Prof. Muhammad abu zahrah
PENDAHULUAN
Difinisi ilmu ushul fiqh
Ada istilah-istilah yang perlu diketahui:
1. Ushul
Jama' dari ashl secara bahasa yaitu dasar
[fundamen] yang diatasnya dibangun sesuatu. Istilah adalah dasar yang di
jadikan pijakan oleh ilmu fiqh.
2. Fiqh
Bahasa adalah pemahaman yang mendalam
tentang tujuan suatu ucapan dan perbuatan. Istilah yaitu pengetahuan tentang
hokum-hukum syara' mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil
yang terinci [mendetail].
Pembahasan ilmu fiqh ada dua macam:
a) Pengetahuan tentang
hukum-hukum syara' mengenai perbuatan manusia yang praktis. Seperti keimanan
kepada Allahk, Rasul dan lain-lain. Semuanya ini tidak termasuk dalam
pengertian fiqh secara istilah.
b) Pengetahuan
dalil-dalil yang terinci [mendetail] pada setiap permasalahan.
Sebagai kesimpulan bahwa pemahaman ilmu
fiqh adalah hokum yang terinci pada setipa perbuatan manusia, baik halal,
haram, makruh atau wajib beserta beserata dalilnya masing-masing.
3. Ushul fiqh
Ilmu ushul figh secara bahasa adalah
terdiri dari mudhaf [ushul] dan mudhaf alaih [fiqh]. Istilah yaitu
kaidah-kaidah yang yang menjelaskan tentang cara [methode] pengambilan
hokum-hukum yan berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar'i.
Kesimpulan perbedaan antara fiqh dan ushul fiqh
Bahwa ushul fiqh merupakan methode [cara] yang harus
ditempuh oleh ahli fiqh [faqih] didalam menetapkan hukum syara' berdasarkan
dalil-dalil syar'i, serta mengklasifikasikan dalil-dalil tersebut berdasarkan
kualitasnya. Sedangkan fiqh adalah hasil hokum-hukum syar'I berdasarkan
methode-methode tersebut.
Hubungan ushul fiqh dengan fiqh
Hubungan ushul fiqh dengan fiqh adalah seperti
hubungan ilmu mantiq [logika] dengan filsafat atau hubungan ilmu nahwu dengan
bahasa arab, dimana ilmu nahwu merupakan gramatika yang menghindarkan kesalahan
seseorang dalam menulis dan mengucapkan bahasa Arab.
Dengan demikian ushul fiqh adalah merupakan kaidah
yang memelihara fuqaha' agar tidak terjadi kesalahan didalam mengistinbatkan
[menggali] hukum. Fungsi yang lain ushul fiqh adalah membedakan antara
istinbath yang benar dengan yang salah.
Obyek pembahasan ushul fiqh dan fiqh
1. Fiqh, yaitu hukum yang
berhubungan dengan perbuatan manusia beserta dalil-dalilnya yang terinci.
2. Ushul fiqh, yaitu
segala sesuatu yang berhubungan dengan methodologi yang digunakan oleh ahli
fiqh didalam menggali hokum syara' sehingga ia tidak keluar dari jalur yang
benar.
Perbedaan antara qawa'id fiqhiyyah dengan ushul fiqh
- Ushul fiqh
Adalah kaidah-kaidah yang yang menjelaskan tentang cara [methode]
pengambilan hokum-hukum yan berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil
syar'i.
- Qawa'id fiqhiyyah
Adalah kaidah ataiu teori yang diambil dari atau menghimpun
masalah-masalah fiqh yang bermacam-macam sebagai hasil ijtihad para mujtahid.
Imam syafi'i penyusun ilmu ushul fiqh
Ilmu ushul fiqh memang telah ada sejak zaman sahabat,
tabiin tetapi, belum dibukukan. Imam syafi'I adalah orang yang paling berhak
disebut sebagai orang yang pertama kali membukukan ilmu ushul fiqh. Karena
belum ada orang yang menulis ushul fiqh sebelum beliau, walaupun banyak
diantara para ulama' yang telah menyampaikannya kepada para muridnya tetapi
belum terbukukan.
Pengakuan syi'ah imamiyah bahwa yang pertama kali
membukukan ilmu ushul fiqh adalah muhammad al-Baqir bin Ali ibnu Zainal Abidin
dan diikuti putranya yang bernama Imam Abu Abdillah Ja'far asy-shadik.
Pengakuan ini dibantah karena mereka cuma menyampaikannya kepada para muridnya
dan belum membukukannya.
Ilmu ushul fiqh sesudah Iman syafi'i
Imam syafi'I telah mengarang beberapa kitab, yaitu
ar-Risalah Jima'ul ulum dan Ibthalul istihsan. Imam Syafi'I v memproklamirkan
madzhabnya di Irak dan Mesir beliau telah menyusun kaidah-kaidah ushul fiqh ini
dan telah mempraktekkannya.
Meskipun semua ahli fiqh telah mempelajari dan
meneliti ushul fiqh yang telah disusun oleh imam Syafi'I, tetapi setelah
periode imam syafi'I, mereka berbeda pangan sebagai berikut:
1. Diantara mereaka ada
yang memberi penjelasan [syarah] terhadap ushul fiqh imam syafi'I dengan
merinci kaidah-kaidah yang masih global
2. Sebagian yang lain ada
yang mengambil sebagian besar kaidah-kaidah ushuk fiqh yang telah ditetapkan
imam syafi'I dan tidak menyetujui bagian yang lain, sambil menambah
kaidah-kaidah yang lain
Methode ushul fiqh imam syafi'I paling dekat dengan
ushul fiqhnya madzhab hanafi, sedang methode ushul fiqh madzhab hanbali paling
dekat dengan methodenya madzhab maliki.
Setelah madzhab madzhab fiqh menajdi baku, kajian para fuqaha' terhadap ushul fiqh
menjadi dua aliran:
- Aliran teorotis, yang terlepas dari permasalahan yang terdapat dalam berbagai madzab. Alairan ini hanya menetapkan kaidah-kaidah tanpa bertujuan untu menguatkan atau membatalkan pratek-pratek berbagai madzhab.
- Aliran pratis, yang bertujuan untuk memberian legimitasi terhadap hasil-hasil ijtihad terhadap masalah-msalah furu'. Artinya setiap ulama' madzhab berijtihad untuk memberikan legimitasai terhadap masalah-masalah fiqh yang telah ditetapkanoleh ulama' madzhab yang mendahuluinya, dengan menyebutkan kaidah-aidah yang menguatkan madzhabnya.
Obyek pembahasan ilmu fiqh ada empat bagian:
- Hukum syara'
- al-Hakim (yang menetapkan hokum), yaitu Allahk
- Mahkum fih (obyek hokum atau yang dihukumi), yaitu perbuatan orang mukallaf
- Mahkum 'alaih (subyek hokum atau yang menaggung hokum), yaitu para muallaf [orang yang dibebani hukum].
HUKUM SYARA'
Hukum syara' terbagi menjadi dua macam:
- Taklifi
Yaitu hukum yang menjelaskan tentang
perintah, larangan dan pilihan untuk menerjakan sesuatu atau meninggalkannya.
Menurut jumhur terbagi lagi menjadi lima,
yaitu wajib, haram, makruh, mandub dan mubah.
Menurut madzhab hanafi terbagi menjadi 7,
yaitu fardhu, wajib, mandub, makruh tahrim, makruh tanzih, haram dan mubah.
- Wadh'i
Yaitu hukum yang menjelaskan hubungan
antara dua hal, dimana yang satu merupakan sebab, syarat tau mani' bagi yang
lain.
Wajib
Nama lain wajib, yaitu fardhu, mahtun dan lazim.
Perbedaan antara frdhu dan wajib menrut madzhab hanafi, yaitu
1. Fardhu adalah perintah
berdasaran dalil qath'I [pasti] yang tidak ada kebimbangan lagi. Orang yang
meninggalkan perbutan fardhu, maka batal amal ibadahnya. Seperti orang yang
berhaji tidak melakukan wukuf di arafah maka, batal ibadah hajinya. Ornag yang
ingkar terhadap ibadah fardhu ia kafir, seperti orang yang ingkat terhadap
kewajiban shalat dan zakat.
2. Wajib berdasarkan
dalil dhanni yang masih mengandung keraguan. Orang yang meninggalkan wajib,
ibadahnya ibadahnya masih shah. Seperti orang berhaji yang meninggalkan sa'I,
maka ibadah hainya tetap shah, karena kewajiban sa'I bukan berdsarkan dalil
qath'i. ornag yang ingkar terhadapa ibadah wajib ia tidak kufur.
Sebagian ulama' madzhab hanafi ada yang menyebut
perbuatan wajib yang pasti itu sebagai fardhu amali. Dengan demikian fardhu
terbagi menjadi dua, yaitu:
- fardhu dalam eyakinan dan perbuatan [amal], yaitu fardhu yang berdasarkan dalil qath'i.
- fardhu amali [dalam perbuatan saja], yaitu fardhu berdasarkan dalil dhanni. Dalil-dalil dhanni wajib diamalkan tetapi tidak wajib diyakini.
Pembagian wajib
- Dari segi masa pelaksanaannya, yaitu:
§ Mutlaq (bebas), yaitu
yang masa pelaksanaannya tidak dibatasi oleh waktu tertentu. Seperti membayar
kafarat sumpah yang tidak dibatasi oleh waktu tertentu atau mengqaha' puasa
ramadhan menurut madzhab hanafi tidak dibatasi waktunya, sedang madzhab syaf'I
membatsinya satu tahun.
§ Pelaksanaannya
dibatasi oleh waktu, terbagi menjadi dua, yaitu:
a) Muwassa', yaitu ibadah
wajib yang mempunyai waktu luas (panjang) yang cukup untuk melaksanakan ibadah
yang lain. Seperti waktu shalat dhuhur bisa digunakan untuk shalat-shalat yang
lainnya.
b) Mudhayyaq, yaitu
suatau iabadah wajib, dimana waktu yang di sediakan untuk melaksanakannya
sangat terbatas sehinggga tidak cukup untuk malaksanakan ibadah yang lainnya.
Seperti pausa ramadhan, dimana sepanjang hari hanya bisa digunakan untuk ibadah
ramadhan saja.
- Dari segi tertetunya tuntutan, yaitu:
J Muayyan, yaitu suatu kewajiban yang hanya
mampunyai satu tuntutan, seperti membayar hutang, zakat dan memenuhi akad.
J Mukhayyar, yaitu suatu kewajiban yang
tidak hanya mempunyai satu macam tuntutan, tetapi mempunyai dua atau tiga
alternatif yang dapat dipilih. Comtoh penguasa
diperblehkan memilih antara membebaskan tawanan perang atau menerima
tebuan mereka, contoh lain kafarah sumpah memilih memerdekakan budak, memberi
makan 10 orang miskin atau memberi pakaian kepada mereka.
- Segi kadar atau ukuran perintah
N Wajib yang mempunyai ukuran tertentu,
seperti dalam pembagian harta pusaka.
N Wajib yang tidak mempunyai uuran-ukuran
yang kongrit, seperti kadar mengusap kepala, ukuran ruku' dan sujud serta
ukuran memberi nafkah keluarga.
- Dari segi pelaksananya
@ Fardhu 'ain, yaitu suatu kewajiban yang harus
dikerjakan oleh setiap ornag mukallaf, sehingga jika ia meninggal, berdosalah
ia dan berhak disiksa.
@ Fardhu kifayah, yaitu suatu kewajiban yang hanya
menuntut terwujudnya suatu pekerjaan dari sekelompok masyarakat.
Mandub
Yaitu perbuatan yang dianjurkan oleh syari'
(Allahk) untuk dikerjakan. Atau dengan kata lain, suatu perintah yang apabila
dilaksanakan diberi pahala, dan jika ditinggalkan tidak disiksa.
Tingkatan mandub terbagi menjadi tiga macam:
- Mandub muakkadah, suatu sunnah yang dijalankan oleh Rasulullah saw secara kontinyu pada masa hidupnya dan jarang meninggalkannya. Seperti adzan, iqamah dan shalat jamaah lima waktu.
- Ghairu muakkadah, yaitu sesuatu yang dikerjakan rasulullah tidak secara kontinyu. Seperti puasa senin kamis, shalat 4 rakaat sebelum dhuhur, 4 rekaat sebelum ashar dan isya’.
- Mandub al-A’dy (yang tingkatannya lebih rendah dari dua tingkatan di atas). Yaitu amalan yang dikerjakan Rasulullah yang tidak ada hubungnnya dengan tugas tabligh atau posisi beliau sebagai manusia biasa. Seperti memakai baju putih, cara makan dan minum beliau, memelihara jenggot dan mencukur kumis. Jika hal ini kita ikuti kita mendapatkan pahala karena kita mengikuti beliau dan tidak berdosa bagi yang meningalkannya
Ada dua hal yang berkaitan dengan hukum mandub
sebagaimana di jelaskan oleh Imam asy-Syaibi di dalam kitabnya al-Muwafaqat:
a) Setiap ibadah yang
mandub yang datang dari Rasulullah saw adalah bersifat membantu, menjaga atua
menjadi perantara bagi kontiunitas iabadah fardhu. Ibadah-ibadah sunnah
berfungsi untuk menjaga ibadah-ibadah wajib, karena ibadah sunnah merupakan
latihan jiwa yang dapat mendorong melaksanakan ibadah fardhu. Barangsiapa yang
mau mengerjakan ibadah sunnah yang tidak wajib dikerjakan secara kontinyu,
pasti ia akan mau mengerjakan ibadah fardhu yang wajib dikerjakan secara
kontinyu. Sebaliknya orang yang malas mengerjakan ibadah sunnah, hal itu
menunjukkan kemalasan dalam menjalankan ibadah yang fardhu
Sehubungan dengan
hal ini, Imam asy-Syatibi mengatakan, bahwa jika engakau menganalisa secara
lebih luas ibadah sunnah, engkau akan mengetahui, bahwa ibadah sunnah itu
bersifat membantu terhadap ibadah yang fardhu. Karena ibadah sunnah itu
adakalanya mendahului atau mengingatkan kepada ibadah fardhu, baik ibadah
sunnah sejenis dengan ibadah fardhu atau tidak. Yang sejenis, misalnya shalat sunnah
dengan shalat fardhu, puasa sunnah dengan puasa fardhu, shadaqah sunnah dengan
zakat, haji yang sunnah dengan haji yang wajib dan sebagainya.
Sedang yang tidak
sejenis, misalnya membersihkan kotoran pada tubuh, pakian dan tempat shalat,
mengenakan pakaian (menutup aurat) yang berhubungan dengan ibadah shalat,
mempercepat berbuka, mengakhirkan makam sahur dan meninggalkan ucapan-ucapan
yang tidak bermanfaat, yang berhubungan dengan ibdah puasa, meskipun hal-hal
bukan termasuk ibadah fardhu, tetapi dapat mengauatkan dan mengokohkan ibadah
fardhu. Mengakhirkan sahur misalnya, dapat meringankan puasa tersebut secara
kontinyu. Karena sebaik-baik amal ibadah menurut Allah adalah yang kontinyu,
meskipun sedikit.
b) Meskipun ibadah sunnah
tidak ditekankan secara juz’I (individual), tetapi secara umum ibadah sunnah
tersebut sangat ditekankan. Sunnah muakkadah yang biasa dikerjakan oleh
Rasulullah saw secara kontinyu, atau sunnah yang beliau laksanakan secara
temporer, itu boleh oleh seseorang sewaktu-waktu, tetapi tidak boleh di
tinggalkan sama sekali. Bahkan jika mereka sepakat untuk meninggalkan adzan,
mereka semua berdosa. Demikian juga shalat jama’ah, seseorang tidak booleh
meninggalkannya seama-lamanya, karena beliau saw bersabda:
من ترك الجماعة فوق ثلاث طبع على
قلبه
“Barangsiapa yang meniggalkan shalat
jama’ah lebih dari tiga kali, maka hatinya akan tertutub (keras).
Demikian juga nikah. Meskipun nikah bagi
setiap indifidu hukumnya sunnah, tetapi secara kolektif mereka tidak boleh
meninggalkan nikah secara keseluruhan. Karena jika mereka semua tidak menikah,
maka punahlah semua umat manusia. Oleh karena itu, sebagian fuqaha’ syi’ah
berpendapat bahwa nikah hukumnya fardhu kifayah.
Dalam hal ini
Imam asy-Syatibhi berpendapat, bahwa perbuatan yang di sunnahkan secara juz’I
(satuan), secara umum (kolektif) perbutan tersebut adalah di wajibkan. Seperti
adzan di masjid-masjid jami’, shalat jama’ah, shalat idhul fitri dan idhul
adha, shadakoh sunnah, nikah, shalat witir, shalat sunnah fajar (subuh) umrah
dan shalat sunnah rawatib. Jika semua umat islam meninggalkan sunnah-sunnah
tersebut, maka mereka semua berdosa.
Bukankah adzan
itu dapat menadikan syi’ar agama islam, sehingga jika suatu penduduk desa tida
ada yang mau mengumandangkan adzan semuanya, maka boleh diperangi. Demikian
juga orang yang selalu meninggalkan shalat berjama’ah adalah berdosa dan tidak
dapat diterima persaksiannya. Rasulullah telah mengancam bagi orang yang selalu
meninggalkan shalat berjama’ah agar dibakar rumahnya. Sebagaimana rasulullah tidak
mau menyerang suatu kaum hingga masuk waktu subuh. Jika beliau telah mendengar
adzan, maka beliau berhenti dan bila tidak mendengar adzan maka beliau
mengadakan penyerangan.
Nikah juga tidak
lepas dari tujuan-tujuan syara’, yakni memperbanyak keturunan dan melestariakan
manisia. Sehingga jika manusia semuanya tidak mau menikah, maka dapat mengancam
eksistensi sjaran-ajaran agama. Tetapi jika hala tersebut berlangsung
sewaktu-waktu saja, maka hal itu tidak sampai menimbulkan bahaya bagi agama.[1]
Pandangan ini
sungguh merupakan pandangan yang benar yang menuntut berpegang teguh pada
perintah-perintah Allah secara menyeluruh, baik perintah yang pasti maupun yang
tidak pasti.
