun menuduh bahwa pascawafatnya Nabi saw., khususnya pada abad ketiga, sulit membedakan hadits shahih dan palsu karena jumlah hadits yang begitu banyak. Tampaknya Harun beralasan dengan pernyataan Bukhari yang menyaring 600.000 hadits menjadi 3.000 hadits. Lalu, Harun menyimpulkan bahwa hadits yang ditinggalkan Bukhari tidak shahih.
Benarkan demikian? Tuduhan ini hanya akan muncul dari orang yang tidak mengetahui kerja keras para ahli hadits di dalam menyaring sunnah, baik sanad maupun matannya. Sebelumnya telah dijelaskan perhatian ulama dalam menjaga sunnah sejak masa Rasulullah saw. Mereka mencurahkan upaya maksimal dalam meletakkan kaidah-kaidah ilmiah dalam menjaga hadits. Di antara prinsip-prinsip tersebut yang paling penting adalah sebagai berikut.
Pertama, menjaga sanad (mata rantai rawi). Sarana utama yang digunakan para kritikus hadits dalam membedakan shahih dan palsu adalah sanad. Dengan sanad, kita dapat mengetahui orang-orang yang memalsukan hadits, yaitu dengan jalan mencari biografi mereka dalam buku-buku biografi. Dengan sanad, kita juga bisa tahu apakah riwayatnya bersambung atau terputus. Tanpa sanad, kita tidak dapat mengetahui hadits-hadits yang shahih dan yang palsu, sehingga kelompok bid'ah dan batil dapat membuat-buat hadits. (Dr. Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asnid, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, hlm. 139).
Dalam hal ini, komentar Abdullah bin Mubarok menjadi sangat tepat, "Sanad termasuk bagian dari agama, tanpa sanad setiap orang dapat mengatakan apa saja yang ia inginkan." (Shahih Muslim, juz 1, hlm. 15, Al-Muqaddimah).
Sanad mulai ditetapkan sejak timbulnya pemalsuan hadits, yaitu setelah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan r.a. atau pada akhir pertengahan abad pertama Hijriah. Sehingga, para pengikut hawa nafsu dan bid'ah tidak punya kesempatan untuk menyerang sunnah.
Seorang ulama dari kalangan tabi'in yang bernama Mujahid menceritakan sikap hati-hati para ahli hadits. Begitu hati-hatinya sampai mereka tidak mau menerima hadits kecuali dari orang yang mereka kenal. Imam Muslim meriwayatkan dalam pengantar kitab Shahih-nya, dari Mujahid, bahwa Busyair al-Adawi datang kepada Ibnu Abbas r.a., lalu mulai menceritakan sebuah hadits. Ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda yang bunyinya begini dan begini." Tetapi, Ibnu Abbas tidak memedulikan haditsnya dan tidak menoleh kepadanya.
Busyair lalu berkata, "Hai Ibnu Abbas, mengapa Anda tidak mau mendengar hadits dariku? Aku menceritakan sebuah hadits dari Rasulullah saw. dan Anda tidak mau mendengarkan!" Ibnu Abbas r.a. menjawab, "Dulu, jika mendengar seseorang mengatakan Rasulullah saw. bersabda, pandangan kami segera mengarah padanya dan segera kami memasang telinga. Akan tetapi, setelah orang dilanda fitnah dan kahinaan, kami hanya menerima hadits dari orang yang kami kenal." (Shahih Muslim, juz 1, hlm. 13, no. hadits 7).
Kedua, menyelidiki sejarah hidup rawi. Untuk menjelaskan betapa penting riwayat hidup rawi, Ibnul Madini berkata, "Memhami makna-makna hadits adalah setengah ilmu dan mengetahui kehidupan perawi adalah setengah ilmu." Para ulama kemudian menyusun biografi dan sejarah hidup para rawi dalam kitab-kitab yang memuat nama-nama yang jumlahnya banyak sekali. Anda akan mengetahui hal ini jika merujuk pada kitab Ar-Risalah al-Mustathrafah karya Syaikh al-Kitani. Contoh kitab lainnya adalah At-Tarikh oleh Yahya bin Ma'in, seorang pakar di bidang Jarh wa at-Ta'dil, At-Tarikh al-Kabir karya Imam Bukhari, Jarh wa at-Ta'dil karya Ibnu Abi Hatim ar-Razi, dan lainnya.
Ketiga, melakukan kritik rawi. Para ulama kritikus hadits telah melakukan kritik terhadap setiap rawi yang punya kesalahan, kelemahan, atau kekacauan ingatan, kegoncangan, sikap berlebihan, kelalaian atau lupa, walaupun rawi itu adalah ayah, saudara, anak, kerabat atau teman mereka sendiri.
Ali bin Al-Madini ketika ditanya tentang ayahnya, ia berkata, "Tanyakan kepada orang lain tentang beliau." Ketika orang tersebut mengulangi pertanyaannya, Ibnul Madini akhirnya menjawab, "Ini adalah masalah agama. Ia adalah seorang rawi yang lemah (dhaif)."
Tak satu pun ulama yang sungkan untuk menyingkap ke hadapan publik tentang cacat atau aib seorang rawi, sekalipun orang yang paling dekat dengan mereka. Waki', guru Imam Syafi'i, selalu menyertakan rawi lain dalam riwayat yang berasal dari ayahnya. Alasannya sederhana, hanya karena ayahnya pernah mengurus baitul maal. Contoh lain adalah Abu Daud as-Sijistani, penulis kitab Sunan Abu Daud yang berkata, "Anakku, Abdullah, adalah seorang pendusta." (Abdullah bin Sulaiman, wafat tahun 316 H. Lihat Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, juz 9 hlm. 464).