Haram
Yaitu
larangan yang pasti terhadap suatu perbutan, baik ditetapkan dengan dalil-dalil
qath'I maupun dalil dhanni.
Pembagian haram
- Haram li-dzatih,
Yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allahk
karena bahaya tersebut terdapat dalam perbuatan itu sendiri. Seperti berzina,
makam bangkai dan minum arak.
- Haram li-qhairi atau li-'aridhi
Yaitu perbuatan yang dilarang oleh syara',
dimana adanya larangan tersebut bukan terletak pada perbuatan itu sendiri,
tetapi perbutan tersebut dapat menimbulkan haram li-dhatih. Seperti melihat
aurat wanita, dapat menimbulkan perbutan zina, sedang zina diharamkan oleh
Allahk karena dhatihnya sendiri.
Perbedaaan haram li-dhatih dan haram li-ghairih
@ Haram li-dzatih apabila menyangkut akad,
maka dapat membatalkan akad tersebut dan menimbulkan cacatnya akad. Seperti
akad jual beli bangkai, babi, anjing, dan akad nikah dengan wanita yang masih
mahram, maka akad jual beli tersebut batal.
Sedang akad haram li-ghairih, dimana akad
tersebut tidak batal, seperti jula beli pada waktu adzan jum'at, akad nikah
dengan wanita yang telah di pinang orang lain dan lain-lain. Menurut jumhur
semua akad tersebut sah, hanya saja pelakunya berdosa. Menurut madzhab hanbali
dan dhahiri akad tersebut batal.
@ Haram li-dzatihi tidak diperbolehkan sama sekali,
kecuali dalam keadaan darurat (terpaksa). Alasannya, haram li-dzatihi adalah
langsung berhubungan dengan hal-hal yang sangat vital, sehingga keharaman
tersebut tidak dapat dihilangakan kecuali oleh sebab yang vital juga. Jika
meminum arak diharamkan karena merusak akal, maka khamer tidak boleh diminum
kecuali bagi yang khawatir akan mati jika tidak meminumnya.
Haram li-ghairih boleh dikerjakan bila ada
hajat, meskipun meskipun tidak sampai tingkat darurat (terpaksa). Alasannya
bahwa haram li-ghairih tidak berhubungan langsung dengan masalah yang vital dan
jika tidak dikerjakan akan menimbulkan kesulitan. Oleh karena itu bagi seorang
dokter yang akan mendiaknose pasien wanitanya, boleh melihat auratnya, apabila
untuk memberikan terapi tersebut memang mengharuskan melihat auratnya.
Makruh
Menrut fuqaha' makruh adalah suatu larangan syara'
terhadap suatu perbutan, tetapi larangan tersebut tidak bersifat pasti,
lantaran tidak ada dalil yang menunjukkan atas haramnya perbutan tersebut.
Pembagian makruh, yaitu:
N Makruh tahrim,
yaitu larangan yang pasti yang didasarkan pada dalil dhanni yang masih ada
keraguan. Seperti emakai sutra, emas bagi kaum lelaki, poligami bagi yang
khawatir tidak tidak dapat berbuat adil. Lawan dari wajib.
N Makruh tanzih, yaitu
lawan dari hukum mandub. Menurut jumhur, bahwa pelaku makruh tidak tercela,
sedang bagi yang meninggalkannya adalah terpuji. Menurut madzhab hanafi, pelaku
makruh tahrim tergolong tercela, sedang pelaku makruh tanzih tidak, dan orang
yang meninggalkan kedua makruh tadalah terpuji.
Mubah
Yaitu suatu hukum dimana dimana Allahk memberikan
kebebasan kepada mukallaf untuk memilih antara mengerjakan atau meniggalkannya.
Hukum mubah ditetapkan karena ada salah satu dari tiga
hal, yaitu:
@ Tidak berdosa bagi ornag yang megerjakan perbutan
yang diharaman, dengan ada qarinah [tanda-tanda] atas diperbolehkannya perbutan
tersebut.
$yJ¯RÎ)
tP§ym
ãNà6øn=tæ sptGøyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur
ÍÌYÏø9$#
!$tBur
¨@Ïdé&
¾ÏmÎ/ ÎötóÏ9
«!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$#
uöxî
8ø$t/ wur 7$tã
Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã
4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOÏm§ ÇÊÐÌÈ
"Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan
bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih)
disebut (nama) selain Allahk.[2]
tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [al-Baqarah: 173]
@ Tidak ada nash
atau dalil yang mennunjukkan haramnya perbutan tersebut, seperti mendengarkan
radio.
@ Ada nash (dalil) yang
menunjukan atas halalnya perbuatan tersebut seperti makan maanan yang halal.
Firman Allahk:
tPöquø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré&
|=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur
z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur
z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré&
|=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sÎ) £`èdqßJçF÷s?#uä £`èduqã_é&
tûüÏYÅÁøtèC uöxî tûüÅsÏÿ»|¡ãB wur üÉÏGãB 5b#y÷{r& 3 `tBur
öàÿõ3t Ç`»uKM}$$Î/ ôs)sù xÝÎ6ym ¼ã&é#yJtã uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ÎÅ£»sø:$#
ÇÎÈ
"Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang
baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini)
wanita yang menjaga kehormatan[3]
diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan
di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah
membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir
sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan
ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi." [al-Ma'idah: 5]
Pembagian mubah ditinjau dari segi penggunaannya
menurut Imam asy-Syatiby v :
J Mubah yang digunakan utnuk melayani suatu perntah
yang diwajibakan, yang disebut dengan mubah juz'I (temporer), tapi secara kully
(keseluruhan) diperintahkan, seperti
makan dan nikah, seseorang tidak diperbolehkan untuk meinggalkan selama-lamanya.
J Mubah yang digunakan untuk melayani suatu perbuatan
yang dilarang. Secara temprer perbutan tersebut boleh dierakan tetapi tidak
boleh dierakan terus-menerus. Seperti bergurau, mendengarkan radio dan berjima'
diperbolehkan secara temporer tetapi seseorang tidak boleh menghabiskan waktunya
hanya utuk bergurau dan mendengarkan radio.
J
Mubah yang digunakan untuk melayani perbuatan yang mubah.
J Mubah yang tidak digunakan untuk melayani apa-apa.
Menurut beiau yang keempat dan ketiga ini tiadak ada wujudnya yang nayata.[4]
Azimah dan
rukhshah
Azimah adalah hukum yang mula-mula harus dikerjakan
lantaran tidak ada sesuatu yang menghalan-halanginya atau hukum asli yang
bersifat umum, diamana semua manusia
diperintahkan untuk malaksanakannya. Hukum azimah berupa larangan.
Contoh seseorang tidak mau mengucapkan kata-kata kafir walaupun ia
dibunuh.
Rukhshah adalah suatu hukum yang dikerjakan lantaran
ada suatu sebab yang memperbolehkan untuk meninggalkan hukum yang asli atau
bukan hukum asal, bahkan ia termasuk hukum baru lantaran ada pneghalang untuk
melakukan hukum asal. Hukum rukhshah berupa keringanan.
Dalam
kondisi seseorang boleh memilih antara melaksanakan huum rukhshah atau 'azimah.
Seperti seorang musafir dalam bulan ramadhan diperbolehkan melaksanakan hukum
'azimah yaitu tetap puasa, juga diperbolehkan mengambil rukhshah yaitu berbuka
puasa.
Fakto-faktor yang menyebabkan adanya rukhshah:
N Dharurat,
seperti seseorang dalam keadaan sangat lapar dan dikuatirkan akan mengakibatkan
kematian dan ia tidak mendapatkan sesuatu kecualai bangkai, maka ia boleh
memakannya.
N Untuk
menghilangkan kesempatan dan masyaqqat (keberatan), seperti diperbolehkan
melihat aurat wanita bagi dokter untuk memeriksanya.
Pembagian rukhshah, yaitu:
@ Rukhshah untuk mengerjaan suatu perbuatan,
seperti memaan bangkai.
@ Ruhshah untuk meninggalkan suatu perbuatan, seperti
iftaq ketika safar pada bulan ramadhan.
Pembagian rukhshah
§ Rukhshah isqath,
apabila seseorang diwajibkan melaksanakan rukhshah tersebut lantaran hukum
'azimah telah gugur.
§ Rukhshah tarfih,
apabila hukum rukhshah dan hukum 'azimah masih dapat dilakukan semuanya.
HUKUM WADH'I
Sebab
Menurut jumhur adalah sesuatu yang lahir dan jelas
batas-batasannya, yang oleh Allahk dijadikan sebagai tanda bagi wujudnya hukum.
Berdasarkan definisi ini, ada 2 esensi yang terkandung didalamnya:
1. Bahwa sesuatu tidak
shah dijadikan sebagai sebab, kecuali oleh Allahk sendiri yang menjadiannya sebagai sebab.
2. Bahwa sebab-sebab itu
dukanlah yang mempengaruhi terhadap wujudnya hukum-hukum taklifi, akan tetapi
merupakan tanda bagi lahirnya hukum-hukum itu.
Pembagian sebab, yaitu:
§ Sebab yang berasal
dari perbuatan mukallaf, yaitu perbutan muallaf yang oleh Allahkdijadikan
sebagai akibat timbulnya hukum. Seperti akad nikah yang shah merupkan sebab dihalalkannya
berhubungan, safar bulan ramadhan merupkan sebab diperbolehkannya berbuka.
Sebab yang ada
dala jangakauan manusia ini ada beberapa macam, yaitu
@ Perbuatan
yang diperintahkan (dituntut untuk dikerjaan)
@ Perbutan
yang dituntut untuk ditinggalkan
@ Perbutan
yang diperbolehkan
§ Sebab yang bukan
berasal dari perbutan mukallaf (manusia), yaitu sebab yang dijadikan oleh
Allahksebagai tnada atas wujudnya hukum. Seperti adanya waktu merupakan sebab
bagi wajibnya shalat, takut terjerumus keperbutan zina merupakan sebab wajibnya
nikah dan keadaan terpaksa merupakan sebab boleh maan bangkai.
Syarat
Yaitu sesuatu yang menjadian tempat bergantung
wujudnya hukum. Tidak adanya syarat berarti, pasti tidak adanya hukum, tetapi
adanya syarat tidak pasti adanya hukum.
Perbedaan syarat dengan sebab:
Bahwa adanya syarat tidak pasti adanya hukum. Oleh
karenanya, adanya wudhu yang merupakan syarat shalat tidak mengakibatkan
wajibnya shalat, tetapi shalat menjadi tidak shah tanpa adanya wudhu. Adapun
sebab, jika adanya sebab itu memastikan adanya hukum, kecuali adanya mani'
(penghalang). Karenanya, datangnya waktu shalat, manjadikan shalat wajib
dilakukan, jika datang bulan ramadhan, maka wajiblah berpuasa, jika seseorang
berzina, maka wajib dikenakan had dan lain-lain.?
Syarat dari segi sasaran (sesuatu yang disyarati),
maka syarat terbagi menjadi dua macam:
- Syarat-syarat bagi hukum taklifi
Seperti thaharah (bersuci) merupakan syarat
untuk memenuhi suatu perbutan taklifi yang diperintahkan syari' (Allahk) dan
zina mukhshan wajib dikenakan had, merupakan syarat untuk memenuhi perbuatan
taklifi yang perkaranya dihadapkan kepada hakim.
- Syarat-syarat bagi hukum wadh'i
Seperti adanya kemampuan untuk menyerahkan
barang sebagai sebab untuk mendapatkan hak pemilikan atau kematian pewaris
sebagai syarat untuk mendapatkan warisan.
Para ahli ushul memabagi syarat yang
berhubungan dengan hukum wadh'I menjadi dua macam:
a) Syarat syar'iyyar,
yaitu syarat yang oleh syari' dijadikan sebagai syarat untuk memenuhi sebab,
atau untuk memenuhi musabbab (efek).
b) Syarat ja'liyyah,
yaitu syarat-syarat dimana syari' memperbolahkan pihak-pihak yang melakukan
akad untuk membuat syarat dalam akad demi tegaknya hukum.
Al-mani' [penghalang]
Adalah perkara syara' yang keberadaannya menafikan
tujuan yang dikehendaki oleh sebab atau hukum.
Macam-macam mani'
1) Mani' yang berpengaruh
terhadap sebab, seperti perbedaan agama dan pembunuhan yang kedua merupakan
penghalang (mani') untuk dapat memperoleh harta warisan.
2) Mani' yang
mempengaruhi hukum sekaligus menghilangkannya (yang menghilangkan hukum dan
tidak menghilangkan sebab), seperti hubungan kebapakan merupakan mani'
[penghalang] dikenakan hukum qishas.
Mani' yang menghalangi hukum ini terbagi
menjadi dua:
§ Mani' yang tidak
mungkin terkumpul dengan hukum taklifi, yaitu berupa hilangnya akal dengan
segala sebabnya seperti teridur, gila atau sakit ayan.
§ Mani' yang dapat
berkumpul dengan dasar pembebanan (taklifi), tetapi mani' ini dapat
menghilangkan pembebanan secara menyeluruh, disamping ada kemungkinan dapat
berkumpul dengannya. Contoh, haid dan nifas merupakan penghalang shalat.
§ Mani' yang tidak
menghilangkan dasar tuntutan taklif tetapi menghapuskan ketetapannya dan
merubah tuntutan yang bersifat pasti (wajib) menjadi tuntutan yang bersifat
pilihan (tahyir). Contoh, sakit merupakan mani' bagi fardhunya shalat jum'at,
tetapi jika penderita sakit itu malakukan shalat maka shalatnya tetap shah.
Sah, rusak dan batal
Sah,
rusak dan batal merupakan sifat yang ada dalam hukum syara' baik itu taklifi
atau wadh'i. Perbuatan ibadah terbagi menjadi dua, yaitu ibadah yang shah dan
ibadah yang tidak shah.
Para ahli fiqh sepakat, bahwa tidak ada perbedaan antara
ibadah ibdah yang tidak shah dengan ibadah yang batal dan ibadah yang rusak.
Artinya jika ibadah-ibadah itu telah memenuhi semua rukun dan syarat shahnya
bersrti telah cukup dan dengan melaksanakannya berarti telah bebas dari
tanggungan (taklif). Sedang jika ibadah itu kurang sebagian dari syarat dan
rukunnya, berarti belum cukup dan dengan melaksanakan semacam ini berarti belum
bebas dari tanggungan. Dalam hal initidak ada perbedaan apakah kurang rukun
atau syaratnya.?
AL-HAKIM [PEMBUAT HUKUM]
Yang membuat hukum adalah Allahk. Firman-Nya
ö@è% ÎoTÎ) 4n?tã 7puZÉit/ `ÏiB În1§ OçFö/¤2ur
¾ÏmÎ/ 4 $tB ÏZÏã $tB cqè=ÉÚ÷ètGó¡n@ ÿ¾ÏmÎ/ 4 ÈbÎ) ãNõ3ßÛø9$# wÎ) ¬!
( Èà)t ¨,ysø9$#
( uqèdur çöyz tû,Î#ÅÁ»xÿø9$#
ÇÎÐÈ
"Katakanlah: "Sesungguhnya Aku berada di
atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku,[5]
sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya
disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. dia
menerangkan yang Sebenarnya dan dia pemberi Keputusan yang paling baik"
[al-An'am: 57]
Èbr&ur Nä3ôm$# NæhuZ÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# wur ôìÎ7®Ks?
öNèduä!#uq÷dr& öNèdöx÷n$#ur
br&
qãZÏFøÿt .`tã ÇÙ÷èt/ !$tB tAtRr& ª!$# y7øs9Î)
( bÎ*sù
(#öq©9uqs? öNn=÷æ$$sù $uK¯Rr& ßÌã ª!$# br& Nåkz:ÅÁã ÇÙ÷èt7Î/
öNÍkÍ5qçRè 3 ¨bÎ)ur #ZÏWx.
z`ÏiB Ĩ$¨Z9$#
tbqà)Å¡»xÿs9
ÇÍÒÈ
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka
menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu. jika
mereka berpaling (dari hukum yang Telah diturunkan Allah), Maka Ketahuilah
bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka
disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia
adalah orang-orang yang fasik." [al-Ma'idah: 49]
ö/ä3ósuø9ur ã@÷dr& È@ÅgUM}$# !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# ÏmÏù
4 `tBur
óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù
ãNèd cqà)Å¡»xÿø9$#
ÇÍÐÈ
"Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya.[6]
barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka
mereka itu adalah orang-orang yang fasik[7]."
[Al-Ma'idah: 47]
Akal dan kedudukannya
Tahsin aqly dan taqbih aqly (baik dan buruk menurut
akal)
Dalam masalah
ini para ulama' ihtilaf menjadi 3 golongan:
- Golongan mu'tazilah berpendapat bahwa baik dan buruk itu adalah dua sifat esensial yang ada pada sebagian hal, dan sebagian lain berada antara manfaat dan madharat, serta diantara baik dan buruk.
Menurut kaum mu'tazilah, bahwa sesuatu itu
terbagi menjadi tiga bagian:
1) Sesuatu yang buruk
menurut dzatnya dan Allahk tidak berhak memerintahannya
2) Sesuatu yang baik
menurut dzatnya dan Allahk berhak (wajib) memerintahkannya
3) Sesuatu yang ada
diantara baik dan buruk. Bagian ini boleh diperintahkan dan boleh dilarang.
Jika diperintahkan maka nilai kebaikannya adalah kerena perintah, dan jika
dilarang maka nilai keburukannya adalah karena larangan.