Zaid bin Abi Unaisah (w. 124 H) berkata, "Janganlah kalian mengambil hadits dari saudaraku, yaitu Yahya." Semakna dengan itu adalah komentar Adz-Dzahabi tentang anaknya yang bernama Abu Hurairah (w. 779 H), "Sesungguhnya ia dulu pernah menghafal Al-Qur'an, lalu ia sibuk hingga melupakannya." (Muhammad bin 'Abd al-Rahman bin Muhammad as-Sakhawi (831-902 H), Al-I'lan bi at-Taubikh Liman Dzamma al-Tarkih, Tahqiq Frans Rosenthal, penerjemah Dr. Shaleh Ahmad al-'Ali, Mu'asasah ar-Risalah, Beirut, cet. Pertama, tahun 1407, hlm. 112-113; Muqaddimah Shahih Muslim, juz 1, hlm. 27; Abu Ghuddah, Lamahat min Tarkih as-Sunnah wa 'Ulum al-Hadits, Maktab al-Mathbu'at al-Islamiyyah, Halb, Syria, set. Pertama, tahun 1404 H, hlm. 83; Dr. 'Abd al-Muhdi, As-Sunnah al-Nabawiyah, hlm. 89).
Keempat, kritik matan dan makna hadits. Kritik yang dilakukan para ahli hadits tidak hanya terbatas pada sanad, seperti anggapan sebagian orang. Kritik juga meluas pada matan dan makna hadits. Hal ini sudah dimulai sejak masa sahabat dan tumbuh berkembang pada era berikutnya.
Kelima, ilmu jarh wa at-ta'dil. Ilmu ini merupakan keunggulan umat Islam yang tidak dimiliki umat lain, yang berfungsi menjaga sunnah Rasulullah saw. dari penyusupan. Ilmu ini paling berguna menangkal upaya-upaya yang ingin merusak sunnah.
Dengan ilmu ini, kaum salaf (terdahulu ) dan khalaf (belakangan) berhasil menyingkap berbagai illat (penyakit) dalam setiap hadits yang diriwayatkan. Di antara orang-orang yang dikaruniai kemampuan dalam bidang ini adalah Asy-Sya'bi, Al-A'masi, Ats-Tsauri, Ibnu al-Mubarak, Abu Ishaq al-Fazari, Yahya bin Sa'id al-Qatthan, Abdur Rahman bin Mahdi, Abu al-Walid ath-Thayalisi, Yahya bin Ma'in, dan lainnya. Abu Ghuddah, Lamahat min Tarkih as-Sunnah wa 'Ulum al-Hadits, Maktab al-Mathbu'at al-Islamiyyah, Halb, Syria, set. Pertama, tahun 1404 H, hlm. 100).
Keenam, penulisan kitab tentang hadits maudhu' (palsu), lemah, serta rawi yang tercela dan suka memalsukan hadits. Saat kebohongan, penipuan, dan pemalsuan hadits mewabah secara luas, para ulama kritikus hadits menulis kitab tentang hadits palsu, untuk menjelaskan kondisi yang sebenarnya, sehingga tidak ada orang yang dapat melakukan penipuan. Jika seseorang memalsukan sanad yang shahih, atau menyandarkannya pada imam yang kuat, sumbernya akan terlacak. Sebagai contoh, Imam Ishaq bin Rahawaih menghafal 4.000 hadits palsu. (Al-Khatib, Tarkih Baghdad, juz 6, hlm. 352).
Para ulama menulis banyak kitab tentang hadits palsu, terpisah dari kitab tentang rawi yang lemah dan tercela. Mereka menjelaskan profil orang-orang yang biasa berdusta dan memalsukan hadits. Mereka menyingkap pribadi para pemalsu hadists dan menyertakan hadits-hadits palsu yang diriwayatkannya agar orang lain waspada.
Sebagai contoh adalah kitab Adh-Dhu'afa oleh Imam Bukhari, Adh-Dhu'afa oleh Imam Nasa'i, Adh-Dhu'afa oleh Imam Al-'Uqaili, dan Adh-Dhu'afa wa al-Matruukiin oleh Ibnu Hibban. Sebagian ulama juga menulis buku-buku khusus tentang orang-orang yang biasa memalsukan hadits, seperti kitab Al-Kasyf al-Hadits 'Amman Rumiya bi Wadh' al-Hadits oleh Hafidz Burhanuddin al-Halabi. (Muqaddimah Syaikh 'Abdul Wahhab dalam kitab Tanzih asy-Syari'ah al-Marfu'ah, hlm. (ha) dan (ya).
Para pakar hadits mengidentifikasi hadits palsu dengan baik melalui ciri-cirinya. Setelah melalui penelitian yang mendalam, para kritikus hadits meletakkan prinsip-prinsip dasar untuk mengetahui hadits palsu, di antaranya sebagai berikut.
1. Pengakuan pemalsu hadits bahwa ia memalsukan hadits, atau indikasi lain yang setingkat dengan pengakuannya. Misalnya, hadits tentang keutamaan-keutamaan Al-Qur'an pada setiap surat, dari awal sampai akhir. Yang semisal dengan pengakuan misalnya perawi menerangkan tanggal lahirnya atau waktu mendengar hadits, padahal sang guru sudah meninggal. Atau, ia mengaku mendengar di suatu tempat dan sang guru belum pernah datang ke sana.
2. Sejumlah kritikus hadits menegaskan kebohongan sang rawi. Dengan adanya penegasan kebohongan beberapa kritikus hadits ini, jelas tidak mungkin sepakat untuk berdusta.
3. Indikasi yang berkaitan dengan kondisi pribadi rawi.
4. Indikasi yang berkaitan dengan hadits yang diriwayatkan, seperti yang bertentangan dengan akal sehat dan tidak bisa ditafsirkan, bertentangan dengan makna Al-Qur'an yang qath'i, atau hadits mutawatir atau ijma' (kesepakatan) yang sifatnya qath'i (punya kebenaran dan makna pasti). (Ali bin Muhammad bin 'Araq al-Kinani (907-963 H), Tanzih asy-Syari'ah al-Marfu'ah 'an al-Akhbar al-Syani'ah al-Maudhu'ah. Tahqiq 'Abdul Wahhab 'Abdul Lathif dan 'Abdullah Muhammad ash-Shiddiq, Daru al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut, cet. Pertama, tahun 1399 H, juz 1, hlm. 5-8).
5. Kerancuan susunan bahasa hadits dari segi bahasa. Dalam masalah ini, Ibnu Daqiq al-Id berkomentar, "Banyak ulama yang menghukum palsu sebuah hadits karena faktor-faktor yang berkaitan dengan matan dan susunan bahasa hadits. Karena seringnya bergumul dengan hadits, mereka akhirnya memiliki kepekaan dan kemampuan membedakan redaksi Nabi dan bukan." (Ali bin Muhammad bin 'Araq al-Kinani (907-963 H), Tanzih asy-Syari'ah al-Marfu'ah 'an al-Akhbar al-Syani'ah al-Maudhu'ah. Tahqiq 'Abdul Wahhab 'Abdul Lathif dan 'Abdullah Muhammad ash-Shiddiq, Daru al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut, cet. Pertama, tahun 1399 H, juz 1, hlm. 6).
Di sini tampak kesungguhan para ulama di dalam mengawal sunnah dari kebohongan dan pemalsuan, sehingga para pembenci, perusak, dan pendengki sunnah tidak mampu mewujudkan tujuannya. Prinsip-prinsip yang diletakkan para ulama membuat tiap ulama dan penuntut ilmu dapat membedakan antara hadits shahih dan maudhu' (palsu). Mereka bisa mengetahui rawi yang jujur dan berbohong, yang benar dan yang salah, yang cermat dan ceroboh.
Ketika ditanyakan kepada Abdullah bin Al-Mubarak tentang kekhawatiran terhadap sunnah dari ulah kaum pendusta dan perusak, "Bagaimana dengan hadits-hadits palsu itu?" Ibnul Mubarak menjawab, "Para pakar telah menguasainya." Allah SWT berfirman (yang artinya), "Sesungguhnya kami yang menurunkan Al-Qur'an dan Kami juga yang menjaganya." (Al-Hijr: 9).

Pengingkaran Adanya Ijma tentang Keshahihan Hadits dan Kedudukan Hadits Ahad


 

Harun menafikkan adanya ijma (kesepakatan) terhadap keshahihan hadits-hadits. Harun menulis sebagai berikut. "Tidak ada kesepakatan antara umat Islam tentang keorisinilan semua hadits dari Nabi. Jadi, berlainan dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang semuanya diakui oleh seluruh umat Islam adalah wahyu yang diterima Nabi dan kemudian beliau teruskan kepada umatnya, dalam keorisinilan hadits terdapat perbedaan antara umat Islam. Oleh karena itu, kekuatan hadits sebagai sumber ajaran-ajaran Islam tidak sama dengan kekuatan Al-Qur'an." (Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid 1, hlm. 28-30). Pengingkaran adanya ijma tentang keshahihan hadits tidak mempunyai dasar. Umat Islam telah sepakat tentang keshahihan hadits yang termuat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dan mereka menerimanya dengan baik. Para ulama juga telah menegaskan kedudukan kedua kitab ini sebagai kitab yang paling shahih setelah Al-Qur'an. Tidak ada satu orang pun yang mengingkari hal ini, kecuali Harun dan yang sehaluan dengannya. Penolakan ini tidak berpengaruh pada ijma atas keshahihan hadits dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Pengingkarannya yang bersifat umum itu jauh dari sikap jujur dan objektivitas yang merupakan ciri penelitian ilmiah. Bagaimana mungkin ia menggeneralisasi pengingkaran, padahal tidak ada yang mengingkari, kecuali dirinya dan orang yang sepemikiran dengannya. Sikap menggeneralisasi ini tidak dapat diterima dan sekaligus bukti bahwa murid-murid kaum orientalis tidak memiliki objektivitas seperti yang mereka klaim.
Tuduhannya bahwa hadits berbeda dengan Al-Qur'an yang merupakan wahyu Allah juga tidak bisa diterima. Alasannya, sabda Rasulullah saw. adalah wahyu, sesuai firman Allah yang artinya sebagai berikut. "Dan tiadalah yang diucapkan itu (Al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya." (An-Najm: 3-4). Beliau ditugaskan untuk menyampaikan sunnahnya, seperti ia ditugaskan untuk menyampaikan Al-Qur'an.
Simpulan Harun bahwa kedudukan hujjah sunnah tidak seperti hujjah Al-Qur'an dari segi kekuatan, kadang-kadang dapat diterima jika ia berdiri sendiri. Namun, introduksi yang ia sampaikan sama sekali keliru. Sunnah adalah hujjah, seperti halnya Al-Qur'an dan menempati posisi sumber hukum kedua. Ia juga independen dalam penetapan syariat. Kedudukan hujjah sunnah dibuktikan oleh nash Al-Qur'an itu sendiri. Allah SWT berfirman, "Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah." (Al-Hasyr: 7).
Hujjah Hadits Ahad?
Hadits ahad atau juga populer dengan sebutan khabar wahid ialah hadits yang tidak sampai ke tingkat mutawatir. Secara ilmiah, ulama hadits membagi hadits berdasarkan jumlah perawinya menjadi dua bagian: hadits mutawatir dan hadits ahad. Hadits mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan oleh para rawi dalam jumlah besar orang yang tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk berdusta. Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir disebut dengan khabar wahid.
Perlu diketahui, keshahihan suatu hadits tidak bergantung pada banyak sedikitnya jumlah rawi. Faktor penentu dan utama sebuah hadits dikategorikan shahih atau tidak adalah kualitas atau kredibilitas perawi, apakah dia seorang terpercaya (tsiqah) atau seorang tertuduh berdusta. Ketika satu hadits diriwayatkan oleh sedikit orang, atau katakan satu orang saja, ia tidak otomatis telah dikategorikan dha'if (lemah). Di bawah hadits ahad itu terhimpun tiga jenis hadits: masyhur, 'aziz, dan gharib. Jadi, apabila termasuk ahad, sebuah hadits tidak langsung berarti diriwayatkan oleh satu orang perawi saja.