- Golongan maturidiyah yang dinukil dari Abu Hanifah v dan dianut pula oleh ulama' Hanafiyah g.Mereka ini mengatakan bahwa sesuatu itu secara esensial ada yang baik dan buruk. Dan sesungguhnya Allahk tidak akan melarang sesuatu yang baik menurut dzatnya. Dengan demikian mereka membagi menjadi:
1) Hasan li-dzatih (baik
menurut dzatnya)
2) Qabih li-dzatih (buruk
menurut dzatnya)
3) Sesuatu yang ada
diantara keduanya dan ini tergantung pada perintah dan larangan Allahk
- Golongan asy-'ariyah yang dipegangi oleh jumhur ulama' ushul, yang berpendapat bahwa segala sesuatu itu menurut dzatnya (esensial) tidak ada yang baik dan buruk. Semuanya mutlak tergantung dan ditentukan oleh kehendak Allahk dalam aturan syara'. Tidak ada sesuatu pun yang membatasi kehendak-Nya. Dia adalah pencipta sesuatu dan Dia pula yang menciptakan baik dan buruk. Oleh karena itu segala yang dia perintahkan itulah yang baik, dan segala sesuatu yang Dia larang itulah yang buruk.?
SUMBER HUKUM
Al-qur'an
Al-qur'an adalah kitab yagn diturunkan kepada nabi
Muhammad n selama 23 tahun di Makkah dan Madinah. Ayat yang pertama turun
adalah Qs. Al-alaq: 1-5. Dalam ayat permualain turun ini menunjukkan bahwa
al-qur'an mangajak manusia untuk menguasai ilmu pengetahuan. Tema pembahasannya
pun ilmu pengetahuan, dan apa yang dibawanya dasar ilmu pengetahuan. Sedang
ayat terakhir turun adalah Qs. Al-ma'idah ayat 3. Dengan turunnya ayat terakhir
ini sempurnalah syari'at islam.
Kenapa al-Qur'an diturunkan secara beransur-ansur dan
tidak sekaligus?
Pertanyaan ini pernah dilontarkan orang-orang musyrik
kepada nabi n . Allah telah menceritakan teentang mereka dengan firman-Nya:
tA$s%ur tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. wöqs9 tAÌhçR Ïmøn=tã
ãb#uäöà)ø9$# \'s#÷Häd
ZoyÏnºur
4 y7Ï9ºx2 |MÎm7s[ãZÏ9
¾ÏmÎ/ x8y#xsèù ( çm»oYù=¨?uur WxÏ?ös? ÇÌËÈ
"Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran
itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah[8]
supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur
dan benar).[al-Furqan: 32]
Jawaban dalam ayat ini terkandung dua aspek, yaitu
1) Bahwa turunnya
al-Qur'an secara beransur-ansur untuk menguatkan hati
2) Untuk mentartilkan
al-Qur'an
Kemutawatiran (keberuntunan) al-Qur'an
Allahk telah menjaga al-Qur'an dan akan ada selalu
orang yang menghafalnya sejak zaman sahabat sampai akhir zaman nanti. Firman
Allahk :
$¯RÎ)
ß`øtwU
$uZø9¨tR
tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9
tbqÝàÏÿ»ptm:
ÇÒÈ
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan
Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya [9]."
[al-Hijr: 9]
Bentuk-bentuk kemukjizatan al-Qur'an
1) Kebalaghahan al-Quran
2) Pemberitaan al-Qur'an
tentang keadaan yang terjadi pada abad-abad yang silam, seperti al-Qur'an telah
menceritakan tentang kasus kaum nabi luth, Nuh dan Ibarahim g .
3) Pemberitaan al-Qur'an
tentang hal-hal yang akan terjadi pada masa akan dating, seperti kekalahan
bangsa persi dan romawi dalam surat
ar-Rum: 1-5 atau kemanangan dalam perang badar terdapat dalam al-Anfal: 7 dan
sebagainya.
4) Kandungan al-Qur'an
yang memuat beberapa ilmu pengetahuan yang tidak mungkin diketahui oleh seorang
ummy yang tidak bias membaca dan menulis, dan tidak ada suatu perguruan atau
lembaga pendidikan yang mengajarnya. Seperti cerita awal kejadian manusia,
peredaran alam semesta dan lain-lain.
Penjelasan al-Qur'an
Dalam al-qura'an, niscaya akan menemuan penjelasannya
dalam tiga macam:
- Penjelasan yang bersifat sempurna, qs, al-baqarah: 185
- Nash al-Qur'an yang bersifat mujmal (global), dan sunnahlah yang menjelasannya
- Nash-nash yang hanya menjelaskan pokok-pokok hukum, baik dengan isyarat, atau dengan ungkapan langsung, kemudian sunnah merinci hukum tersebut dengan sempurna, seperti hukuman budak yang berzina dlam Qs. An-nisa'; 25. dalam ayat ini menerangkan bahwa hukuman hamba sahaya yang berzina separuh orang yang merdeka
Oleh kerena itu dalam menjelaskan hukum syara',
al-Qur'an menggunakan bermacam-macam bentu ungkapan. Diantaranya ialah
N
Bentuk perintah , seperti Qs. at-Thalaq: 2
N
Benruk larangan, seperti Qs. Al-Isra': 33
N Dengan
menetapkan, bahwa sesuatu perbutan itu diwajibakan, seperti Qs. Al-baqarah: 178
N Menyebutkan larangan,
dengan meniadakan kebaikan dalam suatu perbutan, seperti Qs. Al-baqarah: 189
N Bentuk perintah dengan
menyebutkan akibat dari suatu perbuatan, baik berupa pahala atau siksa dan
dosa, seperti Qs. An-nisa': 13-14
Hukum yang terdapat dalam al-Qur'an
§ Ibadah
§ Kafarat, pada dasarnya
termasuk dalam macam ibadah, karena kafarat adalah menebus dari sebagian dosa.
Macam-macam kafarat, yaitu;
1. Kafarat dhihar, yaitu
dengan memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu
memberi makan kepada 60 fakir miskin.
2. Kafarat sumpah, yaitu
dengan memeberi makan atau pakaian kepada seluruh orang miskin, memerdekakan
budak, jika tidak mampu puasa tiga hari.
3. Kafarat membunuh orang
mukmin yang tidak sengaja, yaitu disamping membayar diyat, pembunuh juga
diwajiban memerdekakan budak mukmin, puasa dua bulan berturut-turut, jika tidak
mempu memberi makan kepada 60 orang miskin.
§ Muamalah
Dasar yang dijadikan prinsip dalam
bermuamalah keharta bendaan, adalah melarang memakan makanan yang bathil dan
salaing merelakan.
§ Hukum keluarga
Seperti hukum thalaq, nikah dan lain-lain .
§ Hukum pidana
Hukum pidanan disesuaian dengan kejahatan
yang dilakukan, seperti hukum qishas, had zina, pencurian penyamun dan
lain-lain dilakukan sesuai kejahatannya. Qishas ada dua macam, yaitu;
1. qishas shurah, dimana
hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang itu sejenis dengan kejahatan yang
dilakukan.
2. qishas ma'na, dimana
hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang itu cukup dengan membayar diyat.
Dalam menetapkan hukum-hukum pidana,
al-Qur'an selalu memperhatikan empat hal, yaitu;
1. melindungi jiwa, akal,
agama, harta dan keturunan.
2. meredam kemarahan
ornag yang terluka, lantara ia dilukai.
3. memberikan ganti rugi
kepada orang yang terluka atau keluarganya, bila tidak dilakukan qishas dengan
sempurna karena ada suatu sebab.
4. menyesuaikan hukuman
dengan pelaku kejahatan.
Hubungan hakim dan orang yang dijatuhi hukuman
Al-qur'an telah menjelaskan kaidah-kaidah tentang
hubungan ini, dan meyimpulkan kaidah-kaidah tersebut menjadi lima dasar sebagai berikut;
@ Keadilan
@ Musyawarah
@ Tujuan kepada kebaikan
serta membawa maslahat kepada umat islam
@ Tolong menolong
@ Melindungi masyarakat
Hubungan orang islam dengan non muslim
Orang non muslim terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu;
- Kafir dhimmiy dan mua'had (yang telah mengikat perjanjian)
- Kafir musta'man (kafir yang dianggap aman dan tidak membahayakan)
- Kafir harby yang harus diperangi
Hak-hak yang diberikan islam kepada orang non muslim
N Hak
penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, baik dalam suasana
perang maupun damai Qs. Al-insan: 7
N
Hak ukhuwah isnaniyah (persaudaraan kemanusiaan) Qs. Al-baqarah: 17
N Hak keadilan,
meskipun mereka termasuk kafir harbi (musuh). Sebab, keadilan hak asasi yang
ditetapkan al-Qur'an baik bagi kawan atau lawan Qs. Al-ma'idah: 8
N Hak perlakuan
sepadan atau sebanding dengan memperhatikan keutamaan. Maka tidak boleh berlaku
aniaya walaupun berada dikancang peperangan. Qs. Al-baqarah: 194
N Hak menetapi
janji, selama pihak musuh konsisten dengan janjinya, dan tidak terlihat adanya
tanda-tanda hendak melangar janji itu. Qs. At-taubah; 58
As-Sunnah
Sunah adalah ucapan, perbuatan serta
ketetapan-ketetapan nabi n . Ada
tiga alasan mengapa sunnah dipakai sebagai hujjah;
- Adanya nash-nash al-Qur'an yang memerintahkan agar patuh dan tunduk kepada nabi n, firman Allahk Qs. An-nisa': 80 an-nisa: 59 Qs. Al-ahzab: 36
- Sunnah nabi n pada dasarnya adalah tabligh (penyampaian) risalah Allahk, dan Allah telah menugaskan kepada nabi n agar menyampaikan risalah itu kepada umatnya. Qs. Al-ma'idah; 67
- Nash-nash al-Qur'an menerangkan bahwa nabi n berbicara atas nama Allahk,,, firman-Nya Qs. An-najm:3-4 Qs. An-nisa': 113
- Ayat –al-Qur'an dengan jelas menerangkan kewajiban iman kepada Rasul n Qs. Al-a'raf: 158 Qs. An-nur: 62
Pembagian sunnah dari segi periwayatannya
© Muttashil
as-sanad, yaitu hadits yang bersambung mata rantai perawinya. Dilihat dari segi
jumlah perawinya, terbagi menjadi tiga, yaitu mutawatir, masyhur dan hadits
ahad.
© Ghairu muttashil asanad, yaitu hadits yang tidak
bersambung mata rantai perawinya.
Kedudukan sunnah terhadap al-Qur'an
- Berfungsi menjelaskan ayat yang masih mubham, mujmal, mentahsis ayat yang umum, menjelaskan nasikh dan mansukh, seperti al-Qur'an memerintahkan shalat dan zakat, kemudian sunnah memperjelasnya.
- Sunnah menambah kewajiban-kewajian syara' yang ketentuan pokoknya telah ditetapkan dalam nash al-Qur'an, seperti masalah li'an, al-Qur'an telah menerangkan secara jelas dan sempurna masalah ini, kemudian sunnah memberikan ketetapan untuk memisahkan suami istri itu dengan jalan perceraian.
- Sunnah membawa hukum yang tidak ada ketentuan nashnya didalam al-qur'an, tidak pula merupakan tambahan terhadap nash al-Qur'an, seperti sunnah mengharamkan hewan keledai jinak, daging binatang buas dan diyat.
Perbuatan Rasullullah
Seseorang bertanya; "Apakah setiap perbuatan nabi
n , seperti cara makan, minum, pakaian dan yang lainya termasuk ajaran agama
yang harus diikuti?
Jawab: para ulama' telah membagi perbuatan-perbutan
nabi n menjadi tiga macam:
- Perbuatan yang menyangkut penjelasan syari'at yang harus diikuti, seperti cara shalat, haji dan lain-lain.
- Perbuatan yang khusus untuk nabi n , seperti beliau menikah lebih dari empat.
- Perbuatan tabi'at manusia biasa, dan adad kebiasaan yang berlaku di Arab, seperti memakai pakaian, makanan dan barang-barang halal yang diperoleh serta cara-cara memperolehnya dan sebagainya.
Perbuatan yang ketiga ini masih ihtilaf dikalangan ulama', apakah
perbutan dan kebiasaan nabi n itu termasuk dalam konteks menjelaskan hukum syara'
ataukah dalam konteks adad kebiasaan Arab, seperti nabi n merawat jenggot.
Kebanyakan ulama' menganggap bahwa perbuatan itu termasuk sunnah yang harus
diikuti. Mereka menguatkan pendapatnya itu dengan sabda beliau: "Cukurlah
kumismu dan biarkanlah panjang jenggotmu."
Para ulama' yang berpendapat bahwa perbutan nabi n
memelihara jenggot itu termasuk adapt, bukan penjelasan hukum syara',
mengemukakan alasan bahwa larangan (nahy) tidak mesti mengandung keharusan,
berdasarkan ijma' ulama'. Perbutan nabi itu sebenarnya dikerenakan alasan,
yaitu larangan menyerupai orang Yahudi dan orang a'jam (non-arab) yang
memelihara kumis dan mencukur jenggot. Alasan ini memperkuat bahwa perbutan
nabi n itu karena adab kebiasaan.?
Pengambilan hukum dari al-Qur'an dan sunnah
Dalil-dalil syara' ada dua macam, yaitu nash
(al-Qur'an dan sunnah) dan ghairu nash (qiyas, istihsan dan lain-lain). Cara
pengambilan huum dari nash ada dua macam, yaitu:
- Thuruq ma'nawiyah (pendekatan makna), yaitu istidlal atau penarikan kesimpulan hukum bukan kepada nash langsung seperti menggunakan qiyas, istihsan, dara'I dan sebagainya.
- Thuruq lafdhiyah (pendekatan lafadz), yaitu pendekatan lafadz yang penerapannya membutuhkan beberapa factor pendukung yang sangat dibutuhkan, yaitu penguasaan terhadap ma'na (pengertian) dari lafadz-lafadz nash serta konotasinya dari segi umum dan khusus dan sebagainya.
Pembahasan lafadz nash
Seorang ahli fiqh harus mengetahui kaidah-kaidah
bahasa (lughawiy) agar dalam melakukan istinbath hukum terhindar dari kekeliruan.
Pengetahuan tentang kaidah-kaidah lafdhiyyah tersebut tidak hanya berguna bagi
pengkaji hukum islam saja, tetapi juga berguna bagi pengkaji perundang-undangan
yang berlaku. Kaidah-kaidah lughawiy tersebut mengacu pada 4 segi, sebagai
berikut:
- Lafadz-lafadz nash dari segi kejelasan dan kekuatan dalalahnya terhadap pengertian yang dimaksud.
- Dari segi ungkapan dan konotasinya, apakah menggunkaan ibarat yang sharih (ungkapan yang jelas) ataukah menggunakan isyarat yang mengandung makna yang tersirat dan apakah memakai mantuk atau mafhum.
- Dari seri cakupan lafadz dan sasaran dalalahnya, berupa lafadz umum atau khusus dan lafadz muqayyad atau mutlaq.
- Dari segi bentuk tuntutan (shighah taklif-nya).
Lafadz yang jelas
Lafadz yang lelas berbeda-beda tingkat "kekuatan
kejelasan lafadznya", yaitu (dari yang paling rendah):
§ Dzahir
Madzhab hanbali, syafi'I dan maliki tidak
membedakan anatara nash dengan dzahir. Dzahir sam dengan nash.
Sebagian ulama' madzhab maliki dan
syafi'i melihat adanya perbedaan anatara
keduanya, yaitu:
1) Nash, adalah lafadz
yang tidak menerima kemungkainan arti lain (ihtimal) di dalam dalalahnya.
2) Dzahir adalah lafadz
yang masih menerima kemungkinan arti lain di dalam dalalahnya.
Contoh firman Allahk ;
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz
wr& (#qäÜÅ¡ø)è?
Îû
4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ
Nä3s9 z`ÏiB
Ïä!$|¡ÏiY9$#
4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz
wr& (#qä9Ï÷ès?
¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB
öNä3ãY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºs #oT÷r&
wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[10],
Maka (kawinilah) seorang saja[11],
atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya." [an-Nisa': 3] Dzahir ayat ini menunjukkan
diperbolehkan kawin sampai 4 istri.
Keterangan:
Lafadz dzahir masih tetap menerima adanya takhshis,
ta'wil dan nasakh. Jadi karena adanya kemungkinan masuknya tiga hal itulah,
lafadz dzahir masih mengandung ihtimal (kemungkinan) di dalam dalalahnya.
§ Nash
Menurut madzhab hanafi adalah dalalah
lafadz yang sesuai dengan konteks kalimatnya. Seperti frman-Nya;
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur
(#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtÏ÷r& Lä!#ty_
$yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB
«!$# 3 ª!$#ur îÍtã ÒOÅ3ym ÇÌÑÈ
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan
yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana. [al-Ma'idah: 38]
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur
(#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB
;ot$ù#y_ ( t ÇËÈ
"Perempuan yang berzina dan laki-laki
yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera,
dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)
agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang
beriman." [an-Nuur: 2]
Keterangan:
Jika terjadi pertentangan antara nash dan
dzahir, yang didahulukan adalah lafadz nash, karena nash lebih kuat dari
dzahir. Walaupun demikian, nash masih menerima kemungkinan adanya takhsih,
nasakh dan ta'wil.
§ Mufassar
Adalah lafadz yang menunjukkan kepada
maknanya sesuai dengan yang dimaksud oleh konteks kaliamat. Makna lafadz itu
menjadi jelas karena ada keterangan dari dalil lain. Kadang lafadz itu pada
asalnya merupakan lafadz yang mujmal, lalu dating nash lain yang menafsirinya.
Seperti firman-Nya tetang kewajiban membayar diyat dalam tindak pidana
pembuuhan tidak sengaja;
$tBur c%x.
?`ÏB÷sßJÏ9 br& @çFø)t
$·ZÏB÷sãB
wÎ) $\«sÜyz 4 `tBur
@tFs%
$·YÏB÷sãB
$\«sÜyz ãÌóstGsù
7pt7s%u 7poYÏB÷sB ×ptÏur
îpyJ¯=|¡B #n<Î) ÿ¾Ï&Î#÷dr&
"Dan tidak layak bagi seorang mukmin
membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali Karena tersalah (Tidak sengaja)[12],
dan barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat[13]
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka
(keluarga terbunuh) bersedekah[14].
jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara
mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
barangsiapa yang tidak memperolehnya[15],
Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk
penerimaan Taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana." [an-Nisa': 92]
Kemudian ayat diyat itu dijelaskan dalam
hadits nabi n, yaitu
لا قطع في أقل من عشر دراهم
"Tidak dikenakan hukuman potong
tangan, pencurian yang kurang dari 10 dirham."
Dengan demikian apabila lafadz ayat
merupakan lafadz yang mujmal atau musytarak, dan ditemukan sunnah nabi n yang
menafsirinya, maka dengan dilakukannya penggabungan dua sumber hukum itu,
lafadz ayat yang tadinya mujmal dan musyarak menjadi maufassar (ditafsiri).
Keterangan:
Perlu diingat
bahwa dalil-dalil yang bisa menasiri hanya terbatas pada ayat-ayat al-Qur'an
dan hadits nabi n . Oleh karena itu, penafsiran yang mempunyai fungsi tahsis
atau ta'wil hanya ada pada zaman nabi n saja. Sedang ijtihad yang dilakukan
setelah masa nabi n tidak bisa terhindar dari ihtimal. Lafadz mufassar lebih
kuat dari nash dan dzahir. Lafadz mufassar tidak menerima kemungkinan ta'wil
dan takhsis, ia hanya menerima kamungkinan nasakh.
Perbedaan tafsir dengan ta'wil.
Tafsir adalah penjabaran pengertian lafadz yang tidak menyimpang dari madlul
ibarat dan berpegang pada pemikiran fiqhy. Sedang ta'wil adalahpenajbaran
pengertian lafadz yang keluar dari dzahir madlulnya kerena adanya dalil fiqhy
yang lain.
§ Muhkam
Yaitu lafadz yang menunjukkan makna yang
dimaksud, yang memang didatangkan untuk makna itu. Lafadz ini tidak menerima
adanya ta'wil dan takhsis. Kadang disertai ungkapan yang menunjukkan tidak
adanya nasakh. Seperti sabda nabi n ;
الجهاد ماض إلى يوم القيامة
"Jihad itu terus sampai hari kiamat."
tûïÏ%©!$#ur tbqãBöt ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù't Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_
wur (#qè=t7ø)s?
öNçlm;
¸oy»pky
#Yt/r& 4 y7Í´¯»s9'ré&ur
ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$#
ÇÍÈ
"Dan orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik[16]
(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah
mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang
fasik." [an-Nuur: 4] Kata abadan
menunjukkan bahwa ayat itu merupakan nash yang muhkam yang tidak bisa menerima
nash.
Macam-macam muhkam
1) Muhkam lidzatih, yaitu
lafadz muhkam yang tidak menerima nasakh disebabkan oleh nash itu sendiri.
2) Muhkam li-ghairih,
yaitu lafadz muhkam yang tidak menerima nasakh disebabkan bukan bersumber dari
dzat nash.
Lafadz yang tidak jelas pengertiannya
N Al-khafiy
Menurut fahrul
islam al-Bazdawi, kahfiadalah lafadz yang maknanya samar dan apa yang dikehendakipun menajdi
samara (kabur) karena ada factor diluar sighat, yang tidak dapat ditemukan
kecuali harus dicari. Contoh
- Istilah ath-tharar (pencopet), an-nabbasy (pencuri kain kafan), kedua istilah ini masu dalam lafadz sariq (pencuri) pada firman Allahk:
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur
(#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtÏ÷r& Lä!#ty_
$yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB
«!$# 3 ª!$#ur îÍtã ÒOÅ3ym ÇÌÑÈ
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan
yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana. [al-Ma'idah: 38]
Padahal istilah
sariq adalah orang yang mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dan
harat dalam keadaan tersimpan. Sedang tharrar (pencopet) adalah orang yang
mengambil harat secara samara, korban dalam keadaan sadar (terjaga). Makna
nabbasy adalah koarang yang menggali kubur untuk mengambil kain kafan si mayit.
Dalam istilah tharar dan nabbasy terjadi kesamaran, apakah ia masuk dalam
istilah sariq (pencuri) atau bukan.
Abu Yusuf, imam
Malik, Syafi'I dan Ahmad g, berpendapat bahwa nabbasy dan tharrar masuk kedalam
pengertian umum kata sariq, karena keduanya mengandung arti pencurian. Dan
menurut kebiasaan yang berlaku ia disebut pencuri. Sedang Imam Abu Hanifah dan
Muhammad bin al-Hasan asy-syaibaniv tidak menerapkan nash yang mewajibkan had
(hukuman) pencuri kepada nabbasy dan tharrar.
- Diantara contoh yang lain, yaitu sabda nabi n :
لا يرث القاتل
"Orang
yang membunuh tidak mendapatkan harta warisan."
Sesungguhnya
kata qaatil masih khafiy (samara) karena berbeda antara pembunuhan sengaja,
tanpa sengaja, pembunuhan karena suatu sebab, pembunuhan bersekongkol atau
pembunuhan karena ada dorongan.
Imam Syafi'I v tidak membedakan antara
sengaja, tidak sengaja atau sebab lain.
N Al-Musykil
Adalah lafadz yang maknannya
samara/kabur karena sesuatu sebab yang ada pada lafadza itu sendiri. Cara
menentukan satu dari beberapa makna dalam lafadz musytarak, hanyalah dengan
melihat dalil (indicator) dari segi kontek kalimatnya, atau memakai dalil dari
luar. Perbedaan antara khafi dengan musykil, yaitu
§ Khafi kesamaran makna
bukan disebabkan oleh lafadz itu sendiri, tapi oleh penerapan segi cakupan
lafadznya. Dan apa yang dikehendaki lafadz khafi dapat diketahui.
§ Musykil
kekaburan/kesamaran makna itu timbul dari lafadznya sendiri, dan apa yang
dikehendaki oleh lafadz tidak dapat dipahami kecuali dengan memakai dalil dari
luar.
Contoh :
- Musykil adalah lafadz musytaraq yaitu lafat yang menunjukkan dua arti atau lebih secara bergantian, seperti kata 'ain (عين). Kata ini menunjukkan beberapa arti, yaitu mata, sumber air, zat (esensi) dan intel (mata-mata).
- Firman Allahk:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè%
4 wur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3t $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sã
«!$$Î/
ÏQöquø9$#ur
ÌÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjtÎ/
Îû
y7Ï9ºs ÷bÎ) (#ÿrß#ur&
$[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur
ã@÷WÏB
Ï%©!$# £`Íkön=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`Íkön=tã ×py_uy
3 ª!$#ur îÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ
"Wanita-wanita yang ditalak handaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru'[17].
tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya,
jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada isterinya[18].
dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." [al-Baqarah: 228]
Makna quru'
termasuk lafadz musytarak, dan para ulama' berbeda pendapat dalam menafsirinya,
ulama' Hanafiyah menafsirinya arti quru' dengan haid. Sedang ulama' Syafi'iyyah
manafsirkannya dengan tuhr (suci).
N Mujmal
Adalah entuk ungkapan
yang dalam maknanya tersimpan banyak ketentuan dan dan berbagai keadaan yang
tidak mungkin diketahui secara pasti kecuali melalui pernyataan lain yang
menjelaskan (mubayyin). Al-Bazdawi v mendefinisikan mujmal adalah ungkapan yang
didalamnya terkandung banyak makna, tetapi makna yang dimaksud tidak jelas.
Maksudnya, apa yang dimaksud tidak bisa diketahui dari ungkapan itu sendiri,
harus ditafsiri, diteliti dan dipikirkan secara mendalam.
Contoh perintah
shalat dan zakat dalam al-Qur'an yang masih berbentuk mujmal kemudian
dijelaskan nabi n dengan sabda beliau.
N Mutasyabih
Adalah
lafadz yang samar maknanya, dan tidak mungkin dijangkau oleh akal manusia
melainkan menyerahkannya kepada Allahk. Dalam al-Qur'an dan hadits tidak ada
penafsiran yang qath'I maupun dhanny terhadap lafadz tersebut.
Lafadz mutasyabih ada dalam al-Qur'an, firman-Nya:
uqèd
üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã
|=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»t#uä
ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$#
ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB
( $¨Br'sù tûïÏ%©!$# Îû óOÎgÎ/qè=è%
Ô÷÷y
tbqãèÎ6®Kusù $tB tmt7»t±s? çm÷ZÏB uä!$tóÏGö/$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö/$#ur
¾Ï&Î#Írù's?
3 $tBur
ãNn=÷èt ÿ¼ã&s#Írù's? wÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)t $¨ZtB#uä
¾ÏmÎ/ @@ä. ô`ÏiB
ÏZÏã $uZÎn/u
3 $tBur
ã©.¤t HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$#
ÇÐÈ
"Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al
Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat[19],
Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat[20].
adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka
mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk
menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang
mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu
dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)
melainkan orang-orang yang berakal." [ali Imran: 7]
Ibnu Hazm
maengatakan bahwa di dalam al-Qur'an tidak ada mutasyabih selain potongan-potongan
huruf di awal surat,
serta sumpah Allahk dalam al-Qur'an, seperti:
Iw
ãNÅ¡ø%é& ÏQöquÎ/
ÏpyJ»uÉ)ø9$# ÇÊÈ
"Aku bersumpah
demi hari kiamat." [al-Qiyamah: 1]
ħ÷K¤±9$#ur
$yg8ptéÏur ÇÊÈ ÌyJs)ø9$#ur #sÎ)
$yg9n=s? ÇËÈ
"Demi matahari dan cahayanya di pagi
hari, Dan bulan apabila mengiringinya." [asy-Syams: 1-2]
N Ta'wil
Ta'wil
merupakan bagian dari istimbat aqly (penyimpulan hukum melalui akal) kadang
benar kadang salah. Penerapan ta'wil hanya akan shah apabila memenuhi tiga
syarat sebagai berikut:
1. Lafadz tersebut memang
menyimpan makna ta'wil walaupun itu sangat jauh.
2. Harus ada factor yang
memaksa diterapkannya ta'wil. Misalnya,
satu lafadz dzahir bertentangan dengan lafadz nash, atau terdapat pertentangan
antara lafadz nash dengan lafadz mufassar.
3. Ta'wil tidak boleh
tanpa ada sanad (sandaran). Sebaliknya, ia harus berdasar atas sanad yang bisa
dipegang sebagai factor penyebab diterapkannya ta'wil.
Macam-macam ta'wil
@ Ta'wil terhadap hadits dan ayat-ayat al-Qur'an yang
bisa menimbulkan pengertian tasybih (penyerupaan Allahk dengan makhluk). Contoh
menta'wilkan kata tangan dengan kekuasaan Allahk atau istiwa' dengan berkuasa
dan lain-lain. Firman-Nya:
[al-Fath: 10]
[thaaha: 5]
@ Ta'wil terhadap nash
yang khusus berkenaan dengan hukum taklif. Fiman Allahk:
[al-Ma'idah: 3]
[al-An'am: 145]
Pada ayat pertama kata "darah"
disebut secara muqayyad (dibatasi) dengan suatu klasifikasi berupa "darah
yang mengalir", padahal obyek hukumnya sama, yaitu darah. Maa dari itu,
ungkapan yang muqayyad kita anggap sebagai penjelasan yang membatasi ungkapan
mutlak.
Dalalah lafadz [manthuq]
Madzhab Hanafi membagi cara peninjauan
dalalah lafadz manjadi 4 bagian. Semua dalalah, kecuali dalalah nash masuk
dalam kategori dalalah manthuq, karena dalalah-dalalah tersebut
didasarkan pada pengertian lafadz, baik pengertian esplisit (ibarat) maupun
implicit (isyarat) atau didasarkan pada kebutuhan lafadz tersebut kepada
dalalah. Dalalah manthuq kebalikan dalalah mafhum.
Tingkatan dalalah yang paling kuat dalalah ibarah
dan yang paling rendah adalah iqtidha'. Penjelasan semua tersebut sebagai
berikut;
§ Ibarah (eksplisit)
Adalah makna yang dipahami dari lafadz,
baik lafadz itu berupa dzahir atau nash muhkam atau tidak. Jadi, setiap
pengertian yang dipahami dari keadaan lafadz yagn jelas disebut dalalah ibarah.
Seperti firaman-Nya:
(
(#qç6Ï^tFô_$$sù
[ô_Íh9$# z`ÏB Ç`»rO÷rF{$#
(#qç6Ï^tFô_$#ur
^öqs%
Ír9$# ÇÌÉÈ
"Maka jauhilah olehmu berhala-berhala
yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta." [al-Hajj: 30]
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa
perkataan dusta dan saksi palsu adalah dosa.
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù't
tAºuqøBr&
4yJ»tGuø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù't
Îû
öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR ( cöqn=óÁuyur
#ZÏèy ÇÊÉÈ
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan
harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh
perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)." [an-Nisa': 10] Nash ini menunjukkan bahwa memakan harata
anak yatim termasuk perbutan dzalim yang paling keji, dan akan mendapatkan
siksa di akhirat nanti.
§ Isyarah nash
Adalah suatu pengertian yang ditangkap dari
suatu lafadz, sebagai kesimpulan dari pemahaman terhadap suatu ibarah
(ungkapan) dan bukan dari ungkapan itu sendiri. Atau dengan kata lain ibarah
nash adalah pengertian logis dan rasional yang diambil dari apa yang
ditunjukkan oleh suatu ungkapan (ibarat) suatu teks. Misalnya firman Allahkyang
memperbolehkan poligami, yaitu:
÷bÎ*sù óOçFøÿÅz
wr& (#qä9Ï÷ès?
¸oyÏnºuqsù ÷ÇÌÈ
"Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[21],
atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya."
[an-Nisa': 3]
Ayat di atas menunjukkan bahwa laki-laki
yang yakin tidak mampu adil terhadap istrinya, maka tidak halal bagi untuk
berpoligami.
4
n?tãur Ïqä9öqpRùQ$# ¼ã&s!
£`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur
Å$rã÷èpRùQ$$Î/
4 ÇËÌÌÈ
”Kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian
kepada para ibu dengan cara ma'ruf." [al-Baqarah: 233]
Ayat ini menjelaskan bahwa kewajiban
memberikan nafkah terhadap anak adalah seorang ayah.
§ Nash (mafhum
muwafaqah/ dalalatul aula)
Sebagian ulama' menyebutnya qiyas jaly,
yaitu pengertian secara implisit (isyarah nash) tentang suatu hukum lain yang
dipahami dari pengertian nash secara eksplisit (ibaratun nash) karena ada
factor penyebab yang sama. Seperti firman-Nya:
xsù @à)s?
!$yJçl°; 7e$é&
wur $yJèdöpk÷]s? @è%ur
$yJßg©9 Zwöqs% $VJÌ2
ÇËÌÈ
"Maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." [al-Isra': 23]
Ayat tersebut menjelaskan tentang haramnya
mengucapkan "ah" kepada orang tua. Bila uacapan "ah" saja
diharamkan, maka memukul dan mencerca menghina tentu lebih diharamkan.
¨bÎ)
tûïÏ%©!$#
tbqè=à2ù't tAºuqøBr& 4yJ»tGuø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù't
Îû
öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR ( cöqn=óÁuyur
#ZÏèy ÇÊÉÈ
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan
harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh
perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)." [an-Nisa': 10]
Ayat ini menjelaskan tentang haramnya
memakan harata anak yatim. Bila memakan hartanya saja diharamkan apa lagi
memusnahkannya, tentu lebih diharamkan.
§ Iqtidla'
Adalah penunjukan (dilalah) lafadz terhadap
sesuatu, dimana pengertian lafadz tersebut tidak logis kecuali dengan adanya
sesuatu tersebut. Misalnya, firman-Nya:
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur
ÍÌYÏø:$#
!$tBur
¨@Ïdé&
ÎötóÏ9 «!$#
"Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah[394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama
selain Allahk."
[al-Ma'idah: 3]
Maksud ayat diatas adalah haram
"mamakannya" bukan karena dzat barangnya.
كل مسلم على المسلم حرام دمه وماله
وعرضه
"Setiap orang muslim haram darahnya,
harta dan kehormatannya bagi muslim yang lain."
Keharaman dalam hadits ini bukanlah karena
dzatiyahnya (harat, darah dan kehormatannya), akan tetapi pada factor
permusuhan.
Ulama' ushul fiqh membagi dalalah iqtidha'
menjadi tiga macam, ditinjau dari segi keharusan mentakdirkan suatu lafadz yang
terbuang:
1) Dalalah iqtidha' yang
harus mentakdirkan lafadz yang terbuang, karena suatu nash tidak dapat dipahami
dengan benar menurut syara' kecuali dengan mentakdirkan lafadz yang terbuang.
Seperti sabda nabi n :
لا صيام لمن لا يبيت النية
"Tidak (shah) puasa seseorang yang
tidak berniat pada waktu malam."
Hadits ini harus mentakdirkan lafadz
ash-Shihhah yang berarti shah, agar dapat dipahami dengan benar. Jika tidak
mentakdirkan kata ash-shihhah, maka hadits tersebut tidak dapat dipahami
dengan benar.
2) Dilalah iqthidha' yang
harus mentakdirkan lafadz yang terbuang, karena suatu nash tidak dapat dipahami
secara shah menurut akal, kecuali dengan mentakdirkan lafadz yang terbuang.
Seperti firman-Nya:
äíôuù=sù
¼çmtÏ$tR ÇÊÐÈ
" Maka Biarlah dia memanggil
golongannya (untuk menolongnya)." [al-Alaq: 17]
Lafadz nadiyah dalam ayat di atas
berarti tempat, yang menurut akal sehat tentu mustahil dapat dipanggil. Oleh
karena itu yang dimaksud adalah orang-orang yang berada di tempat tersebut.