Para ulama sepakat bahwa kedudukan hadits ahad sebagai hujjah harus diamalkan. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat terhadap simpulan yang dihasilkan hadits ini. Para ahli fikih dan mayoritas ahli hadits berpandangan bahwa hadits ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang berintegritas baik adalah hujjah yang harus diamalkan dalam masalah agama, tetapi tiak memberikan simpulan yang bersifat pasti (ilmul yaqin). Sebagian ahli hadits, seperti Imam Ahmad bin Hambal, bersimpulan bahwa hadits ahad juga memberi simpulan yang bersifat pasti. Pendapat ini juga disebutkan dari Imam Malik. (Ibnu Hazm al-Andalusi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Tahqiq Ahmad Syakir, Dar al-'Afaq al-Jadidah, Beirut, cet. pertama, tahun 1400 H, juz 1, hlm. 119; Rif'at Fauzi, Tautsiq as-Sunnah, hlm. 89).
Apa pun persoalannya, dapat dikatakan bahwa hadits ahad menurut ulama adalah dapat dipercaya. Ia dirujuk dalam menentukan halal dan haram dan mereka menggolongkannya sebagai salah satu sumber syariat.
Pada abad kedua Hijriah muncul segelintir orang yang berbeda pendapat dari ijma (kesepakatan) umat dan mengingkari kedudukan hadits ahad. Sebagian lagi bersikap berlebih-lebihan sampai tingkat mengingkari kedudukan hadits-hadits mutawatir. Al-Baghdadi menjelaskan dalam bukunya Al-Farq Baina al-Firaq bahwa mereka itu adalah kaum Mu'tazilah. Ia berkata, "Sesungguhnya An-Nazzham (230 H) berkata bahwa hadits mutawatir meskipun diriwayatkan oleh banyak perawi bisa saja terdapat kedustaan di dalamnya." Abdul Qadir bin Thahir al-Baghdadi (429 H), Al-Farqu Baina al-Firaq, tahqiq Muhammad Muhyiddin, Dar al-Ma'rifah, hlm. 132, 143, dan 144).
Ibnu Hazm menguatkan perkataan Al-Baghdadi, "Seluruh kaum Muslimin menerima hadits ahad yang diriwayatkan perawi yang bisa dipercaya dari Nabi saw. Hal ini terus berlangsung dan diterima oleh berbagai kalangan, seperti Ahluss Sunnah, Khawarij, Syi'ah, dan Qadariyah sehingga muncullah para ulama Mu'tazilah setelah berlalu satu abad. Maka, mereka menyalahi ijma dalam masalah ini." (Ibnu Hazm al-Andalusi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Tahqiq Ahmad Syakir, Dar al-'Afaq al-Jadidah, Beirut, cet. pertama, tahun 1400 H, juz 1, hlm. 114).
Dari sisi lain, Harun mengklaim bahwa yang disepakati kehujjahannya hanya hadits mutawatir, sedangkan hadits masyhur dan ahad kedudukannya dipertentangkan. Ia menulis, "Yang disepakati semua golongan umat Islam untuk dapat dipakai sebagai sumber hukum adalah hadits mutawatir. Hadits masyhur dan ahad ada yang mau menerimanya dan ada pula yang tidak mau menerimanya, golongan Mu'tazilah umpamanya." (Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Penerbit UI Press, cet. kelima, 1985, jilid 2, hlm. 25).
Kita katakan bahwa tuduhan ini sebenarnya bukan hal baru. Seperti kita ketahui, tuduhan ini sudah muncul sejak lama. Imam Syafi'i telah berhadapan dengan pendukung pendapat ini pada abad kedua Hijriah, berdebat langsung dengan orang-orang yang mengingkari kedudukan hujjah hadits ahad dan membantah mereka dengan argumentasi ilmiah, baik bersifat naql dari Al-Qur'an dan sunnah maupun akal.
Perdebatan ini terdokumentasikan dalam bukunya, Ar-Risalah. Sayangnya, Imam Syafi'i tidak menyebutkan identitas orang yang didebatnya, dan dari kelompok mana mereka berasal. Namun, beliau menyebutkan bahwa mereka tinggal di Bashrah, dan kebanyakan para ahli ilmu kalam itu, termasuk di dalamnya Mu'tazilah, saat itu berada di Bashrah.
Di tempat lain, Al-Hafidz al-Hazimi mengungkapkan bahwa orang yang mengingkari adalah kaum Mu'tazilah, dengan menegaskan bahwa hal ini dimaksudkan untuk menghancurkan hukum karena kebanyakan hukum syariat ditetapkan berdasarkan hadits-hadits ahad. Jika berargumentasi dengan hadits-hadits ahad itu dianggap tidak sah, dengan sendirinya hukum-hukum syariat dianggap tidak sah pula. Al-Hazimi berkata, "Saya tidak pernah mendengar seorang pun dari firqah (aliran) Islam yang mempersoalkan keberadaan hadits ahad, kecuali kalangan Mu'tazilah. Mereka menganalogikan (menyamakan hukum) riwayat dengan kesaksian ...." Sasaran mereka adalah meruntuhkan hukum-hukum syariat, seperti dikatakan Abu Hatim bin Hibban." (Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimi, Syuruth al-A'immah al-Khamsah, komentar Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari, Maktabah al-Qudsi, Kairo, 1357 H, hlm. 47).
Imam Syafi'i yang bergelar "Nashir as-Sunnah" (Pembela Sunnah) mengemukakan beberapa dalil yang menunjukkan bahwa hadits ahad adalah hujjah dan menantang para pengingkarnya. Beberapa pembelaannya antara lain sebagai berikut.
1. Abdullah bin Mas'ud r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, "Semoga Allah mencerahkan wajah hamba-Nya yang mendengar sabdaku, menghafal, memahami, dan menyampaikannya. Bisa saja orang yang meriwayatkan tidak paham apa yang diriwayatkannya, mungkin saja orang yang mendengar lebih paham dari perawi yang meriwayatkannya."
Imam Syafi'i menjelaskan segi argumentasi hadits ini, "Rasulullah saw. memotivasi seseorang untuk mendengar, menghafal, dan menyampaikan sabdanya. Kata "seseorang" di sini artinya satu. Ini menunjukkan bahwa Nabi memerintahkan satu orang untuk menyampaikan apa yang terkait dengan halal, haram, hukuman yang harus dilaksanakan, harta yang harus diambil dan diberikan, dan nasihat soal agama dan dunia. Berarti, berita dari satu orang adalah hujjah." (Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi'i (150-204 H), Ar-Risalah, tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hlm. 402-403).