Dengan demikian ayat tersebut mantakdirkan lafadz ahlun yang berarti
penduduk, sehingga berbunyi:
فليدع أهل نادية
3) Dalalah iqtidha' yang
harus mentakdirkan lafadz yang terbuang, karena suatu nash tidak dapat dipahami
secara shah menurut syara', kecuali dengan mentakdirkan lafadz yang terbuang.
Seperti firman-Nya:
4
ô`yJsù
uÅ"ãã
¼ã&s! ô`ÏB ÏmÅzr& ÖäóÓx« 7í$t6Ïo?$$sù Å$rã÷èyJø9$$Î/ íä!#yr&ur Ïmøs9Î)
9`»|¡ômÎ*Î/ 3 ÇÊÐÑÈ
"Maka
barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang
mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af)
membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula)." [al-Baqarah: 178]
Dalam pandangan
syara', perintah untuk bersikap baik bagi orang yang mema'afkan kepada ornag
yang diberi ma'af memberikan harta kepada orang yang mema'afkan.
§ Mafhum mukhalafah
(tambahan jumhur fuqaha')
Dalalah mafhum
Para ulama' dalalah nash kedalam dalalah manthuq,
dan membagai dalalah mafhum menjadi dua bagian. Mafhum muwafaqah lebih kuat
dari mafhum mukhalafah. Pembagian tersebut sebagai berikut:
§ Mafhum mukhalafah
Yaitu menetapkan kebalikan dari hukum yang
disebut (manthuq) karena tidak adanya suatu batasan (qayd) yang membatasi
berlakunya hukum menurut nashnya. Seperti firman-Nya:
`tBur öN©9 ôìÏÜtGó¡o öNä3ZÏB »wöqsÛ br& yxÅ6Zt ÏM»oY|ÁósßJø9$# ÏM»oYÏB÷sßJø9$# `ÏJsù
$¨B
ôMs3n=tB Nä3ãZ»yJ÷r& `ÏiB ãNä3ÏG»utGsù ÏM»oYÏB÷sßJø9$# 4 ÇËÎÈ
"Dan barangsiapa diantara kamu (orang
merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi
beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu
miliki." [an-Nisa':
25]
Manthuq (bunyi) ayat diatas menunjukkan
kehalalan orang merdeka nikah dengan buda wanita dengan batasan (qayd) orang tersebut
tidak mampu menikah dengan wanita merdeka. Dari ayat tersebut dipahami dengan
kebalikannya (mafhum mukhalafah) dari lafadznya, yaitu haramnya orang merdeka
menikahi budak wanita, jika orang tersebut mampu menikah dengan wanita merdeka.
Menurut madzhab Hanafi, mafhum
mukhalafah tidak dapat dimasukkan dalam
kategori methodology penafsiran nash-nash al-Qur'an dan hadits. Dan tidak
menggunakannya dalam methodology dalam memahami hukum-hukum islam, karena
factor-faktor berikut:
1) Nash-nash syara' telah
menunjukkan adanya kesalahan (fasad) dengan digunakannya mafhum mukhalafah.
Misalnya firman Allahk:
¨bÎ)
no£Ïã
Íqåk¶9$# yZÏã
«!$# $oYøO$# u|³tã #\öky Îû É=»tFÅ2 «!$# tPöqt t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# ßöF{$#ur !$pk÷]ÏB
îpyèt/ör& ×Pããm 4 Ï9ºs ßûïÏe$!$# ãNÍhs)ø9$#
4 xsù (#qßJÎ=ôàs?
£`ÍkÏù öNà6|¡àÿRr&
4 ÇÌÏÈ
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi
Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan
langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram[22].
Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya dirikamu[23]
dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya
sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan Ketahuilah bahwasanya Allah
beserta orang-orang yang bertakwa." [at-Taubah: 36]
Jika menggunkaan
mafhum mukhalafah, dapat dipahami bahwa perbuatan dzalim itu hanya diharamkan
pada masa empat bulan tersebut, dan selain 4 bulan tersebut perbutan dzalim
tidak diharamkan. Padahal perbutan dzlaim itu haram sepanjang masa
(selama-lamanya).
2) Kebanyakan sifat-sifat
yang membatasi dalam nash al-Qur'an dan hadits bukan untuk membatasi hukum,
akan tetapi sekedar dorongan atau peringatan.
3) Menurut jumhur ulama',
bahwa suatu hukum pada pada umumnya
mempunyai sebab (illat) dan 'illat tersebut melampaui pada apa yang
tidak terkandung dalam suatu nash. Dengan demikian, tidak selamanya kebalikan
hukum yang mempunyai batasan (qayd) itu bebas dari hukum yang dijelaskan dalam
nash, sehingga secara otomatis kebalikan hukum tersebut dapat diberlakukan. Hal
itu disebabkan terkadang hukum yang tidak disebutkan itu mempunyai 'illat hukum
sendiri, sehingga tidak logis bila secara otomatis diberlakukan kebalikan hukum
tersebut dengan menggunakan mafhum mukhalafah.
Syarat-syarat menggunakan mafhum mukhalafah:
1) Batasan (qayd) dalam
nash itu tidak mempunyai tujuan lain, kecuali untuk membatasi hukum.
2) Tidak ada dalil khusus
dalam obyek hukum yang dipahami dengan mafhum mukhlafah.
Mafhum mukhalafah terbagi menjadi 5 bagian
sebagai berikut:
1) Mafhum laqab
Yaitu menyebutkan suatu hukum yan
gditentukan (ditakhsis) dengan jenis atau macamnya, sehingga hukum tersebut
positif dalam masalah yang terdapat pada nash, dan negative bagi masalah yang
tidak disebutkan.
في السائمة زكاة
"Binatang yang digembalaan di padang rumput wajib
dikeluarkan zakatnya."
Bunyi hadits tersebut menunjukkan, bahwa
binatang ternak yang digembalakan dipadang rumput wajib dikeluarkan zakatnya.
Jika dipahami dengan mafhum mukhalafah dapat dipahami, bahwa binatang ternak
yang dipelihara (dibiayai) tidak wajib dikeluarkan zakatnya.
2) Mafhum sifat
Yaitu menetapkan hukum dalam bunyi
(manthuq) suatu nash yang dibatasi (qayd) dengan sifat yang terdapat dalam
lafadz, dan jika sifat tersebut telah hilang, maka terjadilah kebalikan hukum
tersebut.
`tBur öN©9 ôìÏÜtGó¡o öNä3ZÏB »wöqsÛ br& yxÅ6Zt ÏM»oY|ÁósßJø9$# ÏM»oYÏB÷sßJø9$# `ÏJsù
$¨B
ôMs3n=tB Nä3ãZ»yJ÷r& `ÏiB ãNä3ÏG»utGsù ÏM»oYÏB÷sßJø9$# 4 ÇËÎÈ
"Dan barangsiapa diantara kamu (orang
merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi
beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu
miliki." [an-Nisa':
25]
Diperbolehkannya mengawini wanita-wanita
budak dalam ayat tersebut adalah dibatasi (diberi qayd) dengan keimanan. Oleh
karena itu, wanita-wanita budak yang tidak beriman tidak halal dinikahi.
3) Mafhum syarat
Yaitu menetapan kebalikan suatu hukum yang
terkandung pada syarat, atau bersamaan dengan syarat, jika syarat tersebut
tidak terwujud.
bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`Íkön=tã 4Ó®Lym z`÷èÒt
£`ßgn=÷Hxq 4 ÇÏÈ
"Dan jika mereka (isteri-isteri yang
sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala
sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya." [ath-Thalaq: 6]
Ayat ini
menjelaskan bahwa kewajian memberikan nafkah istri yang telah dicerai dan
sedang menjalani masa iddah itu dibatasi (qayd) jika istri yang dicerai
tersebut sedang mengandung. Dengan demikian, dapat diambil mafhum muhalafah
(syarat), bahwa jika istri yang dicerai tersebut tidak sedang hamil, maka bekas
suami tidak wajib memberian nafkah kepadanya.
4) Mafhum ghayah (tujuan)
Yaitu menetapan hukum yang berada diluar
tujuan nash (ghayah), bila hukum tersebut dibatasi dengan tujuan (ghayah),
misalnya firman Allahk:
öNèdqè=ÏG»s%ur 4Ó®Lym w
tbqä3s? ×poY÷FÏù
tbqä3tur
ßûïÏe$!$#
¬! ( ÈbÎ*sù (#öqpktJR$#
xsù tbºurôãã wÎ) n?tã
tûüÏHÍ>»©à9$# ÇÊÒÌÈ
"Dan perangilah mereka itu, sehingga
tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu Hanya semata-mata untuk
Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan
(lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim." [al-Baqarah: 193]
Ayat menjelaskan, bahwa peperangan
diperbolehkan karena ada tujuan, yaitu mencegah timbulnya fitnah dalam agama.
Jika fitnah dalam agama tersebut sudah tidak ada, maka peperangan tidak
diperbolehkan lagi.
5) Mafhum adad
Yaitu penetapan kebalikan dari suatu hukum
yang dibatasi dengan bilangan, ketika bilangan tersebut tidak terpenuhi.
Seperti firman-Nya:
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur
(#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB
;ot$ù#y_ ( wur /ä.õè{ù's?
$yJÍkÍ5 ×psùù&u
Îû
ÈûïÏ «!$# bÎ) ÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè?
«!$$Î/
ÏQöquø9$#ur
ÌÅzFy$# ( ôpkô¶uø9ur $yJåku5#xtã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB
tûüÏZÏB÷sßJø9$#
ÇËÈ
"Perempuan yang berzina dan laki-laki
yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera,
dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)
agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang
beriman." [an-Nur: 2]
]
§ Mafhum muwafaqah
(nash)
Telah dibahas di atas pada dalalah lafadz
atau manthuq.
Lafadz ditinjau dari segi cakupannya
Bab ini merupakan pembahasan ke-tiga tentang lafadz.
Pembahasan ini akan dilihat dari dua segi, yaitu:
Pertama
segi cakupan lafadz terhadap bagian satuan yang termasuk didalamnya. Terbagi
menjadi dua, yaitu amm dan khas.
Kedua
dari segi sifat yang ditentukannya. Terbagi menjadi mutlaq dan muqayyad.
Umum Dan Khusus
Amm adalah lafadz yang menunjukkan pada
jumlah yang banyak dan satuan yang termasuk dalam pengertiannya dalam satu
makna yang berlaku (lafadz itu bukan musytaraq, yang memiliki arti banyak dan
berdiri sendiri, seperti ain bias berarti mata, mata air atau benda). Golongan
hanafiyah mendefinisikan lafadz amm adalah suatu lafadz yang mencakup arti
keseluruhan, baik dengan menggunakan lafadz jama' (seperti rijal) atau
menggunakan isim mausul yang menunjukkan arti jama' atau ism syarat dan yang
seumpama dengannya, seperti lafadz qaum, jin, ins (manusia) serta lafadz-lafadz
lain yang menunjukkan pada arti jama'. Lafadz khas adalah lafadz yang
menunjukkan arti tunggal. Seperti Zaid, Ibrahim dan lain-lain.
Lafadz Musytharak
Imam Syafi'I v memasukkannya dalam lafadz
amm. Lafadz musytarak yaitu lafadz yang mempunyai dua arti atau lebih, yang
arti tersebut dapat digunakan secara bergantian sesuai dengan konteks tersebut.
Seperti kata [القرء] yang berarti haidh (menstruasi) dan tuhru
(suci). Atau kata [عين] yang berarti penglihatan, mata air,
esensi, emas dan mata-mata.
Lafadz yang menyebabkan timbulnya lafadz musytarak,
daris segi bahasa:
1. Perbedaan suku-suku
yang menggunakan bahasa Arab. Satu suku menggunakan suatu lafadz, untuk
menunjukkan suatu arti dan suku yang lain menggunakan lafadz tersebut untuk
menunjukkan arti yang lain.
2. Terkadang dua arti
dalam lafadz musytarak tersebut, dikembalikan pada satu makna yang asli.
Kemudian satu makna ini berkembang menjadi beberapa makna yan lain. Seperti
kata fatana yang arti semula meletakkan logam dalam api, kemudian diartikan
kesesatan, membuat kerusakan dalam agama dan jatuh.
3. Terkadang pemakaian
suatu lafadz itu didasarkan secara majazi (kiasan), karena lafadz tersebut
mempunyai hubungan dengan beberapa arti. Kemudian lafadz yang majaz tersebut
menjadi masyhur, sehingga menjadi lafadz yang hakiki yang dipakai secara umum.
Dengan demikian, lafadz tersebut mempunyai beberapa arti, dimana arti-arti
tersebut tidak dapat dipakai secara bersamaan.
Mutlaq dan Muqayyad
Lafadz mutlaq adalah lafadz yang
menunjukkan pada hakekat lafadz itu apa adanya tanpa memandang jumlah maupun
sifatnya. Seperti lafadz raqabah (budak) pada firman-Nya:
7sù >pt6s%u
ÇÊÌÈ
"(yaitu) melepaskan budak dari perbudakan." [al-Balad:
13]
Perbedaan antara lafadz mutlaq dan 'amm,
bahwa lafadz mutlaq menunjukkan hakekat suatu lafadz tanpa batasan apapun, baik
segi sifat atau jumlahnya. Seperti firman-Nya:
tûïÏ%©!$#ur
tbrãÎg»sàã
`ÏB
öNÍkɲ!$|¡ÎpS §NèO tbrßqãèt $yJÏ9
(#qä9$s% ãÌóstGsù 7pt7s%u `ÏiB È@ö6s% br& $¢!$yJtFt
4 ö/ä3Ï9ºs cqÝàtãqè? ¾ÏmÎ/
4 ª!$#ur $yJÎ/
tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz ÇÌÈ
"Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, Kemudian mereka
hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan." [al-Mujadalah: 3]
Ayat ini menunjukkan tanpa ada batasan
jumlah budah satu, dua atau banyak dan tanpa mengartikan sifat budak, apakah
budak mukmin atau tidak. Yang penting adalah memerdekakan budak.
Sedang lafadz 'amm adalah lafadz yang menunjukkan pada
hakekat lafadz tersebut, dengan memperhatikan jumlahnya. Seperti firman-Nya:
#sÎ*sù ÞOçFÉ)s9 tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. z>÷|Øsù
É>$s%Ìh9$# ÇÍÈ
"Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) Maka
pancunglah batang leher mereka. sehingga apabila kamu Telah mengalahkan mereka
Maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau
menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Allah menghendaki
niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian
kamu dengan sebahagian yang lain. dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah,
Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka." [Muhammad: 4]
Lafadz di atas meliputi semua orang-orang kafir yang
ikut perang.
Lafadz muqayyad
adalah lafadz yang menunjukkan pada hekekat lafadz tersebut dengan dibatasi (qayd)
oleh sifat, keadaan dan syarat tertentu. Atau dengan kata lain lafadz yan
gmenunjukkan pada hekekat lafadz itu sendiri, dengan dibatasi oleh
batasan-batasan, tanpa memandang pada jumlah.
1. Misalnya yang dibatasi
oleh sifat firman-Nya:
u ãÌóstGsù
7pt6s%u 7poYÏB÷sB ( ÇÒËÈ
"Dan tidak layak bagi seorang mukmin
membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali Karena tersalah (Tidak sengaja)[24],
dan barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga
terbunuh) bersedekah.[25]
jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara
mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
barangsiapa yang tidak memperolehnya.[26]
Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk
penerimaan Taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana." [an-Nisa': 92]
2. Sedang contoh yang
dibatasi oleh syarat adalah:
`yJsù
óO©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$r& 4 ÇÑÒÈ
"Allah tidak menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum
kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar)
sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang
biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi Pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian,
Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat
sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu.
Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur
(kepada-Nya)." [al-Maidah: 89]
Kafarat puasa tiga hari tersebut
disyaratkan bila orang yang melanggar sumpah tidak mampu memerdekakan budak
setelah tidak mampu memberi makanan dan pakaian.
3. Contoh yang dibatasi
dengan batas tertentu, yaitu:
(
¢OèO (#qJÏ?r& tP$uÅ_Á9$#
n<Î) È@ø©9$#
4 ÇÊÑÐÈ
"Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datang) malam." [al-Baqarah: 187]
Nasakh (penggantian hukum)
Ketika terjadi pertentangan antara dua
dzahir nash al-Qur'an, maka kedua nash tersebut harus dipertemukan dengan
berbagai cara yang dapat ditempuh. Yaitu sebagai berikut:
1. Lihat apakah kedua
nash tersebut berupa khas atau 'amm.
2. Bila salah satu dari
kedua nash tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan dasar syari'at, sementara
nash yang lain menyalahinya, maka nash yang menyalahi dasar-dasar syari'at
harus di ta'wilkan, sehingga kedua nash tersebut dapat dipertemukan.
3. Jika tidak dapat
titempuh maka dengan cara mengambil sanad yang lebih kuat sanadnya. Atau dengan
cara dilihat mana ayat yang turunnya duluan dengan yang turunnya akhir.
Nasakh menurut istilah ahli ushul adalah
mengganti atau merubah hukum syara' dengan dalil yang turun kemudian. Nasikh
(yang mengganti) mansukh (yang diganti). Seperti perpindahan kiblat yang dulu
menghadap Baitul Maqdis kemudian di naskh dengan mengahadap masjidil Haram,
nikah mut'ah yang dulu diperbolehkan kemudian dilarang dan berziarah kubur yang
dulu dilarang kemudian di naskh dengan diperbolehkannya ziarah kubur. Orang yang
pertama kali membahas nasakh adalah Imam Syafi'I v dalam kitabnya
"ar-Risalah al-Ushul". Imam Syfi'I dan Ibnu Hazm mendefinisikan
nasakh adalah menjelaskan bahwa masa berlakunya hukum yang terkandung dalam
nash yang pertama telah habis. [an-Naskh wal masukh oleh Ibnu Hazm] Imam
asy-Syuyuti v berpendapat, bahwa ada 20 nash yang dinaskh.