2. Diriwayatkan dari Abu Rafi' bahwa Nabi saw. bersabda, "Aku tidak sekali-kali mendapat salah seorang dari kalian yang duduk di atas tempat duduknya, lalu datang urusanku yang berkaitan dengan yang aku larang atau aku perintahkan, lalu ia berkata, 'Kami tidak tahu. Apa yang kami dapati dalam kitab Allah itulah yang kami ikuti'." (R Al-Hakim).
Argumentasi hadits, seperti disebutkan Imam Syafi'i, adalah "Bahwa berita dari Rasulullah saw. harus dilaksanakan, meskipun mereka tidak menemukan nsh dalam kitab Allah." (Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi'i (150-204 H), Ar-Risalah, tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hlm. 404).
3. Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., ia berkata, "Ketika orang berada di Quba' untuk melaksanakan shalat shubuh, seseorang datang dan berkata, 'Sesungguhnya telah turun ayat Al-Qur'an kepada Rasulullah saw., dan ia diperintahkan untuk menghadap kiblat ke Kakbah. Mereka lalu menghadap Kakbah, padahal sebelumnya menghadap ke Syam, lalu mereka memutar badan menghadap Kakbah'." (Al-Muwaththa', Kitab Al-Qiblat, Bab Ma Ja'a fil Qiblah, juz 1, hlm. 195, no. hadits 6).
Sisi argumentasi kisah ini, penduduk Quba menghadap ke kibat yang telah ditetapkan oleh Allah, dan mereka tidak meninggalkan kewajiban ini, hingga terdapat hujjah (dalil). Ketika pembawa berita tentang perubahan kiblat, mereka tidak menunggu hingga Rasulullah saw. datang untuk menguatkan berita ini. Mereka juga tidak bersikap tawaquf (abstain) terhadap keshahihan berita tersebut hingga tersebar luas di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi, mereka segera menghadap ke Kakbah dengan alasan hadits yang dibawa satu orang, dan Rasulullah saw. tidak mengingkari sikap mereka. Jika hadits ahad yang mereka amalkan itu tidak dapat dijadikan hujjah, insya Allah mereka akan berkata, "Kalian sudah menghadap kiblat. Kalian tidak boleh meninggalkannya, kecuali telah mengetahui betul hingga dapat dijadikan hujjah dari pendengaran kalian dariku, atau berita umum, atau lebih dari berita satu orang dariku." (Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi'i (150-204 H), Ar-Risalah, tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hlm. 408). Akan tetapi, hal itu tidak terjadi. Sangat banyak nash-nash sunnah yang disampaikan Imam Syafi'i. Semuanya tegas menunjukkan bahwa hadits ahad dapat dijadikan hujjah jika pembawa berita memiliki integritas yang baik.
Selain itu, dalam Al-Qur'an juga terdapat hujjah terhadap ajaran yang dibawa oleh seorang rasul. Meski demikian, sebagai tambahan dalam menguatkan hujjah terhadap kaum yang diutus pada mereka para rasul, kadang-kadang Allah mengutus lebih dari seorang rasul. Allah berfirman (yang artinya), "Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, yaitu penduduk suatu negeri ketika utusan-utusan datang kepada mereka, yaitu ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan denan (utusan) yang ketiga, maka ketiga utusan itu berkata, 'Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu'." (Yasin: 13-14).
Imam Syafi'i mengomentari penjelasan tersebut di atas, "Tampaknya, argumentasi bagi mereka adalah dengan dua orang kemudian tiga, dan barulah hujjah dapat ditetapkan terhadap seluruh umat oleh satu orang, dan bukanlah tambahan itu sebagai penghalang untuk dijadikannya hujjah dengan berita yang dibawa oleh satu orang." (Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi'i (150-204 H), Ar-Risalah, tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hlm. 432-438; Rif'at Fauzi, Kutub as-Sunnah, Dirasah Tautsiqiyah, Maktabah al-Khanji, Kairo, cet. pertama, tahun 1399 H, hlm. 100).
Dari sini, jelaslah bagi kita bahwa hadits ahad adalah hujjah dan harus diamalkan. Umat Islam telah sepakat akan hal ini. Adapun pengingkaran kaum Mu'tazilah seperti disebutkan Harun tidak diperhitungkan dan tidak bisa dijadikan cacat yang merusak ijma. Alasannya, mereka menyimpang dari garis besar Islam, selain tidak memiliki argumentasi yang kuat.
Dari segi lain, Mu'tazilah telah mengingkari sunnah secara keseluruhan, termasuk di dalamnya hadits-hadits mutawatir. Ini tidak seperti dugaan Harun bahwa mereka hanya mengingkari hadits ahad dan masyhur.
Dengan demikian, jelaslah bahwa berbagai tuduhan yang dilemparkan oleh Harun Nasution seputar hadits sama sekali tidak punya basis argumentasi yang kuat. Semua itu dibangun oleh dugaan dan merupakan pengulangan terhadap pernyataan orientalis tanpa sikap kritis.

Salah Paham terhadap Hadits tentang Wanita, Keledai, dan Anjing Memutuskan Shalat




Seorang wanita Indonesia bernama Wardah Hafidz menuduh sebuah hadits yang menceritakan tentang wanita, keledai, dan anjing sebagai hadits lemah. Sebelum dipaparkan apa yang menjadi pendapat Wardah Hafidz, ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu siapakah dia. Wardah Hafidz adalah seorang peneliti wanita Indonesia, meraih gelar master dalam sosiologi dari Universitas Indiana, Amerika. Tampaknya ia tidak memiliki latar belakang ilmu-ilmu keislaman yang memadai. Ia tergolong salah seorang yang paling keras menyerang fenomena-fenomena Islam yang berkembang di tengah mahasiswi-mahasiswi Muslimah di Indonesia. Ungkapan kata-katanya terkesan kasar, kurang etis, dan tidak menghargai pendapat orang yang berbeda dengannya sehingga meruntuhkan nilai tulisan-tulisannya dari standar-standar penelitian ilmiah. Makalahnya tersebut dimuat dalam jurnal Ulumul Qur'an, no. 3, vol. 4, tahun 1993. Wardah Hafidz menulis makalah berjudul "Misogyny dalam Fundamentalisme Islam". Ia mengungkapkan kegerahannya melihat fenomena perkembangan Islam di Indonesia yang ditandai, misalnya, dengan tersebarnya jilbab di kalangan kaum remaja, pelajar, dan mahasiswi. Tampaknya, Wardah, seperti umumnya kaum perempuan, telah terpengaruh kebudayaan Barat yang mengajak perempuan menanggalkan jilbabnya, pergaulan dan kebebasan dari seluruh ikatan agama dan tradisi Islam. Wardah merasa gerah melihat tradisi ber-Islam yang tumbuh sangat cepat ini di kalangan remaja muslim.
Wardah menuduh pakaian muslimah yang saat ini banyak tersebar merupakan simbol fundamentalisme Islam. Ia menganggapnya sebagai kemunduran dibanding tahun 50-an, ketika perempuan Indonesia memakai pakaian tradisional kebaya yang digambarkan sebagai pakaian sempit dan tipis dengan selendang di kepala tanpa harus menutup kepala dan lehernya. Saat ini perempuan justru berpakaian longgar dan menutup seluruh badannya dengan berjilbab yang menutup kepala dan dada dengan rapat.
Selanjutnya, ia menuding bahwa ada beberapa hadits yang menghina perempuan dan menganggapnya sebagai hadits lemah. Ia menulis sebagai berikut. "Namun, sampai Nabi wafat, pengaruh budaya Arabia pra-Islam yang misoginik--ditunjukkan oleh kebiasaan membunuh bayi perempuan sebagai barang warisan--ternyata masih sangat kuat. Hadits-hadits dha'if berikut menggambarkan hal itu. 1. Dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Nabi bersabda, 'Jika anjing, keledai, dan perempuan melintas di depan seseorang yang sedang bersembahyang sehingga menghalanginya dari kiblat, maka batallah sembahyangnya.' 2. Abdullah bin Umar (anak Umar bin Al-Khattab, khalifah kedua) mendengar Nabi berkata, 'Saya memandang surga, dan saya lihat bahwa mayoritas penghuninya adalah orang-orang miskin. Saya memandang neraka dan saya melihat bahwa mayoritas penghuninya adalah perempuan.'." (Wardah Hafidz, "Misogyny dalam Fundamentalisme Islam", Dimuat di Ulumul Qur'an, no. 3, vol. 4, tahun 1993).
Pernyataan Wardah tersebut di atas perlu kita koreksi. Pertama, hadits pertama yang dianggap Wardah sebagai hadits lemah yang benar adalah sebagai berikut. Abu Hurairah r.a. meriwayatkan, Rasulullah saw. bersabda, "Shalat itu terputus oleh wanita, keledai, dan anjing. Dan tinggallah hal itu seperti seukuran ekor kendaraan." (Shahih Muslim, juz 1, hlm. 366, no. hadits 266).
Dari segi sanad, keshahihan hadits ini tidak lagi diragukan, karena diriwayatkan oleh Imam Muslim. Tuduhan bahwa hadits ini lemah tanpa menjelaskan illat (cacatnya) tidak dapat diterima karena tidak menyertakan bukti.
Pengertian hadits yang membuat Wardah berkesimpulan bahwa hadits ini dha'if dan menghina perempuan sebenarnya tidak seperti yang ia pahami. Bagi orang yang membaca hadits dan mengambil kesimpulan dari redaksinya secara tekstual tanpa menyimak keterangan para ahli fikih tentang hadits itu, mungkin saja terjebak pada kesimpulan ini. Peluang ini menjadi lebih besar bagi mereka yang menyimpan sakit hati dan kebencian dalam memahami agama ini. Mereka mengintai celah dalan ajaran Islam untuk membesar-besarkannya sebagai cacat. Mereka menggunakannya sebagai jalan untuk memuluskan skenario menghancurkan Islam.
Sebaliknya, orang yang membacanya dengan teliti dan dengan hati yang bersih dari prasangka serta mempelajari pandangan para ulama tentang hadits ini, ia akan mampu memahami hadits ini dengan benar.
Wardah bukanlah orang pertama yang mengkritik hadits ini, karena makna harfiahnya seolah menyamakan perrempuan dan hewan. Hadits-hadits semacam ini memang selalu diintai kaum sekuler dan musuh-musuh Islam untuk dijadikan senjata menyerang Islam.
Sebenarnya Aisyah sudah melakukan konfirmasi empat belas abad lalu. Urwah bin Zubair mengisahkan konfirmasi Aisyah ini ketika ia meriwayatkan dari beliau. "Apa saja yang dapat memutuskan shalat seseorang?" Kami menjawab, "Perempuan dan keledai." Ia mempertanyakan, "Jadi, kalau begitu, perempuan adalah binatang buruk. Tahukah kalian bahwa aku pernah berbaring melintang di hadapan Rasul saw. seperti melintangnya jenazah dan beliau sedang shalat?" (Shahih Bukhari, juz 1, hlm. 179, no. hadits 514; Shahih Muslim, juz 1, hlm. 366, no. hadits 514; Shahih Muslim, juz 1, hlm. 366, no. hadits 269).
Dalam riwayat lain kritiknya tampak lebih jelas, "Kalian telah menyamakan kami dengan keledai dan anjing. Demi Allah, aku telah melihat Rasulullah saw. shalat dan aku berbaring di atas tempat tidur, posisiku adalah di antara beliau dan kiblat."
Hal ini membuat Aisyah r.a. tidak memakai hadits ini karena menurutnya bertentangan dengan hadits yang lebih kuat dari hadits Abu Hurairah yang terdahulu, khususnya ia sendiri yang mengalami peristiwa itu. Imam Nawawi berkata, "Aisyah dan para ulama sesudahnya berargumentasi bahwa wanita tidak termasuk faktor yang memutuskan shalat seorng lelaki. Hadits ini menunjukkan bolehnya seseorang shalat dan ketika ada wanita lewat di depannya." (An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 4, hlm. 475).