Syarat-syarat nasakh
§ Hukum yang di mansukh
(diganti) tidak diikuti oleh ungkapan yang menunjukkan atas berlakunya hukum
tersebut selama-lamanya (abadi).
§ Hukum yang di mansukh
tidak termasuk masalah-masalah yang telah disepakati atas kebaikan atau
keburukan masalah tersebut. Seperti berbohong, jujur, adil berbakti keorang tua
dan lain-lain.
§ Nash yang mengganti
(nasikh) turunnya harus lebih akhir dari nash yang di mansukh.
§ Nash tersebut sudah
tidak dapat dikompromikan dengan berbagai cara.
Menasakh al-Qur'an
Al-Qur'an dapat dinaskh oleh al-Qur'an.
Jumhur berpendapat bahwa al-Qur'an dapat di naskh oleh sunnah, yaitu hadits
mutawatir atau hadits mustafidh. Pendapat Imam Syafi'I v, bahwa al-Qur'an hanya
dapat dinasakh oleh al-Qur'an, hadits mutawatir apa lagi hadits ahad tidak
dapat menasakhnya.
Menasakh sunnah
Imam Syafi'I v berpendapat bahwa hukum yang terkandung
dalam hadits hanya dapat dinasakh oleh hadits dan al-Qur'an tidak dapat
menasakhnya. Beliau menyatakan:
سنة رسول الله لا تنسخها إلا سنة رسول الله
"Sunnah Rasulullah n hanya dapat dinasakh oleh sunnah itu
sendiri."
Imam Syafi'I v mempunyai alasan sebagai
berikut: "Jika al-Qur'an dapat menasakh sunnah, maka pasti hal itu telah
disampaikan oleh nabi n . Imam Syafi'I khawatir sunnah akan ditinggalkan
lantaran didakwa bertentangan dengan dengan al-Qur'an. Sedang menurut jumhur,
bahwa al-Qur'an dapat menasakh hukum-hukum yang ada dalam hadits, sebagaimana
hadits dapat menasakh al-Qur'an.
Ijma'
Yaitu kesepakatan para mujtahid dalam suatu
masa setelah wafatnya Rasulullah n, terhadap hukum syara' yang bersifat praktis
('amaly). Menurut jumhur ijma' yang dapat dijadikan argumentasi dalam
menetapkan hukum syara' adalah ijma' para ulama' jumhur.
Ijma' mempunyai kedudukan yang penting
dalam ijtihad. Dalil yang menjadi dasar ijma' adalah sabda Rasulullah n yang
berbunyi:
مارأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
"Apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut
pandangan Allahkjuga baik."
لا تجمع أمتي على ضلالة
"Umatku tidak akan bersepakat pada perbutan yang
sesat."
ألا فمن سره بحبحة الجنة فليلزم
الجماعة فإن الشيطان مع الفذ وهو من الاثنين أبعد
"Ingatlah!, barangsiapa yang ingin menempati syurga, maka
bergabunglah dengan jama'ah. Karena syaitan bersama orang-orang yang
menyendiri. Ia akan lebih jauh dari dua orang."
Imam syafi'I v cenderung menolak kemunginan
terjadinya ijma' dengan alasan sebagai berikut:
- Para fuqaha' berdosmisili di berbagai tempat yang saling berjauhan, sehingga mereka tidak mungkin saling bertemu.
- Terjadinya perpedaan pendapat diantara para fuqaha' yang tersebar diberbagai daerah diseluruh Negara-negara islam.
- Tidak adanya kesepakatan para ulama' tentang orang-orang yang diterima ijma'nya.
- Tidak adanya esepakatan para ulama' tentang kriteria ulama' yang berak untuk berpendapat dalam masalah fiqh.
Meskipun Imam syafi'I v cenderung menolak
kemungkinan terjadinya ijma', akan tetapi di dalam kitab ar-Risalah beliau
telah menetapkan bahwa ijma' dapat terjadi dalam masalah-masalah yang diperdebatkan.
Menurut pendapat Abu Zahrah v ijma' yang dapat dijadikan argumentasi (hujjah)
hanyalah ijma' para sahabat.
Tingakatan ijma'
§ Ijma' sharih, yaitu
ijma' yang disepakati jumhur ulama' sebagai hujjah. Imam Syafi'I v mengatakan
bahwa ijma' sharih adalah jika engkau atau salah seorang ulama' mengatakan,
"Hukum ini telah disepakati," maka niscaya setiap ulama' yang engkau
temui juga mengatakan seperti apa yang engkau katakana.
§ Ijma' syukuti, yaitu
suatu pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid, kemudian pendapat
tersebut telah diketahui oleh para mujtahid yang hidup satu masa dengannya,
akan tetapi tidak diketahui oleh para mujtahid yang hidup satu masa dengannya,
akan tetapi tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Imam syafi'I mengatakan
bahwa ijma' syukuti tidak termasuk ijma' dan tidak dapat dijadikan hujjah.
Pendapat ulama' tentang ijma' syukuti
1) Tidak termasuk ijma',
pendapat Imam Syafi'I v dan mayoritas fuqaha.
2) Termasuk ijma', tetapi
tigkat kekuatannya dibawah ijma' sharih.
3) Tidak termasuk ijma',
tetapi dapat dijadikan argumentasi (hujjah).
Para
fuqaha' mensyaratkan ijma' dapat sempurna jika ulama' yang bersepakat suatu
hukum sudah meninggal semua. Dengan alasan, karena seorang mujtahid yang masih
hidup boleh mencabut kembali pendapatnya, sehingga ijma' tersebut menjadi
batal. Dan ijma' syukuti tidak akan sempurna jika para mujtahid yang bersepakat
telah meninggal semua, sehingga dapat diketahui bahwa tidak seorang pun dari
mujtahid yang diam itu mengemukakan pendapatnya, yang menyebabkan ijma tersebut
tidak bersifat shukuti lagi tapi jahri. Sedang ijma sharih tidak mensyaratkan
menunggu semua matinya mujtahid yang membentuk ijma' tersebut.
§ Ijma' pada masalah
yang pokok (ijma' yang tidak dapat ditentang oleh pendapat seseorang)
Sebagian ulama'
memasukkan ijma' ini dalam ijma syukuti. Yaitu jika para fuqaha' yang hidup
dalam satu masa (generasi) berbeda dalam berbagai pendapat, akan tetapi
bersepakat dalam hukum yang pokok, maka seseorang tidak boleh mengemukakan
pendapat yang bertentangan dengan pendapat mereka. Seperti sahabat berpendapat,
bila kakek bersama saudara-saudara mayit, maka saudara-saudara mayit tersebut
memperoleh harta warisan, dengan syarat kakek memperoleh harta pusaka tidak
kurang dari 1/3. sedang para sahabat yang lain berpendapat, saudara-saudara
mayit mendapat harta warisan dengan syarat kakek memperoleh tidak kurang dari
1/6 harat wairisan. Sementara yang lain berpendapat, bahwa saudara-saudara
mayit tidak memperoleh harta warisan sama sekali. Dengan demikian, meskipun para
sahabat berselisih dalam jumlah bagian harta warisan sang kakek, akan tetapi
mereka tetap sepakat, bahwa sang kakek berhak mendapatkan harta warisan, baik
ia sendirian atau bersama saudara-saudara si mayit.
Nasakh ijma' dan terjadinya ijma'
Ijma' tidak dapat dinasakh dengan ijma' yang lainnya.
Karena nasakh hanya terjadi pda masa Rasulullah n dan tidak setelahnya. Ijma'
hanya terjadi pada masa sahabat g. dan tidak dapat terjadi setelah mereka.
Fatwa Sahabat
Jumhur fuqaha' menetapkan bahwa fatwa-fatwa sahabat
dapat dijadikan hujjah. Mereka beragumentasi sebagai berikut:
§ Firman Allahk :
cqà)Î6»¡¡9$#ur tbqä9¨rF{$#
z`ÏB tûïÌÉf»ygßJø9$# Í$|ÁRF{$#ur tûïÏ%©!$#ur
Nèdqãèt7¨?$#
9`»|¡ômÎ*Î/ Å̧ ª!$# öNåk÷]tã
(#qàÊuur
çm÷Ztã
ÇÊÉÉÈ
"Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun
ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah
kemenangan yang besar." [at-Taubah: 100]
§ Sabda Rasulullah n
أناأمان لأصحابي أمان لأمتي
"Saya adalah kepercayaan (orang yang
dipercaya) sahabatku, sedang para sahabatku orang kepercayaan para
umatku."
§ Dalil-dalil akal
1. Para sahabat orang yang lebih dekat dengan
Rasulullah n dibanding orang lain. Dengan demikian, mereka mereka lebih
mengetahui tujuan-tujuan syara', karena mereka langsung menyaksikan tempat dan
waktunya wahyu al-Qur'an turun.
2. Pendapat-pendapat yang
dikemukakan para sahabat sangat mungkin sebagai bagian dari sunnah nabi dengan
alasan mereka sering menyebutkan hukum-hukum yang dijelaskan oleh Rasulullah n.
3. Jika pendapat para
sahabat didasarkan pada qiyas, sedang ulama' yang hidup setelah mereka juga
menetapkan hukum berdasarkan qiyas yang berbeda dengan pendapat para sahabat,
maka untuk kehati-hatian, yang kita ikuti adalah pendapat para sahabat. Karena
mereka sebaik-baik generasi.
Qiyas
Yaitu menyamakan sesuatu yang tidak ada
nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat
hukumnya. Qiyas merupakan aktivitas akal, dan dikalangan ahli fiqih dalam
hal qiyas terdapat tiga kelompok sebagai berikut:
1. Jumhur yang
mempergunakan qiyas sebagai dasar hukum.
2. Madzhab dzahiriyah
dan syi'ah Imamiyah tidak mempergunakan
qiyas.
3. Kelompok yang lebih
memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal kerena persamaan illat.
Syarat-syarat qiyas:
1. Qiyas harus berupa
hukum syara’ semacam perbuatan yang ditetapkan oleh nash.
2. Qiyas harus berupa
hukum asal yang illatnya dapat ditangkap oleh akal manusia.
3. Tidak ada yang
menghalangi untuk qiyas, yaitu hukum asal tidak bersifat khusus.
4. Diketahui adanya illat
di dalam al Far’u ( hukum yang baru yang tidak ada nashnya).
Kehujjjahan qiyas
§ Dalil al-Qur'an
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä
(#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$#
óOä3ZÏB ( bÎ*sù
÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î)
«!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè?
«!$$Î/
ÏQöquø9$#ur
ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
"Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya." [an-Nisa': 59]
§ Dalil sunnah
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Umar bin Khataba pernah berkata kepada nabi n : "Wahai Rasulullah, aku
melakukan suatu perbuatan yang besar, mencium istri dan saya dalam keadaan
berpuasa." Kemudian Rasulullah n berkata kepadanya: "Bagaimana
seandainya kamu berkumur dengan air, sedang kamu dalam keadaan puasa?"
Umar menjawab: "Tidak mengapa !" Kemudian Rasulullah n bersabda:
"Lanjutkan puasamu."
Madzhab yang menolak qiyas mereka mengajukan
argumentasi tentang batalnya qiyas dengan 5 alas an, yaitu:
1. Hukum islam secara
keseluruhan telah dinyatakan dalam al-Qur'an, maka tidak ada tempat buat qiyas
dan qiyas tidak perlu, karena tidak mempunyai sasaran.
2. Orang yang menggunakan
qiyas itu sama artinya dengan menganggap bahwa penjelasan Rasul n tidak
sempurna dan menuduh Rasulullah n lalai dalam dalam menjalankan tugas risalah.
Al-Ma'idah: 3 dan an-Nahl: 44
3. Tidak ada petunjuk
nash untuk mengetahui 'illat.
4. Sesungguhnya nabi n
memerintahkan kaum mukminin untuk meninggalkan apa yang dibiarkan oleh Allahk
dan rasul-Nya tanpa ketentuan nash.
"Tinggalkanlah apa-apa yang aku
biarkan untukmu. Kebinasaan orang-orang sebelum kamu semata-mata karena banyaknya pertanyaan dan berselisih pendapat
dengan nabi mereka. Maka apabila aku memerintahkan sesuatu, lakukanlah
semampumu, dan apabila aku melarang sesuatu, maka tinggalkanlah ia."
5. Banyak nash yang
menunjukkan larangan menggunakan qiyas.
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w
(#qãBÏds)è?
tû÷üt/
Äyt
«!$# ¾Ï&Î!qßuur ( (#qà)¨?$#ur
©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# ììÏÿx ×LìÎ=tæ ÇÊÈ
"Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya[27]
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui." [al-Hujurat: 1]
wur
ß#ø)s?
$tB
}§øs9
y7s9 ¾ÏmÎ/
íOù=Ïæ
4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# u|Çt7ø9$#ur y#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x.
çm÷Ytã
Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang
kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya."
[al-Isra': 36]
$¨B $uZôÛ§sù Îû É=»tGÅ3ø9$#
`ÏB
&äóÓx«
4 ÇÌÑÈ
"Dan tiadalah binatang-binatang yang
ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan
umat (juga) seperti kamu. tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab,[28]
Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan." Al-An'am: 38]
Dari argumentasi
para penentang qiyas di atas, nampak ada dua prinsip yang menjadi dasar
argumentasi tersebut, yaitu:
§ Bahwa nash-nash dalam
al-qur'an san sunnah sudah tuntas mencakup keseluruhan hukum islam, wajib, aram,
sunnah, makruh dan mubah. Prinsip ini terdapat pada argument 1,2, 4 dan 5.
§ Qiyas adalah upaya
meambah nash yang telah sepurna itu dengan karya manusia, bukan dengan hukum
agama. Terdapat dalam argument ke-3.
Rukun qiyas
1) Al-Ashl [الأصل], yaitu sumber hukum yang berupa nash-nash yang menjelaskan
tentang hukum, atau wilayah tempat sumber hukum.
2) Al-Far'u [الفرع], yaitu sesuatu yang tidak ada ketentuan nashnya.
3) Al-Hukh [الحكم], yaitu hukum yang dipergunakan qiyas untuk memperluas hukum
dari asl ke far'u (cabang).
4) Al-Illah [العللة], yaitu alasan serupa antara asal dan far'u (cabang).
‘Illat adalah sifat hokum asal yang
dijadikan dasar hokum, yang dengan sifat tersebut dapat diketahui hokum pada
masalah baru. Contoh: Memabukkan adalah sifat dalam khomer yang dijadikan dasar
keharaman, kemudian dari sifat tersebut dapat diketahui hokum haram pada setiap
(minuman) perasan yang memabukkan.
Syarat-syarat ‘illat:
1. Illat harus berupa
sifat yang nyata,
2. Harus berupa sifat
yang mengikat,
3. Hendaknya berupa sifat
yang sesuai,
4. Hendaknya berupa sifat
yang bukan hanya untuk masalah asal
Macam qiyas dan tingkatannya dalam hukum
Qiyas dilihat dari segi tingkatannya terbagi menjadi
tiga bagian, yaitu:
§ Qiyas aulawi, yaitu
tujuan penetapan yang menjadi illat hukum terwujud dalam kasus furu' lebih kuat
dari illat hukum dalam kasus asal. Contoh sabda nabi n : "Sesungguhnya
Allahk menharamkan darah orang mumin dan berprasangka kepadanya kecuali
prasangka baik."
Dari hadits ini dapat diketahui, bagaimana
hukumnya berprasangka tidak baik kepada orang mukmin. Kemudian apabila hanya
hal yang baik-baik saja yang boleh disangkakan terhadap ornag mukmin, maka
bagaimana hukum memperbincangkan hal-hal yang tidak baik terhadapnya. Tentu
lebih dilarang, inilah yang dinamakan qiyas aulawi.
§ Qiyas setara, yaitu
sifat hukum yang dianggap sebagai illat dalam kasus furu' sama kuatnya dengan
'illat dalam hukum asal. Seperti mengqiyaskan budak laki-laki terhadap budak
wanita dalam masalah separoh hukuman dari hukuman orang merdeka, firman-Nya:
4
!#sÎ*sù £`ÅÁômé&
÷bÎ*sù
ú÷üs?r& 7pt±Ås»xÿÎ/
£`Íkön=yèsù
ß#óÁÏR
$tB
n?tã ÏM»oY|ÁósßJø9$# ÆÏB É>#xyèø9$#
4 ÇËÎÈ
"Dan barangsiapa diantara kamu (orang
merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi
beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu
miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian
yang lain,[29]
Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin
mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri,
bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai
piaraannya; dan apabila mereka Telah menjaga diri dengan kawin, Kemudian mereka
melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari
hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu,
adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari
perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [an-Nisa': 25]
§ Qiyas naqish, dimana
wjud illat dalam hukum furu' kurang tegas, sebagaimana dalam hukum asal.
Seperti illat "memabukan" bagi minuman-minuman yang dibuat dari
anggur. Alasan memabukkan pada minuman-minuman tersebut tidak sekuat pada
khamr. Akan tetapi, hal ini bukan berarti menolak teori illat hukum, sebab
untuk memahami nash hukum secara tepat harus mengetahui 'illat hukumnya pula.
Dan untuk itu illat harus dibuktikan secara nyata.
Pertentangan qiyas dengan nash
Tidak mungkin terjadi pertentangan antara qiyas dan
nash, akan tetapi hal itu bisa terjadi pada hadits ahad.
Istihsan
Imam Abu Hasan al-Karkhi v mendefinisikan
istihsan yaitu penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang
menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang
serupa, karena alasan yang lebih kuat dan menghendaki dilakukannya penyimpangan
itu. Seperti seluruh tubuh wanita adalah aurat. Akan tetapi seorang dokter
boleh melihat sebagian dari tubuhnya karena ada hajat atau pemeriksaan.