Perbedaan antara kedua hadits ini menyebabkan para ulama berbeda pendapat terhadap masalah ini. Sebagian mereka mengambil hadits Abu Hurairah; sebagian lagi mengambil pendapat Aisyah. Imam Nawawi berkata, "Para ulama berbeda pendapat seputar hadits ini. Sebagian mereka berpendapat bahwa shalat terputus oleh wanita, keledai, dan anjing." (An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 4, hlm. 473).
Mayoritas ulama memandang hal ini tidak membatalkan shalat. Dalam kitab Syarah Shahih Muslim disebutkan, "Malik, Abu Hanifah, Syafi'i r.a., dan mayoritas ulama dari kalangan salaf (terdahulu) dan khalaf (belakangan) berpendapat bahwa shalat tidak batal karena melintasnya salah satu dari ketiga faktor di atas, ataupun yang lainnya. Mereka menginterpretasikan bahwa makna "terputus" dalam h adits adalah kurangnya nilai shalat karena hati sibuk dengan hal ini, dan tidak berarti membatalkannya." (An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 4, hlm. 474).
Terdapat pendapat lain, yaitu bahwa hukum ini dihapuskan. Imam Nawawi berkata, "Sebagian mereka berpendapat bahwa hadits ini dinaskh (dihapus) oleh hadits lain, yaitu 'Shalat seseorang tidak terputus oleh sesuatu apa pun, dan hidarilah sekuat tenaga kalian.' Ini tidak dapat diterima karena naskh hanya digunakan bila hadits-hadits yang ada tidak bisa ditafsirkan atau dikompromikan. Selain itu, hadits 'Shalat seseorang tidak terputus oleh sesuatu' adalah lemah." (An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 4, hlm. 474).
Sebagian ulama memandang makruh shalat menghadap wanita, kecuali Nabi saw. karena khawatir menjadi fitnah dan menyibukkan hati dengan memandangnya. Khusus bagi Nabi saw., beliau terbebas dari hal-hal seperti ini. Hal lainnya, bahwa shalat beliau berlangsung malam hari dan dalam suasana gelap karena rumah masa itu tidak mempunyai lampu. (An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 4, hlm. 475).
Dengan demikian, tampak pengertian hadits ini, sesuai sikap mayoritas ulama, bahwa maksud "putus" di sini bukan batal, tetapi kurangnya nilai shalat karena pikiran yang terganggu. Tidak pantas kita terburu-buru melemahkan satu hadits karena bertentangan dengan perasaan dan keinginan kita atau menuduhnya menghina perempuan seperti dilakukan Wardah Hafidz.
Kedua, hadits kedua yang ditolak Wardah yang dianggapnya mengandung kebencian terhadap perempuan dan dituduhnya lemah adalah riwayat Ibnu Abbas r.a., bukan Abdullah bin Umar, seperti dikutip Wardah. Hal ini lagi-lagi menunjukkan Wardah keliru dan gegabah. Rasulullah saw. bersabda, "Aku menengok surga, maka aku melihat kebanyakan penghuninya adalah kaum fakir. Kemudian aku menengok neraka, maka kulihat kebanyakan penghuninya adalah kaum perempuan." (Shahih Muslim, Kitab Az-Zikr wad-Du'a wat-Taubah wal-Istighfar, Bab Aktsar Ahlil Jannah al-Fuqara', wa Aktsar Ahlin Nar an-Nisa', juz 4, hlm. 2096, no. hadits 2.736; Sunan Tirmidzi, Kitab Shifat Jahannam, Bab Ma Ja'a anna Aktsar Ahlin Nar an-Nisa', juz 4, hlm. 715, no. hadits 2.602; Musnad Ahmad, juz 1, hlm. 234, 359, dan juz 4, hlm. 429).
Sebenarnya, hadits ini juga diriwayatkan melalui jalur lain, yaitu Imran bin Hushain. Ia mengakatan, Rasulullah saw. bersabda, "Aku menengok ke neraka, maka kulihat kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita. Kemudian aku menengok ke surga, maka kulihat mayoritas penghuninya adalah kaum miskin." (Shahih Bukhari, Kitab Bad'i al-Khalq, Bab Ma Ja'a fi Shifah al-Jannah, juz 2, hlm. 431, no. hadits 3.241; Kitab An-Nikah, Bab Kufran al-'Asyir, juz 3, hlm. 388, no. hadits 5198; Kitab Ar-Riqaq, Bab Fadhl al-Faqr, juz 4, hlm. 182, no. hadits 6.449; Bab Shifah al-Jannah wan-Nar, no. hadits 6546; Sunan Tirmidzi, juz 4, hlm. 716, no. hadits 2.603. Berkata Abu Isa, hadits ini adalah hasan shahih; Musnad Ahmad, juz 4, hlm. 429).
Berarti, hadits ini diriwayatkan melalui dua jalur. Pertama, jalur melalui Imran bin Hushain, dan kedua melalui Abdullah bin Abbas r.a. Adapun jalur pertama, juga diriwayatkan dari dua jalur lain. Pertama melalui Abu Raja' al-Atharidi dari Imran; kedua, melalui Mutharrif dari Imran.
Jalur Ibnu Abbas diriwayatkan dari Abu Raja' al-Utharidi dari Ibnu Abbas dan dimuat oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab shahih mereka, seperti halnya Imam Ahmad dalam musnadnya.