Imam Malik v menilai, pemakaian istihsan
merambah 90% dari seluruh ilmu fiqh. Ibnul Araby membuat definisi yang
menyerupai definisi golongan Hanafi. Ia mengatakan, "Istihsan adalah
memilih meninggalkan dalil, dan mengambil rukhsah dengan hukum sebaliknya,
karena dalil itu berlawanan dengan dalil lain pada sebagian kasus
tertentu." Ia membagi istihsan menjadi 4 macam, yaitu:
1. Meninggalkan dalil
karena 'urf
2. Meninggalkan dalil
karena ijma'
3. Meninggalkan dalil karena
maslahah
4. Meninggalkan dalil
karena untuk meringankan dan menghindarkan masyaqah.
Pembagian istihsan
Dilihat dari mu'aridhnya (dalil lain yang
bertentangan) istihsan terbagi menjadi 3 macam:
§ Istihsan sunnah, yaitu
istihsan yang disebabkan oleh adanya ketetapan sunnah yang mengaharuskan
meninggalkan dalil qiyas pada kasus yang bersangkutan. Seperti:
ð Batalnya
wudhu disebabkan tertawa berbahak-bahak diwaktu menjalankan shalat. Padahal
menurut qiyas, semestinya hanya shalatnya saja yang batal. Sebab shalatnya
itulah yang terkena cacat. Mamun pengecualian penggunaan qiyas disini karena
nabi n menghukumi batalnya wudhu orang yang tertawa terbahak-bahak ditengah
shalatnya. Para ulama' menyamakannya dengan
orang buta yang juga harus mengenakan pakaian.
ð Hadits
tentang sahnya puasa orang yang makan dan minum di siang hari karena lupa.
Padahal menurut qiyas, puasa itu semestinya batal. Akan tetapi karena terdapat
hadits yang menetapkan qiyas dalam masalah di atas.
§ Istihsan ijma', yaitu
istihsan yang meninggalkan penggunaan dalil qiyas karena adanya ijma' ulama'
yang menetapkan hukum yang berbeda dari tuntutan qiyas. Seperti ketetapan ijma'
tentang shahnya akad istihshna' (pesanan). Menurut qiyas, semestinya akad itu
batal. Sebab sasaran (obyek) akad tidak ada ketika akad itu dilangsungkan. Akan
tetapi karena transaksi model itu telah telah dikenal dan shah sepanjang zaman,
maka hal itu dipandang sebagai ijma' atau 'urf 'am (tradisi) yang dapat
mengalahkan dalil qiyas. Yang demikian ini berarti merupakan perpindahan dari
suaatu dalil ke dalil yang lain yang lebih kuat.
Istihsan ijma' pengertiannya hampir sama
dengan istihsan urf, yakni dalam rangka menghilangkan kesulitan (daf'ul
masyaqah) dan dlaam konteks 'Urf 'Am (tradisi).
§ Istihsan darurat,
yaitu istihsan yang disebabkan adanya keadaan dharurat (terpaksa) dalam suatu
masalah yang mendorong seorang mujtahid untuk meninggalkan dalil qiyas. Contoh,
seperti mensucikan kolam atau sumur yang tidak mungkin dilakukan jika kita
berpegang pada dalil qiyas, dengan cara menuangkan air ke dalamnya. Air yang
masuk ke dalam kolam akan menjadi najis karena bersentuhan dengan najis. Timba
yang dipakai akan menjadi najis karena bersentuhan dengan air najis. Demikian
seterusnya saling terkait, sehingga semuanya menjadi najis. Oleh karena itu
para ulama' memillih menggunakan dalil istihsan dengan meninggalkan dalil
qiyas, karena ada darurat yang tidak bias dihindarkan. Para
ulama' fiqh kemudian mengajukan alternative dengan cara menguras air sumur itu
beberapa timba, yang dianggap bercampur najis. Dengan menimbanya berulang kali,
volume najis yang berada dalam air akan berkurang, meski tidak hilang sama
sekali.
Urf (tradisi)
Sumber hukum in digunakan oleh madzhab
hanafi dan Maliki. Urf adalah bentuk-bentuk muamalah (hubungan kepentingan)
yang telah menjadi adat kebiasaan dan telah berlangsung terus menerus di suatu
masyarakat. Ini termasuk satu sumber hukum (asl) dari ushul fiqh yang diambil
dari inti sari sabda Muhammad n .
مارأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
"Apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut
pandangan Allahkjuga baik."
Hadits ini, baik dari segi ibarat maupun
tujuannya, menunjukkan bahwa setiap perkara yang telah mentradisi dikalangan
kaum muslimin dan dipandang sebagai perkara yang baik, maka perkara tersebut
juga dipandang baik dihadapan Allahk. Menolak urf yang telah dipandang baik
oleh masyarakat akan menimbulkan kesulitan dan kesempitan. Allahk berfirman: "Dan
sekali-kali tidak menjadikan kamu dalam agama suatu kesempitan."
Pembagian 'urf
1. 'Urf yang fasit
(rusak/jelek) yang tidak bisa diterima, yaitu urf yang bertentangan dengan nash
qath'i.
2. 'Urf shahih
(baik/benar) bisa diterima dan dan dipandang sebagai salah satu sumber pokok
hukum islam.
Urf yang shahih terbagi menjadi dua, yaitu:
ð Urf amm,
yaitu urf yang telah disepakati oleh seluruh negeri. Seperti mandi di kolam,
dimana sebagian orang melihat aurat temannya atau akad istishna' (perburuhan).
Imam Syafi'I v berpendapat urf ini mengalahkan qiyas, yang dinamakan istihsan
ufr (telah dijelaskan dimuka). Urf ini bisa mentakhsis nash yang amm yang
bersifat dhanni bukan qath'i.
ð Urf khas,
yaitu urf yang berlaku pa suatu Negara, wilayah atau golongan tertentu, seperti
urf yang berhubungan dengan perdagangan, pertanian dan lain-lainnya.
Mashalih Mursalah
Berdasarkan dalil stiqra' (penelitian) dan
nash-nash al-Qur'an maupun hadits diketahui bahwa hukum-hukum syari'at islam
mencakup didalamnya pertimbangan kemaslahatan manusia. Allah berfirman:
!$tBur »oYù=yör& wÎ) ZptHôqy
úüÏJn=»yèù=Ïj9
ÇÊÉÐÈ
"Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam." [al-Anbiya': 107]
$tBur
tb%x. #x»yd ãb#uäöà)ø9$# br& 3utIøÿã `ÏB Âcrß
«!$# `Å3»s9ur
t,ÏóÁs?
Ï%©!$# tû÷üt/ Ïm÷yt
@ÅÁøÿs?ur É=»tGÅ3ø9$#
w |=÷u ÏmÏù
`ÏB
Éb>§ tûüÏHs>»yèø9$#
ÇÌÐÈ
"Tidaklah mungkin Al Quran Ini dibuat oleh selain Allah;
akan tetapi (Al Quran itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan
menjelaskan hukum-hukum yang Telah ditetapkannya,[30]
tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam."
[Yunus: 37]
Mashalih mu'tabarah (yang dapat diterima)
adalah maslahat-maslahat yang bersifat hakiki, yaitu meliputi lima jaminan dasar:
ð Keselamatan keyakinan agama
ð Keselamatan jiwa
ð Keselamatan akal
ð Keselamatan keluarga dan keturunan
ð Keselamatan harta
Kemaslahatan manusia itu mempunyai
tingkat-tingkatan. Tingkat pertama lebih utama dari tingkat kedua dan tingkat
yang kedua lebih utama dari tingkat yang ketiga. Tingkat-tingkatan itu, ialah:
1. Tingkat pertama yaitu
tingkat dhurari, tingkat yang harus ada. Tingkat ini terdiri atas lima tingkat pula, tingkat
pertama lebih utama dari yang kedua, yang kedua lebih utama dari yang ketiga
dan seterusnya. Tingkat-tingkat itu ialah: Memelihara agama; Memelihara jiwa;
Memelihara akal; Memelihara keturunan; dan Memelihara harta.
2. Tingkat yang kedua
adalah tingkat yang diperlukan (haji).
3. Tingkat ketiga, ialah
tingkat tahsini.
Kehujjahan mashalih mursalah
Golongan Maliki (pembawa bendera mashalih
marsalah), megemukakan 3 alasan, yaitu:
1. Praktek para sahabat
yang telah menggunakannya. Seperti membukukan al-Qur'an, khulafa' 'urrasidin
menetapkan keharusan menanggung ganti rugi kepada para tukang, Umar a sengaja
menumpahkan susu yang dicampur dengan air guna memberi pelaaran kepada para
pedagang yang mencampurnya, para sahabat menetapkan hukuman mati kepada
sekelompok orang yang membunuh satu orang dan lain-lainnya.
2. Adanya maslahat sesuai
dengan maqasid syar'I (tujuan-tujuan syar'i), artinya dengan mengambil maslahat
berarti sama dengan merealisasikan maqasid syar'i.
Al-Baqarah: 185
ßÌã
ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãø9$# wur ßÌã ãNà6Î/ uô£ãèø9$# ÇÊÑÎÈ
Sabda nabi
:
"Bahwasannya tidak sekali-kali nabi n
dihadapkan pada dua pilihan, kecuali beliau memilih yang lebih mudah/ringan
selama bukan merupakan perbuatan dosa."
Dzari'ah
Dari'ah secara bahasa berarti wasilah
(perantara). Sedang secara istilah adalah sesuatu yang menjadi perantara kearah
perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan. Dengan kata lain ketentuan hukum
yang dikenakan pada dzari'ah selalu mengikuti ketentuan hukum yang terdapat
pada perbuatan yang menjadi sasarannya.
Perbuatan yang membawa ke arah mubah adalah
mubah, perbuatan yang membawa arah haram maka haram. Misalnya, zina adalah
haram, maka melihat aurat wanita yang menyebabkan perbuatan zina adalah haram
juga, shalat jumat adalah wajib, maka meninggalkan jual beli guna memenuhi
kewajiban menjalankan kewajiban shalat jum'at adalah wajib. Dzari'ah diakui
seluruh madzhab.
Perbuatan dilihat dari segi akibatnya terbagi menjadi
4 macam, yaitu:
1. Perbuatan yang secara
qath'I (pasti) menatangkan mafsadah/kerusakan, seperti menggali sumur
dibelakang pintu rumah dijalan yang gelap dimana sekira ada yang masuk ke rumah
itu akan masuk ke dalamnya.
2. Perbuatan yang
kemungkinan kecil akan (jarang) akan mendatangkan mafsadah. Seperti menanam
anggur, menjual makanan.
3. Perbuatan yang kadar
kemungkinan terjadinya mafsadat tergolong dalam kategori persangkaan yang kuat,
tidak sampai pada kategori keyakinan yang pasti, tidak pula terhitung jarang.
Seperti menjual senjata pada masa mewabahnya fitnah, menjual buah anggur kepada
pembuat arak. Ini haram hukumnya.
4. Perbuatan yang jika
dikerjakan, kemungkinan besar akan mendatangkan mafsadah, akan tetapi tidak
sampai ke tingkat persangkaan kuat apalagi ketingkat keyakinan yang pasti.
Seperti akad salam yang dimaksudkan oleh orang yang melakukan transaksi untuk
memperoleh riba dengan kedok jual beli.
Hadits nabi yang menerangkan tentang dzari'ah antara
lain:
ð Nabi n mencegah membunuh orang munafiq karena
akan menyebabkan fitnah bahwa nabi membunuh para sahabatnya.
ð Nabi n melarang orang yang mengutangi,
menerima hadiah dari orang yang
berhutang agar hal tersebut tidak mengarah kepada perbuatan riba dimana
penerimaan hadiah itu dianggap sebagai pengganti dari bunga.
ð Nabi n melarang memotong tangan pencuri
pada masa perang tidak bergabung dengan kaum musyrikin.
ð
Nabi n melarang menimbun harta.
ð Nabi n melarang seseorang membeli barang
yang telah disedekahkan kepada orang lain, walaupun ia mendapatkannya terjual
di pasar.
Istishhab
Secara bahasa berarti persahabatan. Secara istilah,
adalah:
§ Imam asy-Syaukani
dalam kitabnya irsyad al-Fuhul menerangkan bahwa istishhab adalah dalil
yang memandang tetapnya sesuatu perkara selama tidak ada sesuatu yang
mengubahnya. Yakni ketetapan dimasa lampau, berdasarkan hukum asal, tetap terus
berlaku untuk masa sekarang dan masa mendatang.
§ Ibnu Qayyim v
memberikan pengertian bahwa istishhab adalah melestarikan yang sudah positif
dan menegaskan yang negative (tidak berlaku). Yakni tetap berlaku hukum asal,
baik yang positif atau yang negative, sampai ada dalil yang mengubah
setatusnya.
Contoh istishhab
ðOrang yang hilang, ia tetap dianggap hidup
sampai ada bukti kematiannya.
ð Seseorang tidak berhak menuduh bahwa si
fulan halal darahnya lantaran murtad, kecuali ada dalil yang menunjukkan
kemurtadannya.
ð Seorang yang adil tidak boleh dituduh
fasik kecuali ada dalil yang menunjukkan kefasikannya.
ð Si fulan diketahui pemilik suatu barang,
maka hak milik itu tidak berpindak kepada orang lain kecuali ada bukti
ð Seseorang jelas menjadi suami resmi dari
seorang wanita, maka dengan sendirinya berarti keduanya terjalin perkawinan,
sampai terjadi perceraian.
Pembagian istishhab
1. Istishhab al-Bara'ah
al-Ashliyyah (kebebasan dasar), seperti bebas dari beban kewajiban-kewajiban
(taklif) syar'I, sampai ada dalil yang menunjukkan adanya taklif. Anak kecil,
terbebas taklif sampai baligh.
2. Istishhab yang diakui
eksistensinya oleh syara' dan akal. Seperti mengenai pertanggungan hutang,
sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa hutang itu telah dibayar atau
dibebaskan.
3. Istishhab hukum, yaitu
apabila dalam kasus itu sudah ada ketentuan hukumnya, baik mubah atau haram.
Ketentuan hukum itu terus berlaku sampai ada dalil yang mengharamkan dalam hal
perkara mubah, dan hingga ada dalil yang memperbolehkan dalam hal perkara
haram.
4. Istishhab sifat,
seperti sifat hidup bagi orang hilang. Sifat ini dianggap masih tetap melekat
pada orang yang hilang sampai ada indicator atas keatiannya. Contoh lain, sifat
suci bagi air, sifat itu tetap melekat sampai ada tanda-tanda atas
kenajisannya, baik berubah warna atau baunya.
Syari'at Umat Sebelum Kita
Sesungguhnya syari'at-syari'at samawi
secara prinsipil adalah satu. Allah berfirman: "Dia Telah mensyari'atkan
bagi kamu tentang agama apa yang Telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang
Telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang Telah kami wasiatkan kepada Ibrahim,
Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama[31]
dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. amat berat bagi orang-orang
musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu
orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang
kembali (kepada-Nya)." [assura': 13]
Yang menurunkan agama samawi hanya satu, yakni
Allahk, maka berarti esensinya juga satu. Nash di atas jelas menernagkan hal
itu, diperkuat dengan ima' ulama'. Hanya saja memang Allahk mengaharamkan
sebagian perkara atau perbuatan atas sebagian kaum tertentu. Pengharaman itu
dimaksudkan untuk mencegah mereka dari tenggelang dalam kehidupan yang diliputi
nafsu syahwat, sebagaimana firman-Nya:
n?tãur
úïÏ%©!$#
(#rß$yd $oYøB§ym ¨@à2 Ï 9àÿàß ( ÆÏBur Ìs)t7ø9$# ÉOoYtóø9$#ur $oYøB§ym öNÎgøn=tæ !$yJßgtBqßsä© wÎ) $tB ôMn=yJym
!$yJèdâqßgàß Írr& !$t#uqysø9$# ÷rr& $tB xÝn=tG÷z$# 5OôàyèÎ/
4 y7Ï9ºs Oßg»oY÷zy_ öNÍkÈøót7Î/ ( $¯RÎ)ur tbqè%Ï»|Ás9 ÇÊÍÏÈ
"Dan kepada orang-orang Yahudi, kami haramkan segala
binatang yang berkuku[32]
dan dari sapi dan domba, kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang
itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar
dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah kami hukum mereka
disebabkan kedurhakaan mereka; dan Sesungguhnya kami adalah Maha benar."
[al-An'am: 146]
Selain itu, bentuk maupun cara ibadah
masing-masing syari'at samawi juga berbeda-beda, meski esensinya tetap sama,
yaitu menyembah Allahk Yang Maha Esa yang tidak ada sekutu bagi-Nya.
OBYEK HUKUM (MAHKUM FIH)
Masyaqqat terbagi menjadi dua macam, yaitu:
- Masyaqqat yang dapat ditanggulangi dan mampu direalisasikan. Masyaqqat ini harus dilaksanakan bila dilanggar akan dikenakan sangsi hukuman. Misalnya ibadah puasa dan haji. Kedua ibadah ini tergolong berat, akan tetapi dapat ditanggulangi, sehingga tetap harus dilakukan.
- Masyaqqat yang tidak dapat ditanggulangi dan tidak mampu direalisasikan, kecuali dengan mengerahkansegala kemampuan. Masyaqqat jenis ini adalah, masyaqat yang bila harus dikerjakan secara kontinyu akan menimbulkan kornban jiwa atau harta atau ketidak mampuan secara mutlak. Seperti perang, mengucapkan kata-kata kufur ketika dipaksa, adalah masyaqat yang sangat berat dan sulit ditanggulangi, meskipun bagi mereka yang mampu dijanjikan pahala dari Allah contoh lain adalah mengucapkan kebenaran dihadapan penguasa dzalim.
Sampai disini dapat disimpulkan, bahwa
masyaqqat yang pada umumnya sulit di tanggulangi, terdapat dalam tiga hal:
ðFardhu
kifayah, seperti amarma'ruf dan nahi munkar yang dapat membahayakan bagi diri
seseorang.
ð
Tuntutan-tuntutan yang tidak dapat siupayakan secara optimal, kecuali dengan
menyerahkan jiwa yang sangat berharga.
ð Tuntutan-
tuntutan yang berbenturan dengan hak-hak Allahk atau hak-hak manusia. Dalam hal
ini seseorang dituntut untuk bersabar, meskipun pada umumnya sangat berat dan
sulit ditanggulangi. Seperti seseorang yang dipaksa untuk membunuh orang lain,
agar menimbulkan permusuhan. Dalam kasus ini, seseorang wajib bersabar dan
tidak boleh membunuh orang karena paksaan tersebut.
Amal perbuatan yang dibebankan kepada umat manusia
terbagi menjadi tiga:
1. Amal perbutan yang
dapat diwakilkan, seperti amal perbutan yang berkaitan dengan harat benda.
2. Amal perbuatan yang
tidak dapat diwakilkan, yaitu amal perbuatan yang berbentuk ibadah secara fisik
seperti shalat, puasa dan sejenisnya.
3. Yang dapat diwakilkan
bila ada udzur, yaitu ibadah yang pelaksanaannya memerlukan tenaga fisik dan
harta benda, yakni ibadah haji.
Amal perbuatan yang dibebabkan kepada umat manusia,
bila ditinjau dari segi hubungannya dengan hak Allahk dan hak manusia, terbagi
menjadi 4 macam, yaitu:
1. Amal yang semata-mata
merupakan hak Allahk. Seperti ibadah dan semua masalah-masalah social yang
tidak mendzalimi pada hak individu, tapi justru melindunginya, seperti
berperang, zakat, had zina dan khamer.
2. Amal yang semata-mata
hak manusia. Seperti hutang, hak milik, hak memperoleh harata kpusaka dan
lain-lain.
3. Amal yang
diperserikatkan antara hak Allahk dan manusia, akan tetapi hak Allahk lebih
dominant. Seperti sangsi bagi penuduh berbuat zina.
4. Amal yang
diperserikatkan antara hak Allahk dengan hak manusia, tetapi hak manusia lebih
dominant. Seperti qishas diyat dan hukuman pidana yang lain.
SUBYEK HUKUM/MUKALLF (MAHKUM 'ALAIH)
Kemampuan untuk taklif
Kemampuan (ahliyah) ialah kemampuan seseorang untuk
menerima kewajiban dan menerima hak. Artinya orang itu pantas untuk menanggung
hak-hak orang lain, menerima hak-hak atas orang lain, dan pantas untuk
melaksanakannya. Dengan demikian, kemampuan terbagi menjadi dua, yaitu:
ð Ahliyatul wujub, yaitu kemampuan untuk
mempunyai dan menanggung hak. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi kamanusiaan,
yang dasar keberadaannya karena ia seorang manusia, baik sudah dewasa,
kanak-kanak, pandai atau bodoh, laki-laki atau wanita, budak atau merdeka.
Sewaktu masih janin, ahliyatul wujub belum sempurna dan baru sempurna setelah
lahir ke dunia.
ð Ahliyah ada', yaitu kemampuan untuk
melahirkan kewajiban atas dirinya dan hak untuk orang lain. Keberadaan
kemampuan ini tidak hanya karena ia sebagai manusia, tetapi karena ia cakap
(tamyiz).
Halangan atas kemampuan terbagi menjadi dua, yaitu:
§ Halangan alami
(awaridh samawiyah), halangan yang terjadi diluar kemampuan manusia, yaitu gila
dan dungu, lupa, ayan dan tidur.
§ Tidak alami, halangan
yang terjadi karena perbuatan manusia. Halangan ini ada dua, yaitu dari sendiri
berupa bodoh, mabuk dan keliru. Sedang dari orang lain, yaitu terpaksa.
TUJUAN HUKUM SYARA'
Sasaran hukum islam:
1. Penyucian jiwa
2. Menegakkan keadailan
dalam masyarakat
3. Mengandung maslahat
Maslahat mu'tabarah
Yaitu maslahat yang menitik beratkan pada pemeliharaan
lima hal, yaitu
agama, jiwa, harta, akal dan keturunan. Apakah maslahat itu terbagi mengikat
hukum syara'? Para ulama' berbeda pendapat
hingga terbagi menjadi tiga golongan.
1. Menolak bahwa hukum
islam terkait dengan maslahat. Boleh saja Allahk mensyari'atkan hukum yang
tidak mengandung maslahat. Ini pendapat asy-Ariyah dan dzahiriyah.
2. Sebagian madzhab
Syafi'I dan sebagian Hanafi berpendapat bahwa maslahat patut menjadi illat bagi
hukum. Akan tetapi, sekedar sebagai tanda (amarah) bagi hukum, bukan sebagai
penggerak yang mendorong Allahk menetapkan hukum.
3. Golongan ini
menegaskan bahwa segala hukum islam terkait dengan maslahat, karena Allahk
telah bejanji demikian. Dia Maha Rahim, menolak mafsadah dan menghilangkan
kesulitan dari hamba-Nya. Ini pendapat Mu'tazilah, maturidiyah sebagain madzhab
Hanbali dan Maliki.
Maslahat sebagaimana terumuskan ke dalam lima segi tersebut tidak
berada pada satu martabat (tingkatan). Akan tetapi terbagi dalam tiga
tingkatan:
- Dharuriyat (primir), yaitu tingkatan dimana berbagai maslahat tersebut tidak akan terealisir tanpa terpenuhinya tingkatan ini. Contoh menetapkan hukum mati kepada orang kafir yang menyesatkan orang lain, hukum qishas dan lain-lain.
- Hajjiyat (sekunder), yaitu segala sesuatu yang oleh hukum syara' tidak dimaksudkan untuk memelihara lima lima hal pokok, akan tetapi dimaksudkan untuk menghilangkan masyaqat, kesempitan, atau ihtiyath (berhati-hati) terhadap lima hal pokok terbebut. Contoh, menimbun harta, membanting harat
- Tahsiniyat atau kamiliyat (pelengkap), yaitu hal-hal yang tidak dalam rangka merealisasi lima kemaslahatan pokok tersebut, tidak pula dalam rangka ihitiyath, akan tetapi dima.ksudkan untuk menjaga kehormatan dan melindungi lima hal pokok hukum di atas. Contoh, diharamkan menipu atau memalsu barang. Perbutan ini tidak menyentuh secara langsng harta itu sendiri (eksistensi), tetapi menyangkut kesempurnaannya.
Tingkatan maslahat
Imam Izzuddin Abdus Salam v membagi maslahat menjadi
tiga macam:
1. Maslahat yang di wajibkan
oleh Allahk bagi hamba-Nya. Maslahat wajib bertingkat-tingkat, terbagi kepada
fadhil (utama), afdhal (paling utama) dan mutawashith (tengah-tengah). Seperti
menyelamatkan orang yang tenggelang didahulukan dari pada shalat berjama'ah.
2. Maslahat yang
disunnahkan.
3. Maslahat mubah.
Maslahat ini tidak berpahala seperti makan dan minum.
IJTIHAT
Definisi
Ijtihat yaitu upaya mengerahkan seluruh kemampuan dan potensi untuk sampai
pada suatu perkara atau perbuatan.
Menurut ulama' ushul, yaitu usaha seorang
yang ahli fiqh yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk meggali hukum yang
bersifat amaliyah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci.
Syarat-syarat
mujtahid
ð Menguasai bahasa arab
ð Mengetahui nasikh dan mansukh dalam al-Qur'an
ð Mengerti sunnah berupa qauliyah, fi'liyah, taqririyah
ð Mengerti letak ijma' dan khilaf
ð Mengetahui qiyas
ð Mengetahui maksud-maksud hukum/dalil
ð Pemahaman dan penalaran yang benar
ð Aqidah dan niat
yang benar
Menurut Imam asy-Syatibi, dasar ijtihad itu ada dua:
1. Memahami tujuan
syari'at
2. Kemampuan
berintinbath, dengan menguasai alat istinbath, yaitu menguasai bahasa arab,
hukum-hukum dalam al-Qur'an, sunnah, ijma', qiyas dan perbedaan pendapt
dikalangan ahli fiqh.
Tingkatan Mujtahid
Ulama' ahli fiqh membagi menjadi 7
tingkatan. Empst tingkstsn tergolong mujtahid. Tiga tingkatan berikutnya masuk
ke dalam kategori muqallid, belum mencapai derajat mujtahid.
§ Mujtahid mustaqil
(independent/mandiri). Untuk mencapai tingkatan ini, harus dipenuhi seluruh
persyaratan ijtihad.
§ Mujtahid muntasib,
mereka adalah mujtahid-mujtahid yang mengambil/memilih oendapat-pendapat
imamnya dalam ushul dan berbeda pendapat dari imamnya dalam cabang, meskipun
secara umum ijtihadnya menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang hamper sama
dengan hasil ijtihad yang diperoleh imamnya.
§ Mujtahid madzhab,
mereka mengikuti imamnya bai dalam ushul atau furu' yang telah jadi. Fungsi
danperanan mujtahid madzhab pada hakekatnya meliputi dua hal, yaitu:
a) Secara murni mengambil
kaidah-kaidah yang telah dipakai para imam pendahulunya, serta semua kaidah
fiqhiyyah yang bersifat umum yang terumuskan dari illath-illat qiyas yang telah
digali oleh imam-imam besar tesebut.
b) Menggali hukum-hukum
yang belum ada ketetapannya berdasarkan kaidah-kaidah tersebut.
§ Mujtahid murajjih,
mereka hanya mentarjih (megunggulkan) diantara pendapat-pendapat yang
diriwayatkan dari imam dengan tarjih yang telah dirumuskan oleh mujtahid pada
tingkatan di atasnya. Mereka mentarjih sebagian pendapat atas pendapat lain
karena dipandang kuat dalilnya atau karena sesuai dengan konteks kehidupan
masyarakat pada masa itu atau karena alasan-alasan lain, sepanjang tidak
termasuk ke dalam kategori melakukan kegiatan istinbath baru yang independenth
atau atau mengikuti metode istinbath imamnya.
§ Mujtahid muwazin,
mereka yang membanding-bandingkan antara beberapa pendapat dan riwayat.
Seperti, menetapkan bahwa qiyas yang dipakai dalam pendapat ini lebik mengena
bila dibandingkan menggunakan qiyas pada pendapat yang lain, atau pendapat ini
lebih shahih riwayatnya atau lebih kuat dalilnya.
§ Mukhafidz, tergolong
tingkatan muqallid, hanya saja mereka mempunyai hujjah dengan mengetahui hasil
tarjih ulama' terdahulu. Ibnu Abidin yang bermadzhab Hanafi mengatakan,
"Mereka adalah yang mampu membedakan antara pendapat yang terkuat, yang
kuat, yang dha'if, riwayat dzahir dan bermadzhab dhahiry.
§ Muqallid, yaitu mereka
yang mampu memahami kitab-ktab, tetapi tidak mampu melakukan tarjih terhadap
beberapa pendapat atau riwayat. Tingkat keilmuannya belum cukup mendukung untuk
bisa mentarjih pendapat mujtahid murajjih dan menentukan tingkatan tarjih.
Fatwa Dan Syarat Mufti
Imam Ahmad bin Hanbal, mengemukakan
beberapa syarat bagi mufti. Seyogyanya seseorang tidak mengeluarkan fatwa
sebelum memenuhi lima
hal:
a) Memasang niat
b) Bertindak atas dasar
ilmu, penuh santun, wibawa dan ketenangan
c) Mempunyai kekuatan
untuk menghadapi dan mengetahui persoalan yang akan dikeluarkan fatwanya
d) Memiliki ilmu yang
cukup
e) Mengetahui kondisi
sosiologi masyarakat
Seorang mufti apabila telah mempunyai
kemampuan berijtihad dimana ia mampu menilai kekuatan diantara dalil-dalil yang digunakan dan mampu menyeleksi pendapat
dari berbagai madzhab yang berbeda-beda atas dasar istidlal, maka dalam
berfatawa ia boleh memilih salah satu pendapat dari berbagai madzhab. Dalam
menetapkan pilihannya ia harus berpegang pada tiga hal, yaitu:
a) Tidak memilih pendapat
yang masih simpang siur pendapatnya.
b) Fatwanya membawa
kemaslahatan bagi masyarakat.
c) Dalam memilih
pendapat, ia harus punya niat yang baik.
Wajib bagi ulama' yang hendak memilih satu
pendapat dari madzhab-madzhab yang ada untuk memperhatikan tiga hal sebagai
berikut:
a) Mengikuti pendapat
madzhab karena pertimbangan dalilnya.
b) Berijtihad sekuat
kemampuannya dengan tidak meninggalkan pendapat yang telah disepakati (mujma'
alaih) untuk mengambil pendapat yang masih diperselisihkan.
c) Tidak mengikuti selera
masyarakat. Tapi, ia harus mengutamakan kemaslahatan dan dalil.
ALHAMDULILLAH
[1] Dinukil dari al-muwafaqat, Imam asy-Syatiby, I/132
[2] Haram juga menurut
ayat Ini daging yang berasal dari sembelihan yang menyebut nama Allah tetapi
disebut pula nama selain Allah.
[3] Ada yang mengatakan
wanita-wanita yang merdeka
[4] Al-Muwafaqat: I/141-142
[5] Maksudnya: nabi Muhammad s.a.w. mempunyai bukti yang
nyata atas kebenarannya
[6] Pengikut pengikut Injil itu diharuskan
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalam Injil itu, sampai
pada masa diturunkan Al Quran.
[7] Orang yang tidak memutuskan perkara menurut
hukum Allah, ada tiga macam: a. Karena benci dan ingkarnya kepada hukum Allah,
orang yang semacam Ini kafir (surat
Al Maa-idah ayat 44). b. Karena menurut hawa nafsu dan merugikan orang lain
dinamakan zalim (surat
Al Maa-idah ayat 45). c. Karena fasik sebagaimana ditunjuk oleh ayat 47 surat ini.
[8] Maksudnya: Al Quran itu tidak diturunkan
sekaligus, tetapi diturunkan secara berangsur-angsur agar dengan cara demikian
hati nabi Muhammad s.a.w menjadi Kuat dan tetap.
[9] Ayat
Ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya.
[10] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni
isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[11] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat
tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan
oleh para nabi sebelum nabi Muhammad s.a.w. ayat Ini membatasi poligami sampai
empat orang saja.
[12] Seperti: menembak burung terkena seorang mukmin
[13] Diat ialah pembayaran sejumlah harta Karena sesuatu
tindak pidana terhadap sesuatu jiwa atau anggota badan
[14] Bersedekah di sini Maksudnya: membebaskan si pembunuh
dari pembayaran diat
[15]
Maksudnya: tidak mempunyai hamba; tidak memperoleh hamba sahaya yang beriman
atau tidak mampu membelinya untuk dimerdekakan. menurut sebagian ahli tafsir,
puasa dua bulan berturut-turut itu adalah sebagai ganti dari pembayaran diat
dan memerdekakan hamba sahaya.
[16]
Yang dimaksud wanita-wanita
yang baik disini adalah wanita-wanita yang suci, akil balig dan muslimah.
[17] Quru' dapat diartikan
Suci atau haidh
[18] Hal Ini disebabkan Karena suami bertanggung jawab
terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah tangga (lihat surat An Nisaa' ayat 34).
[19] Ayat yang muhkamaat ialah ayat-ayat yang terang dan
tegas Maksudnya, dapat dipahami dengan mudah.
[20] Termasuk dalam pengertian ayat-ayat
mutasyaabihaat: ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat
ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam;
atau ayat-ayat yang pengertiannya Hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat
yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari
kiamat, surga, neraka dan lain-lain.
[21] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat
tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan
oleh para nabi sebelum nabi Muhammad s.a.w. ayat Ini membatasi poligami sampai
empat orang saja.
[22] ] maksudnya antara lain
ialah: bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah
Haram (Mekah) dan ihram.
[23] maksudnya janganlah kamu
menganiaya dirimu dengan mengerjakan perbuatan yang dilarang, seperti melanggar
kehormatan bulan itu dengan mengadakan peperangan
[24] Menembak burung terkena seorang mukmin
[25] Bersedekah di sini Maksudnya: membebaskan si
pembunuh dari pembayaran diat.
[26] Maksudnya: tidak mempunyai hamba;
tidak memperoleh hamba sahaya yang beriman atau tidak mampu membelinya untuk
dimerdekakan. menurut sebagian ahli tafsir, puasa dua bulan berturut-turut itu
adalah sebagai ganti dari pembayaran diat dan memerdekakan hamba sahaya
[27]
Maksudnya orang-orang mukmin
tidak boleh menetapkan sesuatu hukum, sebelum ada ketetapan dari Allah dan
RasulNya. Dan
qiyas dalam hal ini jelas dilarang.
[28] Sebahagian
Mufassirin menafsirkan Al-Kitab itu dengan Lauhul mahfudz dengan arti bahwa
nasib semua makhluk itu sudah dituliskan (ditetapkan) dalam Lauhul mahfudz. dan
ada pula yang menafsirkannya dengan Al-Quran dengan arti: dalam Al-Quran itu
Telah ada pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum, hikmah-hikmah dan
pimpinan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, dan kebahagiaan
makhluk pada umumnya.
[29] Maksudnya: orang
merdeka dan budak yang dikawininya itu adalah sama-sama keturunan Adam dan hawa
dan sama-sama beriman.
[30]
Maksudnya Al Quran itu
menjelaskan secara terperinci hukum-hukum yang Telah disebutkan dalam Al Quran
itu
[31] Dimaksud:
agama di sini ialah meng-Esakan Allah s.w.t., beriman kepada-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhirat serta mentaati segala
perintah dan larangan-Nya.
[32] Yang dimaksud dengan binatang berkuku di
sini ialah binatang-binatang yang jari-jarinya tidak terpisah antara satu
dengan yang lain, seperti: unta, itik, angsa dan lain-lain. sebahagian ahli
tafsir mengartikan dengan hewan yang berkuku satu seperti kuda, keledai dan
lain-lain.