Riwayat lain yang menegaskan makna hadits itu, di antaranya, adalah riwayat Abdullah bin Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Aku melihat surga. Lalu aku memakan setangkai buah-buahannya. Jika kalian mendapatinya, maka kalian akan memakannya selama dunia masih ada. Aku diperlihatkan neraka, maka aku tidak melihat pemandangan yang lebih buruk dari hari itu. Aku melihat kebanyakan penduduknya adalah wanita." Para sahabat bertanya, "Karena apa, wahai Rasulullah?" Rasulullah saw. menjawab, "Karena kekufurannya." Beliau ditannya, "Apakah mereka kafir terhadap Allah?" Rasulullah saw. menjawab, "Mereka mengingkari suami dan mengingkari kebaikan. Jika kalian berbuat baik kepadanya selama setahun penuh, lalu ia melihat darimu sesuatu (keburukan) satu kali, ia akan berkata, "Aku tidak melihat kebaikanmu sama sekali." (Shahih Bukhari, Kitab Al-Kusuf, Bab Shalat al-Kusuf Jama'atan, juz 1, hlm. 331-332, no. hadits 1.052).
Terdapat hadits lain yang diriwayatkan Abu Sa'id al-khudri, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, "Wahai sekalian wanita, bersedekahlah, karena aku diperlihatkan bahwa kaum kalian adalah kebanyakan penghuni neraka." Mereka bertanya, "Karena apa, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Kalian sering sekali melaknat dan mendurhakai suami. Aku tidak melihat kekurangan akal dan agama yang hilang dari otak pria yang kokoh dari salah seorang kalian." Mereka bertanya, "Dan apakah kekurangan agama dan akal kami, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Bukankah kesaksian seorang perempuan setengah dari kesaksian seorang pria?" Mereka menjawab, "Betul." Beliau berkata, "Itulah kekurangan akalnya. Bukankah jika haidh, ia tidak shalat dan puasa?" Mereka menjawab, "Betul." "Itulah kekurangan agamanya." (Shahih Bukhari, Kitab Tarku al-Haidh ash-Shaum, juz 1 hlm. 115, no. hadits 304)
Jelaslah di sini bahwa hadits ini shahih dan tidak perlu diragukan lagi.
Jika memahami hadits ini dengan paradigma Barat, kita bisa salah paham, seperti yang dialami kaum sekuler. Tuduhan bahwa Islam membenci dan menghina wanita dilatari oleh pemahaman bahwa hadits ini bertentangan dengan akal mereka. Alasannya, bagaimana mungkin kita menghukumi kaum wanita bahwa mereka adalah penghuni terbanyak neraka, padahal mereka diciptakan seperti yang lainnya tanpa dosa? Tetapi, tidak demikian adanya. Hadits tersebut haruslah dipahami dengan baik, hati-hati, sembari mengumpulkan riwayat-riwayat yang semakna agar dapat dipahami dengan baik. Seperti disebutkan Ustadz Abdul Halim Abu Syuqqah, kita perlu merenungkan hadits dengan mengacu pada dua hal berikut.
Pertama, apakah makna yang terkandung dalam hadits ini? Apakah kebanyakan penduduk neraka adalah perempuan dikarenakan naluri kejahatan mereka yang lebih dominan daripada laki-laki? Jika benar demikian, seharusnya mereka tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan jahatnya. Kenyataanya, hadits menegaskan bahwa mereka bertanggung jawab dan dihukum berdasarkan perbuatan mendurhakai suami dan mengingkari kebaikannya.
Ada benarnya apa yang dikatakan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar, "Terdapat banyak bukti dalam hadits Jabir yang menunjukkan bahwa perempuan yang dilihat di neraka adalah perempuan yang memiliki sifat-sifat tercela seperti yang telah disebut. Lafaznya, 'Kebanyakan yang aku lihat di dalamnya adalah perempuan-perempuan yang berkhianat jika diberi amanah, pelit jika dimintai, ngotot jika meminta, dan tidak berterima kasih jika diberi'." (Dinukil dari Abu Syuqqah, Tahrir al-Mar'ah fi 'Ashr al-Risalah [Kuwait: Dar al-Qalam, 1410 H], cet. pertama, juz 1, hlm. 273).
Ini masih terkait dengan potongan kedua hadits tersebut, ketika Rasulullah saw. bersabda, "Aku melihat surga, maka aku melihat kebanyakan penghuninya adalah kaum fakir." Mengapa sedikit jumlah orang kaya? Ini disebabkan oleh perbuatan mereka sendiri dengan mencari harta haram, atau membelanjakannya pada yang haram, kikir, dan tidak mempergunakannya dalam kebaikan. (Abu Syuqqah, Tahrir al-Mar'ah fi 'Ashr al-Risalah [Kuwait: Dar al-Qalam, 1410 H], cet. pertama, juz 1, hlm. 273-274).
Kedua, apa manfaat atau pelajaran yang dapat kita petik--sebagai kaum muslimin, baik pria maupun wanita-- dari hadits ini? Bagaimana perempuan melindungi dirinya dari api neraka? Mereka dapat melindungi diri dengan tidak mendurhakai suami. Bagaimana mereka menghindari sikap itu? Yaitu, melalui pembinaan takwa dan ketaatan kepada Allah dapat membersihkan hati mereka, kemudian mengingat sabda Rasulullah saw. ketika mereka digoda oleh syaithan. Jika mereka dikalahkan dan jatuh dalam kemaksiatan, mereka harus meminta ampun dan bersedekah seperti diajarkan Rasulullah saw. (Abu Syuqqah, Tahrir al-Mar'ah fi 'Ashr al-Risalah [Kuwait: Dar al-Qalam, 1410 H], cet. pertama, juz 1, hlm. 273-274).
Dengan demikian, jelaslah makna yang benar dari kedua hadits ini. Tidak seperti dugaan Wardah Hafidz bahwa hadits ini merupakan penghinaan dan pelecehan terhadap perempuan. Sama sekali tidak. Islam yang memuliakan wanita--tidak seperti umat-umat sebelumnya--mustahil berisi ajaran yang menghina dan merendahkannya.
Segala kaum sekuler melemahkan hadits-hadits, dengan mencela dan meragukannya tanpa bukti termasuk skenario menghancurkan sunnah. Hal ini dilakukan karena sunnah merupakan sumber kedua Islam, yang memuat penjelasan dan keterangan apa yang terdapat dalam Al-Qur'an. Jika Al-Qur'an tidak memiliki penjelasan atau dasar memahaminya, mereka menafsirkan ayat-ayat ini sekehendak hati mereka.